Home / Romansa / Asmara dalam Prahara / 6. Roller Coaster

Share

6. Roller Coaster

Author: Nina Milanova
last update Last Updated: 2021-09-26 16:38:56

Jakarta, 7 Februari 2018

"Langsung pulang, Ra. Jangan keluyuran. Sudah malam."

Andra terhenyak mendengar suara parau yang menyapa pendengarannya. Gadis itu menoleh ke arah si empunya. Lelaki itu sedang menatap lurus ke pintu lift.

Mereka hanya berdua saja di dalam. Berdiri bersisian dengan jarak sehasta.

Kebetulan, seluruh karyawan lantai 7 memang sudah membubarkan diri. Termasuk staff yang tadinya masih tersisa di procurement. Begitu pula dengan karyawan di lantai lain.

Dalam hati, gadis itu bertanya-tanya. Apa gerangan yang ada di benak lelaki itu? Mengapa dia jadi perhatian begini? Bukankah tadi, Bram menahan Andra di ruangannya? Seperti tidak mau tahu bahwa gadis itu sudah penat.

"Iya, Pak. Saya juga sudah mengantuk," jawab Andra tanpa tedeng aling-aling.

Bram malah terkekeh. Matanya terpaku pada Tag Heuer chronograph dengan steel strap yang melingkar di pergelangan tangannya. Pukul 20.50. "Baru jam segini sudah mengantuk."

Lagi-lagi, Andra menengok. Dalam hati, gadis itu mendongkol. Apa maunya bos menyebalkan ini? Rasanya, baru beberapa saat lalu dia membuatku besar kepala. Sekarang, mulai menyindir lagi.

Bram bergeming dengan gesture-nya semula. Lelaki itu memasukkan sebelah tangan ke saku celananya. Sementara, tangan yang satu lagi menjinjing tas laptop.

Andra menghela napas, lalu balas tertawa kecil. "Nggak tahu, nih, Pak. Belakangan ini energi saya cepat habis."

Ucapannya membuat Bram tertohok dan berpaling. Didapatinya Andra sedang menunduk. Menatap layar telepon genggamnya.

Dalam hati Bram bertanya-tanya. Apakah gadis itu berkata jujur atau sedang menyindir. Memang, sudah dua bulan ini, Bram melimpahkan tambahan pekerjaan pada Andra. Toh, dia juga sudah mengajukan kenaikan gaji untuknya. Ketika Andra menilik rekening akhir bulan nanti, hatinya pasti berbunga-bunga.

Bram tahu, dia dikenal sebagai atasan yang semena-mena. Seakan senang merampas seluruh waktu para anak buahnya. Namun, itu semua sepadan dengan kompensasi yang diberikan. Lagipula, bukan keinginan Bram menyusahkan mereka. Kebutuhan perusahaan yang mengharuskan begitu.

"Makanya, kalau pagi olah raga. Jangan tidur lagi sehabis subuh," tukas Bram. Tepat ketika lift mencapai loby.

"Iya, Pak." Andra menyahut singkat. Gadis itu sudah kehabisan motivasi untuk mendebat Bram.

Pintu lift terbuka. Bram mempersilakan Andra keluar lebih dulu. Lelaki itu segera menyusulnya.

Lobi masih dipenuhi oleh puluhan orang. Sebagian duduk di sofa yang tersedia. Sebagian berdiri di beberapa area. Sebagian menunggu hujan reda. Sebagian menunggu jemputan.

Bram tidak sadar kalau kota ini dilanda hujan sejak satu jam lalu. Lelaki itu terlalu larut dalam pekerjaannya.

"Kamu pulang naik apa?" Pertanyaan Bram menghentikan langkah Andra. Tadinya, gadis itu bermaksud menuju pelataran.

"Sudah pesan taksi, Pak."

"Batalkan saja!"

Mulut Andra menganga mendengar perintah lelaki itu. Sekarang mau apa lagi makhluk tampan ini? "Tapi, Pak...?"

"Kamu mau sampai kos jam berapa kalau menunggu taksi datang?"

"Nggak sampai satu jam biasanya."

