Home / Romansa / Asmara dalam Prahara / 103. Perbincangan Ayah dan Anak

Share

103. Perbincangan Ayah dan Anak

Author: Nina Milanova
last update Last Updated: 2022-04-21 23:45:23
Jakarta, 18 April 2018

Baswara menghentikan tekanan jemarinya pada tuts piano begitu melihat sosok putranya. Jantung lelaki itu hampir terlempar keluar. Meskipun sudah tua, Baswara masih ingat betul. Tidak ada seorang pun yang datang semenjak dia terakhir kali memasuki rumah.

Hampir saja lelaki itu mengira rumah yang sekian lama dihuninya berhantu. Namun, lelaki itu segera menyadari sesuatu. Yang dilihatnya itu memang benar adalah Bramastya. Putranya yang selalu menemukan cara untuk memasuki rumah meskipun terkunci di luar.

Baswara mendengkus. Pasti Bram memanjat pohon mangga untuk masuk ke kamar Talitha. Anak itu memang tidak pernah berubah.

Sementara itu Bram menuruni tangga sambil bersiul. Dasinya yang sudah terlepas dia lilitkan di salah satu telapak tangannya. Salah satu ujung kemeja putih yang dia kenakan berada di luar celana abu-abunya. Tiga kancing teratas kemejanya terbuka. Rambutnya sedikit berantakan. Sekilas dia melihat ayahnya berpindah ke sofa di tengah ruangan.

"Am
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Nisya Kharem
perasaan sedikit sekali... lanjut penasaran..?!! berlian itu hanya kedok aslinya bahan terlarang
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Asmara dalam Prahara   104. Restu dari Ibu

    Jakarta, 19 April 2018 Pagi itu langit mendung. Bram dan Amara sudah tiba di sebuah pemakaman yang lebih pantas disebut sebagai sebuah taman. Sejauh mereka melempar pandangan, hamparan rumput hijau terbentang. Tempat-tempat yang sudah terisi dibentuk sedikit lebih tinggi dari permukaan tanah. "Selamat pagi, Bu. Sedang apa di sana? Bram datang bersama calon menantu Ibu. Namanya Amara." Bram berbicara pada pusara di depannya. Tangannya terulur mengusap batu nisan bertuliskan nama Hapsari. Seakan-akan sang ibu bisa mendengarnya. Amara tersenyum seraya menoleh ke arah Bram yang bersimpuh di sisinya. Mata gadis itu memanas. Hatinya mengharu biru. Seorang lelaki keras kepala dan semaunya sendiri seperti Bram tanpa sungkan memperlihatkan sisi sensitifnya. Gadis itu berusaha membendung air mata. Tidak berlebihan rupanya cerita yang disampaikan Baswara kemarin malam ketika berbincang di kediaman lelaki itu. Bram sangat dekat dengan ibu dan adiknya. Dialah yang paling terpukul atas kepergian

    Last Updated : 2022-04-23
  • Asmara dalam Prahara   105. Teka-teki Tentang Dirinya

    Jakarta, 19 April 2018 Bram membawa Amara ke sebuah rumah makan khas Manado tak jauh dari lokasi pemakaman. Berhubung sedang hari kerja dan belum waktunya istirahat makan siang, tempat itu masih sepi pengunjung. Mereka duduk berhadapan di depan jendela. "Mas, aku mau menanyakan sesuatu," sergah Amara sementara menunggu pesanan mereka datang. "Mau menanyakan apa?" balas Bram "Tapi jangan marah," tambah gadis itu memasang wajah memelas. Semenjak mereka bersama, Amara menjadi lebih ekspresif. Tidak terlalu menahan diri seperti sebelumnya. Gadis itu seringkali menunjukkan sisi kanak-kanaknya. Menyeret Bram pada kenangan saat mereka pertama bertemu. Lelaki itu tidak tahu. Apakah tingkah laku yang ditunjukkan Amara, ataukah karena semata-mata Amara yang melakukannya, hatinya mudah sekali luluh. "Aku janji tidak akan marah." Bram meyakinkan. Lelaki itu menyimpan ponsel ke saku kemeja flanel biru tua yang dikenakannya. Tadinya, Bram sedang berbalas pesan dengan beberapa anggota timnya

