"Hansel bangun!" Seseorang menarik paksa selimut yang menutupi tubuh remaja yang sedang tertidur pulas. Dia juga menarik bantal supaya remaja itu cepat bangun. "Bentar lagi, Bang." "Nggak ada bentar-bentar, salah siapa nggak bawa pakaian sekolah kalau mau nginap." Dia terus saja merecoki Hansel yang masih malas-malasan bangun. Di luar memang masih gelap karena jam masih menunjuk pukul empat pagi. Namun bukan berarti dia akan luluh dengan racauan remaja yang itu yang bilang masih mengantuk. "Bang, nanti aku di antar Mang Joko aja." "Terus biarin kamu bolos gitu?" "Hais ..." keluh Hansel pada akhirnya. Dia pun mulai memposisikan duduk sembari berdecak kesal, mengacak rambut tampak frustasi dan melihat laki-laki tampan berusia dewasa di hadapannya. "Bang Vano lama-lama kayak Mbak Mita aja," omelnya yang kemudian terpaksa bangun dan berjalan sempoyongan menuju kamar mandi. Sedangkan laki-laki itu nggak menampilkan ekspresi berlebih, malah segera keluar dari salah satu kamar
Ting Bunyi notifikasi masuk terdengar dari ponsel Mita. Gadis itu yang tengah menyantap soto pesanannya segera menyambar secepat kilat. Dia sedang menunggu jemputannya jadi memiliki harapan tinggi tiap kali ada notifikasi masuk. +628578975xxxx : Dimana? Nomor nggak di kenal menghubunginya. Mungkin ini adalah orang yang menjemputnya. Sehingga sembari melahap makanannya, Mita segera membalas. Di kantin Ini yang jemput saya kan? Lima detik, sepuluh detik, lima belas detik dan baru berganti ceklis biru. Nggak ada balasan, mungkin memang benar itu adalah orang yang menjemputnya. Jadi Mita meletakkan kembali ponselnya lalu melanjutkan makan dengan rasa tenang tak sekesal tadi. Sejujurnya ada perasaan lega juga bisa kembali berada di tanah Jakarta. Ibu kota dengan huru-hara dan pesona yang membekas. Mita akan membuka lembaran baru. Mewujudkan apa yang diinginkan orang baik kepadanya untuk bahagia. Dia tentu saja akan menebus rasa bersalah itu dan menepati keinginan Gilang. Lalu bag
"Lo beneran nggak mau keluar?" Pertanyaan yang sama dan kesekian kalinya Farhan layangkan kepada Mita. Ia telah sampai di parkiran depan kantornya beberapa menit yang lalu. Dan berdebat dengan Mita untuk menghampiri bos besarnya terlebih dahulu ke dalam. Sebab Farhan di suruh Vano untuk membawa Mita ke kantor dan laki-laki itulah yang akan mengantarnya sendiri ke rumah setelah selesai dengan pertemuannya. "Jawaban yang sama, enggak," balas gadis itu dengan ketus bercampur kesal. "Lo tau nggak sih Han, gimana gue mau masuk? Yang ada malu dan pasti mereka pada bertanya-tanya ada apa gue masuk dan tiba-tiba ketemu big bos, lo nggak mikir itu?" Mita emosi. Dia sejak dalam perjalanan dan tau bahwa Farhan akan mengantarkannya ke kantor Miyora terlebih dahulu membuatnya semakin kesal. Sepanjang perjalanan mereka berdebat nggak selesai-selesai dan berujung keterdiaman Mita menahan kesal sendiri. Gadis itu nggak mau bertemu dengan mantan bosnya. Namun alasan itu nggak terucap saat berdeba
Hari mulai sore. Teriknya matahari yang tadinya membakar kulit telah menghilang tergantikan dengan sorot jingga yang indah. Semenjak pergi ke Lampung dan menikmati dua bulan di kota pangkal Sumatra itu, Mita jadi memiliki hobi baru, yaitu menikmati langit sore. Dia kini sedang di bawah pohon taman komplek tampak menyender dan meresapi ketenangan dengan angin sepoi yang menerpa. Suara-suara anak yang bermain menambah keceriaan pada suasana yang damai. Tiga hari telah Mita lalui setelah kepulangannya. Besok merupakan hari membahagiakan untuk sahabatnya yaitu Bianca. Memang niat awal dan salah satu tujuannya untuk kembali pulang adalah datang ke pernikahan sang sahabat. Dia juga belum menata kembali kegiatan yang akan dia lakukan kedepannya. Dirinya masih beradaptasi pasca masalah yang nggak mengenakkan beberapa bulan yang lalu. "KAK! BOLANYA!" Teriakan tiba-tiba dari seorang anak mengagetkan Mita yang masih termenung sendiri. Dia menoleh ke arah seorang anak laki-laki yang menghada
