Ditemani dengan teh melati tanpa rasa, ku pandangi tugas mahasiswa yang menumpuk di meja ku. Nggak usah Anda sekalian tanya pasti tahu kan profesi yang saya bidangi. Ku pakai jas lab yang tergantung di meja lengkap peralatan yang lain.Jujur mungkin sosok seperti ku yang kalian benci saat menjadi mahasiswa.
Yang jelas tugas ku membimbing bukan ingin menghancurkan. Karena kalimat pedas itu selalu diingat daripada kalimat lemah lembut. Intinya itu bukan yang lain jadi mohon maaf dan saya ingatkan jika memang kalian kurang berkenan dengan sifat ku bisa meninggalkan cerita ku.
"Pagi Bu,"sapa sebagian mahasiswa hanya ku angguki. Namun tak jarang juga yang berpura-pura tidak mengenal. Heh dasar mahasiswa. Nggak pernah tau diri siapa yang membimbing mereka. Meninggalkan perasaan kesal dengan berdiri menjulang di depan lab kimia dasar.
"Kelompok satu,"ucapku tegas dengan suara memecah keheningan. Kegiatan seperti ini adalah kebiasaan atau tradisi untuk mahasiswa jurusan ku. Memeriksa satu persatu perlengkapan mereka sebelum masuk untuk praktikum.
"Dek tissue nya mana,"tanya ku.
"Maaf Bu ketinggalan,"ucapnya. Ku lirik nama yang tersemat di jas lab nya sejenak.
"Marleo saya nggak mau tau. Ketinggalan ya? Ya sudah selamat tertinggal praktikum,"ucapku dingin.
"Baik bu saya akan lengkapi,"ucapnya bergegas turun mencari tissue.
"Perhatikan yang lain. Saya tidak akan mentolerir jika ada kekurangan sedikit pun,"ucapku tegas. "Siap bu,"ucap mahasiswa serempak ku angguki dan kembali melanjutkan kegiatan berikutnya. Karena tugas ku di laboratorium dasar hari ini hanya memeriksa kelengkapan bukan membimbing praktikum.
"Selamat pagi. Silahkan ditutup modulnya sebelum memulai pre test,"ucapku tegas. Sembari menunggu, aku melihat mahasiswa yang tengah praktikum tanpa di awasi dospem nya.
"Dek praktikum apa,"tanya ku mendekati mereka.
"Uji kandungan Asam Lemak Bebas,"ucap seorang mahasiswa bernama Laskita. Ku perhatikan kondisi buret yang digunakan untuk titrasi. "Salah ini Dek. Ulang lagi titrasinya. Nggak ada namanya titrasi masih ada gelembung udara begini,"ucapku tegas. "Baik bu,"ucap mereka segera mengganti larutan.
Kembali duduk menatap mahasiswa yang akan praktikum bersama ku hari ini. "Kalian sudah tau kan aturan lab. Jika mahasiswa tidak memenuhi respon maka kita usai kan sampai disini,"ucapku sebelum memulai sambil membawa papan scanner yang di atasnya ada lembar penilaian.
Cukup sederhana sebenarnya. Karena mana mungkin kami mengizinkan praktikum kalo nggak paham tujuan dan apa yang akan dilakukan bersama bahan kimia. Juga meminimalisir kecelakaan kerja di dalam lab. Lagipun yang ditanyakan nggak pernah keluar dari modul.
-&-
"Silahkan dimulai dan harap berhati-hati. Saya tidak menerima kecerobohan sedikit pun. Buat dulu larutan sesuai perintah di modul nanti saya kembali untuk evaporasi,"ucapku tegas sebelum berlalu meninggalkan mereka menuju ruangan dosen sembari melepas masker karbon.
"Bu Dyan,"
"Iya saya. Ada apa Bu?,"tanya ku pada Angela, dosen senior yang lebih lama menjadi dosen di tempat ku berada. "Santai Bu. Kemarin ada anak-anak semester 5 kumpul tugas. Ada yang nyasar kayaknya,"ucap Angela membuat teringat tumpukan tugas mahasiswa di meja ku.
