Beranda / Pendekar / Aruna Putra Api / 29. Dua Pria Konyol

Share

29. Dua Pria Konyol

Penulis: A.R. Ubaidillah
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

“Pangeran Aruna!” seru Danapati. Lelaki itu segera keluar dari tempat persembunyiannya. Ia benar-benar bahagia. Tak percuma ia keluar dari istana dan mencari keberadaan Arya di Wana Payoda selama lebih dari dua tahun ini.

“Dimana mereka?”

Langkah Danapati terhenti manakala tak bisa menemukan dua sosok tadi. Hanya ada asap putih tipis dan senggurat jingga yang mungkin tak berarti apa-apa. Danapati tak mengerti. Ia amat yakin melihat Legawa dan Aruna di tempatnya berpijak kini.

“Pasti Lembat Brabat!” gumam Danapati. Ilmu andalan Legawa itu memang berguna bila berada di pihak pemakai. Namun akan sangat merepotkan bila di pihak lawan.

Keturunan murni terakhir Candrapurwa itu tampak begitu kesal. Ia bahkan mengunjamkan tinjunya ke sebuah batang pohon tak jauh dari tempatnya tadi melihat Legawa dan Aruna. Pencariannya hampir saja berakhir, namun rupanya keberuntungan tak berpihak padanya.

“Berarti Pangeran bersama dengan Paman Legawa. Lantas dimana Ki Bayanaka? Aku pikir selama ini Pangeran
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Aruna Putra Api   30. Candralawa

    “Lihat lah, Warasena, dia mengenal namaku!” seru pria bertombak yang tak lain adalah Sakuntala, mantan senopati Astagina di era kekuasaan Prabu Ranajaya.“Warasena? Kau Prabu Warasena?” tanya Danapati seakan tak percaya. Belum hilang rasa terkejutnya karena bertemu Sakuntala, dia juga beradu pandang dengan Warasena, penguasa Candikapura.“Nah! Dia pun mengenaliku, Sakuntala! Kita berdua sebenarnya masih sangat tersohor! Apa kau mengerti, Senopati Kaki Satu?” timpal Warasena disusul dengan tawa dua pria itu.Danapati tak mengerti mengapa dua orang pembesar itu menjadi perampok seperti ini. Bagaimana bisa seorang Senopati Astagina dan Raja Candikapura menjadi rekan dalam kejahatan, Danapati tak mau memikirkannya. Satu hal yang membentuk gejolak dalam hati lelaki itu, bertemu dengan pembantai keluarga kakeknya, Prabu Anarawan, Raja Candrapurwa.“Kau!” Danapati menunjuk Warasena dengan ujung pedangnya. “Aku tahu dosa besarmu di masa lalu!”“Hah?” Warasena dan Sakuntala seketika menghentik

  • Aruna Putra Api   31. Keris-Keris Tiruan

    Selanjutnya yang terjadi adalah pertarungan antar sepasang pedang berbeda ukuran itu. Pedang gabungan milik Danapati berputar-putar penuh tenaga dengan jangkauan yang luas. Sedang pedang milik Warasena bergerak cepat menyerang dari arah mana saja. Dua Candrawala mengawali pertarungan pemiliknya.“Ini sungguh menarik. Mana yang akan menang, Candralawa asli atau tiruan dengan pengembangan dan pengalaman mumpuni?” gumam Sakuntala dalam hati. Mantan Senopati Astagina itu kini duduk bersila di tanah demi mendapatkan pangangan terbaik dari pertarungan.Warasena mengeluarkan trisula andalan yang entah kapan terakhir kali ia gunakan. Senjata yang menemaninya sepanjang menjabat menjadi Raja Candikapura sebelum nyaris seluruh pasukannya dikirim ke dunia ruh oleh Arya. Juga sebelum istana Candikapura dibumi-hanguskan dengan Sasra Sayaka-Cundhamani.Sedangkan Danapati bersenjatakan keris dengan pamor yang tidak jelas. Keduanya memulai pertarungan tepat di bawah pedang mereka yang melayang-layang

