Jakarta, 18 April 2018 Baswara menghentikan tekanan jemarinya pada tuts piano begitu melihat sosok putranya. Jantung lelaki itu hampir terlempar keluar. Meskipun sudah tua, Baswara masih ingat betul. Tidak ada seorang pun yang datang semenjak dia terakhir kali memasuki rumah. Hampir saja lelaki itu mengira rumah yang sekian lama dihuninya berhantu. Namun, lelaki itu segera menyadari sesuatu. Yang dilihatnya itu memang benar adalah Bramastya. Putranya yang selalu menemukan cara untuk memasuki rumah meskipun terkunci di luar. Baswara mendengkus. Pasti Bram memanjat pohon mangga untuk masuk ke kamar Talitha. Anak itu memang tidak pernah berubah. Sementara itu Bram menuruni tangga sambil bersiul. Dasinya yang sudah terlepas dia lilitkan di salah satu telapak tangannya. Salah satu ujung kemeja putih yang dia kenakan berada di luar celana abu-abunya. Tiga kancing teratas kemejanya terbuka. Rambutnya sedikit berantakan. Sekilas dia melihat ayahnya berpindah ke sofa di tengah ruangan. "Am
Jakarta, 19 April 2018 Pagi itu langit mendung. Bram dan Amara sudah tiba di sebuah pemakaman yang lebih pantas disebut sebagai sebuah taman. Sejauh mereka melempar pandangan, hamparan rumput hijau terbentang. Tempat-tempat yang sudah terisi dibentuk sedikit lebih tinggi dari permukaan tanah. "Selamat pagi, Bu. Sedang apa di sana? Bram datang bersama calon menantu Ibu. Namanya Amara." Bram berbicara pada pusara di depannya. Tangannya terulur mengusap batu nisan bertuliskan nama Hapsari. Seakan-akan sang ibu bisa mendengarnya. Amara tersenyum seraya menoleh ke arah Bram yang bersimpuh di sisinya. Mata gadis itu memanas. Hatinya mengharu biru. Seorang lelaki keras kepala dan semaunya sendiri seperti Bram tanpa sungkan memperlihatkan sisi sensitifnya. Gadis itu berusaha membendung air mata. Tidak berlebihan rupanya cerita yang disampaikan Baswara kemarin malam ketika berbincang di kediaman lelaki itu. Bram sangat dekat dengan ibu dan adiknya. Dialah yang paling terpukul atas kepergian
Jakarta, 19 April 2018 Bram membawa Amara ke sebuah rumah makan khas Manado tak jauh dari lokasi pemakaman. Berhubung sedang hari kerja dan belum waktunya istirahat makan siang, tempat itu masih sepi pengunjung. Mereka duduk berhadapan di depan jendela. "Mas, aku mau menanyakan sesuatu," sergah Amara sementara menunggu pesanan mereka datang. "Mau menanyakan apa?" balas Bram "Tapi jangan marah," tambah gadis itu memasang wajah memelas. Semenjak mereka bersama, Amara menjadi lebih ekspresif. Tidak terlalu menahan diri seperti sebelumnya. Gadis itu seringkali menunjukkan sisi kanak-kanaknya. Menyeret Bram pada kenangan saat mereka pertama bertemu. Lelaki itu tidak tahu. Apakah tingkah laku yang ditunjukkan Amara, ataukah karena semata-mata Amara yang melakukannya, hatinya mudah sekali luluh. "Aku janji tidak akan marah." Bram meyakinkan. Lelaki itu menyimpan ponsel ke saku kemeja flanel biru tua yang dikenakannya. Tadinya, Bram sedang berbalas pesan dengan beberapa anggota timnya
Yogyakarta, 20 April 2018 "Mama," panggil Amara seraya menghambur ke pelukan Utari. Perempuan itu menyambutnya sedikit enggan. Bukan tidak senang dengan kedatangan anaknya. Tujuan Amara pulang yang membuat perempuan itu tidak rela. "Apa kabar, Bu Utari?" sapa Bram yang berdiri di belakang Amara. Lelaki itu mengulurkan tangannya dan menjabat hangat perempuan itu. "Syukurlah. Semua baik-baik saja. Ayo masuk," ajak perempuan itu tidak bisa menyembunyikan kecanggungannya. Utari memanggil asisten rumah tangganya untuk membawa barang-barang bawaan Amara ke dalam. Kemudian, menggiring Amara dan Bram ke ruang tamu. Rumah Utari terletak di kawasan Wirobrajan. Desainnya minimalis dan tidak terlalu besar. Terdiri dari dua lantai dengan halaman yang cukup luas. Perempuan itu memberi sentuhan etnik pada ruang tamunya. Beraneka macam pajangan dari pahatan kayu mengisi setiap sudut ruangan. Sementara, foto dirinya dan juga Amara sejak bayi hingga dewasa menghiasi dindingnya. Asisten rum