"Oh iya Bu. Sebentar,"ucapku mengangkat tumpukan tugas nyasar menuju meja Angela. "Memang mahasiswa sekarang nggak pernah liat dulu. Padahal sudah jelas tertulis nama disana masih saja salah taruh,"ucapku sebal.
"Iya namanya mahasiswa Bu. Kadang jengkel kalo banyak alasan buat kerjakan tugas yang ujungnya copy paste tugas temen nya. Masa satu kelas isinya tentang kajian larutan sama semua,"ucap Angela mengeluarkan uneg-uneg nya.
"Hmm iya Bu. Memang harus benar-benar tegas menghadapi mahasiswa biar suatu saat nanti kalo sudah kerja ngga ceroboh lagi,"ucapku berpendapat. "Waduh kayaknya Bu Dyan ini emosi ada tugas nyasar sampai full di mejanya,"ucap Keyla, rekan sesama dosen.
"Heh besok lagi tulis nama di meja pakai spidol merah Bu. Biar makin jelas,"ucapku tersenyum kecil sambil berlalu pergi kembali ke lab memeriksa praktikum mahasiswa jelas dengan perlengkapan sudah siap. "Bu ini gimana caranya evaporasi nya,"tanya Nadia takut-takut.
"Ikut saya,"ucapku mengambil hasil campuran mereka menuju mesin untuk penyulingan. "Ini Dek di liat cara kerjanya,"ucapku memeragakan cara menguapkan campuran sampel untuk memeroleh hasil dengan cermat dan teliti.
"Setelah ini silahkan dikerjakan laporan sementara. Saya tunggu hasilnya di ruangan saya dan jangan lupa dibersihkan alat-alat yang sudah dipakai,"ucapku berlalu pergi. Belum juga berlalu mata ku malah menangkap sepasang mahasiswa yang sedang asyik bermesraan di ujung lab.
"LABORATORIUM BUKAN TEMPAT PACARAN,"ucapku tanpa tedeng aling-aling. Membuat banyak mahasiswa melihat sejenak kemudian kembali melanjutkan pekerjaan mereka. "Ikut saya,"ucapku dengan alis menukik tajam ke ruangan ketua jurusan.
"Permisi Pak,"ucapku sopan nan ramah. Bukan pencitraan tapi sebagai sesama dosen wajib menghormati. "Iya Bu Dyandra ada yang bisa saya bantu,"ucap Rafka. "Hmm saya rasa ada yang rindu kalimat cinta bapak,"ucapku implisit.
"Ada apa Bu?,"tanya Rafka mengerutkan keningnya bingung. Pasalnya baru kali ini aku datang untuk melaporkan hal semacam ini. "Saya rasa lab bisa jadu tempat romantis Pak,"ucapku tersenyum samar di balik masker karbon yang lupa ku lepas.
"Mana mahasiswa nya Bu Dyan,"ucap Rafka naik pitam. "Ada diluar sebelumnya saya juga pamit undur diri. Mohon maaf pak,"ucapku. "Tidak papa Bu. Justru saya senang ibu mengambil tindakan tegas,"ucap Rafka.
"Kalian segera masuk ditunggu ketua jurusan,"ucapku dingin sebelum berlalu turun menuju ruangan ku. Belum juga masuk, kenapa lagi ini di pintu kayak ada antrian sembako. "Dek kalo mau masuk silahkan masuk. Jangan suka tunggu di depan pintu.
Etika nya diperhatikan,"ucapku. "Baik Bu,"ucap mereka memberi jalan untuk masuk. Nah kan lagi-lagi tugas seabrek di meja ku. "Ehem aduh salah taruh lagi ya Bu Dyan,"ucap Augitra. "Harus sabar tapi kok keterlaluan. Mahasiswa yang disini di beri tahu teman nya ya.
Sebelum mengumpul tugas diliat dulu namanya. Sudah mahasiswa kok masih ceroboh kayak anak SMA. Bisa dilaksanakan mahasiswa?,"tanyaku. "Siap bisa Bu,"ucap mahasiswa yang berkonsultasi secara serempak. Ku tepikan tugas nyasar tadi sebelum menikmati bekal salad buah yang ku bawa.
