Jakarta, 18 April 2018 Sensasi geli di hidungnya membuat Amara mengerjap. Samar netranya menangkap sebuah telapak kecil di depan wajahnya. “Bona?” gumam Amara sambil melebarkan kedua matanya. Makhluk gembul berbulu abu-abu itu sedang berdiri di depan wajahnya. Dia terus menyentuhkan telapaknya ke hidung dan pipi Amara. Mata bulatnya memandang penuh keingintahuan. Sementara kepalanya dimiringkan. Amara bergelung ke arah sebaliknya. Didapatinya Bram sedang mengaitkan kancing lengan kemejanya. Lelaki itu berdiri di depan cermin dengan rambut yang sudah tersisir rapi. Tubuhnya yang atletis dibungkus kemeja pas badan warna putih dan celana panjang abu-abu. “Kenapa Mas nggak bangunin aku?” Amara terperangah sambil menegakkan tubuh. Aroma parfum Bram memenuhi indera penciumannya. Wangi yang selalu melekat di ingatan gadis itu. “Tidurmu nyenyak sekali. Lagipula ini masih pagi,” sahut Bram santai. "Tapi perban di tangan Mas harus diganti dulu. Tangan Mas juga harus diobati lagi," balas
Yogyakarta, 18 April 2018 Utari baru saja kembali dari makan siang dan hendak meletakkan bokongnya di kursi. Sebuah ketukan terdengar di pintu ruangannya. "Masuk," tutur Utari. Diraihnya gelas air mineralnya untuk meredakan haus usai sedikit berjalan kaki tadi. "Permisi, Bu," sapa seorang perempuan muda dari balik pintu. Dia melangkah mendekat sambil membawa sebuah bingkisan bersampul biru muda. "Apa ini?" tanya Utari sambil menerimanya. "Kiriman dari Jakarta, Bu," jawab pegawainya tadi seraya berpamitan "Mari." "Terima kasih," ucap Utari. Matanya mulai memindai setiap sisi benda di hadapannya. Mencari-cari keterangan mengenai si pengirim. Rahayu? Perempuan itu mencoba mengingat-ingat siapa gerangan si empunya nama. Utari mendengkus kasar setelah mendapat jawabannya. "Mau apa lagi mereka itu?" Mulutnya menggerundel tetapi tangan Utari dengan cekatan membongkar kemasan paket di mejanya. Perempuan itu membelalak takjub. Diangkatnya selembar kebaya brokat berwarna keemasan berpot
Singapura, 18 April 2018 Bram bersama Arya dan Satria serta dua orang rekanan ayah mereka, yang merupakan ahli di bidang masing-masing, sudah berada di sebuah ruang meeting. Waktu hampir menunjukkan pukul sepuluh waktu setempat. Sebelumnya, mereka berlima menyempatkan diri untuk sarapan sekaligus briefing di sebuah tempat makan tak jauh dari gedung yang mereka kunjungi. Ruang meeting yang mereka singgahi adalah milik sebuah perusahaan consumer goods asal Indonesia yang sudah mendunia. Letaknya di lantai dua puluh sebuah gedung di kawasan Raffles Place. Dinding terluarnya terbuat dari kaca sehingga mereka bisa melihat pemandangan kota di siang hari yang terik. Kantor pusat perusahaan itu berada di Jakarta. Singapura adalah cabang mereka yang terbesar di kawasan Asia. Sang pemilik perusahaan dan tiga orang kepercayaannya datang menemui mereka setengah jam kemudian. Pemilik perusahaan itu merupakan salah seorang kawan lama Baswara. Kebetulan, beberapa minggu ini lelaki tua itu sedang m