Yogyakarta, 20 April 2018 Usai makan siang bersama keluarganya, Bram kembali ke kamar hotelnya. Amara menempati kamar berbeda yang terletak di sisi lain bangunan itu. Vanty yang sudah tiba lebih dulu akan menemani gadis itu sampai besok. Vanty sudah mengatur sedemikian rupa agar mereka tidak bersama hingga saat itu tiba. "Kalian hanya punya waktu hari ini dan besok untuk menikmati masa lajang. Selanjutnya, kalian akan selalu bertemu. Jadi, nikmatilah waktu yang tersisa untuk diri kalian sendiri." Begitu alasan Vanty. Sebenarnya, ada beberapa hal yang sudah perempuan itu persiapkan. Keberadaan Bram di sekitar Amara akan sedikit mengganggu. "Rara masih sedih karena penolakan ibunya." Bram mencoba bernegosiasi. "Kamu tenang saja. Aku juga bisa menghiburnya. Dia akan melupakan kesedihannya. Semoga ibunya berubah pikiran. Masih ada satu setengah hari," ucap Vanty meyakinkan. Dia menoleh ke arah Amara yang duduk bersandar pada headboard tempat tidur sambil memeluk bantal. "Aku tahu Ma
Yogyakarta, 21 April 2018 "Ke mana saja kamu selama ini? Sekarang bertingkah layaknya pahlawan kesiangan." Utari mendelik. Untaian maksud yang disampaikan seorang lelaki di hadapannya beberapa saat lalu membuat perempuan itu geram. Terlebih, lelaki itu adalah orang yang paling tidak dia harapkan untuk menunjukkan wajahnya. Dan, lelaki itu mengajaknya untuk datang bersama-sama pada pernikahan Amara. Kedua keponakannya memilih menyingkir dari ruangan. Menyimak kemarahan Utari hanya akan menyerap energi mereka. Hari yang harus dilalui masih panjang. Sekarang baru pukul sembilan pagi. "Aku tahu, aku bukan pahlawan, Utari. Aku seorang suami dan ayah yang tidak layak untuk kalian pandang lagi. Aku sudah mengecewakan kalian," balas lelaki itu. Dia tidak peduli lagi bila harus merendahkan diri di depan perempuan keras kepala yang telah lama dia tinggalkan itu. "Tapi setidaknya terakhir kali dalam hidupku, aku ingin menunaikan kewajibanku sebagai seorang ayah. Menikahkan putriku." Uta
Yogyakarta, 21 April 2018 Menjelang waktu makan malam, Vanty menggamit lengan Amara menuju sebuah ruangan di lantai dasar. Ruangan itu memang sudah disewa selama dua hari khusus untuk acara pernikahan Bram dan Amara. Beberapa kursi sudah dipersiapkan dengan hiasan bunga-bunga yang terlihat sederhana tetapi manis. Di dalam ruangan itu terdapat sebuah sekat yang terbuat dari kayu jati berukir. Di baliknya, ada beberapa meja dan kursi. Di sanalah Amara melihat lagi sosok laki-laki yang sudah lama sekali tidak ditemuinya. Lelaki berkemeja batik itu duduk bersama seorang perempuan berkebaya. Mereka tampak sedang menunggu seseorang. Lelaki itu tidak bisa menyembunyikan kegelisahannya. Telunjuknya mengetuk-ngetuk meja. Sementara, perempuan di sampingnya meremasi jemarinya sendiri. Wajahnya semringah ketika melihat Amara datang. Amara memandangi lelaki dan perempuan itu bergantian. Gadis itu merasa seperti pernah melihat lelaki yang saat ini terlihat bersih tanpa rambut-rambut menutupi wa
Jakarta, 21 April 2018 Sebuah ballroom hotel berbintang lima malam itu dipadati pengunjung. Di dalamnya, sebuah panggung digelar untuk acara peragaan busana dari Cakrawangsa Gallery. Beberapa musisi lokal yang mengusung seni musik tradisional juga diundang untuk memeriahkan acara. Selain tentunya para selebriti papan atas. Setiap tahun, mereka memang rutin mengadakan acara serupa untuk menyambut hari Kartini. Karyawan dan karyawati perusahaan pun juga banyak yang ikut ambil bagian dalam perhelatan tersebut. Mereka mengikuti berbagai perlombaan atau hanya sekadar menghadiri acara yang diadakan oleh perusahaan yang berlangsung hari itu juga. Bukan hanya di Jakarta. Namun juga di beberapa cabang di berbagai daerah. Imelda didampingi Olivia duduk bersisian di tepi panggung. Begitu pula dengan Stanley dan Raymond yang didampingi istri masing-masing. Beberapa anggota keluarga Cakrawangsa yang lain juga tampak hadir di sana. Gunawan dan Kusnadi tampak duduk mengelilingi sebuah meja bundar