Bulu kuduk ketiga prajurit itu bergidik. Pandangan mereka meremang. Hampir sekujur tubuh terasa bergidik. Pemuda yang baru saja memaksa untuk menemui Gusti Sri Maharani hingga melumpuhkan dua pengawal mendadak hilang. Sebelumnya seorang pria paruh baya muncul dan segera hilang bersama pemuda itu.“Apa mungkin orang tadi lelembut Wana Payoda yang tersesat?” ujar salah satu prajurit tanpa menurunkan kewaspadaan.“Hush! Jangan kau bicara sembarangan! Sudah lebih dari tiga tahun, mengapa baru sekarang ia tersesat?” tampik rekannya. Ketiganya kompak menengadah, entah mengapa. Apa karena tak ada siapa pun di sejajar mata atau karena sudah terlanjur menganggap Aruna lelembut Wana Payoda.“Lantas, apa yang harus kita lakukan?” tanya seorang lagi.“Periksa dua pengawal itu! Jika mereka baik-baik saja, tak perlu kita laporkan peristiwa ini. Anggap saja tak pernah terjadi apa pun,” ucap seorang prajurit yang sepertinya memiliki pangkat lebih tinggi dari dua lainnya.“Baik!” seru seorang prajurit
“Maksudmu Senopati Sakuntala dan Prabu Warasena? Bagaimana mereka bisa menjadi rekan?” tanya Legawa tak percaya.“Aku sendiri tak mengerti, Paman. Aku bahkan mengira Sakuntala sudah lenyap dari dunia persilatan sejak kehilangan kaki kiri. Sedang Warasena aku pikir ikut musnah bersama Candikapura,” ujar Danapati sembari mengarahkan pandangan ke sisi kosong halaman Rakajiwa.“Hmm, jadi mereka bersekutu dan menjadi perampok, begitu?” tanya Legawa meyakinkan analisanya. Biasanya dua orang bisa bersatu karena memiliki kesamaan nasib.“Sepertinya begitu,” jawab Danapati singkat. Ia masih penasaran dengan kemampuan Warasena yang mampu menggantikan tubuhnya dengan batang pohon padahal ia yakin sekali pedangnya menembus tubuh mantan Raja Candikapura itu.“Aruna mengatakan kau terdesak? Oleh siapa?” desak Legawa. Sesungguhnya ia ingin memastikan Danapati benar-benar berada di pihak yang sama dengannya.“Warasena, aku yakin telah membunuhnya. Namun tiba-tiba ia muncul dengan tubuh berlendir dan
Puncak Gunung Payoda masih tertutup kabut tebal namun tubuh bagian selatan telah tampak. Dingin anginnya membuat beberapa pemuda menggesekkan telapak tangan demi mendapatkan rasa hangat. Matahari sudah menampakkan diri meski masih malu-malu. Seperti Danapati yang enggan bertemu dengan penghuni Padepokan karena malu terus-terusan mendapatkan pertanyaan yang sama. Siapa dan dari mana.Orang-orang Baka Nirdaya menggantungkan hidup mereka dengan hasil bumi. Mereka menjadikan Rakajiwa sebagai pusat segala kegiatan. Tak ada jual beli, yang ada hanya saling tukar. Meski sesungguhnya semua kebutuhan terutama pangan sudah dipenuhi oleh alam.Semua penghuni Padepokan adalah laki-laki. Pria paruh baya seusia Legawa umumnya veteran perang Baka Nirdaya-Astagina. Mereka tak berkeluarga, atau tak merasa layak untuk membina rumah tangga lagi. Mengingat istri dan anak-anak mereka umumnya adalah korban perang di masa lampau.Lelaki dewasa umumnya telah menimba ilmu selama beberapa tahun. Setelah merasa