Beberapa pasang mata mengawasi mereka. Menatap iri pada kedekatan gadis berponi dan bertubuh mungil pada Bram. Siapa pun tahu lelaki itu adalah salah satu incaran para karyawati lajang di kantor ini.

"Coba saya lihat!" Bram mengulurkan tangan. Meminta gawai yang dipegang Andra.

"Nggak perlu, Pak. Lima belas menit lagi taksinya datang."

Andra jadi tidak nyaman. Baru kali ini ada orang yang memaksa ingin melihat isi ponselnya. Terlebih, orang itu bukanlah keluarga atau pasangannya.

"Saya mau bicara dengan driver-nya." Bram merendahkan nada suaranya.

Setelah berpikir sejenak, Andra memberikan telepon genggamnya. Meskipun jengah, Andra juga penasaran. Ingin tahu apa yang bakal disampaikan oleh lelaki itu.

"Pak Bram mau minta driver-nya jadi pembalap?" tebak Andra.

Bram tidak menyahut. Lelaki itu langsung menghubungi si pengemudi melalui aplikasi.

"Maaf, saya batalkan, ya, Pak. Sudah ada yang menjemput saya," tukas Bram begitu tersambung. Tak lupa, lelaki itu menekan menu "cancel" setelah percakapan usai.

Andra kembali dibuat terperangah dengan ulah lelaki itu. Seenaknya saja membatalkan taksi online yang dipesannya. Sudah ada yang menjemput katanya. Jemputan dari alam gaib?!

"Lho, Pak, kenapa di-cancel? Saya pulangnya gimana?" protes Andra sengit.

Sekarang, gadis itu sudah tidak peduli lagi dengan posisi mereka sebagai bos dan anak buahnya. Andra tidak terima dengan apa yang dilakukan Bram. Apa lelaki itu tahu kalau Andra susah payah memperoleh taksi? Sudah empat driver menolaknya.

Bram tidak menggubris omelan Andra. Dikembalikannya gawai gadis itu sambil berkata, "Jangan panik begitu, dong, Ra. Kamu pulang bersama saya."

Tanpa berbasa-basi lagi, Bram langsung beranjak menuju pintu keluar. Lelaki itu tidak bisa memikirkan cara lain untuk memastikan Andra pulang bersamanya. Andra pasti menolak dengan berbagai alasan. Bram sudah letih untuk berbantah-bantahan hari ini.

"Ya, Tuhan. Masih berapa banyak cobaan yang harus hamba lalui hari ini?" Andra mengadu dalam hati.

Dengan lesu, gadis itu mengekori Bram menuju tempat parkir di halaman gedung. Mirip seorang anak yang baru saja dimarahi sang ayah karena mendapat nilai buruk di sekolah.

Related chapters

  • Asmara dalam Prahara   7. For a Family Portrait

    Jakarta, 19 Januari 2013 “Mas Bram! Ayo ganti seragam dulu. Nanti kan mau foto keluarga.” Bram tersentak ketika seorang gadis memanggilnya. Serta merta lelaki itu meletakkan gelas di tangannya. Hampir saja isinya tumpah mengenai setelan jas hitam yang dia pakai. Tanpa memedulikan kerepotannya, sang gadis menggamit lengan Bram. Menggiring lelaki itu ke ruang ganti. “Jangan seret-seret Mas kaya gini, dong, Dek,” protes Bram. “Biarin!” "Nanti kamu dikira pacaran sama om-om, lho!" Gadis itu tergelak mendegar gurauan Bram. "Nggak apa-apa. Siapa suruh sembarangan mengambil kesimpulan?" Gadis yang ternyata adalah Talitha itu memperlambat langkahnya. Senyum cerianya mengembang pada wajah-wajah yang menyapa. Malam itu, Talitha mengenakan kebaya kutu baru berwarna keemasan dan kain batik perpaduan warna coklat tua dan krem. Rambut gadis itu ditata dengan sanggul Jawa klasik. Sama seperti para wanita lain yang merupakan keluarga inti dari pihak kedua mempelai. Mereka berjalan

