Home / Romansa / Asmara dalam Prahara / 113. Gelora Asmara 1 (21+)

Share

113. Gelora Asmara 1 (21+)

Author: Nina Milanova
last update Last Updated: 2022-05-03 23:50:40
Yogyakarta, 22 April 2018

Bram melangkah menuju ranjang pengantin mereka. Kelopak-kelopak mawar yang bertaburan di lantai terinjak telapak kakinya.

Dengan hati-hati, direbahkannya tubuh Amara ke atas tempat tidur berukuran king size berlapis seprai berwarna putih. Taburan kelopak mawar merah tersebar di permukaannya.

Disingkirkannya dua ekor angsa dari handuk yang semula berdiri saling berhadapan berbentuk hati di tengah-tengah.

"Mas mengusir angsa-angsanya," lirih Amara. Menyesali sepasang hewan dekorasi yang sekarang teronggok di lantai. Perempuan itu sekadar bermaksud menetralisir ketegangan yang meliputi dirinya.

"Salah mereka sendiri tidak mau menyingkir," sahut Bram sekenanya. Siapa yang ambil pusing dengan angsa-angsa itu?

Bram menempatkan diri di atas Amara. Kedua tangan dan lututnya bertumpu pada tempat tidur dan mengungkung perempuan itu.

Amara tertawa kecil kemudian kembali menoleh menatap Bram. Tanpa berkata-kata lagi, lelaki itu meredam tawa istrinya dengan sebuah p
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Asmara dalam Prahara   114. Gelora Asmara 2 (21+)

    Yogyakarta, 22 April 2018 Amara mengirup udara banyak-banyak. Mengisi pasokan udara pada paru-parunya. Detak jantungnya masih tak beraturan. Tubuhnya sudah lunglai tetapi malam ini belum selesai. Gelenyar yang melanda belum juga reda. Bram merangkak naik dan mengurungnya. Lelaki itu mendaratkan ciuman lembut di keningnya, matanya, hidungnya, pipinya, lalu bibirnya. Tangan Amara menyelinap ke balik baju yang dikenakan Bram. Ditelusurinya punggung lelaki itu dengan jemari sambil saling memagut. Seakan mereka hendak saling menelan satu sama lain. Dengan tak sabar, perempuan itu menaikkan dan melucuti kaos hitam di tubuh Bram. Amara terbakar gairah sampai tidak peduli lagi pada apa pun. Dia hanya ingin merasakan Bram di dalam tubuhnya. Lelaki itu beringsut turun dari tempat tidur. Menanggalkan semua yang masih menempel di tubuhnya. Amara menggigit bibir bawahnya menyadari Bram sudah siap memasukinya. Tiap jengkal kulit perempuan itu meremang penuh antisipasi. Amara bertanya-tanya bil

    Last Updated : 2022-05-04
  • Asmara dalam Prahara   115. Penerimaan dan Pengampunan

    Yogyakarta, 22 April 2018 Menjelang tidur, Utari memandangi lagi foto-foto pernikahan Amara di galeri ponselnya. Wajah perempuan itu dihiasi senyum semringah. Setelah berhasil melewati pertentangan batin yang luar biasa. Juga setelah meminta pendapat dari seorang sesepuh terdekat, perempuan itu memutuskan untuk menyudahi permusuhan yang ditujukannya pada Bram dan keluarganya. Melihat wajah Amara dengan senyum lepasnya sepanjang acara sejak pagi hingga sore tadi, Utari yakin sang anak benar-benar bahagia. Bukankah sebagai ibu seharusnya dia juga turut bahagia untuk putri satu-satunya itu? Apalagi melihat bagaimana Bram memperlakukan Amara, perempuan itu yakin anaknya tidak akan dibiarkan menderita oleh lelaki itu. Kepada Amara, Bram selalu bersikap lembut dan berhati-hati. Seolah-olah Amara adalah sebuah vas bunga yang mudah pecah. Perhatian yang ditunjukkannya tulus tanpa dibuat-buat. Keluarga Prawiradirga pun menyambut Amara dengan tangan terbuka. Ayah dan ibu mertua juga para ipa