“Mengapa tak menungguku sia ... p!” Danapati segera memuntahkan isi perutnya. Sepasang guru dan murid yang begitu kompak membuatnya menderita.Sayangnya Legawa dan Aruna sama sekali tak mempedulikan mantan Patih Astagina itu yang belum selesai dengan urusan perutnya. Dua laki-laki yang mirip cucu dan kakek itu lebih tertarik pada sebuah benda sebesar ibu jari yang diam melayang di dekat batuan berlumut.Legawa memberi isyarat pada Aruna untuk berhati-hati. Ia pernah dua kali ke dasar jurang ini dan nyaris tak bisa kembali ke permukaan. Ada semacam sesuatu yang tak terlihat dan berupaya menyerap semua tenaganya.“Apa yang sedang ka....” Mulut Danapati segera terkatup manakala menatap hal yang sama. Benda itu seperti menancap pada sesuatu yang tak terlihat.Ketiga laki-laki tampak tak mengerti apa yang harus dilakukan. Legawa dan Danapati bahkan sebelumnya tak menyadari ada benda seperti itu di dasar jurang. Mungkin karena hanya tertuju pada Arya, hingga tak menyadari adanya kejanggalan
Tatap mata dua orang yang saling merindukan itu bertemu. Aruna seolah tak percaya melihat ayahandanya lagi. Arya pun bahagia, setelah tiga tahun, orang yang menemukannya adalah putranya sendiri dan gurunya Legawa. Pria paruh baya itu sibuk memperhatikan sekitar, memindai risiko yang mungkin di hadapi di dunia ruh ini.“Apa yang terjadi denganmu, Ayahanda?” tanya Aruna dan segera mendekat.“Tunggu, Aruna! Kita tak tahu apa yang mungkin mengancam!” cegah Legawa. Pria itu masih saja mengedarkan pandangannya.“Paman Legawa, terima kasih sudah menjaga putraku. Mendekat lah, tak apa-apa, Lokawigna sudah mengenali kalian berdua,” ucap Arya begitu tenang.Arya berdiri dalam posisi kedua telapak tangan mengatup di depan wajahnya. Ujung tusuk konde emas terjepit di antara telapak tangan itu. Sedang separuh bilahnya terjebak antara dunia ruh dan dunia nyata. Itu sebab pangkal tusuk konde masih bisa dilihat dari luar.“Loka apa?” tanya Aruna.Belum sempat Aruna mendapatkan penjelasan dari ayahand
Aruna terus berusaha menahan benda di tangannya agar tak terlepas. Itu lah yang terlihat oleh Legawa dan Danapati, meski sebenarnya benda itu lah yang tak mau pergi dari tangan pemuda itu. Aruna bahkan sampai terus menahan dengan mengaitkan pergelangan kaki pada sebuah tanaman rambat di dinding jurang.“Apa kita harus membantunya, Paman?” tanya Danapati.“Andai kita mampu menyentuh pusaka itu, Danapati. Mari berharap Arya segera keluar dari dunia ruh dan membantu putranya,” jawab Legawa lirih. Meski khawatir, pria itu terus berusaha untuk tenang. Ia yakin Aruna mampu mengatasinya.“Arya? Dunia ruh? Apa yang kau bicarakan, Paman?” tanya Danapati tak mengerti.“Aku rasa sebentar lagi kau akan melihatnya,” ucap Legawa datar.“Melihatnya? Siapa?”Sebuah teriakan panjang dari Aruna mengiringi lesatan tusuk konde emas ke atas membawa serta tubuh sang Pangeran ke atas. Legawa dan Danapati hanya mampu menatap kepergian Aruna tanpa mampu melakukan satu hal pun.“Ayo kita ke permukaan!” ajak Le
“Tak apa, Aruna. Kayu sarayu pasti mampu mengatasinya,” ucap Arya begitu percaya diri. Lelaki itu mundur namun matanya terus memperhatikan toya yang bergetar semakin cepat.“Apa kayu sarayu sehebat itu?” tanya Aruna tak percaya. Pemuda itu berjalan mendekati ayahandanya. Meski kejadian yang memisahkan keluarga mereka bermula dari pertarungan mereka berdua, tetap saja Aruna tak bisa menyembunyikan rasa rindu.