Home / Romansa / Asmara dalam Prahara / Chapter 1 - Chapter 10

All Chapters of Asmara dalam Prahara: Chapter 1 - Chapter 10

128 Chapters

Prolog

Jakarta, 26 April 2018 “Pak, sebaiknya saya kembali saja ke kantor,” ujar Andra terengah-engah sambil berpaling. Perlahan gadis itu membebaskan diri dari Bram yang masih melingkarkan lengan di tubuhnya. Lelaki itu mengambil jarak sejengkal. Memandangi rona merah yang tersirap di pipi Andra. Membelai rambut gadis itu yang tergerai di atas sofa. Hanya dua hari tidak bertemu, rindunya sudah semenggelegak ini. Jadi, bukannya menuruti permintaan gadis itu, Bram malah berbisik, “I miss you, Ra.” Kedua pipi gadis itu kian bersemu. Bram tidak berdusta ketika mengatakannya. Andra bergeming. Tidak berani menatap ke dalam sepasang mata kelamnya. Debar di dada kian menggila. Gadis itu ingin menghilang saja. Dia tidak tahu apa yang harus diucapkan. Tidak punya ide sama sekali. Andra bahkan berharap ini semua hanya mimpi. Seandainya, Andra punya cukup keberanian, seharusnya dia membalas, “I miss you, too.” Akan tetapi, Andra tidak sanggup. Rasa yang dipendamnya selama ini terlalu besar sampai m
last updateLast Updated : 2021-09-19
Read more

1. Interview

Jakarta, 2 Februari 2017 Andra tiba di lobi pukul 08.05. Gadis itu masih punya kurang lebih setengah jam untuk mengatur napas dan bersantai. Menyiapkan diri menghadapi interview dengan Procurement Manager yang akan menjadi atasannya nanti. Info dari Vanty, bakal atasannya ini sangar bukan main. Bujangan berusia 37 tahun, lulusan S2 dari sebuah perguruan tinggi di Amerika. Lelaki itu tidak suka kalau anak buahnya tidak datang tepat waktu. Vanty adalah salah satu teman yang dikenal Andra dari sebuah komunitas menulis online. Mungkin ini yang dinamakan jodoh. Dari perempuan itu Andra memperoleh informasi lowongan pekerjaan yang sedang dibuka oleh Cakrawangsa Persada Group. Vanty sendiri bekerja di bagian keuangan di kantor Surabaya. Andra sudah mengikuti tes tertulis dan wawancara dengan HRD seminggu lalu. Hasilnya sangat memuaskan. Oleh sebab itu, perusahaan kembali menghubunginya untuk proses interview dengan user. "Kamu yang tabah ya dengerin omongan dia. Kayaknya, dia memang udah
last updateLast Updated : 2021-09-19
Read more

2. Tidak Ada Kandidat Lain?

Jakarta, 2 Februari 2017 "Kamu yakin dengan keputusan merekrut anak itu, Bram?" cecar Alena begitu dipersilakan duduk oleh Bram. Saat ini, mereka sedang berada di sebuah ruang kaca di pojok area procurement. "Pengalaman kerjanya kurang mumpuni." Usai menemani Bram melakukan wawancara, perempuan itu kembali menemuinya. Alena masih tidak habis pikir dengan pilihan yang diambil atasannya itu. Kandidat yang disetujui Bram menurutnya masih terlalu hijau. Perempuan itu jadi menduga kalau Bram merekrutnya karena alasan pribadi. Memang dari luar sikap Bram tampak seperti biasanya. Dingin dan sinis. Namun, kandidat yang mereka temui kurang dari satu jam lalu itu punya daya tarik. Tidak terlalu cantik memang, tetapi berkesan. Gadis itu masih muda, polos, dan seperti ada sesuatu dalam dirinya. Jangan sampai performa tim jadi tidak karuan hanya karena sang manajer sedang jatuh cinta. "Kalau saya sudah memutuskan artinya saya yakin, Alena," tegas Bram sambil menyilangkan kedua tangan di d
last updateLast Updated : 2021-09-19
Read more