  • Aruna Putra Api   32. Orang Lembu Ireng

    Danapati mencabut kedua pedangnya dari tubuh Warasena yang sudah babak belur. Tubuh pria paruh baya segera ambruk ke tanah penuh dengan darah. Tak ada lagi gerakan. Pun juga dengan gerakan saluran pernapasan. Warasena gugur di tangan keturunan orang yang ia bantai puluhan tahun lalu.“Huh! Perampokan ini gagal sudah!” keluh Sakuntala. Pria berkaki palsu itu perlahan bangkit menyangga tubuh dengan tombaknya dan bersiap pergi meninggalkan tempat itu.“Tunggu!” seru Danapati. Seketika Sakuntala mematung. Ia mulai khawatir kalau saja orang Astagina itu haus darah dan berniat untuk membunuhnya.“Aku menyerah, Anak Muda. Maafkan aku sudah mengganggu perjalananmu. Sekarang silahkan lewat,” ucap Sakuntala begitu ramah meski dengan senyum yang dipaksakan.“Apa benar kau Senopati Sakuntala yang menjabat di Astagina pada masa kekuasaan Prabu Ranajaya?” tanya Danapati lantang. Lelaki itu mulai berjalan mendekat masih dengan dua pedang terhunus.“B-betul. Bagaimana kau bisa tahu?” tanya Sakuntala

  • Aruna Putra Api   33. Kabar Dari Danapati

    “Pangeran Aruna!” seru Danapati begitu menyadari orang yang menyentuh bahunya adalah Aruna, Pangeran Astagina yang ia cari-cari. Lelaki itu hendak berlutut namun pemuda di hadapannya segera mencegahnya.“Paman Danapati, bersikap lah biasa, kita tidak sedang di istana,” lirih Aruna berusaha tak menarik perhatian.“Ampun, Gusti. Apa yang terjadi, mengapa hamba tiba-tiba ada di tempat ini?” tanya Danapati dengan suara yang lebih pelan. Nyaris serupa dengan Aruna tadi, namun lebih keras karena ia begitu terkejut.“Kau berada di Padepokan Rakajiwa. Aku membawamu dengan Lembat Brabat. Sekarang mari ikut aku menemui Guru Legawa,” terang Aruna sembari berlalu.Danapati tak sempat mengatakan setuju. Namun diam artinya setuju, kira-kira begitu lah yang berlaku di istana. Lelaki itu mengikuti langkah cepat Aruna. Sesekali ia memperhatikan sekitar. Ingatannya tertarik puluhan tahun ke belakang. Ayahandanya pernah mengatakan nyaris saja menimba ilmu di Rakajiwa.Tiba-tiba Aruna berhenti dan member

  • Aruna Putra Api   34. Kerinduan

    Legawa terlambat. Ia tak mampu mencegah Aruna menggunakan Lembat Brabat. Pemuda itu hanya meninggalkan hawa panas di bekas tempatnya duduk tadi."Sial! Dia benar-benar ceroboh seperti ayahandanya!" rutuk Legawa. Guru besar Padepokan Rakajiwa itu segera berdiri tampak ingin menyusul muridnya."Apa yang akan kau lakukan, Paman?" tanya Danapati."Jelaskan kondisi istana, Danapati. Apa kah Aruna akan baik-baik saja? Sebelumnya ia pernah mengunjungi istana dan tak bertemu siapa pun," pinta Legawa."Dia sudah menghilang cukup lama. Dengan tampilannya sekarang pasti tak ada yang mengenalinya. Bisa jadi dia akan dikepung dan ditangkap seperti seorang penyusup!" jawab Danapati."Lantas dimana sebaiknya aku muncul di istana?" tanya Legawa sembari menyiapkan Lembat Brabat-nya."Bilik Pangeran Aruna adalah tempat paling aman!" jawab Danapati lugas."Baik, tunggu sebentar!"Seketika Legawa menghilang meninggalkan asap tipis hingga menyerupai kabut. Danapati sampai berdecak menyaksikan kehebatan ju