    Last Updated : 2022-04-25
  • Asmara dalam Prahara   106. Menemui Utari

    Yogyakarta, 20 April 2018 "Mama," panggil Amara seraya menghambur ke pelukan Utari. Perempuan itu menyambutnya sedikit enggan. Bukan tidak senang dengan kedatangan anaknya. Tujuan Amara pulang yang membuat perempuan itu tidak rela. "Apa kabar, Bu Utari?" sapa Bram yang berdiri di belakang Amara. Lelaki itu mengulurkan tangannya dan menjabat hangat perempuan itu. "Syukurlah. Semua baik-baik saja. Ayo masuk," ajak perempuan itu tidak bisa menyembunyikan kecanggungannya. Utari memanggil asisten rumah tangganya untuk membawa barang-barang bawaan Amara ke dalam. Kemudian, menggiring Amara dan Bram ke ruang tamu. Rumah Utari terletak di kawasan Wirobrajan. Desainnya minimalis dan tidak terlalu besar. Terdiri dari dua lantai dengan halaman yang cukup luas. Perempuan itu memberi sentuhan etnik pada ruang tamunya. Beraneka macam pajangan dari pahatan kayu mengisi setiap sudut ruangan. Sementara, foto dirinya dan juga Amara sejak bayi hingga dewasa menghiasi dindingnya. Asisten rum

    Last Updated : 2022-04-25
  • Asmara dalam Prahara   107. Masalah yang Tertinggal

    Yogyakarta, 20 April 2018 Usai makan siang bersama keluarganya, Bram kembali ke kamar hotelnya. Amara menempati kamar berbeda yang terletak di sisi lain bangunan itu. Vanty yang sudah tiba lebih dulu akan menemani gadis itu sampai besok. Vanty sudah mengatur sedemikian rupa agar mereka tidak bersama hingga saat itu tiba. "Kalian hanya punya waktu hari ini dan besok untuk menikmati masa lajang. Selanjutnya, kalian akan selalu bertemu. Jadi, nikmatilah waktu yang tersisa untuk diri kalian sendiri." Begitu alasan Vanty. Sebenarnya, ada beberapa hal yang sudah perempuan itu persiapkan. Keberadaan Bram di sekitar Amara akan sedikit mengganggu. "Rara masih sedih karena penolakan ibunya." Bram mencoba bernegosiasi. "Kamu tenang saja. Aku juga bisa menghiburnya. Dia akan melupakan kesedihannya. Semoga ibunya berubah pikiran. Masih ada satu setengah hari," ucap Vanty meyakinkan. Dia menoleh ke arah Amara yang duduk bersandar pada headboard tempat tidur sambil memeluk bantal. "Aku tahu Ma

    Last Updated : 2022-04-26
  • Asmara dalam Prahara   108. Demi Kebahagiaannya

    Yogyakarta, 21 April 2018 "Ke mana saja kamu selama ini? Sekarang bertingkah layaknya pahlawan kesiangan." Utari mendelik. Untaian maksud yang disampaikan seorang lelaki di hadapannya beberapa saat lalu membuat perempuan itu geram. Terlebih, lelaki itu adalah orang yang paling tidak dia harapkan untuk menunjukkan wajahnya. Dan, lelaki itu mengajaknya untuk datang bersama-sama pada pernikahan Amara. Kedua keponakannya memilih menyingkir dari ruangan. Menyimak kemarahan Utari hanya akan menyerap energi mereka. Hari yang harus dilalui masih panjang. Sekarang baru pukul sembilan pagi. "Aku tahu, aku bukan pahlawan, Utari. Aku seorang suami dan ayah yang tidak layak untuk kalian pandang lagi. Aku sudah mengecewakan kalian," balas lelaki itu. Dia tidak peduli lagi bila harus merendahkan diri di depan perempuan keras kepala yang telah lama dia tinggalkan itu. "Tapi setidaknya terakhir kali dalam hidupku, aku ingin menunaikan kewajibanku sebagai seorang ayah. Menikahkan putriku." Uta