3. Untuk Sebuah Alasan

Jakarta, 2 Februari 2017 Untung saja Andra punya sejumlah tagihan untuk dibayar. Termasuk cicilan rumah yang ditempati ibunya. Jika tidak, gadis itu akan berpikir seribu kali menerima kesempatan bekerja di perusahaan itu. Calon atasannya saja jutek begitu. Sikapnya seakan tidak menghargai. Seperti mau tak mau, terpaksa, atau apalah, menerima Andra bergabung dalam perusahaan. Belum lagi perempuan yang mendampinginya seakan mencoba mematahkan harapan gadis itu. Semua ini harus Andra jalani akibat peristiwa empat bulan lalu. Gadis itu terkena PHK dari sebuah perusahaan distributor mesin kopi. Perusahaan pertama yang merekrutnya setelah lulus kuliah. Uang tabungan Andra selama tiga tahun hampir menipis saat ini. Untuk menyambung hidup, dia mengirimkan tulisan-tulisannya ke berbagai media. Honor yang diterimanya tidak seberapa. Gadis itu tidak berani pulang ke rumah. Andra tidak tega kalau harus menambah beban ibunya. Biarlah sang ibu merasa bahagia mengisi masa tua dengan mengurus tok
last updateLast Updated : 2021-09-19
Read more

4. Hidup untuk Bekerja

Jakarta, 7 Februari 2018 Jam di layar laptop sudah menunjukkan pukul 20.10. Semua penghuni ruang procurement sudah pulang. Hanya tersisa Andra, seorang import staff, dan bos workaholic yang masih betah berdiam di dalam ruang kaca. Andra bermaksud memasukkan barang-barangnya ke dalam tas. Ada telepon genggam, kacamata anti radiasi, dan kotak bekal berisi kudapan yang sudah tandas. Namun, telepon di mejanya tiba-tiba berdering. “Rara, bisa ke sini sebentar? Sekarang,” perintah suara di seberang sana. Siapa lagi yang memanggilnya "Rara" kalau bukan si bos workaholic? Padahal, gadis itu sudah menuliskan di formulir data karyawan bahwa nama panggilannya adalah Andra. Tanpa menunggu jawaban darinya, lelaki itu meletakkan gagang telepon. Andra tahu, dia tidak punya pilihan selain segera menampakkan diri di depannya. Jangan bilang ada tugas tambahan lagi. Mau pulang jam berapa? Andra mengeluh dalam hati. Akan tetapi, diraihnya note book dan pulpen sebelum beranjak ke samping kubikelny
last updateLast Updated : 2021-09-19
Read more

5. Kapan Menyusul?

Jakarta, 19 Januari 2013 Malam itu di sebuah ballroom gedung di kawasan Jakarta Selatan. Harris Setiawan menghampiri Bram. Bram berdiri sendirian di samping meja minuman. Lelaki itu tengah menyesap segelas infuse water. Bram bukan enggan bersosialisasi dengan para kerabat dan saudara. Dia hanya sedang tidak berminat untuk berbasa-basi. Terlebih, sang ayah tampak kurang berkenan dengan kehadirannya. Padahal, Bram datang hanya demi Talitha, adiknya semata wayang. Gadis itu sedang berpamitan ke rest room untuk membenahi dandanannya. "Hei, Bram! Apa kabar? Sendirian aja. Mana calonnya? Kapan nih nyusul Satria?" sapanya sambil menjabat tangan Bram. Istri lelaki itu hanya tersenyum di sampingnya. Wajahnya teduh dan ayu. Dia mengenakan kebaya berwarna biru elektrik dengan jarik dan selendang batik hitam yang tampak serasi. Rautnya mengingatkan Bram pada sang ibu. Perempuan yang tidak layak untuk ditipu. "Hei, Om Harris. Apa kabar? Nyusul apa nih, Om?" Bram balik bertanya sebelum menyesap
last updateLast Updated : 2021-09-21
Read more

6. Roller Coaster

Jakarta, 7 Februari 2018 "Langsung pulang, Ra. Jangan keluyuran. Sudah malam." Andra terhenyak mendengar suara parau yang menyapa pendengarannya. Gadis itu menoleh ke arah si empunya. Lelaki itu sedang menatap lurus ke pintu lift. Mereka hanya berdua saja di dalam. Berdiri bersisian dengan jarak sehasta. Kebetulan, seluruh karyawan lantai 7 memang sudah membubarkan diri. Termasuk staff yang tadinya masih tersisa di procurement. Begitu pula dengan karyawan di lantai lain. Dalam hati, gadis itu bertanya-tanya. Apa gerangan yang ada di benak lelaki itu? Mengapa dia jadi perhatian begini? Bukankah tadi, Bram menahan Andra di ruangannya? Seperti tidak mau tahu bahwa gadis itu sudah penat. "Iya, Pak. Saya juga sudah mengantuk," jawab Andra tanpa tedeng aling-aling. Bram malah terkekeh. Matanya terpaku pada Tag Heuer chronograph dengan steel strap yang melingkar di pergelangan tangannya. Pukul 20.50. "Baru jam segini sudah mengantuk." Lagi-lagi, Andra menengok. Dalam hati, gadis itu m
last updateLast Updated : 2021-09-26
Read more

