Jakarta, 29 Maret 2018 Lantai kamar mandi yang dingin menyambut sepasang telapak kakinya. Bram melepaskan satu persatu kancing kemeja hitamnya, lalu melemparnya ke keranjang rotan di sudut ruangan. Lelaki itu berhenti di depan cermin yang tergantung di balik pintu. Mengamati sejenak pantulan dirinya. Dia mendapati sosok yang berpuluh tahun lalu pernah dibencinya. Hanya karena penolakan dari luar dirinya. Hari ini, dia sudah tidak peduli dengan penilaian apa pun yang ditujukan padanya. Itu yang menjadikannya sosok berbahaya. Tak banyak yang tahu cerita-cerita yang disimpannya. Belum pernah seorang pun berhasil menyelami samudera hatinya. Mengurai labirin di pikirannya. Semua adalah rahasia. Termasuk mengenai sebuah garis sepanjang enam sentimeter di bawah rusuk kanannya. Sebuah bekas luka yang sebagian tersembunyi. Berlindung di bawah rambut-rambut halus yang berbaris dari dada bidang hingga ke perut nyaris kotak-kotaknya. Jemari Bram meraba garis melintang itu. Merasai teksturnya.
Jakarta, 29 Maret 2018 Jarum pendek jam dinding telah berlari meninggalkan angka 12. Semua penghuni kos-kosan Bu Rima sudah berada di kamar masing-masing. Sebagian sedang berkelana di alam mimpi. Andra masih berbaring menatap langit-langit bercat kuning gading. Lampu dia biarkan menyala. Utari tidak suka berada di tempat gelap. Jika hanya sendirian, Andra lebih suka menggunakan lampu tidurnya. Andra baru saja terbangun menjelang pukul delapan. Mungkin itu sebabnya kantuk belum juga menghampiri. Usai meninggalkan Bram di teras, gadis itu memang langsung terlelap. Obat yang dia minum menuntut tubuhnya untuk beristirahat. Anehnya, malam ini badannya malah terasa segar. Padahal, dia juga menelan obat yang sama. Empat jam yang lalu, Bram menyempatkan diri meneleponnya. Memastikan kondisi gadis itu. Andra bertanya-tanya pada diri sendiri. Salahkah jika dia menyangka kalau lelaki itu memiliki rasa? Meskipun, sikap Bram yang aneh siang tadi membuatnya meragu. Mungkin lelaki itu memang seda
Jakarta, 29 Maret 2018 Utari mengangkat tubuhnya hingga duduk bertatap muka dengan Andra. Perempuan itu bimbang untuk mengutarakan apa yang seharusnya dia utarakan. Mendadak, dia menyesali perkataannya sendiri. Hampir saja dia keceplosan menceritakan rahasia yang disimpannya sampai sejauh ini. Mungkin, belum saatnya Andra tahu yang sebenarnya. Hati perempuan itu menjadi ciut membayangkan reaksi anaknya. Apa jadinya kalau Andra sampai tahu bagaimana dia bisa menyelesaikan kuliahnya? Apa sebaiknya dia tutup rapat perkaranya dengan Bram? “Mama mengerti, Ra. Kamu sudah dewasa. Pasti kamu tertarik untuk menjalin hubungan. Kamu mulai berpikir mencari teman hidup.” Perempuan itu mengulurkan tangan dan membelai rambut Andra yang dibiarkan terurai sebatas bahu. Andra menghela napas panjang. Teman hidup? Sampai di usianya yang menginjak 26 tahun sekarang ini, tidak masuk dalam daftar keinginannya hal semacam itu. Andra hanya berpikir bagaimana menjalani hidup tanpa merepotkan orang lai
New York, 12 November 2010 “Mel, aku tidak pulang. Hujan deras sekali. Lebih baik aku menginap di sini malam ini. Kamu makan saja dulu. Tidak perlu menungguku.” Perkataan Bram sesaat lalu masih terngiang di kepala Imel. Lelaki itu tergesa mengakhiri teleponnya. Dia bahkan tidak mengatakan di mana akan menginap. Sungguh menambah kepahitan yang terpaksa ditelannya usai menemukan sebuah kenyataan. Sekarang, perempuan itu duduk bersedekap di sofa sambil menyesap teh manis hangat dari cangkir keramik. Single sofa yang didudukinya menempel di dinding dan bersisian dengan jendela. Dari tempatnya, perempuan itu dapat melihat dengan jelas titik-titik di permukaan kaca. Di luar, hujan deras menjatuhi kota Manhattan. Langit tampak temaram seperti suasana hatinya saat ini. Ponselnya dia biarkan tergeletak begitu saja di lantai parket. Imel tidak sengaja menjatuhkannya. Sesekali dihapusnya sungai kecil yang mengalir di pipinya. Gerimis baru saja turun ketika Imel mendekati apartemen Bram tiga