    Last Updated : 2022-05-05
  • Asmara dalam Prahara   116. Kemelut Cakrawangsa

    Jakarta, 23 April 2018 "Aku pasti salah lihat, kan, Olivia?" Tangan Imel gemetar saat menyorongkan ponselnya pada sang asisten pribadi. Hari masih terbilang pagi. Langit berwarna biru cerah terlihat jelas dari jendela. Akan tetapi, suasana hati Imel sudah dirusak oleh sebuah kiriman pada grup percakapan perusahaan. Anggota grup percakapan itu dimulai dari level manajer ke atas. Untuk karyawan di bawahnya ada group yang dibuat sesuai divisi dan relasi kerja masing-masing. Olivia menyambut benda pipih berwarna emas itu dari tangan Imel. Meskipun terkejut, perempuan itu tidak histeris. Dia sudah mengetahui sebelumnya. "Oh, memang siapa gadis yang dia nikahi itu?" Olivia bersikap seolah-olah tidak terlalu peduli dan tidak tahu menahu. Padahal, dia sudah pernah menyaksikan di depan mata kedekatan Bram dengan Amara saat mereka bertemu di lift. Imel jatuh terduduk di kursinya sambil menahan kepala. Seluruh tulangnya seperti tercerabut. Pantas saja Bram tidak datang ke kantor hari ini.

    Last Updated : 2022-05-07
  • Asmara dalam Prahara   117. Saat Dia Tidak Ada

    Jakarta, 23 April 2018 Sementara rekan-rekan satu timnya ramai membicarakan berita pernikahan atasan mereka dan seorang mantan karyawati divisi procurement, Ranggi menyingkir ke ruang tangga darurat. Dia membuat panggilan kepada Adhilangga melalui ponselnya. "Selamat Pagi, Pak," sapa pemuda itu. "Selamat Pagi, Ranggi. Ada perkembangan apa lagi?" tanya Adhilangga dari seberang sana. "Seseorang ditembak di lantai atas, Pak. Mereka membawa mayatnya turun dengan tas besar melalui tangga darurat. Tidak ada karyawan yang tahu peristiwa ini." Ranggi melaporkan peristiwa yang tertangkap kamera yang dia pasang diam-diam di lantai delapan. "Kamu tahu siapa korbannya?" "Asisten pribadi Imelda Cakrawangsa. Peristiwanya terjadi setengah jam lalu. Mereka sedang membersihkan TKP." Ranggi melangkah turun menyisir tangga darurat dengan hati-hati. Mencari sesuatu yang mungkin bisa dijadikan petunjuk. "Bagaimana dengan Imelda Cakrawangsa sendiri?" "Kacau. Dia histeris." "Siapa saja yang ada di

    Last Updated : 2022-05-08
  • Asmara dalam Prahara   118. Crazy in Love (21+)

    Jakarta, 25 April 2018 Mereka mendarat kembali di Jakarta menjelang waktu makan malam dan langsung menuju apartemen Bram. Lelaki itu akan membawa Amara pindah dari sana saat urusan dengan Cakrawangsa selesai. Amara sudah tahu berada di dekat Bram adakalanya mendebarkan. Akan tetapi, dia baru tahu kalau lelaki itu akan memberinya kesenangan sekaligus ketegangan di luar ekspektasinya. Entah berapa banyak lagi kejutan yang bakal dia dapati. Beberapa kali mereka mencuri-curi untuk berciuman selama di pesawat, di taksi, dan di sepanjang koridor menuju unit tempat mereka tinggal. "You're crazy!" protes Amara ketika Bram menunduk hendak menciumnya. Kedua pipi perempuan itu bersemu. Pasalnya, seorang pramugari baru saja melintasi lorong di samping tempat duduk mereka. Namun, Amara tidak menolak ketika Bram melumat bibirnya. "Yes. I'm crazy about you," sahut lelaki itu dengan suara rendah sambil menarik diri dan menghujamkan tatapan penuh gairah ke netra Amara. Bram membenarkan pos