Baru saja mau makan, ponsel bergetar pertanda panggilan masuk. Ku urungkan kegiatan makan dan bergegas keluar ruangan untuk mengangkat panggilan.
"Assalamu'alaikum,"ucapku mengangkat telfon.
"Waalaikumussalam. Yan nanti di rumah berdua sama kakak ipar nggak papa kan. Ibu sama bapak ada seminar di Semarang dua hari,"ucap Maheswari, ibuku tersayang. "Iya nggak papa bu. Hati-hati di jalan ya,"ucapku menutup panggilan. Apa karena aku anak terakhir mereka memperlakukan ku seolah bayi yang harus dijaga 24 jam.
Tapi mungkin itu bentuk kepedulian mereka pada ku juga dengan melarang ku pergi jauh jauh. Baru mau ke ruangan dosen ambil jas lab, sepasang yang tadi kepergok malah menghadap sekarang. "Bu mohon maafkan kami. Kami ngga mau skors,"ucap mereka. "Saya sudah maafkan kalian tapi tentang hukuman itu diluar wewenang saya.
Jadi mohon maaf,"ucapku berlalu pergi."Apa ibu nggak punya hati ya? Seenaknya sendiri? Semua di anggap sama rata apalagi menindas mahasiswa. Makanya sampai sekarang ngga dikasih jodoh,"ucap salah satunya menghentikan langkah ku.
Aku berbalik dengan menampilkan wajah datar. "Terima kasih doanya semoga terkabul,"ucapku sebelum berlalu pergi. Bukan sekali dua kali aku di sumpahi mahasiswa. Tapi gimana sih mereka? Disuruh ambil larutan dari lemari asam nggak pakai masker? Dan kecerobohan fatal mereka. Hah...
Ku sampirkan kembali jas lab beserta perlengkapan safety sebelum masuk lab untuk melihat praktikum yang dilakukan tanpa dospem. "Dek titrasi ngga ada yang pakai gelas beker. Ganti gelas erlenmyer,"ucapku mengoreksi.
"Ini kenapa malah main HP di lab? Sudah selesai parktikum silahkan kerjakan laporan dan jangan main HP kalo ngga mau saya sita,"ucapku tegas sebelum keluar lagi berpindah lab. "Bu Dyan,"aku berhenti melihat mahasiswa yang praktikum dengan ku menghadap.
"Ini laporan kami Bu,"ucap salah satu diantaranya. Mana mungkin banyaknya jumlah mahasiswa ku hafal semua. Hafal sih hafal tapi nggak mau malu gara-gara salah sebut nama. Jadi mending ngga usah panggil nama kan. "Ikut saya,"ucapku masuk ke ruangan.
Sembari membaca laporan, ku perhatikan setiap detailnya untuk memastikan tidak ada kesalahan. Begitu merasa sudah benar ku keluarkan tanda tangan untuk acc laporan menjadi laporan akhir. "Setelah ini segera kalian kumpulkan laporan akhir. Deadline dua hari dari sekarang,"ucapku menyerahkan kembali.
"Baik terimakasih bu,"ucap mereka. Hmm sungguh ucapan paling epik kalo menurut ku di setiap pertemuan atau pelajaran kalimat itu pasti senantiasa muncul.
---
Jam menujukkan pukul 4 sore, aku berkeliling memastikan mahasiswa telah pulang dan usai praktikum. Karena pasti banyak orang tua mereka yang mencari anaknya jika belum pulang di jam segini. "Bu Dyan,"aku menoleh mendapati Rafka yang jalan ke arahku.
"Iya saya Pak,"ucapku. "Ini undangan pernikahan saya untuk minggu depan. Jangan lupa datang ya. Saya cari di ruangan ngga ada makanya keliling lab,"ucap Rafka menyodorkan undangan berpita biru muda berpadu dengan putih. "Oalah iya Pak.