    Last Updated : 2022-04-27
  • Asmara dalam Prahara   109. Lamaran Resmi

    Yogyakarta, 21 April 2018 Menjelang waktu makan malam, Vanty menggamit lengan Amara menuju sebuah ruangan di lantai dasar. Ruangan itu memang sudah disewa selama dua hari khusus untuk acara pernikahan Bram dan Amara. Beberapa kursi sudah dipersiapkan dengan hiasan bunga-bunga yang terlihat sederhana tetapi manis. Di dalam ruangan itu terdapat sebuah sekat yang terbuat dari kayu jati berukir. Di baliknya, ada beberapa meja dan kursi. Di sanalah Amara melihat lagi sosok laki-laki yang sudah lama sekali tidak ditemuinya. Lelaki berkemeja batik itu duduk bersama seorang perempuan berkebaya. Mereka tampak sedang menunggu seseorang. Lelaki itu tidak bisa menyembunyikan kegelisahannya. Telunjuknya mengetuk-ngetuk meja. Sementara, perempuan di sampingnya meremasi jemarinya sendiri. Wajahnya semringah ketika melihat Amara datang. Amara memandangi lelaki dan perempuan itu bergantian. Gadis itu merasa seperti pernah melihat lelaki yang saat ini terlihat bersih tanpa rambut-rambut menutupi wa

    Last Updated : 2022-04-29
  • Asmara dalam Prahara   110. Malam yang Menegangkan

    Jakarta, 21 April 2018 Sebuah ballroom hotel berbintang lima malam itu dipadati pengunjung. Di dalamnya, sebuah panggung digelar untuk acara peragaan busana dari Cakrawangsa Gallery. Beberapa musisi lokal yang mengusung seni musik tradisional juga diundang untuk memeriahkan acara. Selain tentunya para selebriti papan atas. Setiap tahun, mereka memang rutin mengadakan acara serupa untuk menyambut hari Kartini. Karyawan dan karyawati perusahaan pun juga banyak yang ikut ambil bagian dalam perhelatan tersebut. Mereka mengikuti berbagai perlombaan atau hanya sekadar menghadiri acara yang diadakan oleh perusahaan yang berlangsung hari itu juga. Bukan hanya di Jakarta. Namun juga di beberapa cabang di berbagai daerah. Imelda didampingi Olivia duduk bersisian di tepi panggung. Begitu pula dengan Stanley dan Raymond yang didampingi istri masing-masing. Beberapa anggota keluarga Cakrawangsa yang lain juga tampak hadir di sana. Gunawan dan Kusnadi tampak duduk mengelilingi sebuah meja bundar

    Last Updated : 2022-04-29
  • Asmara dalam Prahara   111. Hari yang Ditetapkan

    Yogyakarta, 22 April 2018 Amara memandangi bayangan di depan cermin meja rias. Nyaris tidak percaya pantulan yang dilihatnya adalah dirinya sendiri. Tubuhnya yang langsing dibalut kebaya brokat berwarna putih yang menjulur hingga ke lantai. Bawahan kain batiknya juga berwarna putih. Wajah dan rambut gadis itu dirias ala pengantin Jogja mengikuti adat keluarga Prawiradirga. Kebetulan ibunya sendiri juga memiliki darah Jogja. Roncean kuntum melati terjuntai dari gelungan rambut hingga ke dada gadis itu di salah satu sisinya. Gadis itu menoleh pada Vanty yang berdiri di belakangnya sembari mengajaknya berswafoto. Perempuan itu juga terlihat cantik dengan kebaya keemasan dan kain batik berwarna coklat. Rambutnya ditata dengan sanggul tradisional. Vanty terlihat keibuan dan lebih feminim dari biasanya. "Terima kasih, Mbak Vanty," bisik Amara sambil mengelus lengan Vanty. "Untuk apa?" Vanty mengernyit. "Mbak Vanty sudah mengurungku di kamar seharian kemarin. Sekarang, aku jadi terliha

