Home / Pendekar / Aruna Putra Api / 22. Memusatkan Pikiran

Share

22. Memusatkan Pikiran

Author: A.R. Ubaidillah
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Setelah kepergian Legawa, Aruna lebih banyak diam. Ia menuruti perintah gurunya untuk melakukan semedi di batu besar di ujung goa. Tapi pemuda itu sama sekali tak tahu bagaimana untuk melakukan semedi. Aruna hanya mengingat dua hal; memusatkan pikiran dan menyatu dengan alam.

Aruna kemudian mengatupkan telapak tangannya dan ia letakkan di depan dada. Hal yang selalu Legawa lakukan manakala mengawali Lembat Brabat. Pemuda itu diam untuk beberapa masa. Namun segera membuka mata dan bergerak saat tangannya terasa begitu pegal.

Suara gemuruh air terjun di hadapannya benar-benar menjadi satu-satunya suara yang ia dengar. Mulanya Aruna merasa biasa, namun lambat laun jatuhnya air dalm jumlah banyak membuatnya terganggu. Ia merasa harus menemukan sesuatu untuk menyumbat telinganya.

“Bagaimana aku harus memulainya? Ah! Mengapa guru begitu sedikit memberitahukan caranya?” keluh Aruna.

Pangeran Astagina itu mencoba posisi yang menurutnya lebih nyaman. Mungkin ia bisa berdiam diri dalam waktu ya
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Aruna Putra Api   23. Ki Daksa

    “Dia gagal!” Legawa segera kembali ke tubuh kasarnya. Namun tak juga keluar dari tempat persembunyian.Sementara Aruna tampak duduk terengah-engah. Tak jelas bagian tubuh mana yang terbentur, tapi seluruh tubuhnya terasa sakit. Pemuda itu bersandar pada dinding goa yang lembab. Wajahnya penuh dengan keringat.“Darah Dipa Kencana, hah? Sial!” Aruna meninju telapak tangannya. “Pujian hanya membuatku bodoh!”Aruna mengedarkan pandangannya. Goa ini gelap, namun cahaya temaram dari mulut goa yang tertutup air menandakan ini masih siang. Pemuda itu tak bisa bayangkan berada di tempat seperti itu di malam hari.“Sebelum malam aku sudah harus berhasil!” tekadnya.Pemuda 16 tahun kemudian duduk bersila. Ia ingat pernah melihat mendiang Ki Bayanaka duduk bersila dalam biliknya tanpa salah satu kaki menindih lainnya. Aruna meletakkan kedua tangannya di ujung paha, nyaris di atas lutut. Telapak tangannya mengadah. Ia tempelkan ujung ibu jari dan jari telunjuk.“Tekad yang bagus,” gumam Legawa.Pe

  • Aruna Putra Api   24. Elemen Api

    Aruna memukul dinding batu meski sama sekali tak berpengaruh apa pun. Baik pada dinding batu itu atau pun pada perasaannya. Tak ada yang berubah. Ia masih begitu kesal sudah dua kali terpaksa keluar dari Meraga Sukma. Sekaligus menggagalkannya menguasai Lembat Brabat.“Sudah dua elemen dan keduanya gagal,” keluh Aruna.Napas pemuda itu terengah-engah. Sudah tak lagi ia pikirkan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Ia mengedarkan kembali pandangannya ke mulut goa. Gelap, suara air terjun masih ada namun tak ada lagi cahaya seperti tadi. Namun anehnya ia masih mampu melihat dengan jelas.“Mata ketiga itu, lebih kuat dari milikku, atau mungkin Ki Bayanaka sekali pun! Dan dia belum menyadarinya! Arya, anakmu benar-benar istimewa!” gumam Legawa dalam persembunyiannya.Lelaki paruh baya itu kembali teringat saat bersama-sama kakak seperguruannya belajar mengaktifkan mata ketiga. Ki Bayanaka lebih dulu, disusul ia dan kemudian Sanggageni. Ki Bayanaka kemudian ahli dalam Meraga Sukma, Sanggageni m