Hmm jadi bener ya yang sama dosen akuntansi itu,"ucapku melihat nama yang tertera. "Itu karena kamu sendiri Yan,"ucap Rafka mulai santai. "Kok saya pak,"ucapku heran. "Saya rasa masih terlalu buruk untuk standard Dyandra Andradiaz Zhafira Rajasa,"ucap Rafka membuat ku tersenyum tipis.
"Saya hanya tidak ingin menjalin hubungan dengan lawan jenis Pak,"ucapku ramah. "Tidak bukan berarti tidak mungkin. Semoga cepet nyusul ya. Oiya saya duluan,"ucap Rafka hanya ku angguki. Nggak bohong kalo masalah ngga mau connected dengan cowok dan begini jauh lebih nyaman untuk ku.
Kembali melanjutkan langkah dengan berlalu mengambil kunci mobil beserta tas yang berisi perlengkapan safety dan beberapa artikel untuk penelitian. Melewati jembatan Mahakam di kala senja yang mulai bewarna oranye.
Aku terlalu saintifik jadi mohon maaf kalo ngga berminat dan bukan penikmat senja yang katanya indah. Justru aku lebih suka dengan malam serta kesunyian nya daripada senja atau pun sejenisnya. Sebelum pulang, karena tau kakak ipar tersayang lagi galau ditinggal Kak Deva ke LA.
Ku hentikan mobilku untuk membeli 2 porsi bakso di tempat favoritnya. "Bu Dyan,"sapa mahasiswa yang lewat langsung ku balas senyuman tipis. "Lagi makan juga,"tanyaku. "Iya Bu,"ucapnya kaku.
Hueh reputasi ku sebagai dosen ya seperti kalian bilang jenis doskil alias dosen killer. Tapi kalo demi keselamatan ngga salah dong. Usai membeli bakso, langsung meluncur ke kawasan perumahan yang cukup ternama di kota ini hingga berhenti di sebuah rumah bewarna putih gading dua tingkat.
"Kak Tiara. Dyandra pulang,"ucapku masuk ke dalam rumah. "Dyan sayang. Wah baik banget belikan bakso,"ucap Tiara sumringah. "Sekedar tau aja yang lagi ngidam tapi ditinggal ke luar negeri,"ucapku terkekeh langsung mendapat cubitan kecil di pinggang.
"Akh ini katanya dokter? Menyakiti bukan mengobati. Nggak sesuai konsep kalo kayak gini,"ucapku berkomentar sembari berlalu. "Yan nanti malam ada kerjaan nggak,"tanya Tiara. "Free kenapa kak,"tanyaku dari atas sebelum masuk kamar.
"Nonton Aladin yuk,"ajak Tiara. "Okey,"ucapku singkat. Memasuki kamar suasana hijau dengan tanaman yang menambah kesan segar dan hidup di kamar. Aku kaku tapi bukan berrati hidup ku semuanya kaku banget. Sembari melepas jilbab ku nyalakan musik dari JOOX otomatis di kamar.
Merendam diri dengan aroma citrus terasa nikmat setelah pulang dari kampus. Memperbaiki mood yang buruk dan mengembalikan semangat seperti saat bangun pagi hari. Desain kamar mandi ku pun sengaja menyerupai telaga di sebuah hutan. Nggak tau kenapa tapi kalo liat suasana begini langsung adem hawanya. Kayak nyaman banget gitu.
"Yan kamu ngga cocok jadi dosen killer kalo gini,"ucap Tiara begitu aku turun dari kamar. "Siapa juga yang mau jadi dosen killer Kak,"ucapku. Memang sih dengan tampilan baju tidur bunga-bunga dusty pink dengan rambut lurus dan pendek khas mbak angkatan.
Tapi aku bukan fans mereka ya. Cuma kalo panjang ribet sendiri jadi ambil jalan tengah dengan potong rambut. "Mana bakso ku kak,"tanyaku. "Ini nah say sudah ku taruh disini tinggal tunggu kamu kita nonton film,"ucap Tiara ku angguki.
"Kak aku bukan syaiton,"ucapku duduk di sebelahnya sembari memasang kacamata radiasi. "Huweh susah ya ngomong sama batu batangkup,"ucap Tiara. "Bagus banget ini Yan,"ucap Tiara bersemangat sekali menjelaskan deskripsi yang belum tentu terekam di otak ku.