    Last Updated : 2022-04-30

Latest chapter

  • Asmara dalam Prahara   End of The Road

    "Bila cinta memanggilmu, terbang dan ikutilah dia. Walau jalannya terjal berliku-liku. Bila sayapnya merangkulmu, pasrahlah serta menyerah. Walau pisau tersembunyi di balik sayap itu melukaimu. Sebab sebagaimana cinta memahkotaimu, demikian pula ia menyalibmu." - Kahlil Gibran - °°° Hai Para Pembaca, Akhirnya sampai juga kita di ujung perjalanan Bram dan Andra/Amara. Penulis mewakili mereka berdua mengucapkan banyak terima kasih. Terlebih bagi kalian yang sudah membuka bab berbayar, meninggalkan komen, memberikan gem, dan rate bintang 5. Apresiasi kalian menjadi motivasi terbesar bagi Penulis untuk menyelesaikan novel yang sempat mangkrak berbulan-bulan ini. Sekadar informasi, bagi kalian yang sudah melakukan subcribe Asmara dalam Prahara di bawah April 2022, silakan melakukan subscribe ulang (unsubscribe lalu subscribe kembali). Agar kalian bisa menikmati revisi termutakhir dari novel ini. Semoga amanat dan pesan diterima dengan baik. Semoga hal-hal yang kurang berkenan dan b

  • Asmara dalam Prahara   126. Selebrasi

    Jakarta, 21 Mei 2019 Malam itu, keluarga Baswara Prawiradirga menikmati makan malam di sebuah hotel berbintang lima. Mata mereka sesekali tertuju pada sebuah layar televisi di salah satu sisi ruangan. Sama seperti para pengunjung lain, mereka menyimak pidato presiden baru. Hari ini adalah acara pelantikannya. Suasana restoran cukup ramai. Seluruh meja terisi. Beberapa pengunjung tampaknya adalah bagian dari tim sukses kedua kubu. Tersirat dari percakapan-percakapan mereka. Presiden baru dan wakilnya berhasil memenangkan suara dalam persaingan ketat dengan petahana. Lelaki itu menjadi presiden termuda dalam sejarah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Usianya masih kepala empat. "Semoga dia benar-benar memenuhi janji-janji kampanyenya," gumam Baswara di sela menyantap black angus-nya. Besok, lelaki itu akan menghadiri undangan terbatas acara syukuran dari pasangan pemimpin baru itu. Bukan secara cuma-cuma Baswara menerimanya. Lelaki itu sudah mengeluarkan nominal yang tidak sedikit

  • Asmara dalam Prahara   125. Takdir Asmara

    Jakarta, 29 April 2018 Amara membuka pintu kamar perawatan dengan hati-hati. Perempuan itu baru selesai berdiskusi di depan ruangan dengan dokter yang bertanggung jawab menangani Bram. Beberapa saat lalu, dokter itu datang untuk memeriksa kondisi Bram. Di sepanjang lorong, beberapa lelaki yang tampak seperti keluarga pasien bertebaran. Adhilangga yang menempatkan mereka di sana. Beberapa juga menyebar di tiap lantai. Termasuk ruangan-ruangan yang dianggap perlu diawasi. Di antara mereka juga ada petugas dari kepolisian. Adhilangga sendiri sedang kewalahan melayani para pemburu berita di lobi rumah sakit. Kepalang basah informasi mengenai identitas Bram sebagai keponakannya terkuak ke telinga publik. Saat ini, hampir semua media berlomba-lomba mengais informasi mengenai huru-hara di Cakrawangsa Persada. Termasuk kaitannya dengan kasus tertangkapnya Narendra Pranadipa. Berbagai skandal yang bertahun-tahun lalu sempat terkubur kembali menjadi sorotan. Tanpa diminta, seorang pengawal