“Kau lihat lah sendiri,” ucap Arya datar.Lelaki itu melirik sekilas pada putranya. Ada rasa bangga dan bahagia yang tercermin dari seutas senyum di sudut bibirnya. Aruna sudah dewasa. Berguru pada Legawa, mewarisi ilmu pengobatan Ki Bayanaka, dan juga mampu menguasai kekuatan api.“Tunggu! Jadi, dia sudah bisa menguasainya?” tanya Arya dalam hati.Perlahan getaran pada toya yang tertancap tusuk konde emas mereda. Aruna tersenyum lebar. Usahanya tak sia-sia, bergelut dan bertukar energi dengan ayahandanya. Benda pusaka milik ibundanya itu kini dapat dijinakkan.“Apa yang kau lihat
Ilalang setinggi leher itu bergerak seirama tersapu angin. Mentari baru saja muncul dari pekatnya kabut di puncak gunung Payoda. Sinar temaram cukup untuk menerangi dua makam sahabat dekat di hadapan Arya. Demi menahan dingin lelaki itu menghamparkan kain yang digunakannya memeluk malam di pundak. Hal yang tak bisa ia lakukan tiga tahun ini.Kesedihannya sudah habis. Menguap bersama usahanya menahan laju tusuk konde emas milik Jenar agar tak menembus dahinya. Itu pun dengan bantuan sahabat dari dunia lain untuk menghimpit separuh tubuh pusaka perempuan Astagina itu. Rasanya amat mustahil seseorang dapat mengeluarkannya dari sana.“Maafkan aku, Ayahanda. Aku tak mampu memberimu ketenangan di akhir hidupmu,” lirih Arya memandangi pusara Sanggageni.Hembusan angin kembali meniup ilalang rimbun itu hingga menimbulkan suara serupa simfoni alam yang indah. Sebagian meniup rambut sebahu milik Arya. Tanpa ikat kepala, mahkotanya itu bergerak tak terkendali hingga menutup sebagian wajah.“Ki B
“Sendika, Tuanku!” sahut Lokawigna yang segera muncul dengan tampilan paling tampan. Makhluk itu tampak terkejut dengan keadaan di sekitarnya. Apa lagi setelah melihat Arya hanya memiliki satu tangan saja.“Lokawigna.”“Tuanku, apa yang terjadi dengan lengan Tuan?” tanya Lokawigna khawatir. Apa lagi terdapat banyak berkas darah di tubuh Arya.“Lupakan tentang aku. Aku butuh bantuanmu!” tandas Arya.“Sampaikan titahmu, Tuan,” ucap Lokawigna begitu patuh.“Kau lihat perempuan di atas kuda itu?” tanya Arya sambil menunjuk Rara Anjani.“Maksud Tuan, Gusti Rara Anjani?” tanya Lokawigna. Arya mengangguk cepat.“Pindahkan dia ke sini!” titah Arya.“Sendika, Tuan!”Lokawigna berkedip dan Rara Anjani beserta kudanya sudah berpindah tempat di belakang Arya. Perempuan itu tampak terkejut. Namun setelah melihat suaminya, ia paham bahwa lelaki itu lah yang telah memindahkannya, entah bagaimana caranya.“Apa ada lagi tugas untuk hamba, Tuan?” tanya Lokawigna. Selama ini Arya hanya meminta satu kali
“Kaki kanannya itu palsu. Sedang kaki kirinya tak menyentuh air. Alas kaki Raja Astagina terbuat dari kulit berkualitas tinggi hingga ia tahan air!” terang Arya menyampaikan analisanya.“Dia cukup cerdik. Pantas saja ibunda terpedaya hingga bisa dikudeta,” gumam Aruna. Entah Perdana mendengarnya atau tidak.“Oh, jadi bocah itu lah penyebab pasukanku kesakitan meski sama sekali tak terluka. Dan air ini menjadi penghantarnya,” batin Danapati. “Artinya aku harus melumpuhkan bocah itu dulu!”Danapati mengangguk dalam riuh suara erangan pasukannya. Ia memahami bahwa Perdana adalah pemilik ajian yang mampu menyebabkan rasa sakit meski tak terluka. Keadaan kini berbalik. Danapati harus menghadapi empat orang, meski ia sudah memilih siapa yang harus ia kalahkan lebih dulu.Danapati melompat ke dataran yang lebih tinggi. Tujuannya untuk menghindari air beku yang diciptakan Rara Sati. Meski belum tentu Mandaraji milik Perdana masih berguna, ia tetap harus hati-hati. Empat kepala lebih baik dari