    Last Updated : 2022-05-08
  • Asmara dalam Prahara   119. Pillow Talk (21+)

    Jakarta, 25 April 2018 "Apa kabar, Cah Ayu?" Bram mengecup puncak kepala Amara sambil melingkarkan kedua lengan di sekeliling perempuan itu. "Badanku rasanya remuk, Pak Bram," sahut Amara yang menjadikan bahu Bram sebagai bantal. "Besok tidak ada yang menyiapkan sarapanmu." Bram tertawa kecil sambil menegakkan diri lalu membawa Amara berpindah ke tempat tidur. Ditariknya selimut yang sudah tidak keruan menjadi korban pergumulan mereka. Kemudian menyelimuti mereka berdua dengan kain berbahan flannel itu. "Kamu tenang saja. Coffee shop di bawah buka 24 jam." "Aku merasa seperti istri yang nggak berguna." "Jangan bicara seperti itu. Kamu bisa mengurusi makan Mas kapan-kapan kalau tidak capek. Besok kamu istirahat saja karena Mas akan pulang agak malam." Bram membelai rambut Amara yang sudah kembali rebah di dadanya dengan jemari. "Memang Mas mau ke mana?" tanya perempuan itu. Ditelusurinya barisan rambut yang tumbuh di dada Bram. "Mas harus menyelesaikan serah terima." "Kenapa ha

    Last Updated : 2022-05-08
  • Asmara dalam Prahara   120. (Bukan) Detik Terakhir (21+)

    Jakarta, 26 April 2018 Mereka bangun saat langit masih gelap. Bercinta sekali lagi sebelum beranjak ke kamar mandi lalu memulai aktivitas. Bram bersiap menuju Cakrawangsa Persada untuk menyelesaikan beberapa urusan. Amara mengatur piring berisi pasta dan salad sayuran untuk mereka sarapan di meja. Tidak ketinggalan secangkir kopi hitam yang disukai Bram. Lelaki itu mengamati sang istri dari cermin dengan dua sudut bibir tertarik simetris. Bram sedang memasang kancing bagian depan kemeja biru tuanya yang dipadupadankan dengan celana panjang hitam. Mulai hari ini, lelaki itu membiarkan Amara menyiapkan pakaiannya. Amara juga sudah rapi dengan summer dress berwarna hitam bermotif bunga mawar yang jatuh di atas lutut. Rambut ikalnya dibiarkan terurai melewati garis leher gaunnya. "Sayang, tolong bantu Mas sebentar," pinta Bram dengan suara rendah yang terdengar seksi dan berwibawa. Dia melangkah mendekati Amara dengan dasi yang masih dikalungkan di bagian belakang leher. Amara menole

    Last Updated : 2022-05-10
  • Asmara dalam Prahara   121. Menyerahkan Diri (?)

    Jakarta, 26 April 2018 Bram menemui Adhilangga yang memarkir mobilnya di tepi jalan. Berjarak dua gedung dari Cakrawangsa Persada. Adhilangga mempertemukan Bram dengan seorang rekannya dari kepolisian yang sedang bertugas. Setelah berdiskusi tentang ini dan itu dan mempersiapkan segala sesuatu, Bram bergegas beranjak dari sana. "Jangan bertindak gegabah dan mudah terkecoh. Yang dia inginkan adalah dirimu. Soal para sandera biar polisi yang menangani," pesan Adhilangga. Lelaki itu duduk di dalam kabin bagian tengah X-Trail nya. "Kumpulkan sebanyak-banyaknya petunjuk. Kedatanganmu tidak boleh sia-sia." “Aku usahakan yang terbaik, Om,” jawab Bram. Dari sang paman Bram mendapat informasi bahwa puluhan polisi menyamar sebagai karyawan menyebar ke setiap lantai. Begitu juga dengan enam orang anak buah Adhilangga yang menyusup di antara mereka. Berbaur bersama karyawan dan orang-orang suruhan Cakrawangsa yang juga berada di sana. Salah seorang di antaranya menyelinap ke ruang pemanta