  • Asmara dalam Prahara   124. Puncak Prahara 2

    Jakarta, 26 April 2018 Amara baginya saat ini bukan lagi seperti putri malu yang menguncup bila disentuh. Gadis itu telah menjelma jadi bunga candu yang membuat Bram lupa diri. Lelaki itu lupa untuk perihal apa dia meminta Amara datang. Dia juga lupa dengan kondisinya. Semua rasa sakit yang menyerang seperti menemukan penyembuh. Sebelah tangan Bram mulai mengelusi leher Amara yang berdenyut-denyut di bawah sentuhannya. Kemudian turun meraba kancing baju gadis itu dan mulai melepas pengaitnya. Amara terkesiap mendengar erangan dari mulutnya sendiri. Tubuhnya meremang. Jemari Bram sudah menyelinap ke balik blouse-nya. Kesadaran seketika menamparnya. Ditangkap dan ditahannya tangan lelaki itu. Amara membuka kedua matanya. Sukma yang semula terbang kembali pulang ke tubuhnya. Gadis itu terhempas kembali ke alam nyata. Dilepaskannya ciuman Bram dan didorongnya tubuh lelaki itu agar menjauh. “Pak, sebaiknya saya kembali saja ke kantor,” ujar Amara terengah-engah sambil berpaling

  • Asmara dalam Prahara   123. Puncak Prahara 1

    Jakarta, 26 April 2018 Bram menatap nyalang ke dalam netra Kusnadi sambil mengangkat kedua tangannya di depan dada. Perlahan lelaki itu bangkit dari duduknya. Namun, dengan cepat tangan kirinya menangkap barrel pistol dan mengarahkannya ke atas. Kusnadi panik mendapat perlawanan yang tiba-tiba. Lelaki itu menekan pelatuk. Sebuah peluru melesat. Benda itu menembus sebuah foto keluarga dalam bingkai yang tergantung di dinding. Sementara itu, sebuah pukulan dari tangan kanan Bram menyerang ulu hatinya. Kusnadi terempas ke sofa. Tubuhnya bertumpu dengan siku kiri. Lelaki itu meringis sembari memegangi perutnya. Bram berhasil merebut pistol dari tangan lelaki itu. Sekarang, ujung senjata itu berbalik tertuju ke arah Kusnadi. Tidak ingin dikalahkan begitu saja, Kusnadi mengayun kaki kanannya yang terjulur. Tendangannya tepat mengenai pergelangan tangan Bram. Pistol di tangan Bram terlepas dan terlempar hingga jatuh ke lantai. Mereka berdua tidak mungkin menggapainya tanpa beranjak dar

  • Asmara dalam Prahara   122. Hantu dari Masa Lalu

    Jakarta, 26 April 2018"Jadi kamu yang bernama Bramastya Abimanyu," sambut lelaki berusia pertengahan enam puluhan itu ketika Bram masuk. Dari kursi kerjanya dia menunjuk sofa di sisi kanan ruangan. "Duduklah."Lelaki itu bisa saja bersikap ramah. Namun, kegelapan yang menyelimuti dirinya terlihat jelas di mata Bram. Di belakangnya, langit Jakarta tertutup awan tebal. "Terima kasih," sahut Bram. Dia mendudukkan diri di sisi kiri sebuah sofa panjang. "Saya sudah datang sesuai permintaan Anda. Anda sudah boleh melepaskan yang lain.""Kamu agak tidak sabaran rupanya. Baiklah." Lelaki itu terkekeh kemudian mengangkat gagang telepon di sudut mejanya. Ditekannya sebuah nomor ekstensi.Dari layar monitor yang terpasang di salah satu ruangan, Bram dapat mengawasi apa yang terjadi di ruang meeting. Tangkapan layar di lantai area procurement masih tampak sama seperti sebelumnya. Seorang anak buah dari orang di hadapannya ini masih mondar-mandir di sana. Padahal, sebenarnya orang itu sudah berha

  • Asmara dalam Prahara   121. Menyerahkan Diri (?)