Jakarta, 18 April 2018 Amara berdiri bertopang dagu di pagar pembatas balkon. Memandangi matahari yang pelan tertelan cakrawala jingga kekuningan yang membentang. Angin sore mengelus kulit yang halus dan membelai rambutnya yang bergelombang. Di sisi gadis itu, Bona duduk dengan tenang di atas pagar pembatas balkonTanpa terasa waktu bergulir. Amara sampai lupa sudah menghabiskan waktu tanpa si pemilik apartemen hampir seharian. Tidak ada kabar yang Amara dapatkan lagi semenjak Bram memberi tahu sudah mendarat di Singapura. Amara tidak ingin mengganggu kesibukan lelaki itu. Dia pun memilih menyibukkan diri. Usai sarapan, Amara pergi berbelanja. Setelahnya, gadis itu menyempatkan diri mengolah sebagian bahan makanan yang dibelinya. Sehabis makan siang hingga menjelang senja, dia mulai berkutat dengan sebuah proyek yang sedang dikerjakannya.Diketiknya semua yang bergelimang di sel-sel otak. Meskipun Bram menyita beberapa sumber referensi yang berhasil dikumpulkannya, gadis itu masih i
Singapura, 18 April 2018 Malam itu suasana restoran yang disinggahi Bram tidak terlalu ramai. Banyak meja yang kosong. Cahaya kekuningan dari lampu-lampu gantung menerangi seluruh ruangan bernuansa coklat muda. Lantunan tembang-tembang lawas disajikan oleh sekelompok musisi yang menguasai salah satu sudut. Seorang perempuan menunjukkan wajah semringah di hadapan Bram. Memamerkan deretan gigi putihnya. Jika pada hari-hari biasanya dia memakai make up lengkap, malam ini dia terlihat lebih natural. Penampilannya juga lebih casual. Meskipun terlihat berbeda, dia tetap saja cantik. Rekan-rekan satu mejanya menatap Bram dan perempuan itu bergantian. "Sebentar," pamitnya pada mereka. Bram beringsut dari duduknya. Dia menggiring perempuan itu ke area bar. Dalam hati, lelaki itu berharap agar tidak bertemu orang lain lagi yang dikenalnya di tempat ini. Mereka mendudukkan diri di kursi tinggi. Saling berhadapan dengan sebelah lengan bertopang di meja. "Sedang apa di sini?" tanya B
Jakarta, 18 April 2018 Satu jam setelah mendarat di Soekarno-Hatta, Bram memacu mobilnya dengan kecepatan yang membuat pengguna jalan lain memaki ke arahnya. Diterjangnya rinai gerimis yang menjatuhi jalanan ibukota. Menuju ke sebuah kawasan elit di Jakarta Selatan. "Sayang, kamu belum tidur?" tanya Bram begitu Amara menjawab panggilan teleponnya. Sementara satu tangan memegang kemudi, tangannya yang lain menempelkan ponsel ke telinga. "Aku nggak bisa tidur," sambut Amara dengan suara mengantuknya yang membuat Bram menggeram. Darah lelaki itu tersirap. "Kenapa Mas lama sekali?""Kenapa? Sudah kangen? Mas hanya pergi sehari saja kamu sudah kehilangan," goda Bram seraya menyeringai. "Kamu baik-baik saja, kan?" Tawa samar Amara terdengar sebelum menjawab, "Aku baik-baik saja. Mas nggak perlu khawatir. Aku aman di sini." "Syukurlah. Mas menuju ke sana. Mau menunggu?" "Iya. Hati-hati. Nggak perlu jadi pembalap liar." Bram tersenyum mendengar istilah yang diungkapkan oleh Amara. Tidak
Jakarta, 18 April 2018 Baswara menghentikan tekanan jemarinya pada tuts piano begitu melihat sosok putranya. Jantung lelaki itu hampir terlempar keluar. Meskipun sudah tua, Baswara masih ingat betul. Tidak ada seorang pun yang datang semenjak dia terakhir kali memasuki rumah. Hampir saja lelaki itu mengira rumah yang sekian lama dihuninya berhantu. Namun, lelaki itu segera menyadari sesuatu. Yang dilihatnya itu memang benar adalah Bramastya. Putranya yang selalu menemukan cara untuk memasuki rumah meskipun terkunci di luar. Baswara mendengkus. Pasti Bram memanjat pohon mangga untuk masuk ke kamar Talitha. Anak itu memang tidak pernah berubah. Sementara itu Bram menuruni tangga sambil bersiul. Dasinya yang sudah terlepas dia lilitkan di salah satu telapak tangannya. Salah satu ujung kemeja putih yang dia kenakan berada di luar celana abu-abunya. Tiga kancing teratas kemejanya terbuka. Rambutnya sedikit berantakan. Sekilas dia melihat ayahnya berpindah ke sofa di tengah ruangan. "Am