New York, 13 November 2010 Keesokan harinya, Bram berlari di running track Central Park bersama Stanley. Mereka mencari kehangatan dari paparan sinar matahari di langit New York yang cerah. Mungkin sama seperti para pengunjung lain yang mulai berdatangan. Mereka berangkat dengan subway. Sejauh mata memandang, keduanya dimanjakan oleh lanskap yang kontras tetapi mengagumkan. Gedung-gedung yang menjulang, danau yang biru membentang, dan pepohonan yang rindang. Perpaduan antara peradaban modern dan keindahan alam. Minggu lalu, tempat ini ramai dipadati penonton lomba maraton tahunan. Bram dan Stanley sudah puas berada di antaranya. Menjadi peserta acara itu tidak masuk dalam rencana selama tinggal di sini. Sabtu pagi itu, mereka berlindung di balik jaket hoodie. Udara terasa menusuk. Itu sebabnya Bram dan Stanley terus berlari sampai hampir dua jam. “Jadi balik ke Jakarta besok, Stan?” tanya Bram ketika mereka melangkah menyusuri jalur menuju pintu keluar. Dedaunan yang berserakan d
Jakarta, 10 Februari 2010 “Sudah, Ra. Ikuti saja permintaannya. Mungkin dia utusan dari pusat untuk mengawasi kinerja kita. Daripada kita semua kena masalah,” urai lelaki dengan kemeja casua kepada Amara. “Kamu tenang saja. Saya sudah minta supervisor mengawasi kamu dari area kasir. Beri isyarat kalau dia macam-macam, atau kamu merasa terancam.” Lelaki itu menunjuk ke etalase di dalam bangunan dengan gaya minimalis yang dindingnya terbuat dari kaca. “Baik, Pak,” sahut Amara sambil menyambut daftar menu dan nota pesanan yang diserahkan sang manajer. Meskipun dengan hati bimbang, gadis itu menghampiri pelanggan yang dimaksud. Lelaki yang mereka bicarakan itu duduk di salah satu meja di pelataran restoran sejak satu jam lalu. Di tangannya sebuah koran sore membentang. Sebuah pemandangan yang terbilang langka. Di zaman serba internet seperti sekarang, ada yang masih tertarik membaca surat kabar. Satu dua pelanggan lain melirik ke arah lelaki itu. Mereka merasa tergelitik dengan penampi
Jakarta, 10 Februari 2010 Bram menurunkan korannya ketika Amara kembali sesaat kemudian. Gadis itu membawa nampan berisi kudapan dan minuman hangat. “Silakan dinikmati sambil menunggu menu utamanya, Pak,” tutur gadis itu. Tangannya dengan cekatan menata meja di hadapannya. “Terima kasih,” balas Bram sembari menurunkan sedikit surat kabarnya. Sesaat Bram terkesima. Amara memilihkan dua potong makanan kecil khas kota Semarang dan segelas minuman hangat dari rempah-rempah. Lelaki itu jadi teringat akan mendiang ibunya. Ketika sedang punya banyak waktu luang, Hapsari suka sekali memasak untuk keluarganya. Juga membuat kreasi aneka minuman untuk teman mereka bercengkerama. Menu yang dipilihkan gadis itu sama seperti yang sering dibuat oleh mendiang Hapsari. Bram jadi berpikir, mungkinkah Amara sesosok malaikat yang dikirimkan Tuhan untuk menyampaikan pesan dari ibunya. Sudah cukup lama dia tidak mengunjungi makamnya. Rasa bersalah seketika menyelimuti lelaki itu. “Saya permisi, Pak.”
