Yogyakarta, 18 April 2018 Utari baru saja kembali dari makan siang dan hendak meletakkan bokongnya di kursi. Sebuah ketukan terdengar di pintu ruangannya. "Masuk," tutur Utari. Diraihnya gelas air mineralnya untuk meredakan haus usai sedikit berjalan kaki tadi. "Permisi, Bu," sapa seorang perempuan muda dari balik pintu. Dia melangkah mendekat sambil membawa sebuah bingkisan bersampul biru muda. "Apa ini?" tanya Utari sambil menerimanya. "Kiriman dari Jakarta, Bu," jawab pegawainya tadi seraya berpamitan "Mari." "Terima kasih," ucap Utari. Matanya mulai memindai setiap sisi benda di hadapannya. Mencari-cari keterangan mengenai si pengirim. Rahayu? Perempuan itu mencoba mengingat-ingat siapa gerangan si empunya nama. Utari mendengkus kasar setelah mendapat jawabannya. "Mau apa lagi mereka itu?" Mulutnya menggerundel tetapi tangan Utari dengan cekatan membongkar kemasan paket di mejanya. Perempuan itu membelalak takjub. Diangkatnya selembar kebaya brokat berwarna keemasan berpot
Singapura, 18 April 2018 Bram bersama Arya dan Satria serta dua orang rekanan ayah mereka, yang merupakan ahli di bidang masing-masing, sudah berada di sebuah ruang meeting. Waktu hampir menunjukkan pukul sepuluh waktu setempat. Sebelumnya, mereka berlima menyempatkan diri untuk sarapan sekaligus briefing di sebuah tempat makan tak jauh dari gedung yang mereka kunjungi. Ruang meeting yang mereka singgahi adalah milik sebuah perusahaan consumer goods asal Indonesia yang sudah mendunia. Letaknya di lantai dua puluh sebuah gedung di kawasan Raffles Place. Dinding terluarnya terbuat dari kaca sehingga mereka bisa melihat pemandangan kota di siang hari yang terik. Kantor pusat perusahaan itu berada di Jakarta. Singapura adalah cabang mereka yang terbesar di kawasan Asia. Sang pemilik perusahaan dan tiga orang kepercayaannya datang menemui mereka setengah jam kemudian. Pemilik perusahaan itu merupakan salah seorang kawan lama Baswara. Kebetulan, beberapa minggu ini lelaki tua itu sedang m
Jakarta, 18 April 2018 Amara berdiri bertopang dagu di pagar pembatas balkon. Memandangi matahari yang pelan tertelan cakrawala jingga kekuningan yang membentang. Angin sore mengelus kulit yang halus dan membelai rambutnya yang bergelombang. Di sisi gadis itu, Bona duduk dengan tenang di atas pagar pembatas balkonTanpa terasa waktu bergulir. Amara sampai lupa sudah menghabiskan waktu tanpa si pemilik apartemen hampir seharian. Tidak ada kabar yang Amara dapatkan lagi semenjak Bram memberi tahu sudah mendarat di Singapura. Amara tidak ingin mengganggu kesibukan lelaki itu. Dia pun memilih menyibukkan diri. Usai sarapan, Amara pergi berbelanja. Setelahnya, gadis itu menyempatkan diri mengolah sebagian bahan makanan yang dibelinya. Sehabis makan siang hingga menjelang senja, dia mulai berkutat dengan sebuah proyek yang sedang dikerjakannya.Diketiknya semua yang bergelimang di sel-sel otak. Meskipun Bram menyita beberapa sumber referensi yang berhasil dikumpulkannya, gadis itu masih i
Singapura, 18 April 2018 Malam itu suasana restoran yang disinggahi Bram tidak terlalu ramai. Banyak meja yang kosong. Cahaya kekuningan dari lampu-lampu gantung menerangi seluruh ruangan bernuansa coklat muda. Lantunan tembang-tembang lawas disajikan oleh sekelompok musisi yang menguasai salah satu sudut. Seorang perempuan menunjukkan wajah semringah di hadapan Bram. Memamerkan deretan gigi putihnya. Jika pada hari-hari biasanya dia memakai make up lengkap, malam ini dia terlihat lebih natural. Penampilannya juga lebih casual. Meskipun terlihat berbeda, dia tetap saja cantik. Rekan-rekan satu mejanya menatap Bram dan perempuan itu bergantian. "Sebentar," pamitnya pada mereka. Bram beringsut dari duduknya. Dia menggiring perempuan itu ke area bar. Dalam hati, lelaki itu berharap agar tidak bertemu orang lain lagi yang dikenalnya di tempat ini. Mereka mendudukkan diri di kursi tinggi. Saling berhadapan dengan sebelah lengan bertopang di meja. "Sedang apa di sini?" tanya B