    Jakarta, 26 April 2018 Bram menemui Adhilangga yang memarkir mobilnya di tepi jalan. Berjarak dua gedung dari Cakrawangsa Persada. Adhilangga mempertemukan Bram dengan seorang rekannya dari kepolisian yang sedang bertugas. Setelah berdiskusi tentang ini dan itu dan mempersiapkan segala sesuatu, Bram bergegas beranjak dari sana. "Jangan bertindak gegabah dan mudah terkecoh. Yang dia inginkan adalah dirimu. Soal para sandera biar polisi yang menangani," pesan Adhilangga. Lelaki itu duduk di dalam kabin bagian tengah X-Trail nya. "Kumpulkan sebanyak-banyaknya petunjuk. Kedatanganmu tidak boleh sia-sia." “Aku usahakan yang terbaik, Om,” jawab Bram. Dari sang paman Bram mendapat informasi bahwa puluhan polisi menyamar sebagai karyawan menyebar ke setiap lantai. Begitu juga dengan enam orang anak buah Adhilangga yang menyusup di antara mereka. Berbaur bersama karyawan dan orang-orang suruhan Cakrawangsa yang juga berada di sana. Salah seorang di antaranya menyelinap ke ruang pemanta

  • Asmara dalam Prahara   120. (Bukan) Detik Terakhir (21+)

    Jakarta, 26 April 2018 Mereka bangun saat langit masih gelap. Bercinta sekali lagi sebelum beranjak ke kamar mandi lalu memulai aktivitas. Bram bersiap menuju Cakrawangsa Persada untuk menyelesaikan beberapa urusan. Amara mengatur piring berisi pasta dan salad sayuran untuk mereka sarapan di meja. Tidak ketinggalan secangkir kopi hitam yang disukai Bram. Lelaki itu mengamati sang istri dari cermin dengan dua sudut bibir tertarik simetris. Bram sedang memasang kancing bagian depan kemeja biru tuanya yang dipadupadankan dengan celana panjang hitam. Mulai hari ini, lelaki itu membiarkan Amara menyiapkan pakaiannya. Amara juga sudah rapi dengan summer dress berwarna hitam bermotif bunga mawar yang jatuh di atas lutut. Rambut ikalnya dibiarkan terurai melewati garis leher gaunnya. "Sayang, tolong bantu Mas sebentar," pinta Bram dengan suara rendah yang terdengar seksi dan berwibawa. Dia melangkah mendekati Amara dengan dasi yang masih dikalungkan di bagian belakang leher. Amara menole

  • Asmara dalam Prahara   119. Pillow Talk (21+)

    Jakarta, 25 April 2018 "Apa kabar, Cah Ayu?" Bram mengecup puncak kepala Amara sambil melingkarkan kedua lengan di sekeliling perempuan itu. "Badanku rasanya remuk, Pak Bram," sahut Amara yang menjadikan bahu Bram sebagai bantal. "Besok tidak ada yang menyiapkan sarapanmu." Bram tertawa kecil sambil menegakkan diri lalu membawa Amara berpindah ke tempat tidur. Ditariknya selimut yang sudah tidak keruan menjadi korban pergumulan mereka. Kemudian menyelimuti mereka berdua dengan kain berbahan flannel itu. "Kamu tenang saja. Coffee shop di bawah buka 24 jam." "Aku merasa seperti istri yang nggak berguna." "Jangan bicara seperti itu. Kamu bisa mengurusi makan Mas kapan-kapan kalau tidak capek. Besok kamu istirahat saja karena Mas akan pulang agak malam." Bram membelai rambut Amara yang sudah kembali rebah di dadanya dengan jemari. "Memang Mas mau ke mana?" tanya perempuan itu. Ditelusurinya barisan rambut yang tumbuh di dada Bram. "Mas harus menyelesaikan serah terima." "Kenapa ha

DMCA.com Protection Status