    Last Updated : 2021-09-30
  • Asmara dalam Prahara   8. Waktu Hujan Malam Itu

    Jakarta, 7 Februari 2018 Terjangan jarum-jarum bening dari langit baru saja mereda. Namun, genangan yang tersisa di sepanjang permukaan aspal menjadikan arus lalu lintas sedikit merayap. Pandangan yang terhalau embun membuat kendaraan harus bergerak perlahan. Menjaga jarak aman dengan kendaraan lain. Sementara, bunyi klakson bersahutan meningkahi udara malam yang lebih dingin dari biasanya. Dari belakang kemudi, Bram mengatur temperatur pendingin. Ekor matanya menangkap Andra bersidekap di sampingnya. Sesekali, gadis itu menguap. Ada iba menyelinap ke relung pria itu. Blouse yang dikenakan Andra sedikit basah akibat menerobos hujan di parkiran tadi. Bram khawatir kalau dia jatuh sakit. “Kamu ngantuk, Ra?” Bram mengakhiri kebisuan di antara mereka sejak hampir setengah jam lalu. “Ngantuk, Pak,” sahut Andra singkat. Dalam hati gadis itu bergumam, “Pasti dia mau menyindir lagi.” Suara seorang reporter laki-laki menghilang dari radio. Digantikan dengan Lovesong dari The Cure. D

    Last Updated : 2021-10-06
  • Asmara dalam Prahara   9. Menghakimi dan Dihakimi

    Jakarta, 6 Agustus 2001 "Kalau kamu bukan anakku, sudah kukirim kamu ke penjara!" hardik Baswara Prawiradirga. Pria itu berdiri sambil menodongkan telunjuk pada seorang laki-laki muda di hadapannya. Pemuda berusia 21 tahun itu duduk bersandar di salah satu sisi sofa panjang dari kulit berwarna coklat tua. Rambutnya ikal tergerai sedikit melewati bahu. Cuping hidung mancungnya dihiasi sebentuk anting perak. Sebagaimana telinga kirinya.Dia menatap Baswara tanpa ekspresi. Membuat bara di dada orang tua itu kian meletup-letup. "Sabar, Mas," bujuk Adhilangga Prawiradirga, sang adik, seraya menepuk-nepuk bahunya. "Kita selesaikan masalah ini baik-baik." "Bagaimana aku bisa sabar? Anak ini harus diberi pelajaran!" Baswara mengepalkan tangan kanannya. "Tenang, Mas! Tenang! Jangan sampai semua tambah runyam!" Adhil membimbing sang kakak agar kembali ke tempat duduknya: sebuah kursi besar yang terbuat dari kulit berwarna hitam. Kemudian, lelaki berusia awal 40 an itu berpaling kepada kepon

    Last Updated : 2021-10-10
  • Asmara dalam Prahara   10. Sang Provokator

    Jakarta, 8 Februari 2018 “Hai, Ndra. Bram ada di ruangan?” sapa seorang perempuan. Aroma bunga-bungaan bercampur kayu-kayuan seketika memenuhi udara. Begitu Andra mengangkat kepala dari layar laptop, matanya bersirobok dengan Imelda Cakrawangsa. Perempuan itu tahu-tahu sudah berdiri di depan mejanya. Pagi itu, Imel mengenakan slip dress satin berwarna marun yang jatuh di atas lutut. Bagian atas gaunnya cukup rendah sehingga menampakkan belahan dadanya. Sebuah kalung emas dengan liontin bertatahkan berlian menghias leher jenjangnya. Blazer hitam menyelamatkan penampilannya agar lebih pantas. Di usianya yang sudah kepala empat, Imel terlihat memesona. Kulitnya halus terawat. Putih seperti porselen. Imel terlihat beberapa tahun lebih muda dari usia sebenarnya. Ketika masih duduk di bangku perguruan tinggi, perempuan itu sempat menjadi model iklan produk kosmetik. Wajahnya pernah menghiasi halaman media cetak dan layar televisi. Perusahaan kosmetik itu tidak salah memilihnya. “Ada, B

