Aruna memukul dinding batu meski sama sekali tak berpengaruh apa pun. Baik pada dinding batu itu atau pun pada perasaannya. Tak ada yang berubah. Ia masih begitu kesal sudah dua kali terpaksa keluar dari Meraga Sukma. Sekaligus menggagalkannya menguasai Lembat Brabat.“Sudah dua elemen dan keduanya gagal,” keluh Aruna.Napas pemuda itu terengah-engah. Sudah tak lagi ia pikirkan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Ia mengedarkan kembali pandangannya ke mulut goa. Gelap, suara air terjun masih ada namun tak ada lagi cahaya seperti tadi. Namun anehnya ia masih mampu melihat dengan jelas.“Mata ketiga itu, lebih kuat dari milikku, atau mungkin Ki Bayanaka sekali pun! Dan dia belum menyadarinya! Arya, anakmu benar-benar istimewa!” gumam Legawa dalam persembunyiannya.Lelaki paruh baya itu kembali teringat saat bersama-sama kakak seperguruannya belajar mengaktifkan mata ketiga. Ki Bayanaka lebih dulu, disusul ia dan kemudian Sanggageni. Ki Bayanaka kemudian ahli dalam Meraga Sukma, Sanggageni m
Seketika goa itu menjadi terang benderang. Amat berbeda dengan suasana di luar. Air terjun laksana pintu itu pasti tampak memendarkan cahaya jingga bila dilihat dari luar. Aruna mengepalkan kedua tangan dan menyeringai. Ada sesuatu yang tengah coba ia tekan dan kendalikan.Tak ada hal lain yang bisa dilakukan Legawa selain menyaksikan perubahan langka itu. Ia sudah khawatir Aruna akan mencelakainya atau menghancurkan tempat ini. Namun rupanya tak berlaku untuk saat ini. Mustika api milik Sanggageni mungkin sudah memainkan perannya.“Apa yang akan terjadi selanjutnya? Wajar jika Kertajaya tak kuasa menahan serangannya. Juga Wana Payoda berubah menjadi jelaga. Ini lebih kuat dari milik Tuan Sanggageni dan Arya!” batin Legawa. Keadaan Aruna mau tak mau membuatnya berdecak.Tubuh Aruna bergetar, diawali dengan kedua tangan dan kaki. Sejurus kemudian pemuda itu mendengus dan berteriak. Hawa panas dari mulut dan hidung Pangeran Astagina itu bahkan terasa sampai bibir goa tempat Legawa berpi
Aruna membuka matanya yang terasa begitu berat. Pemuda itu berusaha menggerakkan tangan dan mengusap kedua netra demi mendapatkan penglihatan yang lebih baik. Ia menangkap langit-langit anyaman daun nipah dengan rangka bambu di atas tempatnya berada. Sebentar saja ia menyadari tengah berada di Padepokan Rakajiwa.“Perdana?” tanya Aruna mendapati teman sebiliknya yang baru saja tiba.“Hei, kau sudah sadar?” tanya pemuda itu. Perdana membawakan air dalam gelas bambu untuk Aruna dan memberikannya setelah putra Arya itu bangkit.“Terima kasih,” ucap Aruna setelah menerima gelas bambu itu dan segera meneguk air di dalamnya hingga tandas. “Apa yang terjadi padaku?”“Mana aku tahu! Kau datang dalam kondisi tak berpakaian bersama guru. Harusnya aku yang bertanya apa yang kau lakukan setelah pemakaman Ki Bayanaka?” tanya Perdana.“Hmm, aku tak ingat,” lirih Aruna. Tentu saja ia sengaja tak memberitahukan bahwa ia kembali berubah menjadi monster api setelah berhasil melakukan Lembat Brabat pert
Jenar melangkah begitu anggun menaiki anak tangga pendopo utama istana menuju singgasana. Pakaian serba hitam dengan sedikit aksen emas masih ia kenakan sejak api Cundhamani di empat sisi penjuru istana padam. Hari ini Astaginaenyambut kedatangan rombongan Prastawarna, sebuah kerajaan kecil dengan hasil tambang melimpah di sebelah selatan wilayah Astagina.Seluruh hadirin bersimpuh memberikan hormat kecuali seorang pemuda tampan yang berdiri di muka rombongan Prastawarna. Dia hanya menundukkan kepala dan merendahkan tubuhnya sebentar. Dia Wirabhumi, sang Putra Mahkota. Wajah tampannya mendadak terkesima manakala beradu pandang dengan paras cantik Jenar Candrakanti."Selamat datang, Pangeran Wirabhumi dan rombongan di Astagina. Aku merasa tersanjung Prastawarna mengirimkan Putra Mahkotanya langsung," ujar Jenar begitu ramah."Hormat kami, Gusti Sri Maharani. Terima kasih atas keramahan Gusti dan semua orang di Astagina. Kami tak menyangka kerajaan kecil seperti Prastawarna mendapatkan p