"Bu, pantas nggak?" Mita masuk ke dapur sembari menenteng slingbag hitam miliknya. Ia sudah berdandan rapih dan menata rambutnya. Dengan sentuhan make up serta pakaian kebaya kekinian, gadis itu menghadap Ibu Sri yang sedang memberesi meja makan. "Pantas," balas wanita Jawa tulen itu. "Emang mau berangkat jam berapa?" Ia melirik sekilas pada anak sulungnya, kemudian kembali sibuk mengangkat masakan sore yang masih bisa di hangatkan. "Jam 6, sekalian nanti nunggu ijab," balas Mita. Dia memperhatikan jarum jam di arloji yang dia kenakan. Masih pukul lima lewat tiga puluh menit dan dia sudah serapih ini. Mita memang sudah mempersiapkan dengan matang. Bangun pagi buta dan berdandan, nanti jam enam dia akan berangkat menuju sebuah hotel yang digunakan untuk acara pernikahan sahabatnya yaitu Bianca. Ah mengingat Bianca jadi Mita ingat obrolan mereka semalam. Sahabatnya itu mengatakan sangat gerogi dan nggak bisa tidur. Segala keluh kesah Bianca telah Mita dengarkan. Bahkan sahabatnya i
Pagi yang penuh haru dengan berjalannya ijab kobul yang sakral telah berlalu. Kini para tamu sedang menikmati jalannya acara hiburan yang dibawakan oleh mc. Mita hanya duduk di salah satu kursi, senyum merekah tak henti-hentinya terbit di bibirnya. Ia menyapa dan sempat berbincang dengan beberapa kenalan kuliahnya dulu. Yang tak di sangka-sangka bahwa salah satu teman sekelas Bianca yang dia kenal dulu cupu, ternyata telah memiliki suami dan anak. Gadis itu sedikit kaget, namun begitulah roda kehidupan. Nggak ada yang tau pasti jalan hidup, nasib dan juga takdir. "Jadi, lo sendiri Mit?" tanya Farhan. Mita sudah berganti tempat duduk dan berkumpul dengan rombongan geng nya saat bekerja di Miyora dulu. Ada Bang Cakra dan istrinya, Mbak Amira dengan anaknya dan juga Farhan dengan pacarnya. Hanya Mita yang nggak memiliki gandengan. Ia jadi menyesal telah menyapa dan ikut duduk. "Gue paham lo lagi nyindir gue." "Dih, sensi amat lo, jomblo sih," ejek Farhan yang kemudian mendapat tepu
"Tapi emang sekarang kamu cantik banget loh," ucap seorang wanita anggun dengan senyuman mengembang. Ia menggoda gadis muda yang ada di hadapannya. Kini mereka sedang duduk menikmati hidangan yang di sediakan. Sebab siang terus menjelang. Saat ini saja sudah akan menjelang pukul dua belas. "Tante jangan begitu, aku jadi malu loh," balas gadis itu dengan pura-pura menutup sebagian wajahnya. Tak ayal Tante Gina terkekeh merespon. "Apa kamu bisa malu Mit?" "Aih," Mita segera menoleh pada Om Iskandar. "Gini-gini banyak yang bilang aku pemalu kok Om." "Masa sih?" "Iya loh bener," balas Mita mencoba meyakinkan. Namun ia tersenyum ketika ia mendapat sorot mencurigakan dari Om Iskandar. Akhirnya mereka terkekeh bersama membuat dua orang yang menyaksikan interaksi mereka hanya bisa menggelengkan kepala. Vano nggak bisa berkata-kata lagi jika Mita sudah bergabung dengan papanya. Gadis itu sejak awal memang sudah nyambung dengan papahnya yang kerap receh. "Dengar ya Mit, kamu pasti seben
Waktu kian berlalu. Pagi hari terasa cepat sekali datang. Setiap jam dan menit kian berjalan bagai jarum detik yang cepat. Setidaknya itu yang dirasakan Mita. Entah orang lain merasakan gimana, namun dia merasa waktu cepat sekali berlalu.Hari-harinya dilalui dengan kegiatan yang membosankan. Pagi hari berberes membantu Ibu, siang hari jika hanya ingin di rumah ya tetap di rumah atau jika ingin keluar ya keluar jalan-jalan sendirian, lalu sore hari Mita beberapa kali berjalan-jalan di area komplek, menyapa tetangga yang berpapasan atau hanya menikmati udara segar di taman.Mita belum bekerja, ia kembali menjadi pengangguran dan sedang mencari pekerjaan. Rasanya dia kembali ke awal setelah semuanya terjadi, seperti menjadi pengangguran dan mencari pekerjaan. Jika sudah mendapatkan pekerjaan dia akan bekerja dan entah bagaimana kehidupan selanjutnya, apa dia akan mendapat rasa sakit lagi atau malah mendapatkan kebahagiaan. Sepertinya itu hanya Tuhan yang tau. Yang jelas dirinya sudah me