  • Aruna Putra Api   35. Berpikir Seperti Pendekar

    Bulu kuduk ketiga prajurit itu bergidik. Pandangan mereka meremang. Hampir sekujur tubuh terasa bergidik. Pemuda yang baru saja memaksa untuk menemui Gusti Sri Maharani hingga melumpuhkan dua pengawal mendadak hilang. Sebelumnya seorang pria paruh baya muncul dan segera hilang bersama pemuda itu.“Apa mungkin orang tadi lelembut Wana Payoda yang tersesat?” ujar salah satu prajurit tanpa menurunkan kewaspadaan.“Hush! Jangan kau bicara sembarangan! Sudah lebih dari tiga tahun, mengapa baru sekarang ia tersesat?” tampik rekannya. Ketiganya kompak menengadah, entah mengapa. Apa karena tak ada siapa pun di sejajar mata atau karena sudah terlanjur menganggap Aruna lelembut Wana Payoda.“Lantas, apa yang harus kita lakukan?” tanya seorang lagi.“Periksa dua pengawal itu! Jika mereka baik-baik saja, tak perlu kita laporkan peristiwa ini. Anggap saja tak pernah terjadi apa pun,” ucap seorang prajurit yang sepertinya memiliki pangkat lebih tinggi dari dua lainnya.“Baik!” seru seorang prajurit

  • Aruna Putra Api   36. Tekad Danapati

    “Maksudmu Senopati Sakuntala dan Prabu Warasena? Bagaimana mereka bisa menjadi rekan?” tanya Legawa tak percaya.“Aku sendiri tak mengerti, Paman. Aku bahkan mengira Sakuntala sudah lenyap dari dunia persilatan sejak kehilangan kaki kiri. Sedang Warasena aku pikir ikut musnah bersama Candikapura,” ujar Danapati sembari mengarahkan pandangan ke sisi kosong halaman Rakajiwa.“Hmm, jadi mereka bersekutu dan menjadi perampok, begitu?” tanya Legawa meyakinkan analisanya. Biasanya dua orang bisa bersatu karena memiliki kesamaan nasib.“Sepertinya begitu,” jawab Danapati singkat. Ia masih penasaran dengan kemampuan Warasena yang mampu menggantikan tubuhnya dengan batang pohon padahal ia yakin sekali pedangnya menembus tubuh mantan Raja Candikapura itu.“Aruna mengatakan kau terdesak? Oleh siapa?” desak Legawa. Sesungguhnya ia ingin memastikan Danapati benar-benar berada di pihak yang sama dengannya.“Warasena, aku yakin telah membunuhnya. Namun tiba-tiba ia muncul dengan tubuh berlendir dan

  • Aruna Putra Api   37. Pusing dan Mual

    Puncak Gunung Payoda masih tertutup kabut tebal namun tubuh bagian selatan telah tampak. Dingin anginnya membuat beberapa pemuda menggesekkan telapak tangan demi mendapatkan rasa hangat. Matahari sudah menampakkan diri meski masih malu-malu. Seperti Danapati yang enggan bertemu dengan penghuni Padepokan karena malu terus-terusan mendapatkan pertanyaan yang sama. Siapa dan dari mana.Orang-orang Baka Nirdaya menggantungkan hidup mereka dengan hasil bumi. Mereka menjadikan Rakajiwa sebagai pusat segala kegiatan. Tak ada jual beli, yang ada hanya saling tukar. Meski sesungguhnya semua kebutuhan terutama pangan sudah dipenuhi oleh alam.Semua penghuni Padepokan adalah laki-laki. Pria paruh baya seusia Legawa umumnya veteran perang Baka Nirdaya-Astagina. Mereka tak berkeluarga, atau tak merasa layak untuk membina rumah tangga lagi. Mengingat istri dan anak-anak mereka umumnya adalah korban perang di masa lampau.Lelaki dewasa umumnya telah menimba ilmu selama beberapa tahun. Setelah merasa

