Yogyakarta, 21 April 2018 Menjelang waktu makan malam, Vanty menggamit lengan Amara menuju sebuah ruangan di lantai dasar. Ruangan itu memang sudah disewa selama dua hari khusus untuk acara pernikahan Bram dan Amara. Beberapa kursi sudah dipersiapkan dengan hiasan bunga-bunga yang terlihat sederhana tetapi manis. Di dalam ruangan itu terdapat sebuah sekat yang terbuat dari kayu jati berukir. Di baliknya, ada beberapa meja dan kursi. Di sanalah Amara melihat lagi sosok laki-laki yang sudah lama sekali tidak ditemuinya. Lelaki berkemeja batik itu duduk bersama seorang perempuan berkebaya. Mereka tampak sedang menunggu seseorang. Lelaki itu tidak bisa menyembunyikan kegelisahannya. Telunjuknya mengetuk-ngetuk meja. Sementara, perempuan di sampingnya meremasi jemarinya sendiri. Wajahnya semringah ketika melihat Amara datang. Amara memandangi lelaki dan perempuan itu bergantian. Gadis itu merasa seperti pernah melihat lelaki yang saat ini terlihat bersih tanpa rambut-rambut menutupi wa
Jakarta, 21 April 2018 Sebuah ballroom hotel berbintang lima malam itu dipadati pengunjung. Di dalamnya, sebuah panggung digelar untuk acara peragaan busana dari Cakrawangsa Gallery. Beberapa musisi lokal yang mengusung seni musik tradisional juga diundang untuk memeriahkan acara. Selain tentunya para selebriti papan atas. Setiap tahun, mereka memang rutin mengadakan acara serupa untuk menyambut hari Kartini. Karyawan dan karyawati perusahaan pun juga banyak yang ikut ambil bagian dalam perhelatan tersebut. Mereka mengikuti berbagai perlombaan atau hanya sekadar menghadiri acara yang diadakan oleh perusahaan yang berlangsung hari itu juga. Bukan hanya di Jakarta. Namun juga di beberapa cabang di berbagai daerah. Imelda didampingi Olivia duduk bersisian di tepi panggung. Begitu pula dengan Stanley dan Raymond yang didampingi istri masing-masing. Beberapa anggota keluarga Cakrawangsa yang lain juga tampak hadir di sana. Gunawan dan Kusnadi tampak duduk mengelilingi sebuah meja bundar
Yogyakarta, 22 April 2018 Amara memandangi bayangan di depan cermin meja rias. Nyaris tidak percaya pantulan yang dilihatnya adalah dirinya sendiri. Tubuhnya yang langsing dibalut kebaya brokat berwarna putih yang menjulur hingga ke lantai. Bawahan kain batiknya juga berwarna putih. Wajah dan rambut gadis itu dirias ala pengantin Jogja mengikuti adat keluarga Prawiradirga. Kebetulan ibunya sendiri juga memiliki darah Jogja. Roncean kuntum melati terjuntai dari gelungan rambut hingga ke dada gadis itu di salah satu sisinya. Gadis itu menoleh pada Vanty yang berdiri di belakangnya sembari mengajaknya berswafoto. Perempuan itu juga terlihat cantik dengan kebaya keemasan dan kain batik berwarna coklat. Rambutnya ditata dengan sanggul tradisional. Vanty terlihat keibuan dan lebih feminim dari biasanya. "Terima kasih, Mbak Vanty," bisik Amara sambil mengelus lengan Vanty. "Untuk apa?" Vanty mengernyit. "Mbak Vanty sudah mengurungku di kamar seharian kemarin. Sekarang, aku jadi terliha