Jakarta, 7 Agustus 2013 Sudah hampir satu tahun semenjak Bram bergabung dengan Cakrawangsa Persada. Suatu malam, Bram menemui sang paman di kediamannya usai pulang kantor. Penampilannya masih terlihat rapi dan segar di balik kemeja dan celana panjang hitam pas badan yang dia kenakan. Orang-orang sering bertanya. Apa yang Bram lakukan sampai tak pernah terlihat kepayahan? Apakah dia benar-benar manusia atau robot berwujud manusia? Semenjak peristiwa yang hampir merenggut nyawanya, Bram memang sering terjaga sampai lewat tengah malam. Menghindari mimpi buruk yang masih kerap mengganggunya akibat tragedi itu. “Apa kamu yakin tidak ada barang-barang mencurigakan yang mereka datangkan dari luar negeri?” Adhilangga bertanya pada Bram usai meletakkan cangkir kopinya. “Aku yakin tidak ada, Om. Aku sendiri yang menyeleksi para pemasok. Kecuali para pemasok lama. Mereka sudah bekerjasama dengan perusahaan sebelum aku bergabung. Tapi aku bisa memastikan semua yang kutangani sudah lolos pengu
"Bila cinta memanggilmu, terbang dan ikutilah dia. Walau jalannya terjal berliku-liku. Bila sayapnya merangkulmu, pasrahlah serta menyerah. Walau pisau tersembunyi di balik sayap itu melukaimu. Sebab sebagaimana cinta memahkotaimu, demikian pula ia menyalibmu." - Kahlil Gibran - °°° Hai Para Pembaca, Akhirnya sampai juga kita di ujung perjalanan Bram dan Andra/Amara. Penulis mewakili mereka berdua mengucapkan banyak terima kasih. Terlebih bagi kalian yang sudah membuka bab berbayar, meninggalkan komen, memberikan gem, dan rate bintang 5. Apresiasi kalian menjadi motivasi terbesar bagi Penulis untuk menyelesaikan novel yang sempat mangkrak berbulan-bulan ini. Sekadar informasi, bagi kalian yang sudah melakukan subcribe Asmara dalam Prahara di bawah April 2022, silakan melakukan subscribe ulang (unsubscribe lalu subscribe kembali). Agar kalian bisa menikmati revisi termutakhir dari novel ini. Semoga amanat dan pesan diterima dengan baik. Semoga hal-hal yang kurang berkenan dan b
Jakarta, 21 Mei 2019 Malam itu, keluarga Baswara Prawiradirga menikmati makan malam di sebuah hotel berbintang lima. Mata mereka sesekali tertuju pada sebuah layar televisi di salah satu sisi ruangan. Sama seperti para pengunjung lain, mereka menyimak pidato presiden baru. Hari ini adalah acara pelantikannya. Suasana restoran cukup ramai. Seluruh meja terisi. Beberapa pengunjung tampaknya adalah bagian dari tim sukses kedua kubu. Tersirat dari percakapan-percakapan mereka. Presiden baru dan wakilnya berhasil memenangkan suara dalam persaingan ketat dengan petahana. Lelaki itu menjadi presiden termuda dalam sejarah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Usianya masih kepala empat. "Semoga dia benar-benar memenuhi janji-janji kampanyenya," gumam Baswara di sela menyantap black angus-nya. Besok, lelaki itu akan menghadiri undangan terbatas acara syukuran dari pasangan pemimpin baru itu. Bukan secara cuma-cuma Baswara menerimanya. Lelaki itu sudah mengeluarkan nominal yang tidak sedikit
