Sejak awal, Vano memang seorang anak orang yang kaya. Dunianya begitu berbeda dengan anak-anak lainnya. Dia begitu serius dan nggak banyak pengalaman menyenangkan yang umum di lakukan orang-orang. Hidupnya menyedihkan dan banyak menyakiti orang lain. Satu hal yang sangat membekas mengenai hubungan asmara satu-satunya yang pernah dia jalani yaitu bersama Bunga. Dia sadar telah menyakiti terlalu banyak satu hati wanita. Namun kini laki-laki itu sadar akibatnya. Bahwa Tuhan mulai kurang berpihak kepadanya. Satu wanita yang menarik matanya, yang membuatnya tertarik ingin berhubungan serius dan lebih baik lagi ternyata akan melakukan pernikahan dengan orang lain. Vano telah merenung sejak lama, ia membiarkan hatinya yang keras untuk melunak dan memahami apa mau dirinya dan apa yang dia inginkan. Dan pada saat itu dibantu dengan orang yang dia lebeli menarik hal-hal yang awalnya dia acuhkan menjadi dia perhatikan. Salah satunya melakukan hal sederhana yang selama ini nggak pernah Vano b
Setelah sekian lama purnama sejak kelulusan kuliah. Mita belum lagi menginap di kosan sang sahabat yaitu Bianca. Berbeda dengan dulu, dia kerap menginap dan menjadikan kosan Bianca sebagai rumah kedua. Dan saat mereka sama-sama bekerja, baik Bianca dan juga Mita jarang berbagi kasur lagi. Itu karena kesibukan non stop yang mereka hadapi.Karena semakin beranjak dewasa, semakin jarang pula untuk sekedar kumpul bersama teman baik yang dulu selalu ada."Mau makan apa kita?" Sosok perempuan sehabis mandi muncul dari pintu kamar. Bianca melepaskan handuk di kepalanya dan segera menuju meja rias kecil untuk mengeringkan rambutnya dengan hair dryer.Sedangkan yang diajak bicara yaitu Mita hanya malas-malasan memainkan ponselnya di atas kasur milik sang sahabat."Mau makan di luar?" tanya balik gadis itu. Dia masih berpakaian lengkap sehabis pulang bekerja. Belum ada tanda-tanda dirinya akan beranjak untuk mandi."Nggak lah, pesan aja, lagi males keluar."Mita mengangguk setuju atas jawaban B
Mita pov :Perkara suka dan mencintai seseorang ku pikir akan sangat mudah melakukannya. Suka dan merasa senang saat bersama dengan orang tersebut, nyaman juga nyambung obrolan, ku pikir itu sudah termasuk sayang dan cinta.Namun aku nggak pernah menyangkan jika cinta lebih dari semua yang awalnya ku pikirkan. Bahkan di luar itu, cinta lebih dari segalanya. Tanpa bosan dan tanpa hilang rasa suka hingga selama-lamanya.Cinta sungguh sesuatu yang sangat berat, bukan hal simpel yang dapat ku kategorikan saat merasa cocok dan melebelinya bahwa aku mencintai orang itu.Selama ini aku salah. Terlalu dini menyimpulkan apa yang aku rasakan. Hanya karena merasa nyaman dan juga cocok sehingga aku sanggup memikul tawaran rencana hubungan yang serius.Jika sudah seperti ini, rasa sadar yang ku rasakan terasa hambar dan terlambat. Aku akan mengecewakan banyak orang. Tingkah kekanakan ku dalam memahami hubungan begitu fatal. Aku sudah sangat terlambat bahkan saat sadar jika rasa suka ku kepada Gila
3 Bulan kemudian.Mentari pagi cerah menerangi kota sibuk Jakarta. Jam di arloji Rolex GMT-MASTER II Everose Oystersteel sudah menunjuk titik sesudah angka enam. Seperti biasa Vano di jam tujuh pagi masih dalam perjalanan untuk menuju ke tempat kerja. Laki-laki itu memakai kaca mata hitamnya, agar nggak langsung terkena silau matahari pagi. Dia menyetir sendiri.Sudah lama dia melakukannya. Mang Joko mulai hanya bertugas di rumah, berjaga dan membantu memberesi taman saat Vano mengambil alih mengemudi.Dia juga sudah terbiasa memilih pakaiannya sendiri. Memakai dasi dan menyiapkan keperluannya sendiri. Hanya saja di saat sibuk seperti akan ke luar kota, dia masih di bantu menyiapkan keperluannya oleh Bik Muti.Vano, laki-laki yang menjabat CEO muda yang tampan itu mulai menampilkan keramahannya pada karyawan. Dia membalas sapaan karyawannya saat berpapasan. Dia juga tampak lebih manusiawi dengan nggak seperfeksionis serta seworkaholic seperti sebelumnya.Vano dalam tiga bulan telah me
Matahari sudah naik ke atas dan gagah dominan memberikan panas yang menyengat. Puluhan orang sibuk berlalu-lalang serta menyebrangi jalan untuk menuju ke ruko-ruko lainnya. Sedangkan seorang gadis berambut pendek dengan poni tipis itu kuwalahan membawa beberapa kantong belanja di tangannya. Dia menepi di ruko yang tutup kemudian meletakkan barang belanjaan di sampingnya. Nggak sabar untuk mengambil ponsel dari tas punggung ukuran kecil yang dia gunakan."Hoi, dimana?" suaranya keras setelah panggilan yang dia lakukan di terima oleh pemilik nomor.["Lagi di jalan,"] balas suara di telepon dengan santai."Otw nya sejam yang lalu, masih aja di jalan," cibir gadis itu nggak bisa menahan lagi. Dia menoleh pada jalanan yang padat. Karena sudah jauh dari tempat parkir pertokoan, mau nggak mau dia harus menyebrang jalan agar memudahkan penjemputannya.Sebab jika dia masih berada di tempatnya menepi kini, temannya yang akan menjemput harus putar arah lumayan jauh."Gue nunggu di halte."["Loh?