Bab terbaru

  • Aruna Putra Api   133. Akhir Peperangan

    “Sendika, Tuanku!” sahut Lokawigna yang segera muncul dengan tampilan paling tampan. Makhluk itu tampak terkejut dengan keadaan di sekitarnya. Apa lagi setelah melihat Arya hanya memiliki satu tangan saja.“Lokawigna.”“Tuanku, apa yang terjadi dengan lengan Tuan?” tanya Lokawigna khawatir. Apa lagi terdapat banyak berkas darah di tubuh Arya.“Lupakan tentang aku. Aku butuh bantuanmu!” tandas Arya.“Sampaikan titahmu, Tuan,” ucap Lokawigna begitu patuh.“Kau lihat perempuan di atas kuda itu?” tanya Arya sambil menunjuk Rara Anjani.“Maksud Tuan, Gusti Rara Anjani?” tanya Lokawigna. Arya mengangguk cepat.“Pindahkan dia ke sini!” titah Arya.“Sendika, Tuan!”Lokawigna berkedip dan Rara Anjani beserta kudanya sudah berpindah tempat di belakang Arya. Perempuan itu tampak terkejut. Namun setelah melihat suaminya, ia paham bahwa lelaki itu lah yang telah memindahkannya, entah bagaimana caranya.“Apa ada lagi tugas untuk hamba, Tuan?” tanya Lokawigna. Selama ini Arya hanya meminta satu kali

  • Aruna Putra Api   132. Peperangan VI

    “Kaki kanannya itu palsu. Sedang kaki kirinya tak menyentuh air. Alas kaki Raja Astagina terbuat dari kulit berkualitas tinggi hingga ia tahan air!” terang Arya menyampaikan analisanya.“Dia cukup cerdik. Pantas saja ibunda terpedaya hingga bisa dikudeta,” gumam Aruna. Entah Perdana mendengarnya atau tidak.“Oh, jadi bocah itu lah penyebab pasukanku kesakitan meski sama sekali tak terluka. Dan air ini menjadi penghantarnya,” batin Danapati. “Artinya aku harus melumpuhkan bocah itu dulu!”Danapati mengangguk dalam riuh suara erangan pasukannya. Ia memahami bahwa Perdana adalah pemilik ajian yang mampu menyebabkan rasa sakit meski tak terluka. Keadaan kini berbalik. Danapati harus menghadapi empat orang, meski ia sudah memilih siapa yang harus ia kalahkan lebih dulu.Danapati melompat ke dataran yang lebih tinggi. Tujuannya untuk menghindari air beku yang diciptakan Rara Sati. Meski belum tentu Mandaraji milik Perdana masih berguna, ia tetap harus hati-hati. Empat kepala lebih baik dari

  • Aruna Putra Api   131. Peperangan V

    Arya mendekat, bisa ia pastikan bahwa pria yang menyerupai Danapati memang lah Sakuntala. Pria itu pengguna Wikararupa meski Arya tak bisa menemukan alasan mengapa ia tak mati dalam pertarungan di menara utama Astagina.“Jika dia hanya menyerupai Danapati, lantas dimana Danapati yang asli?” gumam Arya.Lelaki itu mencari kemungkinan posisi Danapati mengingat Brajawidya Jatiwungu sudah memberi batas antara dirinya dan pasukan Astagina. Arya mendongak ke atas, ke arah Jatiwungu terakhir kali terlihat. Namun senopati itu tak ada di sana.“Tunggu, Jatiwungu tak ada di sana. Lantas bagaimana dengan Brajawidya-nya?” batin Arya. “Jika tak ada lagi Brajawidya mengapa mereka tak menyerangku?”“Arya sang Ksatria Cundhamani yang kehilangan lengannya,” sapa seorang yang muncul dari balik pasukan berkuda Astagina. “Apa benar karena tertebas salah satu istrimu yang tengah berkelahi, hah?” ledeknya.“Danapati,” lirih Arya. “Dimana Jatiwungu?”“Siapa? Jati ... Ah, maaf aku tak bisa menyebutkan nama m

