Yogyakarta, 20 April 2018 "Mama," panggil Amara seraya menghambur ke pelukan Utari. Perempuan itu menyambutnya sedikit enggan. Bukan tidak senang dengan kedatangan anaknya. Tujuan Amara pulang yang membuat perempuan itu tidak rela. "Apa kabar, Bu Utari?" sapa Bram yang berdiri di belakang Amara. Lelaki itu mengulurkan tangannya dan menjabat hangat perempuan itu. "Syukurlah. Semua baik-baik saja. Ayo masuk," ajak perempuan itu tidak bisa menyembunyikan kecanggungannya. Utari memanggil asisten rumah tangganya untuk membawa barang-barang bawaan Amara ke dalam. Kemudian, menggiring Amara dan Bram ke ruang tamu. Rumah Utari terletak di kawasan Wirobrajan. Desainnya minimalis dan tidak terlalu besar. Terdiri dari dua lantai dengan halaman yang cukup luas. Perempuan itu memberi sentuhan etnik pada ruang tamunya. Beraneka macam pajangan dari pahatan kayu mengisi setiap sudut ruangan. Sementara, foto dirinya dan juga Amara sejak bayi hingga dewasa menghiasi dindingnya. Asisten rum
Yogyakarta, 20 April 2018 Usai makan siang bersama keluarganya, Bram kembali ke kamar hotelnya. Amara menempati kamar berbeda yang terletak di sisi lain bangunan itu. Vanty yang sudah tiba lebih dulu akan menemani gadis itu sampai besok. Vanty sudah mengatur sedemikian rupa agar mereka tidak bersama hingga saat itu tiba. "Kalian hanya punya waktu hari ini dan besok untuk menikmati masa lajang. Selanjutnya, kalian akan selalu bertemu. Jadi, nikmatilah waktu yang tersisa untuk diri kalian sendiri." Begitu alasan Vanty. Sebenarnya, ada beberapa hal yang sudah perempuan itu persiapkan. Keberadaan Bram di sekitar Amara akan sedikit mengganggu. "Rara masih sedih karena penolakan ibunya." Bram mencoba bernegosiasi. "Kamu tenang saja. Aku juga bisa menghiburnya. Dia akan melupakan kesedihannya. Semoga ibunya berubah pikiran. Masih ada satu setengah hari," ucap Vanty meyakinkan. Dia menoleh ke arah Amara yang duduk bersandar pada headboard tempat tidur sambil memeluk bantal. "Aku tahu Ma
Yogyakarta, 21 April 2018 "Ke mana saja kamu selama ini? Sekarang bertingkah layaknya pahlawan kesiangan." Utari mendelik. Untaian maksud yang disampaikan seorang lelaki di hadapannya beberapa saat lalu membuat perempuan itu geram. Terlebih, lelaki itu adalah orang yang paling tidak dia harapkan untuk menunjukkan wajahnya. Dan, lelaki itu mengajaknya untuk datang bersama-sama pada pernikahan Amara. Kedua keponakannya memilih menyingkir dari ruangan. Menyimak kemarahan Utari hanya akan menyerap energi mereka. Hari yang harus dilalui masih panjang. Sekarang baru pukul sembilan pagi. "Aku tahu, aku bukan pahlawan, Utari. Aku seorang suami dan ayah yang tidak layak untuk kalian pandang lagi. Aku sudah mengecewakan kalian," balas lelaki itu. Dia tidak peduli lagi bila harus merendahkan diri di depan perempuan keras kepala yang telah lama dia tinggalkan itu. "Tapi setidaknya terakhir kali dalam hidupku, aku ingin menunaikan kewajibanku sebagai seorang ayah. Menikahkan putriku." Uta
Yogyakarta, 21 April 2018 Menjelang waktu makan malam, Vanty menggamit lengan Amara menuju sebuah ruangan di lantai dasar. Ruangan itu memang sudah disewa selama dua hari khusus untuk acara pernikahan Bram dan Amara. Beberapa kursi sudah dipersiapkan dengan hiasan bunga-bunga yang terlihat sederhana tetapi manis. Di dalam ruangan itu terdapat sebuah sekat yang terbuat dari kayu jati berukir. Di baliknya, ada beberapa meja dan kursi. Di sanalah Amara melihat lagi sosok laki-laki yang sudah lama sekali tidak ditemuinya. Lelaki berkemeja batik itu duduk bersama seorang perempuan berkebaya. Mereka tampak sedang menunggu seseorang. Lelaki itu tidak bisa menyembunyikan kegelisahannya. Telunjuknya mengetuk-ngetuk meja. Sementara, perempuan di sampingnya meremasi jemarinya sendiri. Wajahnya semringah ketika melihat Amara datang. Amara memandangi lelaki dan perempuan itu bergantian. Gadis itu merasa seperti pernah melihat lelaki yang saat ini terlihat bersih tanpa rambut-rambut menutupi wa
