PARA prajurit Panjalu yang lain segera cabut pedang masing-masing dan bersiaga penuh. Pandangan mata mereka mengawasi semak belukar dan pepohonan dari arah mana anak-anak panah tadi berasal.
Di depan, Wyara juga cabut pedang dari dalam warangka di pinggangnya. Pandangan prajurit tersebut sontak mengarah pada dua orang asing tadi. Kedua matanya menunjukkan tatapan tajam berkilat-kilat, mengisyaratkan amarah yang siap membuncah.
"Kisanak berdua, rupanya kecurigaan kami terhadap kalian tidak salah! Kemunculan kalian membawa maksud jahat!" desis Wyara dengan suara bergetar. Sementara pedangnya terhunus ke depan.
Dua orang asing tadi kembali saling pandang, lalu sama tertawa mengekeh. Tanpa berkata sepatah kata pun, salah seorang dari mereka lagi-lagi keluarkan suitan nyaring.
"Setan alas!" maki Wyara dengan geram, tahu untuk apa suitan itu diperdengarkan. Lalu pada para prajuritnya ia berseru, "Waspadalah, mereka menyerang lagi!"
Serangan anak panah be
USAI menghabisi kedua lawan, Tumanggala bergegas keluar dari balik semak belukar. Kembali ke jalan di mana Wyara dan para prajurit Panjalu lainnya berada. Sekembalinya di sana, pertarungan masih berlangsung.Jika sebelumnya terdapat dua pertarungan, kini hanya tinggal satu saja. Wyara dan rekan-rekannya yang tersisa tiga orang, bergabung menghadapi gerombolan pengadang yang tinggal dua orang."Sial dangkalan! Kenapa jadi begini?" rutuk Tumanggala begitu melihat mayat-mayat prajurit Panjalu bergeletakan di tanah, dengan darah bersimbah.Tanpa berpikir panjang lagi Tumanggala langsung masuk ke dalam gelanggang pertempuran. Pedang di tangannya langsung disabetkan ke arah gerombolan pengadang yang tinggal dua orang.Para pengadang yang masih hidup adalah dua lelaki berbadan tegap berisi, si rambut panjang sebahu dan si rambut ikal awut-awutan. Keduanya sama mendelik saat melihat kemunculan Tumanggala.Sring! Sring!Pedang di tangan Tumanggala ke
TENTU saja kenekatan lelaki rambut panjang itu membuat para prajurit Panjalu kaget. Seruan tertahan terdengar dari mulut beberapa orang, bersamaan dengan ambruknya tubuh si lelaki ke tanah. Tumanggala sendiri kertakkan rahang. Ia sungguh tak menyangka jika lawannya lebih memilih menghabisi diri sendiri seperti itu. Untuk melampiaskan kekesalan, kepalan tangannya ditinjukan ke telapak sendiri. "Sial! Kita tidak berhasil menangkap satu pun dari mereka," seru satu suara. Lalu terdengar langkah kaki mendekat. Tanpa melihat orang yang berseru pun Tumanggala tahu siapa pemilik suara tersebut. Tak lain adalah Wyara. Rupanya prajurit satu itu juga kehilangan lawan yang tadi dihadapi. Wyara hentikan langkah di sisi Tumanggala. Wajahnya mengernyit ngeri ketika melihat tubuh lelaki rambut panjang yang bersimbah darah. Golok besar menancap dalam di dada lelaki itu. "Bagaimana dengan lawanmu tadi?" tanya Tumanggala pada Wyara. Terdengar Wyara hembu
SANG surya sudah setinggi galah ketika Kridapala dan Wipaksa tiba di kaki Gunung Pawinihan. Sebuah gunung suci yang di beberapa titik pada lerengnya terdapat bangunan-bangunan pemujaan.Akan tetapi bukan salah satu dari bangunan-bangunan pemujaan itu yang menjadi tujuan Kridapala dan Wipaksa. Mereka naik lebih tinggi lagi, menembus lebatnya hutan belantara.Semakin tinggi kedua kesatria Panjalu itu mendaki, jalanan yang dilalui semakin curam. Udara pun bertambah tipis. Membuat napas mereka agak terengah-engah. Begitu pula kuda-kuda tunggangan keduanya yang mulai kesulitan bernapas."Mau ke mana sebenarnya Ki Bekel? Mengapa sampai masuk sejauh ini ke kaki gunung?" batin Wipaksa yang sejak tadi memendam tanya.Tak sedikit pun Kridapala memberi petunjuk ke mana mereka akan pergi. Pun siapa yang hendak mereka temui. Wipaksa mau tak mau mengekor saja dalam kebingungan.Selepas melewati satu kelokan tajam, wujud jalanan berubah menjadi berbatu-batu
MESKI sejuta pertanyaan memenuhi benaknya, namun Wipaksa tak sekali pun berani bertanya. Lurah prajurit itu lebih memilih menunggu apa yang selanjutnya akan dilakukan Kridapala."Kita harus memeriksa air terjun itu. Orang yang akan kita temui tinggal tak jauh dari air terjun," kata Kridpala, seolah dapat mendengar pertanyaan-pertanyaan di dalam hati Wipaksa.Tanpa menunggu tanggapan bawahannya, tubuh Kridapala sudah melesat cepat menuju ke arah asal suara deburan air. Bingung tidak bingung, Wipaksa bergegas melesat pula mengikuti atasannya.Namun rupanya bukan itu air terjun yang menjadi tujuan Kridapala. Begitu sampai di sana, bekel Panjalu tersebut langsung berdecak kecewa. Ciri-ciri air terjun di hadapan mereka tak seperti keterangan yang ia dapatkan."Bukan ini rupanya," desah Kridapala dengan wajah mengeras. "Kita harus cari air terjun yang lain lagi. Air terjun paling tinggi di kaki Gunung Pawinihan ini."Wipaksa telan ludah. Sebagai seorang