  • Aruna Putra Api   130. Danapati Tiruan

    “Aruna, urus jasad ibundamu!” titah Arya. Lelaki itu meraih tusuk konde emas dari genggaman lemah istrinya. Ia merasa sudah saatnya bertindak. Ia punya kepentingan dengan pelaku pembunuhan Jenar.“Apa yang akan kau lakukan, Ayahanda? Biar aku saja yang menghadapinya!” tolak Aruna.“Tidak, Aruna. Ayah yakin orang ini bukan Danapati. Biarkan Ayah menuntaskan dendam ini. Dia telah membunuh nenek dan ibundamu. Tak akan Ayah biarkan dia masih bernapas malam ini!” tandas Arya.Lelaki itu bangkit dan menghampiri Senopati Jatiwungu yang tertunduk lesu menyaksikan junjungannya tewas mengenaskan. Ia merasa gagal menyandang gelar Senopati. Tugasnya untuk melindungi Jenar kandas. Senopati macam apa yang tetap hidup sedang rajanya tewas.“Kuatkan hatimu, Jatiwungu. Sekarang tunjukkan padaku pelakunya!” pinta Arya sambil menepuk pundak Senopati Jatiwungu.“Sendika, Gusti!”Kedua lelaki itu melompat dan mendarat di atas dinding pagar istana. Mata Senopati Jatiwungu mengedar mencari keberadaan pria y

  • Aruna Putra Api   129. Gugurnya Jenar Candrakanti

    Tak ada yang lebih menggembirakan bagi Danapati selain melihat buruannya di depan mata. Jenar menggenggam tusuk konde emas yang berlumuran darah. Menatapnya penuh kebencian. Rambut hitamnya berkibar di tiup angin. Ia jauh lebih dingin dan kejam dari pada saat duduk di singgasana emasnya.Tak akan ada gerakan yang dilakukan Jenar selain berdiri di tempatnya. Selebihnya pun bila Suji Pati sudah dilepaskan, maka ia akan menari di atas dinding pagar istana. Ilmu jarak jauhnya itu akan sangat berisiko bila musuh cukup dekat. Sekali waktu ia pernah menggunakan Suji Pati di jarak dekat, itu pun dibantu dan dilindungi oleh mendiang Sanggageni dan Ki Bayanaka.“Ini sulit. Suji Pati membutuhkan jarak, sedang aku pasti akan kesulitan untuk didekati,” batin Danapati. Matanya terus mengedar mencari orang-orang yang berpotensi melindungi Jenar. Tak mungkin perempuan itu berdiri di atas dinding tanpa perlindungan.Danapati bergerak menjauh. Ia sendiri tak mengerti mengapa Jenar tak segera menyerang.

  • Aruna Putra Api   128. Peperangan IV

    Berakhir sudah hidup Putra Mahkota Astagina. Itu lah hal yang diyakini Danapati. Lelaki itu begitu gembira melebihi kejumawaannya. Ia bahkan sempat memperhatikan lagi jasad Aruna untuk membuatnya yakin putra Arya itu sudah benar-benar mati. Kini ia merasa lebih mudah untuk menghancurkan Dipa Kencana.“Mulai saat ini, aku yang memimpin peperangan! Maju dengan kekuatan penuh! Serang!” seru Danapati seraya mengacungkan sebilah pedang yang tadi menebas leher Aruna.Teriakan Raja Astagina itu disambut dengan teriakan serupa oleh pasukannya. Meski sudah berkurang banyak, dua ratus ribu adalah jumlah yang luar biasa. Dengan asumsi pasukan Duwana dan Andanu semuanya gugur saja, ia masih memiliki pasukan berkuda dan pasukan udara yang melebihi kekuatan Dipa Kencana.Pasukan berkuda dan sedikit pasukan Andanu maju serentak. Mayoritas pasukan Duwana sudah masuk lebih dulu dan kini sedang mendesak pasukan Dipa Kencana yang terus mundur hingga nyaris sampai di pagar istana. Pasukan udara Astagina