Jakarta, 21 April 2018 Sebuah ballroom hotel berbintang lima malam itu dipadati pengunjung. Di dalamnya, sebuah panggung digelar untuk acara peragaan busana dari Cakrawangsa Gallery. Beberapa musisi lokal yang mengusung seni musik tradisional juga diundang untuk memeriahkan acara. Selain tentunya para selebriti papan atas. Setiap tahun, mereka memang rutin mengadakan acara serupa untuk menyambut hari Kartini. Karyawan dan karyawati perusahaan pun juga banyak yang ikut ambil bagian dalam perhelatan tersebut. Mereka mengikuti berbagai perlombaan atau hanya sekadar menghadiri acara yang diadakan oleh perusahaan yang berlangsung hari itu juga. Bukan hanya di Jakarta. Namun juga di beberapa cabang di berbagai daerah. Imelda didampingi Olivia duduk bersisian di tepi panggung. Begitu pula dengan Stanley dan Raymond yang didampingi istri masing-masing. Beberapa anggota keluarga Cakrawangsa yang lain juga tampak hadir di sana. Gunawan dan Kusnadi tampak duduk mengelilingi sebuah meja bundar
Yogyakarta, 22 April 2018 Amara memandangi bayangan di depan cermin meja rias. Nyaris tidak percaya pantulan yang dilihatnya adalah dirinya sendiri. Tubuhnya yang langsing dibalut kebaya brokat berwarna putih yang menjulur hingga ke lantai. Bawahan kain batiknya juga berwarna putih. Wajah dan rambut gadis itu dirias ala pengantin Jogja mengikuti adat keluarga Prawiradirga. Kebetulan ibunya sendiri juga memiliki darah Jogja. Roncean kuntum melati terjuntai dari gelungan rambut hingga ke dada gadis itu di salah satu sisinya. Gadis itu menoleh pada Vanty yang berdiri di belakangnya sembari mengajaknya berswafoto. Perempuan itu juga terlihat cantik dengan kebaya keemasan dan kain batik berwarna coklat. Rambutnya ditata dengan sanggul tradisional. Vanty terlihat keibuan dan lebih feminim dari biasanya. "Terima kasih, Mbak Vanty," bisik Amara sambil mengelus lengan Vanty. "Untuk apa?" Vanty mengernyit. "Mbak Vanty sudah mengurungku di kamar seharian kemarin. Sekarang, aku jadi terliha
Yogyakarta, 22 April 2018 Mereka memang pernah bersama di apartemen Bram selama beberapa hari. Mereka juga beberapa kali berciuman dengan penuh gairah. Ciuman-ciuman itu menjadi candu yang memabukkan bagi Bram. Namun, selama ini Bram berusaha menahan diri. Lelaki itu tidak bertindak lebih. Demi Amara, Bram bersabar menunggu saat yang tepat. Meskipun itu membuatnya sangat tersiksa. Malam ini, tidak ada lagi penghalang. Bram tidak perlu izin dari siapa pun. Tidak perlu lagi berusaha mengendalikan diri. Amara adalah miliknya. Sepenuhnya. Akan tetapi, tampaknya lelaki itu harus mengeluarkan simpanan kesabarannya lagi. Pasalnya, Amara sudah hampir setengah jam mengurung diri di kamar mandi. Bram mencoba mengerti. Pasti Amara dihantui rasa canggung. Pertama kali dalam hidupnya, gadis itu akan menyerahkan diri seutuhnya pada seorang laki-laki. Bram sendiri merasakan hal yang sama. Ini memang bukan pengalaman pertamanya. Akan tetapi, tentu saja akan menjadi yang teristimewa. Karena Bram
Yogyakarta, 22 April 2018 Bram melangkah menuju ranjang pengantin mereka. Kelopak-kelopak mawar yang bertaburan di lantai terinjak telapak kakinya. Dengan hati-hati, direbahkannya tubuh Amara ke atas tempat tidur berukuran king size berlapis seprai berwarna putih. Taburan kelopak mawar merah tersebar di permukaannya. Disingkirkannya dua ekor angsa dari handuk yang semula berdiri saling berhadapan berbentuk hati di tengah-tengah. "Mas mengusir angsa-angsanya," lirih Amara. Menyesali sepasang hewan dekorasi yang sekarang teronggok di lantai. Perempuan itu sekadar bermaksud menetralisir ketegangan yang meliputi dirinya. "Salah mereka sendiri tidak mau menyingkir," sahut Bram sekenanya. Siapa yang ambil pusing dengan angsa-angsa itu? Bram menempatkan diri di atas Amara. Kedua tangan dan lututnya bertumpu pada tempat tidur dan mengungkung perempuan itu. Amara tertawa kecil kemudian kembali menoleh menatap Bram. Tanpa berkata-kata lagi, lelaki itu meredam tawa istrinya dengan sebuah p