"Alay nya Kak. Mohon maaf beda frekuensi,"ucapku singkat langsung dihadiahi kalimat cinta kak Tiara. "Iya deh Yan. Kayaknya bener saran Ibu mau jodoh kan kamu biar ngga belok jadi lesbian,"ucap Tiara membuat ku menatap datar wajahnya.
"Skip ntar aja kalo lagi pengen,"ucapku asal. "Sampai kapan Yan? Dosen ketua jurusan aja kamu skip, temen dokter ku kamu juga skip, teman dokter Ibu juga kamu skip, lah kamu ini cari yang gimana sih Yan,"ucap Tiara.
"Lah kalo lagi ngga pengen mau gimana. Kalo pengen kak biar nemu di jalan langsung ku gas,"ucapku makin asal sambil memakan bakso. "Atau jangan-jangan kamu cari yang angkatan?,"tanya Tiara makin membuat ku mengeluarkan kalimat asal ku.
"Tunggu aja aku minat Kak. Selagi ngga minat semuanya ngga ada yang acc,"ucapku. "Duh Gusti iki jane piye yo. Umur 18 tahunan aja banyak yang sudah ngebet nikah ini itu. Ini sudah matang tinggal cus nggak mau,"ucap Tiara mematikan lampu dan memulai film nya.
"Itu mereka,"ucapku. "Iya justru karena itu Dyan. Umur mu sudah cocok Dyandra. Kapan mau nikah kalo gitu,"tanya Tiara. "Nanti,"ucap ku santai. "Ya Allah amit amit punya anak model kek kamu Yan,"ucap Tiara mengusap perut buncit nya.
"Omo Yan ya ampun kenapa Aladin nya ngga sadar sih kalo itu putri Jasmine nya,"ucap Tiara berkomentar. "Lah kalo tau yang habis gitu aja Kak. Alurnya kan emang gitu mau ekspektasi gimana pun juga tetep ngga ngerubah bentuk aslinya,"ucapku.
Aku suka nonton hanya sebagai hiburan karena kayak wah sekali orang menggambarkan betapa indahnya sesuatu yang berhubungan dengan kebucinan. Padahal nyatanya ngga seindah itu. Ups ralat minus manusia kaku kayak aku kayaknya.
Baju batik bewarna maroon cukup manis berpadu di tubuhku. Setelah memastikan tidak ada yang kurang dan tertinggal, ku lirik jam sudah menunjukkan pukul 06.30 WITA. Dosen yang baik itu harus datang lebih cepat dari mahasiswa.Supaya bisa jadi contoh tapi kayaknya biar aku disiplin ngga bakal juga aku dicontoh sama mahasiswa. Orang mereka aja menempatkan ku di posisi dosen killer tertinggi di kampus Politeknik Negeri tempatku mengajar."Kak Dyan pamit dulu ya. Assalamu'alaikum,"ucapku. "Yoi hati-hati ya Yan jangan ngebut di jalanan,"ucap Tiara. Tiara ini aneh-aneh lagi. Sejak kapan aku ngebut di jalanan sedangkan bagi ku patuh pada peraturan dan perundang-undangan sudah segala-galanya.Membelah kota Samarinda yang memiliki kesibukan masing-masing di jam segini. Di tepi kanan sungai Mahakam membentang indah membelah dua bagian membuat ku harus melewati jembatan yang dahulu pernah runtuh."Selamat pagi Bu Dyan
“Aduh gimana ini Bu,”ucap Angela masuk ke dalam ruangan dosen dengan wajah kacau. “Siapa yang gantikan Bu Nata nyanyi untuk pagelaran nanti malam,”ucap Angela membuat ku terhenyak. What’s kenapa harus Nata yang ngga datang??? Bau-bau jadi tumbal ini. Bukannya gimana masalahnya kalo gantikan dadakan gini siapa sih yang ngga sebel. “Bu Dyan,”ucap Augitra mengangguk. Ini juga karena tangan yang ngga bisa banyak gerak. Mana mungkin penari bawa kipas gerakannya bukan luwes malah patah-patah kayak paskibraka. “Saya bisa menggantikan Bu,”ucapku berdiri. “Alhamdulilah makasih banyak Bu Dyan. Ini nih teks nya ya, audio nya saya kirim lewat WA,”ucap Angela memberiku selembar kertas. “Bahasa Bugis ya Bu,”ucapku. “Iyalah. Kan Pak Rafka orang Bugis apalagi calonnya juga orang Bugis,”ucap Keyla. Kan masalah lagi, mana aksen Bugis jelas beda dengan aksen Jawa. Ayolah pasti bisa Yan pasti bisa. Katanya lagu ini bu