Jakarta, 29 April 2018 Amara membuka pintu kamar perawatan dengan hati-hati. Perempuan itu baru selesai berdiskusi di depan ruangan dengan dokter yang bertanggung jawab menangani Bram. Beberapa saat lalu, dokter itu datang untuk memeriksa kondisi Bram. Di sepanjang lorong, beberapa lelaki yang tampak seperti keluarga pasien bertebaran. Adhilangga yang menempatkan mereka di sana. Beberapa juga menyebar di tiap lantai. Termasuk ruangan-ruangan yang dianggap perlu diawasi. Di antara mereka juga ada petugas dari kepolisian. Adhilangga sendiri sedang kewalahan melayani para pemburu berita di lobi rumah sakit. Kepalang basah informasi mengenai identitas Bram sebagai keponakannya terkuak ke telinga publik. Saat ini, hampir semua media berlomba-lomba mengais informasi mengenai huru-hara di Cakrawangsa Persada. Termasuk kaitannya dengan kasus tertangkapnya Narendra Pranadipa. Berbagai skandal yang bertahun-tahun lalu sempat terkubur kembali menjadi sorotan. Tanpa diminta, seorang pengawal
Jakarta, 26 April 2018 Amara baginya saat ini bukan lagi seperti putri malu yang menguncup bila disentuh. Gadis itu telah menjelma jadi bunga candu yang membuat Bram lupa diri. Lelaki itu lupa untuk perihal apa dia meminta Amara datang. Dia juga lupa dengan kondisinya. Semua rasa sakit yang menyerang seperti menemukan penyembuh. Sebelah tangan Bram mulai mengelusi leher Amara yang berdenyut-denyut di bawah sentuhannya. Kemudian turun meraba kancing baju gadis itu dan mulai melepas pengaitnya. Amara terkesiap mendengar erangan dari mulutnya sendiri. Tubuhnya meremang. Jemari Bram sudah menyelinap ke balik blouse-nya. Kesadaran seketika menamparnya. Ditangkap dan ditahannya tangan lelaki itu. Amara membuka kedua matanya. Sukma yang semula terbang kembali pulang ke tubuhnya. Gadis itu terhempas kembali ke alam nyata. Dilepaskannya ciuman Bram dan didorongnya tubuh lelaki itu agar menjauh. “Pak, sebaiknya saya kembali saja ke kantor,” ujar Amara terengah-engah sambil berpaling
Jakarta, 26 April 2018 Bram menatap nyalang ke dalam netra Kusnadi sambil mengangkat kedua tangannya di depan dada. Perlahan lelaki itu bangkit dari duduknya. Namun, dengan cepat tangan kirinya menangkap barrel pistol dan mengarahkannya ke atas. Kusnadi panik mendapat perlawanan yang tiba-tiba. Lelaki itu menekan pelatuk. Sebuah peluru melesat. Benda itu menembus sebuah foto keluarga dalam bingkai yang tergantung di dinding. Sementara itu, sebuah pukulan dari tangan kanan Bram menyerang ulu hatinya. Kusnadi terempas ke sofa. Tubuhnya bertumpu dengan siku kiri. Lelaki itu meringis sembari memegangi perutnya. Bram berhasil merebut pistol dari tangan lelaki itu. Sekarang, ujung senjata itu berbalik tertuju ke arah Kusnadi. Tidak ingin dikalahkan begitu saja, Kusnadi mengayun kaki kanannya yang terjulur. Tendangannya tepat mengenai pergelangan tangan Bram. Pistol di tangan Bram terlepas dan terlempar hingga jatuh ke lantai. Mereka berdua tidak mungkin menggapainya tanpa beranjak dar
Jakarta, 26 April 2018"Jadi kamu yang bernama Bramastya Abimanyu," sambut lelaki berusia pertengahan enam puluhan itu ketika Bram masuk. Dari kursi kerjanya dia menunjuk sofa di sisi kanan ruangan. "Duduklah."Lelaki itu bisa saja bersikap ramah. Namun, kegelapan yang menyelimuti dirinya terlihat jelas di mata Bram. Di belakangnya, langit Jakarta tertutup awan tebal. "Terima kasih," sahut Bram. Dia mendudukkan diri di sisi kiri sebuah sofa panjang. "Saya sudah datang sesuai permintaan Anda. Anda sudah boleh melepaskan yang lain.""Kamu agak tidak sabaran rupanya. Baiklah." Lelaki itu terkekeh kemudian mengangkat gagang telepon di sudut mejanya. Ditekannya sebuah nomor ekstensi.Dari layar monitor yang terpasang di salah satu ruangan, Bram dapat mengawasi apa yang terjadi di ruang meeting. Tangkapan layar di lantai area procurement masih tampak sama seperti sebelumnya. Seorang anak buah dari orang di hadapannya ini masih mondar-mandir di sana. Padahal, sebenarnya orang itu sudah berha