Yogyakarta, 22 April 2018 Mereka memang pernah bersama di apartemen Bram selama beberapa hari. Mereka juga beberapa kali berciuman dengan penuh gairah. Ciuman-ciuman itu menjadi candu yang memabukkan bagi Bram. Namun, selama ini Bram berusaha menahan diri. Lelaki itu tidak bertindak lebih. Demi Amara, Bram bersabar menunggu saat yang tepat. Meskipun itu membuatnya sangat tersiksa. Malam ini, tidak ada lagi penghalang. Bram tidak perlu izin dari siapa pun. Tidak perlu lagi berusaha mengendalikan diri. Amara adalah miliknya. Sepenuhnya. Akan tetapi, tampaknya lelaki itu harus mengeluarkan simpanan kesabarannya lagi. Pasalnya, Amara sudah hampir setengah jam mengurung diri di kamar mandi. Bram mencoba mengerti. Pasti Amara dihantui rasa canggung. Pertama kali dalam hidupnya, gadis itu akan menyerahkan diri seutuhnya pada seorang laki-laki. Bram sendiri merasakan hal yang sama. Ini memang bukan pengalaman pertamanya. Akan tetapi, tentu saja akan menjadi yang teristimewa. Karena Bram
Yogyakarta, 22 April 2018 Bram melangkah menuju ranjang pengantin mereka. Kelopak-kelopak mawar yang bertaburan di lantai terinjak telapak kakinya. Dengan hati-hati, direbahkannya tubuh Amara ke atas tempat tidur berukuran king size berlapis seprai berwarna putih. Taburan kelopak mawar merah tersebar di permukaannya. Disingkirkannya dua ekor angsa dari handuk yang semula berdiri saling berhadapan berbentuk hati di tengah-tengah. "Mas mengusir angsa-angsanya," lirih Amara. Menyesali sepasang hewan dekorasi yang sekarang teronggok di lantai. Perempuan itu sekadar bermaksud menetralisir ketegangan yang meliputi dirinya. "Salah mereka sendiri tidak mau menyingkir," sahut Bram sekenanya. Siapa yang ambil pusing dengan angsa-angsa itu? Bram menempatkan diri di atas Amara. Kedua tangan dan lututnya bertumpu pada tempat tidur dan mengungkung perempuan itu. Amara tertawa kecil kemudian kembali menoleh menatap Bram. Tanpa berkata-kata lagi, lelaki itu meredam tawa istrinya dengan sebuah p
Yogyakarta, 22 April 2018 Amara mengirup udara banyak-banyak. Mengisi pasokan udara pada paru-parunya. Detak jantungnya masih tak beraturan. Tubuhnya sudah lunglai tetapi malam ini belum selesai. Gelenyar yang melanda belum juga reda. Bram merangkak naik dan mengurungnya. Lelaki itu mendaratkan ciuman lembut di keningnya, matanya, hidungnya, pipinya, lalu bibirnya. Tangan Amara menyelinap ke balik baju yang dikenakan Bram. Ditelusurinya punggung lelaki itu dengan jemari sambil saling memagut. Seakan mereka hendak saling menelan satu sama lain. Dengan tak sabar, perempuan itu menaikkan dan melucuti kaos hitam di tubuh Bram. Amara terbakar gairah sampai tidak peduli lagi pada apa pun. Dia hanya ingin merasakan Bram di dalam tubuhnya. Lelaki itu beringsut turun dari tempat tidur. Menanggalkan semua yang masih menempel di tubuhnya. Amara menggigit bibir bawahnya menyadari Bram sudah siap memasukinya. Tiap jengkal kulit perempuan itu meremang penuh antisipasi. Amara bertanya-tanya bil
Yogyakarta, 22 April 2018 Menjelang tidur, Utari memandangi lagi foto-foto pernikahan Amara di galeri ponselnya. Wajah perempuan itu dihiasi senyum semringah. Setelah berhasil melewati pertentangan batin yang luar biasa. Juga setelah meminta pendapat dari seorang sesepuh terdekat, perempuan itu memutuskan untuk menyudahi permusuhan yang ditujukannya pada Bram dan keluarganya. Melihat wajah Amara dengan senyum lepasnya sepanjang acara sejak pagi hingga sore tadi, Utari yakin sang anak benar-benar bahagia. Bukankah sebagai ibu seharusnya dia juga turut bahagia untuk putri satu-satunya itu? Apalagi melihat bagaimana Bram memperlakukan Amara, perempuan itu yakin anaknya tidak akan dibiarkan menderita oleh lelaki itu. Kepada Amara, Bram selalu bersikap lembut dan berhati-hati. Seolah-olah Amara adalah sebuah vas bunga yang mudah pecah. Perhatian yang ditunjukkannya tulus tanpa dibuat-buat. Keluarga Prawiradirga pun menyambut Amara dengan tangan terbuka. Ayah dan ibu mertua juga para ipa