KRIDAPALA langsung lentingkan tubuhnya ke arah tempat mencurigakan tadi. Wipaksa yang tidak tahu apa-apa mengikuti dari belakang. Tentu saja dengan kepala dipenuhi selaksa pertanyaan.Mereka mendekati satu terbing yang dipenuhi tanaman rambat menghijau. Rupanya di balik rimbunnya dedaunan tanaman rambat itu terdapat satu mulut gua.Ukuran mulut gua itu tak terlalu besar. Mungkin hanya cukup untuk masuk dua orang dewasa sekaligus. Karena itulah tempat tersebut tidak terlihat jelas dari kejauhan."Maaf, Ki Bekel, sebenarnya siapa orang yang hendak kita temui itu? Mengapa dia tinggal di tempat seperti ini?" tanya Wipaksa memberanikan diri.Sembari bertanya begitu, Wipaksa pandangi mulut gua nan sempit. Di dalam hatinya membatin, siapa rupanya manusia yang berdiam di dalam gua yang lebih mirip dengan sarang ular ini?Kridapala mendengus kesal ditanyai begitu. Ia sungguh tidak senang mendengar kecerewetan Wipaksa sedari tadi pagi."Kau diamlah du
TANPA menoleh pun orang yang dipanggil Sudhana langsung tahu siapa pemilik suara tersebut. Sebelah sudut bibir lelaki bercambang bauk lebat itu terangkat naik mendengar perintah barusan.Sembari mendengus pendek, tangannya yang memegang golok besar bergerak. Senjata tajam itu disarungkan kembali ke dalam warangka di pinggang."Kalian sungguh beruntung, Kakang Ranajaya rupanya bersedia menerima kedatangan kalian," ujar lelaki bernama Sudhana itu, seraya pandangi Kridapala dan Wipaksa berganti-ganti.Kridapala balas pandangan orang dengan wajah menyunggingkan seringai. Sedangkan Wipaksa yang masih berada dalam kebingungan hanya berdiam diri."Ikuti aku!" ujar Sudhana lagi.Sembari berkata begitu Sudhana melangkah lebih jauh ke dalam gua. Sebelah tangannya terayun ke atas, memberi isyarat pada Kridapala dan Wipaksa untuk mengikutinya.Setelah saling pandang sejenak, Kridapala dan Wipaksa langkahkan kaki di belakang punggung Sudhana. Keadaan ber
UCAPAN Sasi bagaikan sambaran petir di siang bolong bagi Ranajaya. Sungguh sulit diterima akal, bagaimana mungkin enam orang anak buahnya bisa gagal membekuk seorang prajurit rendahan Kerajaan Panjalu bernama Tumanggala. Terlebih dua di antara keenam orang itu berkemampuan lumayan. Salah satunya adalah Sasi yang berhasil selamat. Sedangkan empat sisanya memiliki kemampuan olah kanuragan di atas rata-rata. Sementara di tempatnya masing-masing, Kridapala dan Wipaksa tengah mempunyai pemikiran sama. Ternyata Tumanggala tidak melarikan diri jauh-jauh setelah mendapat serangan di ruang tahanan bawah tanah di Kotaraja. "Jangan mengarang cerita, Sasi! Bagaimana mungkin prajurit tengik itu bisa mengalahkan kalian berenam? Dia hanya seorang prajurit muda, prajurit rendahan!" ujar Ranajaya setengah membentak. Sasi telan ludahnya susah payah. Lelaki dengan rambut ikal awut-awutan itu sudah sejak tadi-tadi merasakan tenggorokannya kering. Untuk menelan ludah pun
PADA rembang petang yang sama, Arya Lembana tampak mondar-mandir dengan wajah cemas di halaman tempat kediamannya. Sang senopati tengah menunggu kabar dari tiga pasukan kecil prajurit yang ia tugaskan mencari Kridapala dan Wipaksa. Hingga hari hampir gelap belum satu pun dari ketiga pasukan kecil itu yang kembali. Arya Lembana yang telah menunggu di halaman sejak dua-tiga penanakan nasi yang lalu jadi gelisah sendiri dibuatnya. Tepat ketika sang surya menghilang di kaki langit barat, terdengar suara derap kuda memasuki halaman tersebut. Wajah Arya Lembana seketika berubah semringah, meski ia belum tahu siapa yang datang. "Siapa mereka?" tanya sang senopati begitu melihat yang datang adalah lima orang berkuda. Wajah semringah Arya Lembana berubah penuh tanda tanya. Keningnya berkerut dalam-dalam. Ia ingat betul, dari sekian pasukan kecil yang keluar atas perintahnya hari ini tak ada satu pun yang hanya terdiri atas lima prajurit. Kerutan di ken