    Last Updated : 2021-10-14
  • Asmara dalam Prahara   11. Antara Darah dan Air

    Jakarta, 6 Agustus 2001 "Bram, maaf kalau menurutmu Om ikut campur. Apa tidak sebaiknya kamu jelaskan alasanmu? Om tahu kamu tidak akan melakukan sesuatu tanpa ada penyebabnya." Adhil bertutur hati-hati. Adhilangga bermaksud melerai pertikaian sang kakak dengan putranya. Sebisa mungkin pria berambut cepak itu ingin berada di posisi netral. "Aku yakin Om Adhil pasti sudah tahu alasannya," sahut Bram. Pemuda itu bertahan dengan pendiriannya. Sama seperti sang ayah, sejak awal memasuki ruangan, wajahnya terlihat suram. "Jadi, aku tidak perlu menghamburkan perkataanku." Baswara tercenung menyimak pembicaraan adik dan anak laki-lakinya. Sepertinya, Adhil sudah mengetahui apa yang dia disembunyikan selama ini. Keluarga besar Prawiradirga sudah mengendus sepak terjangnya. Baswara tidak menyadarinya. Lelaki itu sudah bermain api. Sebelum almarhumah Hapsari divonis terkena leukemia. Adhil sendiri tidak menyangka sang kakak bisa berbuat seperti itu. Yang diketahuinya, rumah tangga Baswara

    Last Updated : 2021-10-15
  • Asmara dalam Prahara   12. Rasa Yang Menakutkan

    Jakarta, 8 Februari 2018 Setelah menyelesaikan urusannya dengan Bram, Imel meninggalkan ruang procurement. Perempuan itu menyunggingkan senyum sekilas ketika melewati meja Andra. Gadis itu membalas. Dengan senyum terpaksa. Sementara itu, tangannya mengangkat telepon yang berdering. “Ra, sudah selesai?” Suara Bram menyapa begitu gagang telepon menempel di telinga Andra. “Sudah 70%, Pak. Pak Bram perlu sekarang?” Andra menyahut sambil menggeser-geser mouse di tangannya. “Selesaikan setelah makan siang saja. Kamu kerjakan yang lain dulu. Saya ada meeting di luar siang ini. Sore baru kembali.” Tenggorokan Andra seperti tercekat. Jantungnya seakan mencelos. Sungguh aneh. Seharusnya dia senang Bram memundurkan tenggat waktu pekerjaannya. Gadis itu malah kecewa. “Maksudnya, meeting dengan Bu Imel?” tanya Andra pada diri sendiri. Ah, mengingat nama itu seakan mengisap habis semua semangatnya. “Baik, Pak. Oh, iya. Kontrak baru pengadaan kain untuk pabrik Surabaya belum ditandatangani.”

    Last Updated : 2021-10-19
  • Asmara dalam Prahara   13. Desas-desus

    Jakarta, 8 Februari 2018 Sepasang mata mengawasi ketika Andra beranjak menuju ruangan Bram. Tuh benar, kan? Pasti di antara mereka ada apa-apa. Cara Bram memperlakukan gadis itu begitu berbeda. Beberapa kali Alena mendengar dengan telinganya sendiri. Betapa mesranya nada suara Bram setiap kali berbicara dengan Andra. Seperti berbicara dengan seorang kekasih. Bertolak belakang ketika berbicara dengannya dan para kolega yang lain. Tegas dan menjaga jarak. Meskipun, sudah lebih ramah dari sebelumnya. Perempuan itu kerap menerka-nerka. Apakah Andra benar-benar polos atau berlagak bodoh? Bagaimana bisa gadis itu tidak menyadari perhatian Bram padanya? Pasti dia hanya berpura-pura. Andra selalu mengingkari apa yang tampak jelas di mata Alena. Juga beberapa kawan-kawannya yang lain. Memaksa gadis itu agar berterus terang adalah perbuatan sia-sia. Dia akan bungkam seribu bahasa. “Nggak ada yang istimewa, Mbak. Semua diperlakukan sama. Aku juga dimarahi kalau salah,” sanggah Andra. Sore