Jakarta, 23 April 2018 "Aku pasti salah lihat, kan, Olivia?" Tangan Imel gemetar saat menyorongkan ponselnya pada sang asisten pribadi. Hari masih terbilang pagi. Langit berwarna biru cerah terlihat jelas dari jendela. Akan tetapi, suasana hati Imel sudah dirusak oleh sebuah kiriman pada grup percakapan perusahaan. Anggota grup percakapan itu dimulai dari level manajer ke atas. Untuk karyawan di bawahnya ada group yang dibuat sesuai divisi dan relasi kerja masing-masing. Olivia menyambut benda pipih berwarna emas itu dari tangan Imel. Meskipun terkejut, perempuan itu tidak histeris. Dia sudah mengetahui sebelumnya. "Oh, memang siapa gadis yang dia nikahi itu?" Olivia bersikap seolah-olah tidak terlalu peduli dan tidak tahu menahu. Padahal, dia sudah pernah menyaksikan di depan mata kedekatan Bram dengan Amara saat mereka bertemu di lift. Imel jatuh terduduk di kursinya sambil menahan kepala. Seluruh tulangnya seperti tercerabut. Pantas saja Bram tidak datang ke kantor hari ini.
"Bila cinta memanggilmu, terbang dan ikutilah dia. Walau jalannya terjal berliku-liku. Bila sayapnya merangkulmu, pasrahlah serta menyerah. Walau pisau tersembunyi di balik sayap itu melukaimu. Sebab sebagaimana cinta memahkotaimu, demikian pula ia menyalibmu." - Kahlil Gibran - °°° Hai Para Pembaca, Akhirnya sampai juga kita di ujung perjalanan Bram dan Andra/Amara. Penulis mewakili mereka berdua mengucapkan banyak terima kasih. Terlebih bagi kalian yang sudah membuka bab berbayar, meninggalkan komen, memberikan gem, dan rate bintang 5. Apresiasi kalian menjadi motivasi terbesar bagi Penulis untuk menyelesaikan novel yang sempat mangkrak berbulan-bulan ini. Sekadar informasi, bagi kalian yang sudah melakukan subcribe Asmara dalam Prahara di bawah April 2022, silakan melakukan subscribe ulang (unsubscribe lalu subscribe kembali). Agar kalian bisa menikmati revisi termutakhir dari novel ini. Semoga amanat dan pesan diterima dengan baik. Semoga hal-hal yang kurang berkenan dan b
Jakarta, 21 Mei 2019 Malam itu, keluarga Baswara Prawiradirga menikmati makan malam di sebuah hotel berbintang lima. Mata mereka sesekali tertuju pada sebuah layar televisi di salah satu sisi ruangan. Sama seperti para pengunjung lain, mereka menyimak pidato presiden baru. Hari ini adalah acara pelantikannya. Suasana restoran cukup ramai. Seluruh meja terisi. Beberapa pengunjung tampaknya adalah bagian dari tim sukses kedua kubu. Tersirat dari percakapan-percakapan mereka. Presiden baru dan wakilnya berhasil memenangkan suara dalam persaingan ketat dengan petahana. Lelaki itu menjadi presiden termuda dalam sejarah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Usianya masih kepala empat. "Semoga dia benar-benar memenuhi janji-janji kampanyenya," gumam Baswara di sela menyantap black angus-nya. Besok, lelaki itu akan menghadiri undangan terbatas acara syukuran dari pasangan pemimpin baru itu. Bukan secara cuma-cuma Baswara menerimanya. Lelaki itu sudah mengeluarkan nominal yang tidak sedikit