~Flashback~ Lagi-lagi tak terasa siang telah berganti malam. Setelah membasuh muka, Mita menatap pantulan dirinya di cermin nakas. Matanya loyo dan kosong. Dia menghela nafas, kemudian segera lompat merebahkan dirinya di atas kasur. Mungkin dia akan kembali melewatkan makan malam. Gadis itu sudah terlihat kurusan. Wajahnya tak setembem sebelumnya. Bahkan pergelangan di tangannya terlihat tulang yang menonjol. Mita sakit, namun bukan sakit raganya melainkan sakit pikiran dan jiwanya. Saat dia akan mengambil ponsel, terdengar ketukan pintu kamarnya. "Mbak, lo nggak makan apa?" suara Hansel terdengar dari luar. Mita menatap pintunya yang tertutup, awalnya dia nggak ingin membukakannya namun karena nggak ingin memperjelas bahwa dia sedang nggak baik-baik saja, maka gadis itu pun melangkah untuk membuka pintu. "Di depan ada tukang bakso, mau enggak?" tanya Hansel sekali lagi setelah dia berhadapan dengan kakaknya. "Bayarin ya?" "Bapak yang mau bayarin." "Yaudah oke," balas Mita m
[Pak, dimana? katanya mau jemput?] [Aku udah sampe, tiga puluh menit yang lalu. Aku cari-cari kok nggak ada, bahkan aku udah keluar di area penjemputan] Pesan yang di ketik dengan sangat cepat itu terkirim dengan sempurna. Namun karena Mita semakin tak sabar dibuatnya karena tak kunjung mendapatkan balasan, akhirnya dia menelpon kontak Bapak yang sudah berjanji akan menjemputnya. "Nomor yang anda tuju tidak dapat dihubungi, cobalah beberapa saat lagi." Mita mendesah lelah mendengar suara operator dari ponselnya. Sedangkan dirinya sedari tadi menunggu orang yang menjemputnya nggak kunjung datang. Kalau saja Bapaknya nggak berkata tadi malam akan menjemputnya, pasti sudah sedari tadi gadis itu memesan taxi online. Kalau seperti ini jadi dirinya yang bingung sendiri. Tetapi gadis bermata sipit itu mencoba tetap berpositif sangka, mungkin Bapaknya masih di perjalanan. Sehingga dirinya pun kembali sabar menunggu sembari memainkan ponsel. Dia membuka media sosialnya yang sudah lama ng
"Hansel bangun!" Seseorang menarik paksa selimut yang menutupi tubuh remaja yang sedang tertidur pulas. Dia juga menarik bantal supaya remaja itu cepat bangun. "Bentar lagi, Bang." "Nggak ada bentar-bentar, salah siapa nggak bawa pakaian sekolah kalau mau nginap." Dia terus saja merecoki Hansel yang masih malas-malasan bangun. Di luar memang masih gelap karena jam masih menunjuk pukul empat pagi. Namun bukan berarti dia akan luluh dengan racauan remaja yang itu yang bilang masih mengantuk. "Bang, nanti aku di antar Mang Joko aja." "Terus biarin kamu bolos gitu?" "Hais ..." keluh Hansel pada akhirnya. Dia pun mulai memposisikan duduk sembari berdecak kesal, mengacak rambut tampak frustasi dan melihat laki-laki tampan berusia dewasa di hadapannya. "Bang Vano lama-lama kayak Mbak Mita aja," omelnya yang kemudian terpaksa bangun dan berjalan sempoyongan menuju kamar mandi. Sedangkan laki-laki itu nggak menampilkan ekspresi berlebih, malah segera keluar dari salah satu kamar