7. For a Family Portrait

Jakarta, 19 Januari 2013 “Mas Bram! Ayo ganti seragam dulu. Nanti kan mau foto keluarga.” Bram tersentak ketika seorang gadis memanggilnya. Serta merta lelaki itu meletakkan gelas di tangannya. Hampir saja isinya tumpah mengenai setelan jas hitam yang dia pakai. Tanpa memedulikan kerepotannya, sang gadis menggamit lengan Bram. Menggiring lelaki itu ke ruang ganti. “Jangan seret-seret Mas kaya gini, dong, Dek,” protes Bram. “Biarin!” "Nanti kamu dikira pacaran sama om-om, lho!" Gadis itu tergelak mendegar gurauan Bram. "Nggak apa-apa. Siapa suruh sembarangan mengambil kesimpulan?" Gadis yang ternyata adalah Talitha itu memperlambat langkahnya. Senyum cerianya mengembang pada wajah-wajah yang menyapa. Malam itu, Talitha mengenakan kebaya kutu baru berwarna keemasan dan kain batik perpaduan warna coklat tua dan krem. Rambut gadis itu ditata dengan sanggul Jawa klasik. Sama seperti para wanita lain yang merupakan keluarga inti dari pihak kedua mempelai. Mereka berjalan
last updateLast Updated : 2021-09-30
Read more

8. Waktu Hujan Malam Itu

Jakarta, 7 Februari 2018 Terjangan jarum-jarum bening dari langit baru saja mereda. Namun, genangan yang tersisa di sepanjang permukaan aspal menjadikan arus lalu lintas sedikit merayap. Pandangan yang terhalau embun membuat kendaraan harus bergerak perlahan. Menjaga jarak aman dengan kendaraan lain. Sementara, bunyi klakson bersahutan meningkahi udara malam yang lebih dingin dari biasanya. Dari belakang kemudi, Bram mengatur temperatur pendingin. Ekor matanya menangkap Andra bersidekap di sampingnya. Sesekali, gadis itu menguap. Ada iba menyelinap ke relung pria itu. Blouse yang dikenakan Andra sedikit basah akibat menerobos hujan di parkiran tadi. Bram khawatir kalau dia jatuh sakit. “Kamu ngantuk, Ra?” Bram mengakhiri kebisuan di antara mereka sejak hampir setengah jam lalu. “Ngantuk, Pak,” sahut Andra singkat. Dalam hati gadis itu bergumam, “Pasti dia mau menyindir lagi.” Suara seorang reporter laki-laki menghilang dari radio. Digantikan dengan Lovesong dari The Cure. D
last updateLast Updated : 2021-10-06
Read more

9. Menghakimi dan Dihakimi

Jakarta, 6 Agustus 2001 "Kalau kamu bukan anakku, sudah kukirim kamu ke penjara!" hardik Baswara Prawiradirga. Pria itu berdiri sambil menodongkan telunjuk pada seorang laki-laki muda di hadapannya. Pemuda berusia 21 tahun itu duduk bersandar di salah satu sisi sofa panjang dari kulit berwarna coklat tua. Rambutnya ikal tergerai sedikit melewati bahu. Cuping hidung mancungnya dihiasi sebentuk anting perak. Sebagaimana telinga kirinya.Dia menatap Baswara tanpa ekspresi. Membuat bara di dada orang tua itu kian meletup-letup. "Sabar, Mas," bujuk Adhilangga Prawiradirga, sang adik, seraya menepuk-nepuk bahunya. "Kita selesaikan masalah ini baik-baik." "Bagaimana aku bisa sabar? Anak ini harus diberi pelajaran!" Baswara mengepalkan tangan kanannya. "Tenang, Mas! Tenang! Jangan sampai semua tambah runyam!" Adhil membimbing sang kakak agar kembali ke tempat duduknya: sebuah kursi besar yang terbuat dari kulit berwarna hitam. Kemudian, lelaki berusia awal 40 an itu berpaling kepada kepon
last updateLast Updated : 2021-10-10
Read more
PREV
123456
...
13
DMCA.com Protection Status