    Last Updated : 2022-05-11

Latest chapter

  • Asmara dalam Prahara   End of The Road

    "Bila cinta memanggilmu, terbang dan ikutilah dia. Walau jalannya terjal berliku-liku. Bila sayapnya merangkulmu, pasrahlah serta menyerah. Walau pisau tersembunyi di balik sayap itu melukaimu. Sebab sebagaimana cinta memahkotaimu, demikian pula ia menyalibmu." - Kahlil Gibran - °°° Hai Para Pembaca, Akhirnya sampai juga kita di ujung perjalanan Bram dan Andra/Amara. Penulis mewakili mereka berdua mengucapkan banyak terima kasih. Terlebih bagi kalian yang sudah membuka bab berbayar, meninggalkan komen, memberikan gem, dan rate bintang 5. Apresiasi kalian menjadi motivasi terbesar bagi Penulis untuk menyelesaikan novel yang sempat mangkrak berbulan-bulan ini. Sekadar informasi, bagi kalian yang sudah melakukan subcribe Asmara dalam Prahara di bawah April 2022, silakan melakukan subscribe ulang (unsubscribe lalu subscribe kembali). Agar kalian bisa menikmati revisi termutakhir dari novel ini. Semoga amanat dan pesan diterima dengan baik. Semoga hal-hal yang kurang berkenan dan b

  • Asmara dalam Prahara   126. Selebrasi

    Jakarta, 21 Mei 2019 Malam itu, keluarga Baswara Prawiradirga menikmati makan malam di sebuah hotel berbintang lima. Mata mereka sesekali tertuju pada sebuah layar televisi di salah satu sisi ruangan. Sama seperti para pengunjung lain, mereka menyimak pidato presiden baru. Hari ini adalah acara pelantikannya. Suasana restoran cukup ramai. Seluruh meja terisi. Beberapa pengunjung tampaknya adalah bagian dari tim sukses kedua kubu. Tersirat dari percakapan-percakapan mereka. Presiden baru dan wakilnya berhasil memenangkan suara dalam persaingan ketat dengan petahana. Lelaki itu menjadi presiden termuda dalam sejarah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Usianya masih kepala empat. "Semoga dia benar-benar memenuhi janji-janji kampanyenya," gumam Baswara di sela menyantap black angus-nya. Besok, lelaki itu akan menghadiri undangan terbatas acara syukuran dari pasangan pemimpin baru itu. Bukan secara cuma-cuma Baswara menerimanya. Lelaki itu sudah mengeluarkan nominal yang tidak sedikit

  • Asmara dalam Prahara   125. Takdir Asmara

    Jakarta, 29 April 2018 Amara membuka pintu kamar perawatan dengan hati-hati. Perempuan itu baru selesai berdiskusi di depan ruangan dengan dokter yang bertanggung jawab menangani Bram. Beberapa saat lalu, dokter itu datang untuk memeriksa kondisi Bram. Di sepanjang lorong, beberapa lelaki yang tampak seperti keluarga pasien bertebaran. Adhilangga yang menempatkan mereka di sana. Beberapa juga menyebar di tiap lantai. Termasuk ruangan-ruangan yang dianggap perlu diawasi. Di antara mereka juga ada petugas dari kepolisian. Adhilangga sendiri sedang kewalahan melayani para pemburu berita di lobi rumah sakit. Kepalang basah informasi mengenai identitas Bram sebagai keponakannya terkuak ke telinga publik. Saat ini, hampir semua media berlomba-lomba mengais informasi mengenai huru-hara di Cakrawangsa Persada. Termasuk kaitannya dengan kasus tertangkapnya Narendra Pranadipa. Berbagai skandal yang bertahun-tahun lalu sempat terkubur kembali menjadi sorotan. Tanpa diminta, seorang pengawal