    Last Updated : 2021-10-21
  • Asmara dalam Prahara   14. Nostalgia

    Jakarta, 8 Februari 2018 Bram menyusuri tempat parkir sebuah hotel bintang lima. Dia melewatkan beberapa panggilan dari Imel di telepon genggamnya. Perempuan itu pasti sudah menunggunya. Hotel itu adalah salah satu klien terbesar dari Cakrawangsa Persada Group. Semua set tempat tidur, juga sofa, meja, serta kursi di setiap ruangan, dipasok dari Cakrawangsa Furniture. Sementara tirai, bedding set, taplak meja, dan karpet, disuplai oleh Cakrawangsa Textile. Sebenarnya, Bram enggan jika harus bersinggungan dalam acara bernuansa non formal dengan Imel. Sebisa mungkin, Bram ingin berada sejauh-jauhnya dari perempuan itu. Bukan hanya karena Imel telah bersuami. Lelaki itu juga tidak ingin membuka jalan bagi Imel untuk kembali masuk ke hidupnya. Hubungan mereka saat ini hanyalah sebatas rekan kerja. Sebagai pemilik perusahaan dan pegawainya. Tidak lebih dari itu. Apalagi, rumah tangga Imel sedang dihantam badai. Bram tidak ingin terlibat di dalam pusarannya. Tujuan Bram menginjakkan

    Last Updated : 2021-10-23

Latest chapter

  • Asmara dalam Prahara   End of The Road

    "Bila cinta memanggilmu, terbang dan ikutilah dia. Walau jalannya terjal berliku-liku. Bila sayapnya merangkulmu, pasrahlah serta menyerah. Walau pisau tersembunyi di balik sayap itu melukaimu. Sebab sebagaimana cinta memahkotaimu, demikian pula ia menyalibmu." - Kahlil Gibran - °°° Hai Para Pembaca, Akhirnya sampai juga kita di ujung perjalanan Bram dan Andra/Amara. Penulis mewakili mereka berdua mengucapkan banyak terima kasih. Terlebih bagi kalian yang sudah membuka bab berbayar, meninggalkan komen, memberikan gem, dan rate bintang 5. Apresiasi kalian menjadi motivasi terbesar bagi Penulis untuk menyelesaikan novel yang sempat mangkrak berbulan-bulan ini. Sekadar informasi, bagi kalian yang sudah melakukan subcribe Asmara dalam Prahara di bawah April 2022, silakan melakukan subscribe ulang (unsubscribe lalu subscribe kembali). Agar kalian bisa menikmati revisi termutakhir dari novel ini. Semoga amanat dan pesan diterima dengan baik. Semoga hal-hal yang kurang berkenan dan b

  • Asmara dalam Prahara   126. Selebrasi

    Jakarta, 21 Mei 2019 Malam itu, keluarga Baswara Prawiradirga menikmati makan malam di sebuah hotel berbintang lima. Mata mereka sesekali tertuju pada sebuah layar televisi di salah satu sisi ruangan. Sama seperti para pengunjung lain, mereka menyimak pidato presiden baru. Hari ini adalah acara pelantikannya. Suasana restoran cukup ramai. Seluruh meja terisi. Beberapa pengunjung tampaknya adalah bagian dari tim sukses kedua kubu. Tersirat dari percakapan-percakapan mereka. Presiden baru dan wakilnya berhasil memenangkan suara dalam persaingan ketat dengan petahana. Lelaki itu menjadi presiden termuda dalam sejarah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Usianya masih kepala empat. "Semoga dia benar-benar memenuhi janji-janji kampanyenya," gumam Baswara di sela menyantap black angus-nya. Besok, lelaki itu akan menghadiri undangan terbatas acara syukuran dari pasangan pemimpin baru itu. Bukan secara cuma-cuma Baswara menerimanya. Lelaki itu sudah mengeluarkan nominal yang tidak sedikit

  • Asmara dalam Prahara   125. Takdir Asmara

    Jakarta, 29 April 2018 Amara membuka pintu kamar perawatan dengan hati-hati. Perempuan itu baru selesai berdiskusi di depan ruangan dengan dokter yang bertanggung jawab menangani Bram. Beberapa saat lalu, dokter itu datang untuk memeriksa kondisi Bram. Di sepanjang lorong, beberapa lelaki yang tampak seperti keluarga pasien bertebaran. Adhilangga yang menempatkan mereka di sana. Beberapa juga menyebar di tiap lantai. Termasuk ruangan-ruangan yang dianggap perlu diawasi. Di antara mereka juga ada petugas dari kepolisian. Adhilangga sendiri sedang kewalahan melayani para pemburu berita di lobi rumah sakit. Kepalang basah informasi mengenai identitas Bram sebagai keponakannya terkuak ke telinga publik. Saat ini, hampir semua media berlomba-lomba mengais informasi mengenai huru-hara di Cakrawangsa Persada. Termasuk kaitannya dengan kasus tertangkapnya Narendra Pranadipa. Berbagai skandal yang bertahun-tahun lalu sempat terkubur kembali menjadi sorotan. Tanpa diminta, seorang pengawal