Jakarta, 29 April 2018 Amara membuka pintu kamar perawatan dengan hati-hati. Perempuan itu baru selesai berdiskusi di depan ruangan dengan dokter yang bertanggung jawab menangani Bram. Beberapa saat lalu, dokter itu datang untuk memeriksa kondisi Bram. Di sepanjang lorong, beberapa lelaki yang tampak seperti keluarga pasien bertebaran. Adhilangga yang menempatkan mereka di sana. Beberapa juga menyebar di tiap lantai. Termasuk ruangan-ruangan yang dianggap perlu diawasi. Di antara mereka juga ada petugas dari kepolisian. Adhilangga sendiri sedang kewalahan melayani para pemburu berita di lobi rumah sakit. Kepalang basah informasi mengenai identitas Bram sebagai keponakannya terkuak ke telinga publik. Saat ini, hampir semua media berlomba-lomba mengais informasi mengenai huru-hara di Cakrawangsa Persada. Termasuk kaitannya dengan kasus tertangkapnya Narendra Pranadipa. Berbagai skandal yang bertahun-tahun lalu sempat terkubur kembali menjadi sorotan. Tanpa diminta, seorang pengawal
Jakarta, 26 April 2018 Amara baginya saat ini bukan lagi seperti putri malu yang menguncup bila disentuh. Gadis itu telah menjelma jadi bunga candu yang membuat Bram lupa diri. Lelaki itu lupa untuk perihal apa dia meminta Amara datang. Dia juga lupa dengan kondisinya. Semua rasa sakit yang menyerang seperti menemukan penyembuh. Sebelah tangan Bram mulai mengelusi leher Amara yang berdenyut-denyut di bawah sentuhannya. Kemudian turun meraba kancing baju gadis itu dan mulai melepas pengaitnya. Amara terkesiap mendengar erangan dari mulutnya sendiri. Tubuhnya meremang. Jemari Bram sudah menyelinap ke balik blouse-nya. Kesadaran seketika menamparnya. Ditangkap dan ditahannya tangan lelaki itu. Amara membuka kedua matanya. Sukma yang semula terbang kembali pulang ke tubuhnya. Gadis itu terhempas kembali ke alam nyata. Dilepaskannya ciuman Bram dan didorongnya tubuh lelaki itu agar menjauh. “Pak, sebaiknya saya kembali saja ke kantor,” ujar Amara terengah-engah sambil berpaling
Jakarta, 26 April 2018 Bram menatap nyalang ke dalam netra Kusnadi sambil mengangkat kedua tangannya di depan dada. Perlahan lelaki itu bangkit dari duduknya. Namun, dengan cepat tangan kirinya menangkap barrel pistol dan mengarahkannya ke atas. Kusnadi panik mendapat perlawanan yang tiba-tiba. Lelaki itu menekan pelatuk. Sebuah peluru melesat. Benda itu menembus sebuah foto keluarga dalam bingkai yang tergantung di dinding. Sementara itu, sebuah pukulan dari tangan kanan Bram menyerang ulu hatinya. Kusnadi terempas ke sofa. Tubuhnya bertumpu dengan siku kiri. Lelaki itu meringis sembari memegangi perutnya. Bram berhasil merebut pistol dari tangan lelaki itu. Sekarang, ujung senjata itu berbalik tertuju ke arah Kusnadi. Tidak ingin dikalahkan begitu saja, Kusnadi mengayun kaki kanannya yang terjulur. Tendangannya tepat mengenai pergelangan tangan Bram. Pistol di tangan Bram terlepas dan terlempar hingga jatuh ke lantai. Mereka berdua tidak mungkin menggapainya tanpa beranjak dar
Jakarta, 26 April 2018"Jadi kamu yang bernama Bramastya Abimanyu," sambut lelaki berusia pertengahan enam puluhan itu ketika Bram masuk. Dari kursi kerjanya dia menunjuk sofa di sisi kanan ruangan. "Duduklah."Lelaki itu bisa saja bersikap ramah. Namun, kegelapan yang menyelimuti dirinya terlihat jelas di mata Bram. Di belakangnya, langit Jakarta tertutup awan tebal. "Terima kasih," sahut Bram. Dia mendudukkan diri di sisi kiri sebuah sofa panjang. "Saya sudah datang sesuai permintaan Anda. Anda sudah boleh melepaskan yang lain.""Kamu agak tidak sabaran rupanya. Baiklah." Lelaki itu terkekeh kemudian mengangkat gagang telepon di sudut mejanya. Ditekannya sebuah nomor ekstensi.Dari layar monitor yang terpasang di salah satu ruangan, Bram dapat mengawasi apa yang terjadi di ruang meeting. Tangkapan layar di lantai area procurement masih tampak sama seperti sebelumnya. Seorang anak buah dari orang di hadapannya ini masih mondar-mandir di sana. Padahal, sebenarnya orang itu sudah berha