  • Asmara dalam Prahara   124. Puncak Prahara 2

    Jakarta, 26 April 2018 Amara baginya saat ini bukan lagi seperti putri malu yang menguncup bila disentuh. Gadis itu telah menjelma jadi bunga candu yang membuat Bram lupa diri. Lelaki itu lupa untuk perihal apa dia meminta Amara datang. Dia juga lupa dengan kondisinya. Semua rasa sakit yang menyerang seperti menemukan penyembuh. Sebelah tangan Bram mulai mengelusi leher Amara yang berdenyut-denyut di bawah sentuhannya. Kemudian turun meraba kancing baju gadis itu dan mulai melepas pengaitnya. Amara terkesiap mendengar erangan dari mulutnya sendiri. Tubuhnya meremang. Jemari Bram sudah menyelinap ke balik blouse-nya. Kesadaran seketika menamparnya. Ditangkap dan ditahannya tangan lelaki itu. Amara membuka kedua matanya. Sukma yang semula terbang kembali pulang ke tubuhnya. Gadis itu terhempas kembali ke alam nyata. Dilepaskannya ciuman Bram dan didorongnya tubuh lelaki itu agar menjauh. “Pak, sebaiknya saya kembali saja ke kantor,” ujar Amara terengah-engah sambil berpaling

  • Asmara dalam Prahara   123. Puncak Prahara 1

    Jakarta, 26 April 2018 Bram menatap nyalang ke dalam netra Kusnadi sambil mengangkat kedua tangannya di depan dada. Perlahan lelaki itu bangkit dari duduknya. Namun, dengan cepat tangan kirinya menangkap barrel pistol dan mengarahkannya ke atas. Kusnadi panik mendapat perlawanan yang tiba-tiba. Lelaki itu menekan pelatuk. Sebuah peluru melesat. Benda itu menembus sebuah foto keluarga dalam bingkai yang tergantung di dinding. Sementara itu, sebuah pukulan dari tangan kanan Bram menyerang ulu hatinya. Kusnadi terempas ke sofa. Tubuhnya bertumpu dengan siku kiri. Lelaki itu meringis sembari memegangi perutnya. Bram berhasil merebut pistol dari tangan lelaki itu. Sekarang, ujung senjata itu berbalik tertuju ke arah Kusnadi. Tidak ingin dikalahkan begitu saja, Kusnadi mengayun kaki kanannya yang terjulur. Tendangannya tepat mengenai pergelangan tangan Bram. Pistol di tangan Bram terlepas dan terlempar hingga jatuh ke lantai. Mereka berdua tidak mungkin menggapainya tanpa beranjak dar

  • Asmara dalam Prahara   122. Hantu dari Masa Lalu

    Jakarta, 26 April 2018"Jadi kamu yang bernama Bramastya Abimanyu," sambut lelaki berusia pertengahan enam puluhan itu ketika Bram masuk. Dari kursi kerjanya dia menunjuk sofa di sisi kanan ruangan. "Duduklah."Lelaki itu bisa saja bersikap ramah. Namun, kegelapan yang menyelimuti dirinya terlihat jelas di mata Bram. Di belakangnya, langit Jakarta tertutup awan tebal. "Terima kasih," sahut Bram. Dia mendudukkan diri di sisi kiri sebuah sofa panjang. "Saya sudah datang sesuai permintaan Anda. Anda sudah boleh melepaskan yang lain.""Kamu agak tidak sabaran rupanya. Baiklah." Lelaki itu terkekeh kemudian mengangkat gagang telepon di sudut mejanya. Ditekannya sebuah nomor ekstensi.Dari layar monitor yang terpasang di salah satu ruangan, Bram dapat mengawasi apa yang terjadi di ruang meeting. Tangkapan layar di lantai area procurement masih tampak sama seperti sebelumnya. Seorang anak buah dari orang di hadapannya ini masih mondar-mandir di sana. Padahal, sebenarnya orang itu sudah berha

  • Asmara dalam Prahara   121. Menyerahkan Diri (?)