“Gusti begitu cantik. Maaf bila hamba lancang,” ucap Pangeran Wirabhumi begitu Jenar duduk di hadapannya berselisih meja dengan hidangan yang mewah.Jenar tersenyum manis. Putra Mahkota Prastawarna itu sudah menyebut dirinya sendiri sebagai hamba. Sebuah langkah awal yang baik demi penaklukan tanpa kekerasan. Hal serupa berlaku lebih dulu pada dua pangeran sebelumnya. Dan Kini Kerajaan Sabrang dan Truna sudah menjadi bagian dari kekuasaan Astagina.“Silahkan dinikmati hidangannya, Pangeran,” ucap Jenar ramah. Namun justru yang ia ajukan ke hadapan Pangeran Wirabhumi adalah anggur dalam gelas perunggu dan juga kemolekan tubuhnya. Perempuan itu sengaja melepaskan kain yang menutupi pundaknya.Pangeran Wirabhumi terkesiap menelan ludahnya. Leher jenjang dan belahan dada indah itu benar-benar menghancurkan wibawanya. Ia tak pikirkan lagi poin-poin kesepakatan yang rencananya ia ajukan agar kerjasama Astagina – Prastawarna terjalin.Jenar amat mengerti apa yang tengah melanda pemuda tampan
“Pangeran Aruna!” seru Danapati. Lelaki itu segera keluar dari tempat persembunyiannya. Ia benar-benar bahagia. Tak percuma ia keluar dari istana dan mencari keberadaan Arya di Wana Payoda selama lebih dari dua tahun ini.“Dimana mereka?”Langkah Danapati terhenti manakala tak bisa menemukan dua sosok tadi. Hanya ada asap putih tipis dan senggurat jingga yang mungkin tak berarti apa-apa. Danapati tak mengerti. Ia amat yakin melihat Legawa dan Aruna di tempatnya berpijak kini.“Pasti Lembat Brabat!” gumam Danapati. Ilmu andalan Legawa itu memang berguna bila berada di pihak pemakai. Namun akan sangat merepotkan bila di pihak lawan.Keturunan murni terakhir Candrapurwa itu tampak begitu kesal. Ia bahkan mengunjamkan tinjunya ke sebuah batang pohon tak jauh dari tempatnya tadi melihat Legawa dan Aruna. Pencariannya hampir saja berakhir, namun rupanya keberuntungan tak berpihak padanya.“Berarti Pangeran bersama dengan Paman Legawa. Lantas dimana Ki Bayanaka? Aku pikir selama ini Pangeran
“Lihat lah, Warasena, dia mengenal namaku!” seru pria bertombak yang tak lain adalah Sakuntala, mantan senopati Astagina di era kekuasaan Prabu Ranajaya.“Warasena? Kau Prabu Warasena?” tanya Danapati seakan tak percaya. Belum hilang rasa terkejutnya karena bertemu Sakuntala, dia juga beradu pandang dengan Warasena, penguasa Candikapura.“Nah! Dia pun mengenaliku, Sakuntala! Kita berdua sebenarnya masih sangat tersohor! Apa kau mengerti, Senopati Kaki Satu?” timpal Warasena disusul dengan tawa dua pria itu.Danapati tak mengerti mengapa dua orang pembesar itu menjadi perampok seperti ini. Bagaimana bisa seorang Senopati Astagina dan Raja Candikapura menjadi rekan dalam kejahatan, Danapati tak mau memikirkannya. Satu hal yang membentuk gejolak dalam hati lelaki itu, bertemu dengan pembantai keluarga kakeknya, Prabu Anarawan, Raja Candrapurwa.“Kau!” Danapati menunjuk Warasena dengan ujung pedangnya. “Aku tahu dosa besarmu di masa lalu!”“Hah?” Warasena dan Sakuntala seketika menghentik
Selanjutnya yang terjadi adalah pertarungan antar sepasang pedang berbeda ukuran itu. Pedang gabungan milik Danapati berputar-putar penuh tenaga dengan jangkauan yang luas. Sedang pedang milik Warasena bergerak cepat menyerang dari arah mana saja. Dua Candrawala mengawali pertarungan pemiliknya.“Ini sungguh menarik. Mana yang akan menang, Candralawa asli atau tiruan dengan pengembangan dan pengalaman mumpuni?” gumam Sakuntala dalam hati. Mantan Senopati Astagina itu kini duduk bersila di tanah demi mendapatkan pangangan terbaik dari pertarungan.Warasena mengeluarkan trisula andalan yang entah kapan terakhir kali ia gunakan. Senjata yang menemaninya sepanjang menjabat menjadi Raja Candikapura sebelum nyaris seluruh pasukannya dikirim ke dunia ruh oleh Arya. Juga sebelum istana Candikapura dibumi-hanguskan dengan Sasra Sayaka-Cundhamani.Sedangkan Danapati bersenjatakan keris dengan pamor yang tidak jelas. Keduanya memulai pertarungan tepat di bawah pedang mereka yang melayang-layang