  • Asmara dalam Prahara   124. Puncak Prahara 2

    Jakarta, 26 April 2018 Amara baginya saat ini bukan lagi seperti putri malu yang menguncup bila disentuh. Gadis itu telah menjelma jadi bunga candu yang membuat Bram lupa diri. Lelaki itu lupa untuk perihal apa dia meminta Amara datang. Dia juga lupa dengan kondisinya. Semua rasa sakit yang menyerang seperti menemukan penyembuh. Sebelah tangan Bram mulai mengelusi leher Amara yang berdenyut-denyut di bawah sentuhannya. Kemudian turun meraba kancing baju gadis itu dan mulai melepas pengaitnya. Amara terkesiap mendengar erangan dari mulutnya sendiri. Tubuhnya meremang. Jemari Bram sudah menyelinap ke balik blouse-nya. Kesadaran seketika menamparnya. Ditangkap dan ditahannya tangan lelaki itu. Amara membuka kedua matanya. Sukma yang semula terbang kembali pulang ke tubuhnya. Gadis itu terhempas kembali ke alam nyata. Dilepaskannya ciuman Bram dan didorongnya tubuh lelaki itu agar menjauh. “Pak, sebaiknya saya kembali saja ke kantor,” ujar Amara terengah-engah sambil berpaling

  • Asmara dalam Prahara   123. Puncak Prahara 1

    Jakarta, 26 April 2018 Bram menatap nyalang ke dalam netra Kusnadi sambil mengangkat kedua tangannya di depan dada. Perlahan lelaki itu bangkit dari duduknya. Namun, dengan cepat tangan kirinya menangkap barrel pistol dan mengarahkannya ke atas. Kusnadi panik mendapat perlawanan yang tiba-tiba. Lelaki itu menekan pelatuk. Sebuah peluru melesat. Benda itu menembus sebuah foto keluarga dalam bingkai yang tergantung di dinding. Sementara itu, sebuah pukulan dari tangan kanan Bram menyerang ulu hatinya. Kusnadi terempas ke sofa. Tubuhnya bertumpu dengan siku kiri. Lelaki itu meringis sembari memegangi perutnya. Bram berhasil merebut pistol dari tangan lelaki itu. Sekarang, ujung senjata itu berbalik tertuju ke arah Kusnadi. Tidak ingin dikalahkan begitu saja, Kusnadi mengayun kaki kanannya yang terjulur. Tendangannya tepat mengenai pergelangan tangan Bram. Pistol di tangan Bram terlepas dan terlempar hingga jatuh ke lantai. Mereka berdua tidak mungkin menggapainya tanpa beranjak dar

  • Asmara dalam Prahara   122. Hantu dari Masa Lalu

    Jakarta, 26 April 2018"Jadi kamu yang bernama Bramastya Abimanyu," sambut lelaki berusia pertengahan enam puluhan itu ketika Bram masuk. Dari kursi kerjanya dia menunjuk sofa di sisi kanan ruangan. "Duduklah."Lelaki itu bisa saja bersikap ramah. Namun, kegelapan yang menyelimuti dirinya terlihat jelas di mata Bram. Di belakangnya, langit Jakarta tertutup awan tebal. "Terima kasih," sahut Bram. Dia mendudukkan diri di sisi kiri sebuah sofa panjang. "Saya sudah datang sesuai permintaan Anda. Anda sudah boleh melepaskan yang lain.""Kamu agak tidak sabaran rupanya. Baiklah." Lelaki itu terkekeh kemudian mengangkat gagang telepon di sudut mejanya. Ditekannya sebuah nomor ekstensi.Dari layar monitor yang terpasang di salah satu ruangan, Bram dapat mengawasi apa yang terjadi di ruang meeting. Tangkapan layar di lantai area procurement masih tampak sama seperti sebelumnya. Seorang anak buah dari orang di hadapannya ini masih mondar-mandir di sana. Padahal, sebenarnya orang itu sudah berha

  • Asmara dalam Prahara   121. Menyerahkan Diri (?)