    Jakarta, 26 April 2018 Bram menemui Adhilangga yang memarkir mobilnya di tepi jalan. Berjarak dua gedung dari Cakrawangsa Persada. Adhilangga mempertemukan Bram dengan seorang rekannya dari kepolisian yang sedang bertugas. Setelah berdiskusi tentang ini dan itu dan mempersiapkan segala sesuatu, Bram bergegas beranjak dari sana. "Jangan bertindak gegabah dan mudah terkecoh. Yang dia inginkan adalah dirimu. Soal para sandera biar polisi yang menangani," pesan Adhilangga. Lelaki itu duduk di dalam kabin bagian tengah X-Trail nya. "Kumpulkan sebanyak-banyaknya petunjuk. Kedatanganmu tidak boleh sia-sia." “Aku usahakan yang terbaik, Om,” jawab Bram. Dari sang paman Bram mendapat informasi bahwa puluhan polisi menyamar sebagai karyawan menyebar ke setiap lantai. Begitu juga dengan enam orang anak buah Adhilangga yang menyusup di antara mereka. Berbaur bersama karyawan dan orang-orang suruhan Cakrawangsa yang juga berada di sana. Salah seorang di antaranya menyelinap ke ruang pemanta

  • Asmara dalam Prahara   120. (Bukan) Detik Terakhir (21+)

    Jakarta, 26 April 2018 Mereka bangun saat langit masih gelap. Bercinta sekali lagi sebelum beranjak ke kamar mandi lalu memulai aktivitas. Bram bersiap menuju Cakrawangsa Persada untuk menyelesaikan beberapa urusan. Amara mengatur piring berisi pasta dan salad sayuran untuk mereka sarapan di meja. Tidak ketinggalan secangkir kopi hitam yang disukai Bram. Lelaki itu mengamati sang istri dari cermin dengan dua sudut bibir tertarik simetris. Bram sedang memasang kancing bagian depan kemeja biru tuanya yang dipadupadankan dengan celana panjang hitam. Mulai hari ini, lelaki itu membiarkan Amara menyiapkan pakaiannya. Amara juga sudah rapi dengan summer dress berwarna hitam bermotif bunga mawar yang jatuh di atas lutut. Rambut ikalnya dibiarkan terurai melewati garis leher gaunnya. "Sayang, tolong bantu Mas sebentar," pinta Bram dengan suara rendah yang terdengar seksi dan berwibawa. Dia melangkah mendekati Amara dengan dasi yang masih dikalungkan di bagian belakang leher. Amara menole

  • Asmara dalam Prahara   119. Pillow Talk (21+)

    Jakarta, 25 April 2018 "Apa kabar, Cah Ayu?" Bram mengecup puncak kepala Amara sambil melingkarkan kedua lengan di sekeliling perempuan itu. "Badanku rasanya remuk, Pak Bram," sahut Amara yang menjadikan bahu Bram sebagai bantal. "Besok tidak ada yang menyiapkan sarapanmu." Bram tertawa kecil sambil menegakkan diri lalu membawa Amara berpindah ke tempat tidur. Ditariknya selimut yang sudah tidak keruan menjadi korban pergumulan mereka. Kemudian menyelimuti mereka berdua dengan kain berbahan flannel itu. "Kamu tenang saja. Coffee shop di bawah buka 24 jam." "Aku merasa seperti istri yang nggak berguna." "Jangan bicara seperti itu. Kamu bisa mengurusi makan Mas kapan-kapan kalau tidak capek. Besok kamu istirahat saja karena Mas akan pulang agak malam." Bram membelai rambut Amara yang sudah kembali rebah di dadanya dengan jemari. "Memang Mas mau ke mana?" tanya perempuan itu. Ditelusurinya barisan rambut yang tumbuh di dada Bram. "Mas harus menyelesaikan serah terima." "Kenapa ha

DMCA.com Protection Status