Dengan langkah yakin ku lalui lorong lab dengan perasaan lebih baik karena akhirnya perban kurang asem itu dilepas dari tangan ku. Dengan membawa map berisi lembar penilaian, aku masuk ke dalam lab proses untuk membimbing praktikum."Pagi Bu Dyan,"Oiya lupa semenjak malam itu, mahasiswa jadi lebih sering menyapa ku namun dibalas dengan anggukan. Capek balasi satu persatu dan ngga efektif. Banyak yang berubah dari orang di sekitar ku. Seperti Pak Rafka yang jadi sumringah tiap hari. Angela, Keyla dan Augitra yang makin mendekat kan ku dengan banyak jenis laki-laki.Tapi kembali pada prinsip. Gimana mau suka sedangkan aku sendiri aja ngga ada minat dan kepikiran. Cuma aku yang masih tetap sama dengan kemarin. Karena mau jadi apapun aku nggak ada bedanya. Jadi untuk apa repot-repot berubah.PrankSuara pecahan alat kimia membuat ku tersentak. "Kenapa Dek,"tanyaku kaget. "Labu ukur n
Deretan alat kimia berjajar di depan mata ku dengan berbagai jenis. Setelah dengan sedikit problema akhirnya aku bisa datang ke sini. Maheswari tak henti membuat ku harus duduk berjam-jam untuk mendengarkan laki-laki yang kata mereka orang baik. Mau gimana udah terlanjur acc, muak ngga muak udah kejadian juga. Bahkan sengaja meminta ke instansi ku untuk memulangkan sebelum jam setengah 3 sore. Nggak juga kalo aku pulang kayak biasa merubah keinginan mereka pada intinya. "Bu Dyan," "Iya saya. Kenapa Bu?,"tanyaku menoleh melihat Angela mendatangi ku. "Nggak papa. Kok tumben hari ini agak beda ada masalah apa,"tanya Angela menutup pintu lab menyisakan kita berdua. "Nggak papa Bu,"ucapku tersenyum tipis di balik masker karbon yang ku pakai. "Nggak papa cerita aja biar lega. Masa dari pagi datang itu hawa nya beda loh Bu. Mungkin ada masalah mahasiswa yang kurang enak Bu,"ucap Angela membuat ku beralih dudu
"Dyan mau kemana pagi begini,"tanya Harsa yang tengah membaca koran di ruang tamu. Wah enak sekali dosen senior bersantai sembari menikmati kopi. Sedangkan aku seperti tertimpa tangga saja karena kesiangan. "Mau ke kampus Pak. Dyan pamit ya. Udah telat. Assalamu'alaikum,"ucapku buru-buru berlari keluar. "Ini gara-gara tentara sok puitis makanya telat 5 menit dari jam biasanya aku berangkat kan,"ucapku bergegas mengendarai mobil dengan kecepatan di atas rata-rata membelah kota Samarinda dengan perasaan panik. Baru aja sampai di depan gedung jurusan, langsung ku ambil tas berjalan seolah normal memasuki lab yang sudah ramai. Iyalah biasanya aku datang itu sepi sekali karena masih pagi buta. Ini termasuk terlambat bagi ku dan aku ngga suka itu. "Bu Dyan," aku menoleh melihat Keyla yang memanggil ku dari belakang. "Iya kenapa Bu,"tanya ku. "Hmm pantas agak siangan, ini kah penyebab nya. Oiya sama tentara y