Jakarta, 18 April 2018 Satu jam setelah mendarat di Soekarno-Hatta, Bram memacu mobilnya dengan kecepatan yang membuat pengguna jalan lain memaki ke arahnya. Diterjangnya rinai gerimis yang menjatuhi jalanan ibukota. Menuju ke sebuah kawasan elit di Jakarta Selatan. "Sayang, kamu belum tidur?" tanya Bram begitu Amara menjawab panggilan teleponnya. Sementara satu tangan memegang kemudi, tangannya yang lain menempelkan ponsel ke telinga. "Aku nggak bisa tidur," sambut Amara dengan suara mengantuknya yang membuat Bram menggeram. Darah lelaki itu tersirap. "Kenapa Mas lama sekali?""Kenapa? Sudah kangen? Mas hanya pergi sehari saja kamu sudah kehilangan," goda Bram seraya menyeringai. "Kamu baik-baik saja, kan?" Tawa samar Amara terdengar sebelum menjawab, "Aku baik-baik saja. Mas nggak perlu khawatir. Aku aman di sini." "Syukurlah. Mas menuju ke sana. Mau menunggu?" "Iya. Hati-hati. Nggak perlu jadi pembalap liar." Bram tersenyum mendengar istilah yang diungkapkan oleh Amara. Tidak
Jakarta, 18 April 2018 Baswara menghentikan tekanan jemarinya pada tuts piano begitu melihat sosok putranya. Jantung lelaki itu hampir terlempar keluar. Meskipun sudah tua, Baswara masih ingat betul. Tidak ada seorang pun yang datang semenjak dia terakhir kali memasuki rumah. Hampir saja lelaki itu mengira rumah yang sekian lama dihuninya berhantu. Namun, lelaki itu segera menyadari sesuatu. Yang dilihatnya itu memang benar adalah Bramastya. Putranya yang selalu menemukan cara untuk memasuki rumah meskipun terkunci di luar. Baswara mendengkus. Pasti Bram memanjat pohon mangga untuk masuk ke kamar Talitha. Anak itu memang tidak pernah berubah. Sementara itu Bram menuruni tangga sambil bersiul. Dasinya yang sudah terlepas dia lilitkan di salah satu telapak tangannya. Salah satu ujung kemeja putih yang dia kenakan berada di luar celana abu-abunya. Tiga kancing teratas kemejanya terbuka. Rambutnya sedikit berantakan. Sekilas dia melihat ayahnya berpindah ke sofa di tengah ruangan. "Am
Jakarta, 19 April 2018 Pagi itu langit mendung. Bram dan Amara sudah tiba di sebuah pemakaman yang lebih pantas disebut sebagai sebuah taman. Sejauh mereka melempar pandangan, hamparan rumput hijau terbentang. Tempat-tempat yang sudah terisi dibentuk sedikit lebih tinggi dari permukaan tanah. "Selamat pagi, Bu. Sedang apa di sana? Bram datang bersama calon menantu Ibu. Namanya Amara." Bram berbicara pada pusara di depannya. Tangannya terulur mengusap batu nisan bertuliskan nama Hapsari. Seakan-akan sang ibu bisa mendengarnya. Amara tersenyum seraya menoleh ke arah Bram yang bersimpuh di sisinya. Mata gadis itu memanas. Hatinya mengharu biru. Seorang lelaki keras kepala dan semaunya sendiri seperti Bram tanpa sungkan memperlihatkan sisi sensitifnya. Gadis itu berusaha membendung air mata. Tidak berlebihan rupanya cerita yang disampaikan Baswara kemarin malam ketika berbincang di kediaman lelaki itu. Bram sangat dekat dengan ibu dan adiknya. Dialah yang paling terpukul atas kepergian
Jakarta, 19 April 2018 Bram membawa Amara ke sebuah rumah makan khas Manado tak jauh dari lokasi pemakaman. Berhubung sedang hari kerja dan belum waktunya istirahat makan siang, tempat itu masih sepi pengunjung. Mereka duduk berhadapan di depan jendela. "Mas, aku mau menanyakan sesuatu," sergah Amara sementara menunggu pesanan mereka datang. "Mau menanyakan apa?" balas Bram "Tapi jangan marah," tambah gadis itu memasang wajah memelas. Semenjak mereka bersama, Amara menjadi lebih ekspresif. Tidak terlalu menahan diri seperti sebelumnya. Gadis itu seringkali menunjukkan sisi kanak-kanaknya. Menyeret Bram pada kenangan saat mereka pertama bertemu. Lelaki itu tidak tahu. Apakah tingkah laku yang ditunjukkan Amara, ataukah karena semata-mata Amara yang melakukannya, hatinya mudah sekali luluh. "Aku janji tidak akan marah." Bram meyakinkan. Lelaki itu menyimpan ponsel ke saku kemeja flanel biru tua yang dikenakannya. Tadinya, Bram sedang berbalas pesan dengan beberapa anggota timnya