Jakarta, 19 April 2018 Pagi itu langit mendung. Bram dan Amara sudah tiba di sebuah pemakaman yang lebih pantas disebut sebagai sebuah taman. Sejauh mereka melempar pandangan, hamparan rumput hijau terbentang. Tempat-tempat yang sudah terisi dibentuk sedikit lebih tinggi dari permukaan tanah. "Selamat pagi, Bu. Sedang apa di sana? Bram datang bersama calon menantu Ibu. Namanya Amara." Bram berbicara pada pusara di depannya. Tangannya terulur mengusap batu nisan bertuliskan nama Hapsari. Seakan-akan sang ibu bisa mendengarnya. Amara tersenyum seraya menoleh ke arah Bram yang bersimpuh di sisinya. Mata gadis itu memanas. Hatinya mengharu biru. Seorang lelaki keras kepala dan semaunya sendiri seperti Bram tanpa sungkan memperlihatkan sisi sensitifnya. Gadis itu berusaha membendung air mata. Tidak berlebihan rupanya cerita yang disampaikan Baswara kemarin malam ketika berbincang di kediaman lelaki itu. Bram sangat dekat dengan ibu dan adiknya. Dialah yang paling terpukul atas kepergian
"Bila cinta memanggilmu, terbang dan ikutilah dia. Walau jalannya terjal berliku-liku. Bila sayapnya merangkulmu, pasrahlah serta menyerah. Walau pisau tersembunyi di balik sayap itu melukaimu. Sebab sebagaimana cinta memahkotaimu, demikian pula ia menyalibmu." - Kahlil Gibran - °°° Hai Para Pembaca, Akhirnya sampai juga kita di ujung perjalanan Bram dan Andra/Amara. Penulis mewakili mereka berdua mengucapkan banyak terima kasih. Terlebih bagi kalian yang sudah membuka bab berbayar, meninggalkan komen, memberikan gem, dan rate bintang 5. Apresiasi kalian menjadi motivasi terbesar bagi Penulis untuk menyelesaikan novel yang sempat mangkrak berbulan-bulan ini. Sekadar informasi, bagi kalian yang sudah melakukan subcribe Asmara dalam Prahara di bawah April 2022, silakan melakukan subscribe ulang (unsubscribe lalu subscribe kembali). Agar kalian bisa menikmati revisi termutakhir dari novel ini. Semoga amanat dan pesan diterima dengan baik. Semoga hal-hal yang kurang berkenan dan b
Jakarta, 21 Mei 2019 Malam itu, keluarga Baswara Prawiradirga menikmati makan malam di sebuah hotel berbintang lima. Mata mereka sesekali tertuju pada sebuah layar televisi di salah satu sisi ruangan. Sama seperti para pengunjung lain, mereka menyimak pidato presiden baru. Hari ini adalah acara pelantikannya. Suasana restoran cukup ramai. Seluruh meja terisi. Beberapa pengunjung tampaknya adalah bagian dari tim sukses kedua kubu. Tersirat dari percakapan-percakapan mereka. Presiden baru dan wakilnya berhasil memenangkan suara dalam persaingan ketat dengan petahana. Lelaki itu menjadi presiden termuda dalam sejarah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Usianya masih kepala empat. "Semoga dia benar-benar memenuhi janji-janji kampanyenya," gumam Baswara di sela menyantap black angus-nya. Besok, lelaki itu akan menghadiri undangan terbatas acara syukuran dari pasangan pemimpin baru itu. Bukan secara cuma-cuma Baswara menerimanya. Lelaki itu sudah mengeluarkan nominal yang tidak sedikit