  • Aruna Putra Api   25. Pembuktian

    Seketika goa itu menjadi terang benderang. Amat berbeda dengan suasana di luar. Air terjun laksana pintu itu pasti tampak memendarkan cahaya jingga bila dilihat dari luar. Aruna mengepalkan kedua tangan dan menyeringai. Ada sesuatu yang tengah coba ia tekan dan kendalikan.Tak ada hal lain yang bisa dilakukan Legawa selain menyaksikan perubahan langka itu. Ia sudah khawatir Aruna akan mencelakainya atau menghancurkan tempat ini. Namun rupanya tak berlaku untuk saat ini. Mustika api milik Sanggageni mungkin sudah memainkan perannya.“Apa yang akan terjadi selanjutnya? Wajar jika Kertajaya tak kuasa menahan serangannya. Juga Wana Payoda berubah menjadi jelaga. Ini lebih kuat dari milik Tuan Sanggageni dan Arya!” batin Legawa. Keadaan Aruna mau tak mau membuatnya berdecak.Tubuh Aruna bergetar, diawali dengan kedua tangan dan kaki. Sejurus kemudian pemuda itu mendengus dan berteriak. Hawa panas dari mulut dan hidung Pangeran Astagina itu bahkan terasa sampai bibir goa tempat Legawa berpi

  • Aruna Putra Api   26. Rencana

    Aruna membuka matanya yang terasa begitu berat. Pemuda itu berusaha menggerakkan tangan dan mengusap kedua netra demi mendapatkan penglihatan yang lebih baik. Ia menangkap langit-langit anyaman daun nipah dengan rangka bambu di atas tempatnya berada. Sebentar saja ia menyadari tengah berada di Padepokan Rakajiwa.“Perdana?” tanya Aruna mendapati teman sebiliknya yang baru saja tiba.“Hei, kau sudah sadar?” tanya pemuda itu. Perdana membawakan air dalam gelas bambu untuk Aruna dan memberikannya setelah putra Arya itu bangkit.“Terima kasih,” ucap Aruna setelah menerima gelas bambu itu dan segera meneguk air di dalamnya hingga tandas. “Apa yang terjadi padaku?”“Mana aku tahu! Kau datang dalam kondisi tak berpakaian bersama guru. Harusnya aku yang bertanya apa yang kau lakukan setelah pemakaman Ki Bayanaka?” tanya Perdana.“Hmm, aku tak ingat,” lirih Aruna. Tentu saja ia sengaja tak memberitahukan bahwa ia kembali berubah menjadi monster api setelah berhasil melakukan Lembat Brabat pert

  • Aruna Putra Api   27. Keputusan Patih Danapati

    Jenar melangkah begitu anggun menaiki anak tangga pendopo utama istana menuju singgasana. Pakaian serba hitam dengan sedikit aksen emas masih ia kenakan sejak api Cundhamani di empat sisi penjuru istana padam. Hari ini Astaginaenyambut kedatangan rombongan Prastawarna, sebuah kerajaan kecil dengan hasil tambang melimpah di sebelah selatan wilayah Astagina.Seluruh hadirin bersimpuh memberikan hormat kecuali seorang pemuda tampan yang berdiri di muka rombongan Prastawarna. Dia hanya menundukkan kepala dan merendahkan tubuhnya sebentar. Dia Wirabhumi, sang Putra Mahkota. Wajah tampannya mendadak terkesima manakala beradu pandang dengan paras cantik Jenar Candrakanti."Selamat datang, Pangeran Wirabhumi dan rombongan di Astagina. Aku merasa tersanjung Prastawarna mengirimkan Putra Mahkotanya langsung," ujar Jenar begitu ramah."Hormat kami, Gusti Sri Maharani. Terima kasih atas keramahan Gusti dan semua orang di Astagina. Kami tak menyangka kerajaan kecil seperti Prastawarna mendapatkan p