    Jakarta, 26 April 2018 Bram menemui Adhilangga yang memarkir mobilnya di tepi jalan. Berjarak dua gedung dari Cakrawangsa Persada. Adhilangga mempertemukan Bram dengan seorang rekannya dari kepolisian yang sedang bertugas. Setelah berdiskusi tentang ini dan itu dan mempersiapkan segala sesuatu, Bram bergegas beranjak dari sana. "Jangan bertindak gegabah dan mudah terkecoh. Yang dia inginkan adalah dirimu. Soal para sandera biar polisi yang menangani," pesan Adhilangga. Lelaki itu duduk di dalam kabin bagian tengah X-Trail nya. "Kumpulkan sebanyak-banyaknya petunjuk. Kedatanganmu tidak boleh sia-sia." “Aku usahakan yang terbaik, Om,” jawab Bram. Dari sang paman Bram mendapat informasi bahwa puluhan polisi menyamar sebagai karyawan menyebar ke setiap lantai. Begitu juga dengan enam orang anak buah Adhilangga yang menyusup di antara mereka. Berbaur bersama karyawan dan orang-orang suruhan Cakrawangsa yang juga berada di sana. Salah seorang di antaranya menyelinap ke ruang pemanta

  • Asmara dalam Prahara   120. (Bukan) Detik Terakhir (21+)

    Jakarta, 26 April 2018 Mereka bangun saat langit masih gelap. Bercinta sekali lagi sebelum beranjak ke kamar mandi lalu memulai aktivitas. Bram bersiap menuju Cakrawangsa Persada untuk menyelesaikan beberapa urusan. Amara mengatur piring berisi pasta dan salad sayuran untuk mereka sarapan di meja. Tidak ketinggalan secangkir kopi hitam yang disukai Bram. Lelaki itu mengamati sang istri dari cermin dengan dua sudut bibir tertarik simetris. Bram sedang memasang kancing bagian depan kemeja biru tuanya yang dipadupadankan dengan celana panjang hitam. Mulai hari ini, lelaki itu membiarkan Amara menyiapkan pakaiannya. Amara juga sudah rapi dengan summer dress berwarna hitam bermotif bunga mawar yang jatuh di atas lutut. Rambut ikalnya dibiarkan terurai melewati garis leher gaunnya. "Sayang, tolong bantu Mas sebentar," pinta Bram dengan suara rendah yang terdengar seksi dan berwibawa. Dia melangkah mendekati Amara dengan dasi yang masih dikalungkan di bagian belakang leher. Amara menole

  • Asmara dalam Prahara   119. Pillow Talk (21+)

    Jakarta, 25 April 2018 "Apa kabar, Cah Ayu?" Bram mengecup puncak kepala Amara sambil melingkarkan kedua lengan di sekeliling perempuan itu. "Badanku rasanya remuk, Pak Bram," sahut Amara yang menjadikan bahu Bram sebagai bantal. "Besok tidak ada yang menyiapkan sarapanmu." Bram tertawa kecil sambil menegakkan diri lalu membawa Amara berpindah ke tempat tidur. Ditariknya selimut yang sudah tidak keruan menjadi korban pergumulan mereka. Kemudian menyelimuti mereka berdua dengan kain berbahan flannel itu. "Kamu tenang saja. Coffee shop di bawah buka 24 jam." "Aku merasa seperti istri yang nggak berguna." "Jangan bicara seperti itu. Kamu bisa mengurusi makan Mas kapan-kapan kalau tidak capek. Besok kamu istirahat saja karena Mas akan pulang agak malam." Bram membelai rambut Amara yang sudah kembali rebah di dadanya dengan jemari. "Memang Mas mau ke mana?" tanya perempuan itu. Ditelusurinya barisan rambut yang tumbuh di dada Bram. "Mas harus menyelesaikan serah terima." "Kenapa ha

DMCA.com Protection Status