Jakarta, 29 April 2018 Amara membuka pintu kamar perawatan dengan hati-hati. Perempuan itu baru selesai berdiskusi di depan ruangan dengan dokter yang bertanggung jawab menangani Bram. Beberapa saat lalu, dokter itu datang untuk memeriksa kondisi Bram. Di sepanjang lorong, beberapa lelaki yang tampak seperti keluarga pasien bertebaran. Adhilangga yang menempatkan mereka di sana. Beberapa juga menyebar di tiap lantai. Termasuk ruangan-ruangan yang dianggap perlu diawasi. Di antara mereka juga ada petugas dari kepolisian. Adhilangga sendiri sedang kewalahan melayani para pemburu berita di lobi rumah sakit. Kepalang basah informasi mengenai identitas Bram sebagai keponakannya terkuak ke telinga publik. Saat ini, hampir semua media berlomba-lomba mengais informasi mengenai huru-hara di Cakrawangsa Persada. Termasuk kaitannya dengan kasus tertangkapnya Narendra Pranadipa. Berbagai skandal yang bertahun-tahun lalu sempat terkubur kembali menjadi sorotan. Tanpa diminta, seorang pengawal
Jakarta, 26 April 2018 Amara baginya saat ini bukan lagi seperti putri malu yang menguncup bila disentuh. Gadis itu telah menjelma jadi bunga candu yang membuat Bram lupa diri. Lelaki itu lupa untuk perihal apa dia meminta Amara datang. Dia juga lupa dengan kondisinya. Semua rasa sakit yang menyerang seperti menemukan penyembuh. Sebelah tangan Bram mulai mengelusi leher Amara yang berdenyut-denyut di bawah sentuhannya. Kemudian turun meraba kancing baju gadis itu dan mulai melepas pengaitnya. Amara terkesiap mendengar erangan dari mulutnya sendiri. Tubuhnya meremang. Jemari Bram sudah menyelinap ke balik blouse-nya. Kesadaran seketika menamparnya. Ditangkap dan ditahannya tangan lelaki itu. Amara membuka kedua matanya. Sukma yang semula terbang kembali pulang ke tubuhnya. Gadis itu terhempas kembali ke alam nyata. Dilepaskannya ciuman Bram dan didorongnya tubuh lelaki itu agar menjauh. “Pak, sebaiknya saya kembali saja ke kantor,” ujar Amara terengah-engah sambil berpaling
Jakarta, 26 April 2018 Bram menatap nyalang ke dalam netra Kusnadi sambil mengangkat kedua tangannya di depan dada. Perlahan lelaki itu bangkit dari duduknya. Namun, dengan cepat tangan kirinya menangkap barrel pistol dan mengarahkannya ke atas. Kusnadi panik mendapat perlawanan yang tiba-tiba. Lelaki itu menekan pelatuk. Sebuah peluru melesat. Benda itu menembus sebuah foto keluarga dalam bingkai yang tergantung di dinding. Sementara itu, sebuah pukulan dari tangan kanan Bram menyerang ulu hatinya. Kusnadi terempas ke sofa. Tubuhnya bertumpu dengan siku kiri. Lelaki itu meringis sembari memegangi perutnya. Bram berhasil merebut pistol dari tangan lelaki itu. Sekarang, ujung senjata itu berbalik tertuju ke arah Kusnadi. Tidak ingin dikalahkan begitu saja, Kusnadi mengayun kaki kanannya yang terjulur. Tendangannya tepat mengenai pergelangan tangan Bram. Pistol di tangan Bram terlepas dan terlempar hingga jatuh ke lantai. Mereka berdua tidak mungkin menggapainya tanpa beranjak dar
Jakarta, 26 April 2018"Jadi kamu yang bernama Bramastya Abimanyu," sambut lelaki berusia pertengahan enam puluhan itu ketika Bram masuk. Dari kursi kerjanya dia menunjuk sofa di sisi kanan ruangan. "Duduklah."Lelaki itu bisa saja bersikap ramah. Namun, kegelapan yang menyelimuti dirinya terlihat jelas di mata Bram. Di belakangnya, langit Jakarta tertutup awan tebal. "Terima kasih," sahut Bram. Dia mendudukkan diri di sisi kiri sebuah sofa panjang. "Saya sudah datang sesuai permintaan Anda. Anda sudah boleh melepaskan yang lain.""Kamu agak tidak sabaran rupanya. Baiklah." Lelaki itu terkekeh kemudian mengangkat gagang telepon di sudut mejanya. Ditekannya sebuah nomor ekstensi.Dari layar monitor yang terpasang di salah satu ruangan, Bram dapat mengawasi apa yang terjadi di ruang meeting. Tangkapan layar di lantai area procurement masih tampak sama seperti sebelumnya. Seorang anak buah dari orang di hadapannya ini masih mondar-mandir di sana. Padahal, sebenarnya orang itu sudah berha