Jakarta, 26 April 2018 Bram menemui Adhilangga yang memarkir mobilnya di tepi jalan. Berjarak dua gedung dari Cakrawangsa Persada. Adhilangga mempertemukan Bram dengan seorang rekannya dari kepolisian yang sedang bertugas. Setelah berdiskusi tentang ini dan itu dan mempersiapkan segala sesuatu, Bram bergegas beranjak dari sana. "Jangan bertindak gegabah dan mudah terkecoh. Yang dia inginkan adalah dirimu. Soal para sandera biar polisi yang menangani," pesan Adhilangga. Lelaki itu duduk di dalam kabin bagian tengah X-Trail nya. "Kumpulkan sebanyak-banyaknya petunjuk. Kedatanganmu tidak boleh sia-sia." “Aku usahakan yang terbaik, Om,” jawab Bram. Dari sang paman Bram mendapat informasi bahwa puluhan polisi menyamar sebagai karyawan menyebar ke setiap lantai. Begitu juga dengan enam orang anak buah Adhilangga yang menyusup di antara mereka. Berbaur bersama karyawan dan orang-orang suruhan Cakrawangsa yang juga berada di sana. Salah seorang di antaranya menyelinap ke ruang pemanta
Jakarta, 26 April 2018 Mereka bangun saat langit masih gelap. Bercinta sekali lagi sebelum beranjak ke kamar mandi lalu memulai aktivitas. Bram bersiap menuju Cakrawangsa Persada untuk menyelesaikan beberapa urusan. Amara mengatur piring berisi pasta dan salad sayuran untuk mereka sarapan di meja. Tidak ketinggalan secangkir kopi hitam yang disukai Bram. Lelaki itu mengamati sang istri dari cermin dengan dua sudut bibir tertarik simetris. Bram sedang memasang kancing bagian depan kemeja biru tuanya yang dipadupadankan dengan celana panjang hitam. Mulai hari ini, lelaki itu membiarkan Amara menyiapkan pakaiannya. Amara juga sudah rapi dengan summer dress berwarna hitam bermotif bunga mawar yang jatuh di atas lutut. Rambut ikalnya dibiarkan terurai melewati garis leher gaunnya. "Sayang, tolong bantu Mas sebentar," pinta Bram dengan suara rendah yang terdengar seksi dan berwibawa. Dia melangkah mendekati Amara dengan dasi yang masih dikalungkan di bagian belakang leher. Amara menole
Jakarta, 25 April 2018 "Apa kabar, Cah Ayu?" Bram mengecup puncak kepala Amara sambil melingkarkan kedua lengan di sekeliling perempuan itu. "Badanku rasanya remuk, Pak Bram," sahut Amara yang menjadikan bahu Bram sebagai bantal. "Besok tidak ada yang menyiapkan sarapanmu." Bram tertawa kecil sambil menegakkan diri lalu membawa Amara berpindah ke tempat tidur. Ditariknya selimut yang sudah tidak keruan menjadi korban pergumulan mereka. Kemudian menyelimuti mereka berdua dengan kain berbahan flannel itu. "Kamu tenang saja. Coffee shop di bawah buka 24 jam." "Aku merasa seperti istri yang nggak berguna." "Jangan bicara seperti itu. Kamu bisa mengurusi makan Mas kapan-kapan kalau tidak capek. Besok kamu istirahat saja karena Mas akan pulang agak malam." Bram membelai rambut Amara yang sudah kembali rebah di dadanya dengan jemari. "Memang Mas mau ke mana?" tanya perempuan itu. Ditelusurinya barisan rambut yang tumbuh di dada Bram. "Mas harus menyelesaikan serah terima." "Kenapa ha