Jakarta, 26 April 2018 Bram menemui Adhilangga yang memarkir mobilnya di tepi jalan. Berjarak dua gedung dari Cakrawangsa Persada. Adhilangga mempertemukan Bram dengan seorang rekannya dari kepolisian yang sedang bertugas. Setelah berdiskusi tentang ini dan itu dan mempersiapkan segala sesuatu, Bram bergegas beranjak dari sana. "Jangan bertindak gegabah dan mudah terkecoh. Yang dia inginkan adalah dirimu. Soal para sandera biar polisi yang menangani," pesan Adhilangga. Lelaki itu duduk di dalam kabin bagian tengah X-Trail nya. "Kumpulkan sebanyak-banyaknya petunjuk. Kedatanganmu tidak boleh sia-sia." “Aku usahakan yang terbaik, Om,” jawab Bram. Dari sang paman Bram mendapat informasi bahwa puluhan polisi menyamar sebagai karyawan menyebar ke setiap lantai. Begitu juga dengan enam orang anak buah Adhilangga yang menyusup di antara mereka. Berbaur bersama karyawan dan orang-orang suruhan Cakrawangsa yang juga berada di sana. Salah seorang di antaranya menyelinap ke ruang pemanta
Jakarta, 26 April 2018 Mereka bangun saat langit masih gelap. Bercinta sekali lagi sebelum beranjak ke kamar mandi lalu memulai aktivitas. Bram bersiap menuju Cakrawangsa Persada untuk menyelesaikan beberapa urusan. Amara mengatur piring berisi pasta dan salad sayuran untuk mereka sarapan di meja. Tidak ketinggalan secangkir kopi hitam yang disukai Bram. Lelaki itu mengamati sang istri dari cermin dengan dua sudut bibir tertarik simetris. Bram sedang memasang kancing bagian depan kemeja biru tuanya yang dipadupadankan dengan celana panjang hitam. Mulai hari ini, lelaki itu membiarkan Amara menyiapkan pakaiannya. Amara juga sudah rapi dengan summer dress berwarna hitam bermotif bunga mawar yang jatuh di atas lutut. Rambut ikalnya dibiarkan terurai melewati garis leher gaunnya. "Sayang, tolong bantu Mas sebentar," pinta Bram dengan suara rendah yang terdengar seksi dan berwibawa. Dia melangkah mendekati Amara dengan dasi yang masih dikalungkan di bagian belakang leher. Amara menole
Jakarta, 25 April 2018 "Apa kabar, Cah Ayu?" Bram mengecup puncak kepala Amara sambil melingkarkan kedua lengan di sekeliling perempuan itu. "Badanku rasanya remuk, Pak Bram," sahut Amara yang menjadikan bahu Bram sebagai bantal. "Besok tidak ada yang menyiapkan sarapanmu." Bram tertawa kecil sambil menegakkan diri lalu membawa Amara berpindah ke tempat tidur. Ditariknya selimut yang sudah tidak keruan menjadi korban pergumulan mereka. Kemudian menyelimuti mereka berdua dengan kain berbahan flannel itu. "Kamu tenang saja. Coffee shop di bawah buka 24 jam." "Aku merasa seperti istri yang nggak berguna." "Jangan bicara seperti itu. Kamu bisa mengurusi makan Mas kapan-kapan kalau tidak capek. Besok kamu istirahat saja karena Mas akan pulang agak malam." Bram membelai rambut Amara yang sudah kembali rebah di dadanya dengan jemari. "Memang Mas mau ke mana?" tanya perempuan itu. Ditelusurinya barisan rambut yang tumbuh di dada Bram. "Mas harus menyelesaikan serah terima." "Kenapa ha