Arya mendekat, bisa ia pastikan bahwa pria yang menyerupai Danapati memang lah Sakuntala. Pria itu pengguna Wikararupa meski Arya tak bisa menemukan alasan mengapa ia tak mati dalam pertarungan di menara utama Astagina.“Jika dia hanya menyerupai Danapati, lantas dimana Danapati yang asli?” gumam Arya.Lelaki itu mencari kemungkinan posisi Danapati mengingat Brajawidya Jatiwungu sudah memberi batas antara dirinya dan pasukan Astagina. Arya mendongak ke atas, ke arah Jatiwungu terakhir kali terlihat. Namun senopati itu tak ada di sana.“Tunggu, Jatiwungu tak ada di sana. Lantas bagaimana dengan Brajawidya-nya?” batin Arya. “Jika tak ada lagi Brajawidya mengapa mereka tak menyerangku?”“Arya sang Ksatria Cundhamani yang kehilangan lengannya,” sapa seorang yang muncul dari balik pasukan berkuda Astagina. “Apa benar karena tertebas salah satu istrimu yang tengah berkelahi, hah?” ledeknya.“Danapati,” lirih Arya. “Dimana Jatiwungu?”“Siapa? Jati ... Ah, maaf aku tak bisa menyebutkan nama m
“Aruna, urus jasad ibundamu!” titah Arya. Lelaki itu meraih tusuk konde emas dari genggaman lemah istrinya. Ia merasa sudah saatnya bertindak. Ia punya kepentingan dengan pelaku pembunuhan Jenar.“Apa yang akan kau lakukan, Ayahanda? Biar aku saja yang menghadapinya!” tolak Aruna.“Tidak, Aruna. Ayah yakin orang ini bukan Danapati. Biarkan Ayah menuntaskan dendam ini. Dia telah membunuh nenek dan ibundamu. Tak akan Ayah biarkan dia masih bernapas malam ini!” tandas Arya.Lelaki itu bangkit dan menghampiri Senopati Jatiwungu yang tertunduk lesu menyaksikan junjungannya tewas mengenaskan. Ia merasa gagal menyandang gelar Senopati. Tugasnya untuk melindungi Jenar kandas. Senopati macam apa yang tetap hidup sedang rajanya tewas.“Kuatkan hatimu, Jatiwungu. Sekarang tunjukkan padaku pelakunya!” pinta Arya sambil menepuk pundak Senopati Jatiwungu.“Sendika, Gusti!”Kedua lelaki itu melompat dan mendarat di atas dinding pagar istana. Mata Senopati Jatiwungu mengedar mencari keberadaan pria y
Tak ada yang lebih menggembirakan bagi Danapati selain melihat buruannya di depan mata. Jenar menggenggam tusuk konde emas yang berlumuran darah. Menatapnya penuh kebencian. Rambut hitamnya berkibar di tiup angin. Ia jauh lebih dingin dan kejam dari pada saat duduk di singgasana emasnya.Tak akan ada gerakan yang dilakukan Jenar selain berdiri di tempatnya. Selebihnya pun bila Suji Pati sudah dilepaskan, maka ia akan menari di atas dinding pagar istana. Ilmu jarak jauhnya itu akan sangat berisiko bila musuh cukup dekat. Sekali waktu ia pernah menggunakan Suji Pati di jarak dekat, itu pun dibantu dan dilindungi oleh mendiang Sanggageni dan Ki Bayanaka.“Ini sulit. Suji Pati membutuhkan jarak, sedang aku pasti akan kesulitan untuk didekati,” batin Danapati. Matanya terus mengedar mencari orang-orang yang berpotensi melindungi Jenar. Tak mungkin perempuan itu berdiri di atas dinding tanpa perlindungan.Danapati bergerak menjauh. Ia sendiri tak mengerti mengapa Jenar tak segera menyerang.