  • Aruna Putra Api   28. Penaklukan

    “Gusti begitu cantik. Maaf bila hamba lancang,” ucap Pangeran Wirabhumi begitu Jenar duduk di hadapannya berselisih meja dengan hidangan yang mewah.Jenar tersenyum manis. Putra Mahkota Prastawarna itu sudah menyebut dirinya sendiri sebagai hamba. Sebuah langkah awal yang baik demi penaklukan tanpa kekerasan. Hal serupa berlaku lebih dulu pada dua pangeran sebelumnya. Dan Kini Kerajaan Sabrang dan Truna sudah menjadi bagian dari kekuasaan Astagina.“Silahkan dinikmati hidangannya, Pangeran,” ucap Jenar ramah. Namun justru yang ia ajukan ke hadapan Pangeran Wirabhumi adalah anggur dalam gelas perunggu dan juga kemolekan tubuhnya. Perempuan itu sengaja melepaskan kain yang menutupi pundaknya.Pangeran Wirabhumi terkesiap menelan ludahnya. Leher jenjang dan belahan dada indah itu benar-benar menghancurkan wibawanya. Ia tak pikirkan lagi poin-poin kesepakatan yang rencananya ia ajukan agar kerjasama Astagina – Prastawarna terjalin.Jenar amat mengerti apa yang tengah melanda pemuda tampan

  • Aruna Putra Api   29. Dua Pria Konyol

    “Pangeran Aruna!” seru Danapati. Lelaki itu segera keluar dari tempat persembunyiannya. Ia benar-benar bahagia. Tak percuma ia keluar dari istana dan mencari keberadaan Arya di Wana Payoda selama lebih dari dua tahun ini.“Dimana mereka?”Langkah Danapati terhenti manakala tak bisa menemukan dua sosok tadi. Hanya ada asap putih tipis dan senggurat jingga yang mungkin tak berarti apa-apa. Danapati tak mengerti. Ia amat yakin melihat Legawa dan Aruna di tempatnya berpijak kini.“Pasti Lembat Brabat!” gumam Danapati. Ilmu andalan Legawa itu memang berguna bila berada di pihak pemakai. Namun akan sangat merepotkan bila di pihak lawan.Keturunan murni terakhir Candrapurwa itu tampak begitu kesal. Ia bahkan mengunjamkan tinjunya ke sebuah batang pohon tak jauh dari tempatnya tadi melihat Legawa dan Aruna. Pencariannya hampir saja berakhir, namun rupanya keberuntungan tak berpihak padanya.“Berarti Pangeran bersama dengan Paman Legawa. Lantas dimana Ki Bayanaka? Aku pikir selama ini Pangeran

  • Aruna Putra Api   30. Candralawa

    “Lihat lah, Warasena, dia mengenal namaku!” seru pria bertombak yang tak lain adalah Sakuntala, mantan senopati Astagina di era kekuasaan Prabu Ranajaya.“Warasena? Kau Prabu Warasena?” tanya Danapati seakan tak percaya. Belum hilang rasa terkejutnya karena bertemu Sakuntala, dia juga beradu pandang dengan Warasena, penguasa Candikapura.“Nah! Dia pun mengenaliku, Sakuntala! Kita berdua sebenarnya masih sangat tersohor! Apa kau mengerti, Senopati Kaki Satu?” timpal Warasena disusul dengan tawa dua pria itu.Danapati tak mengerti mengapa dua orang pembesar itu menjadi perampok seperti ini. Bagaimana bisa seorang Senopati Astagina dan Raja Candikapura menjadi rekan dalam kejahatan, Danapati tak mau memikirkannya. Satu hal yang membentuk gejolak dalam hati lelaki itu, bertemu dengan pembantai keluarga kakeknya, Prabu Anarawan, Raja Candrapurwa.“Kau!” Danapati menunjuk Warasena dengan ujung pedangnya. “Aku tahu dosa besarmu di masa lalu!”“Hah?” Warasena dan Sakuntala seketika menghentik