  • Aruna Putra Api   127. Peperangan III

    Dua ratus prajurit Dipa Kencana semakin terdesak. Sekuat dan setangguh apa pun mereka, jumlah pasukan musuh terlampau banyak untuk ditahan menggunakan perisai. Mereka dipimpin Senopati Jatiwungu terpaksa mundur demi menjaga keselamatan mereka.“Ibunda, sepertinya kita harus mundur!” seru Rara Sati.Jenar tak menjawab namun segera mengakhiri Suji Pati-nya. Sasaran serangannya memang tak habis-habis, namun rupanya prajurit Astagina yang sudah masuk ke dalam dinding sudah terlampau banyak. Melindungi Dipa Kencana adalah prioritas utama mengalahkan kepentingan lain.“Ayo, Sati!” ajak Jenar.Dua perempuan itu segera meninggalkan perbatasan untuk bergabung dengan Senopati Jatiwungu dan pasukan Dipa Kencana. Mungkin lebih mudah untuk membalas serangan daripada hanya menahannya. Begitu lah yang dirasakan para prajurit pimpinan Senopati Jatiwungu. Seorang dari mereka tak tahan dan menurunkan perisai untuk membalas serangan, meski komando untuk itu belum diterima.“Sial, mereka tak bisa bertaha

  • Aruna Putra Api   126. Peperangan II

    Aruna menancapkan pedang Sanggageni ke puncak pelontar yang terbuat dari balok kayu. Pelontar itu segera hancur dan kandas sampai ke tanah. Menghempaskan puing-puing benda besar itu ke segala arah. Bahkan prajurit yang bertugas mengoperasikan pelontar ikut terpental.Selesai dengan satu pelontar, pemuda itu berpindah dengan cepat ke pelontar lainnya. Dalam waktu singkat lima belas pelontar itu hancur lebur dan puluhan prajurit menemui ajalnya. Putra Mahkota Astagina itu kini dikepung oleh pasukan Astagina dari berbagai divisi pasukan. Tak ada satu pun dari prajurit itu yang pernah berpengalaman menangani api Cundhamani.Tak ada yang berani menghalangi langkah Aruna. Pemuda itu melangkah cepat dengan pedang Sanggageni yang diseret hingga meninggalkan jejak api di tanah. Tujuannya hanya satu, Danapati. Sebagai seorang raja tak mungkin Danapati berada di garis depan.“Dia pasti bersembunyi di balik ratusan ribu prajurit ini. Dasar pengecut sampah!” maki Aruna dalam hati.Kedua mata pemud

  • Aruna Putra Api   125. Nyawa Dibalas Nyawa

    Tak ada jawaban dari Atma. Pemuda itu maju dan berdiri di atas reruntuhan dinding tanah buatannya. Kedua tangannya mengepal ke atas. Ia akan memulai Baladhara. Namun tanah bagian mana yang akan ia sasar, hanya Atma yang tahu.“Lindungi dia, Senopati!” seru Aruna.Kedua lelaki itu segera meraih busur dan mulai melepaskan anak panah pada prajurit Astagina yang berusaha menyerang Atma. Dua, tiga, empat, lima prajurit Duwana tertembus anak panah sebelum mampu menyentuh pengguna Baladhara itu. Aruna dan Senopati Jatiwungu berhenti manakala merasakan tanah mulai bergetar.Atma menyasar tanah tempat pasukan Andanu berpijak. Pemikiran yang praktis dan efisien. Baginya risiko memang harus ditempuh. Meski kadang mengalihkan pertimbangan dan perhitungan matang. Tanah di bawah ribuan pasukan Andanu itu amblas dan membuat mereka terperosok ke dalamnya. Pasukan berkuda di belakangnya segera memutar balik, sedang pasukan Duwana tampak kebingungan.“Baru kali ini hamba melihat Baladhara. Sungguh luar

DMCA.com Protection Status