Berakhir sudah hidup Putra Mahkota Astagina. Itu lah hal yang diyakini Danapati. Lelaki itu begitu gembira melebihi kejumawaannya. Ia bahkan sempat memperhatikan lagi jasad Aruna untuk membuatnya yakin putra Arya itu sudah benar-benar mati. Kini ia merasa lebih mudah untuk menghancurkan Dipa Kencana.“Mulai saat ini, aku yang memimpin peperangan! Maju dengan kekuatan penuh! Serang!” seru Danapati seraya mengacungkan sebilah pedang yang tadi menebas leher Aruna.Teriakan Raja Astagina itu disambut dengan teriakan serupa oleh pasukannya. Meski sudah berkurang banyak, dua ratus ribu adalah jumlah yang luar biasa. Dengan asumsi pasukan Duwana dan Andanu semuanya gugur saja, ia masih memiliki pasukan berkuda dan pasukan udara yang melebihi kekuatan Dipa Kencana.Pasukan berkuda dan sedikit pasukan Andanu maju serentak. Mayoritas pasukan Duwana sudah masuk lebih dulu dan kini sedang mendesak pasukan Dipa Kencana yang terus mundur hingga nyaris sampai di pagar istana. Pasukan udara Astagina
Dua ratus prajurit Dipa Kencana semakin terdesak. Sekuat dan setangguh apa pun mereka, jumlah pasukan musuh terlampau banyak untuk ditahan menggunakan perisai. Mereka dipimpin Senopati Jatiwungu terpaksa mundur demi menjaga keselamatan mereka.“Ibunda, sepertinya kita harus mundur!” seru Rara Sati.Jenar tak menjawab namun segera mengakhiri Suji Pati-nya. Sasaran serangannya memang tak habis-habis, namun rupanya prajurit Astagina yang sudah masuk ke dalam dinding sudah terlampau banyak. Melindungi Dipa Kencana adalah prioritas utama mengalahkan kepentingan lain.“Ayo, Sati!” ajak Jenar.Dua perempuan itu segera meninggalkan perbatasan untuk bergabung dengan Senopati Jatiwungu dan pasukan Dipa Kencana. Mungkin lebih mudah untuk membalas serangan daripada hanya menahannya. Begitu lah yang dirasakan para prajurit pimpinan Senopati Jatiwungu. Seorang dari mereka tak tahan dan menurunkan perisai untuk membalas serangan, meski komando untuk itu belum diterima.“Sial, mereka tak bisa bertaha
Aruna menancapkan pedang Sanggageni ke puncak pelontar yang terbuat dari balok kayu. Pelontar itu segera hancur dan kandas sampai ke tanah. Menghempaskan puing-puing benda besar itu ke segala arah. Bahkan prajurit yang bertugas mengoperasikan pelontar ikut terpental.Selesai dengan satu pelontar, pemuda itu berpindah dengan cepat ke pelontar lainnya. Dalam waktu singkat lima belas pelontar itu hancur lebur dan puluhan prajurit menemui ajalnya. Putra Mahkota Astagina itu kini dikepung oleh pasukan Astagina dari berbagai divisi pasukan. Tak ada satu pun dari prajurit itu yang pernah berpengalaman menangani api Cundhamani.Tak ada yang berani menghalangi langkah Aruna. Pemuda itu melangkah cepat dengan pedang Sanggageni yang diseret hingga meninggalkan jejak api di tanah. Tujuannya hanya satu, Danapati. Sebagai seorang raja tak mungkin Danapati berada di garis depan.“Dia pasti bersembunyi di balik ratusan ribu prajurit ini. Dasar pengecut sampah!” maki Aruna dalam hati.Kedua mata pemud
Tak ada jawaban dari Atma. Pemuda itu maju dan berdiri di atas reruntuhan dinding tanah buatannya. Kedua tangannya mengepal ke atas. Ia akan memulai Baladhara. Namun tanah bagian mana yang akan ia sasar, hanya Atma yang tahu.“Lindungi dia, Senopati!” seru Aruna.Kedua lelaki itu segera meraih busur dan mulai melepaskan anak panah pada prajurit Astagina yang berusaha menyerang Atma. Dua, tiga, empat, lima prajurit Duwana tertembus anak panah sebelum mampu menyentuh pengguna Baladhara itu. Aruna dan Senopati Jatiwungu berhenti manakala merasakan tanah mulai bergetar.Atma menyasar tanah tempat pasukan Andanu berpijak. Pemikiran yang praktis dan efisien. Baginya risiko memang harus ditempuh. Meski kadang mengalihkan pertimbangan dan perhitungan matang. Tanah di bawah ribuan pasukan Andanu itu amblas dan membuat mereka terperosok ke dalamnya. Pasukan berkuda di belakangnya segera memutar balik, sedang pasukan Duwana tampak kebingungan.“Baru kali ini hamba melihat Baladhara. Sungguh luar