Latest chapter

  • Aruna Putra Api   133. Akhir Peperangan

    “Sendika, Tuanku!” sahut Lokawigna yang segera muncul dengan tampilan paling tampan. Makhluk itu tampak terkejut dengan keadaan di sekitarnya. Apa lagi setelah melihat Arya hanya memiliki satu tangan saja.“Lokawigna.”“Tuanku, apa yang terjadi dengan lengan Tuan?” tanya Lokawigna khawatir. Apa lagi terdapat banyak berkas darah di tubuh Arya.“Lupakan tentang aku. Aku butuh bantuanmu!” tandas Arya.“Sampaikan titahmu, Tuan,” ucap Lokawigna begitu patuh.“Kau lihat perempuan di atas kuda itu?” tanya Arya sambil menunjuk Rara Anjani.“Maksud Tuan, Gusti Rara Anjani?” tanya Lokawigna. Arya mengangguk cepat.“Pindahkan dia ke sini!” titah Arya.“Sendika, Tuan!”Lokawigna berkedip dan Rara Anjani beserta kudanya sudah berpindah tempat di belakang Arya. Perempuan itu tampak terkejut. Namun setelah melihat suaminya, ia paham bahwa lelaki itu lah yang telah memindahkannya, entah bagaimana caranya.“Apa ada lagi tugas untuk hamba, Tuan?” tanya Lokawigna. Selama ini Arya hanya meminta satu kali

  • Aruna Putra Api   132. Peperangan VI

    “Kaki kanannya itu palsu. Sedang kaki kirinya tak menyentuh air. Alas kaki Raja Astagina terbuat dari kulit berkualitas tinggi hingga ia tahan air!” terang Arya menyampaikan analisanya.“Dia cukup cerdik. Pantas saja ibunda terpedaya hingga bisa dikudeta,” gumam Aruna. Entah Perdana mendengarnya atau tidak.“Oh, jadi bocah itu lah penyebab pasukanku kesakitan meski sama sekali tak terluka. Dan air ini menjadi penghantarnya,” batin Danapati. “Artinya aku harus melumpuhkan bocah itu dulu!”Danapati mengangguk dalam riuh suara erangan pasukannya. Ia memahami bahwa Perdana adalah pemilik ajian yang mampu menyebabkan rasa sakit meski tak terluka. Keadaan kini berbalik. Danapati harus menghadapi empat orang, meski ia sudah memilih siapa yang harus ia kalahkan lebih dulu.Danapati melompat ke dataran yang lebih tinggi. Tujuannya untuk menghindari air beku yang diciptakan Rara Sati. Meski belum tentu Mandaraji milik Perdana masih berguna, ia tetap harus hati-hati. Empat kepala lebih baik dari

  • Aruna Putra Api   131. Peperangan V

    Arya mendekat, bisa ia pastikan bahwa pria yang menyerupai Danapati memang lah Sakuntala. Pria itu pengguna Wikararupa meski Arya tak bisa menemukan alasan mengapa ia tak mati dalam pertarungan di menara utama Astagina.“Jika dia hanya menyerupai Danapati, lantas dimana Danapati yang asli?” gumam Arya.Lelaki itu mencari kemungkinan posisi Danapati mengingat Brajawidya Jatiwungu sudah memberi batas antara dirinya dan pasukan Astagina. Arya mendongak ke atas, ke arah Jatiwungu terakhir kali terlihat. Namun senopati itu tak ada di sana.“Tunggu, Jatiwungu tak ada di sana. Lantas bagaimana dengan Brajawidya-nya?” batin Arya. “Jika tak ada lagi Brajawidya mengapa mereka tak menyerangku?”“Arya sang Ksatria Cundhamani yang kehilangan lengannya,” sapa seorang yang muncul dari balik pasukan berkuda Astagina. “Apa benar karena tertebas salah satu istrimu yang tengah berkelahi, hah?” ledeknya.“Danapati,” lirih Arya. “Dimana Jatiwungu?”“Siapa? Jati ... Ah, maaf aku tak bisa menyebutkan nama m