Jakarta, 26 April 2018 Bram menemui Adhilangga yang memarkir mobilnya di tepi jalan. Berjarak dua gedung dari Cakrawangsa Persada. Adhilangga mempertemukan Bram dengan seorang rekannya dari kepolisian yang sedang bertugas. Setelah berdiskusi tentang ini dan itu dan mempersiapkan segala sesuatu, Bram bergegas beranjak dari sana. "Jangan bertindak gegabah dan mudah terkecoh. Yang dia inginkan adalah dirimu. Soal para sandera biar polisi yang menangani," pesan Adhilangga. Lelaki itu duduk di dalam kabin bagian tengah X-Trail nya. "Kumpulkan sebanyak-banyaknya petunjuk. Kedatanganmu tidak boleh sia-sia." “Aku usahakan yang terbaik, Om,” jawab Bram. Dari sang paman Bram mendapat informasi bahwa puluhan polisi menyamar sebagai karyawan menyebar ke setiap lantai. Begitu juga dengan enam orang anak buah Adhilangga yang menyusup di antara mereka. Berbaur bersama karyawan dan orang-orang suruhan Cakrawangsa yang juga berada di sana. Salah seorang di antaranya menyelinap ke ruang pemanta
Jakarta, 26 April 2018 Mereka bangun saat langit masih gelap. Bercinta sekali lagi sebelum beranjak ke kamar mandi lalu memulai aktivitas. Bram bersiap menuju Cakrawangsa Persada untuk menyelesaikan beberapa urusan. Amara mengatur piring berisi pasta dan salad sayuran untuk mereka sarapan di meja. Tidak ketinggalan secangkir kopi hitam yang disukai Bram. Lelaki itu mengamati sang istri dari cermin dengan dua sudut bibir tertarik simetris. Bram sedang memasang kancing bagian depan kemeja biru tuanya yang dipadupadankan dengan celana panjang hitam. Mulai hari ini, lelaki itu membiarkan Amara menyiapkan pakaiannya. Amara juga sudah rapi dengan summer dress berwarna hitam bermotif bunga mawar yang jatuh di atas lutut. Rambut ikalnya dibiarkan terurai melewati garis leher gaunnya. "Sayang, tolong bantu Mas sebentar," pinta Bram dengan suara rendah yang terdengar seksi dan berwibawa. Dia melangkah mendekati Amara dengan dasi yang masih dikalungkan di bagian belakang leher. Amara menole
Jakarta, 25 April 2018 "Apa kabar, Cah Ayu?" Bram mengecup puncak kepala Amara sambil melingkarkan kedua lengan di sekeliling perempuan itu. "Badanku rasanya remuk, Pak Bram," sahut Amara yang menjadikan bahu Bram sebagai bantal. "Besok tidak ada yang menyiapkan sarapanmu." Bram tertawa kecil sambil menegakkan diri lalu membawa Amara berpindah ke tempat tidur. Ditariknya selimut yang sudah tidak keruan menjadi korban pergumulan mereka. Kemudian menyelimuti mereka berdua dengan kain berbahan flannel itu. "Kamu tenang saja. Coffee shop di bawah buka 24 jam." "Aku merasa seperti istri yang nggak berguna." "Jangan bicara seperti itu. Kamu bisa mengurusi makan Mas kapan-kapan kalau tidak capek. Besok kamu istirahat saja karena Mas akan pulang agak malam." Bram membelai rambut Amara yang sudah kembali rebah di dadanya dengan jemari. "Memang Mas mau ke mana?" tanya perempuan itu. Ditelusurinya barisan rambut yang tumbuh di dada Bram. "Mas harus menyelesaikan serah terima." "Kenapa ha