  • Aruna Putra Api   130. Danapati Tiruan

    “Aruna, urus jasad ibundamu!” titah Arya. Lelaki itu meraih tusuk konde emas dari genggaman lemah istrinya. Ia merasa sudah saatnya bertindak. Ia punya kepentingan dengan pelaku pembunuhan Jenar.“Apa yang akan kau lakukan, Ayahanda? Biar aku saja yang menghadapinya!” tolak Aruna.“Tidak, Aruna. Ayah yakin orang ini bukan Danapati. Biarkan Ayah menuntaskan dendam ini. Dia telah membunuh nenek dan ibundamu. Tak akan Ayah biarkan dia masih bernapas malam ini!” tandas Arya.Lelaki itu bangkit dan menghampiri Senopati Jatiwungu yang tertunduk lesu menyaksikan junjungannya tewas mengenaskan. Ia merasa gagal menyandang gelar Senopati. Tugasnya untuk melindungi Jenar kandas. Senopati macam apa yang tetap hidup sedang rajanya tewas.“Kuatkan hatimu, Jatiwungu. Sekarang tunjukkan padaku pelakunya!” pinta Arya sambil menepuk pundak Senopati Jatiwungu.“Sendika, Gusti!”Kedua lelaki itu melompat dan mendarat di atas dinding pagar istana. Mata Senopati Jatiwungu mengedar mencari keberadaan pria y

  • Aruna Putra Api   129. Gugurnya Jenar Candrakanti

    Tak ada yang lebih menggembirakan bagi Danapati selain melihat buruannya di depan mata. Jenar menggenggam tusuk konde emas yang berlumuran darah. Menatapnya penuh kebencian. Rambut hitamnya berkibar di tiup angin. Ia jauh lebih dingin dan kejam dari pada saat duduk di singgasana emasnya.Tak akan ada gerakan yang dilakukan Jenar selain berdiri di tempatnya. Selebihnya pun bila Suji Pati sudah dilepaskan, maka ia akan menari di atas dinding pagar istana. Ilmu jarak jauhnya itu akan sangat berisiko bila musuh cukup dekat. Sekali waktu ia pernah menggunakan Suji Pati di jarak dekat, itu pun dibantu dan dilindungi oleh mendiang Sanggageni dan Ki Bayanaka.“Ini sulit. Suji Pati membutuhkan jarak, sedang aku pasti akan kesulitan untuk didekati,” batin Danapati. Matanya terus mengedar mencari orang-orang yang berpotensi melindungi Jenar. Tak mungkin perempuan itu berdiri di atas dinding tanpa perlindungan.Danapati bergerak menjauh. Ia sendiri tak mengerti mengapa Jenar tak segera menyerang.

  • Aruna Putra Api   128. Peperangan IV

    Berakhir sudah hidup Putra Mahkota Astagina. Itu lah hal yang diyakini Danapati. Lelaki itu begitu gembira melebihi kejumawaannya. Ia bahkan sempat memperhatikan lagi jasad Aruna untuk membuatnya yakin putra Arya itu sudah benar-benar mati. Kini ia merasa lebih mudah untuk menghancurkan Dipa Kencana.“Mulai saat ini, aku yang memimpin peperangan! Maju dengan kekuatan penuh! Serang!” seru Danapati seraya mengacungkan sebilah pedang yang tadi menebas leher Aruna.Teriakan Raja Astagina itu disambut dengan teriakan serupa oleh pasukannya. Meski sudah berkurang banyak, dua ratus ribu adalah jumlah yang luar biasa. Dengan asumsi pasukan Duwana dan Andanu semuanya gugur saja, ia masih memiliki pasukan berkuda dan pasukan udara yang melebihi kekuatan Dipa Kencana.Pasukan berkuda dan sedikit pasukan Andanu maju serentak. Mayoritas pasukan Duwana sudah masuk lebih dulu dan kini sedang mendesak pasukan Dipa Kencana yang terus mundur hingga nyaris sampai di pagar istana. Pasukan udara Astagina

  • Aruna Putra Api   127. Peperangan III

    Dua ratus prajurit Dipa Kencana semakin terdesak. Sekuat dan setangguh apa pun mereka, jumlah pasukan musuh terlampau banyak untuk ditahan menggunakan perisai. Mereka dipimpin Senopati Jatiwungu terpaksa mundur demi menjaga keselamatan mereka.“Ibunda, sepertinya kita harus mundur!” seru Rara Sati.Jenar tak menjawab namun segera mengakhiri Suji Pati-nya. Sasaran serangannya memang tak habis-habis, namun rupanya prajurit Astagina yang sudah masuk ke dalam dinding sudah terlampau banyak. Melindungi Dipa Kencana adalah prioritas utama mengalahkan kepentingan lain.“Ayo, Sati!” ajak Jenar.Dua perempuan itu segera meninggalkan perbatasan untuk bergabung dengan Senopati Jatiwungu dan pasukan Dipa Kencana. Mungkin lebih mudah untuk membalas serangan daripada hanya menahannya. Begitu lah yang dirasakan para prajurit pimpinan Senopati Jatiwungu. Seorang dari mereka tak tahan dan menurunkan perisai untuk membalas serangan, meski komando untuk itu belum diterima.“Sial, mereka tak bisa bertaha

  • Aruna Putra Api   126. Peperangan II

    Aruna menancapkan pedang Sanggageni ke puncak pelontar yang terbuat dari balok kayu. Pelontar itu segera hancur dan kandas sampai ke tanah. Menghempaskan puing-puing benda besar itu ke segala arah. Bahkan prajurit yang bertugas mengoperasikan pelontar ikut terpental.Selesai dengan satu pelontar, pemuda itu berpindah dengan cepat ke pelontar lainnya. Dalam waktu singkat lima belas pelontar itu hancur lebur dan puluhan prajurit menemui ajalnya. Putra Mahkota Astagina itu kini dikepung oleh pasukan Astagina dari berbagai divisi pasukan. Tak ada satu pun dari prajurit itu yang pernah berpengalaman menangani api Cundhamani.Tak ada yang berani menghalangi langkah Aruna. Pemuda itu melangkah cepat dengan pedang Sanggageni yang diseret hingga meninggalkan jejak api di tanah. Tujuannya hanya satu, Danapati. Sebagai seorang raja tak mungkin Danapati berada di garis depan.“Dia pasti bersembunyi di balik ratusan ribu prajurit ini. Dasar pengecut sampah!” maki Aruna dalam hati.Kedua mata pemud

  • Aruna Putra Api   125. Nyawa Dibalas Nyawa

    Tak ada jawaban dari Atma. Pemuda itu maju dan berdiri di atas reruntuhan dinding tanah buatannya. Kedua tangannya mengepal ke atas. Ia akan memulai Baladhara. Namun tanah bagian mana yang akan ia sasar, hanya Atma yang tahu.“Lindungi dia, Senopati!” seru Aruna.Kedua lelaki itu segera meraih busur dan mulai melepaskan anak panah pada prajurit Astagina yang berusaha menyerang Atma. Dua, tiga, empat, lima prajurit Duwana tertembus anak panah sebelum mampu menyentuh pengguna Baladhara itu. Aruna dan Senopati Jatiwungu berhenti manakala merasakan tanah mulai bergetar.Atma menyasar tanah tempat pasukan Andanu berpijak. Pemikiran yang praktis dan efisien. Baginya risiko memang harus ditempuh. Meski kadang mengalihkan pertimbangan dan perhitungan matang. Tanah di bawah ribuan pasukan Andanu itu amblas dan membuat mereka terperosok ke dalamnya. Pasukan berkuda di belakangnya segera memutar balik, sedang pasukan Duwana tampak kebingungan.“Baru kali ini hamba melihat Baladhara. Sungguh luar

DMCA.com Protection Status