"Dyandra ya ampun ngga nyangka. Senengnya ketemu kamu lagi Yan. Nggak sabar jadikan mantu Bunda,"ucap Nafisa dengan wajah berbinar. Ya akhirnya dua bersaudara itu membawa ku kemari. "Hehe iya Bun. Mau kemana kok ada koper di depan,"tanya ku penasaran."Loh kan kita mau ke Malang buat pengajuan nikah kalian,"ucap Alagra makin membuatku seperti terjebak tanpa tau apa-apa. "Loh Dra kamu nggak kasih tau Dyan,"tanya Nafisa. "Biar surprise Yah. Habis kena semprot Dyan bikin pangling sampai lupa.Bisa gitu Dyan jadi lain waktu di kampus. Apalagi ketemu mahasiswa bermasalah,"ucap Chandra. "Kakak ini memang loh. Nggak papa kak Dyan, sama aku aja ya duduknya jangan sama Kak Chandra,"ucap Dhita membuatku tersenyum tipis.Asli manusia seenak jidatnya, aku di bawa kesini terus Bapak sama Ibu gimana. "Yan,"ucap Harsa datang dengan penampilan rapi bersama Maheswari tanpa couple tersayang. "Loh Bapak sama Ibu sudah tau juga,"tanyaku bingu
Tumpukan berkas dan tugas mahasiswa akhirnya usai ku selesaikan. 3 hari setelah kejadian di culik waktu itu, sekarang pun sudah tiba saatnya pingitan. Jadi mau nggak mau aku harus diem di rumah. Paling kalo ada mahasiswa mau konsul baru aku turun. Rumah ku dihias sebegitu menariknya dengan berbagai jenis bunga. Apalagi kamar ku paling parah sampai rasa tidur di kuburan. Padahal nikah masih lusa, banyak sekali juga upacaranya. Ingin rasanya aku salto udara dan pergi dari rentetan acara ngga ada habisnya. Putri, Anita dan Grace juga datang kali ini. "Ish cantiknya kayak Dewi turun dari kahyangan,"ucap Putri. "Kayangan mbahmu, orang kayak ketiban baju setengah kilo gini kalian bilang turun dari kayangan,"ucapku."Ya nggak gitu Yan. Please ngerti lah maksudku,"ucap Grace. "Terserah kalian. Oiya aku ketemu dengan Divyan kemarin waktu di Lamongan,"ucapku santai namun menimbulkan reaksi berlebihan. "Ngapain dia,"tanya Anita
Baju putih abu abu dengan selempang wakil ketua OSIS melekat di tubuh seorang gadis yang tengah merapikan topi yang di pakainya. Hari ini akan ada acara serah terima jabatan ketua dan wakil ketua OSIS untuk periode berikutnya."Sudah cantik itu Yan,"ucap Divyan dari pintu kamar mandi. "Bukan itu. Nggak cocok kalo Chandra nya baju aja rapi baru aku amburadul,"ucapku. "Nggak gitu juga. Ehh Chandra,"ucap Divyan. Merasa sudah rapi, aku keluar dari kamar mandi."Ibu ketua OSIS cantik banget bikin pangling,"ucap Chandra. "Ngomong lagi ku pukul pakai sepatu pdh kamu Dra,"ucapku kesal. "Iya dah. Ayo,"ucap Chandra menarik lengan ku mengikuti langkah panjang nya menuju lapangan upacara. Acara ini sekaligus momentum pelepasan, jadi wajar kalo semua siswa turut andil."Dyandra,"aku menoleh mendapati Nafisa dan Alagra yang melambai ta
Suasana ramai yang tengah begitu semarak tidak mengindahkan ku dari tatapan tajam pada Daffa. Pria itu hanya menatapku dengan tatapan tenang. Seolah memang dirinya tidak ada sangkut pautnya dengan para taruna itu."Siapa kamu,"Mataku menelisik berusaha mencari kebenaran dari setiap gerak-geriknya. Aku pernah membaca sedikit artikel tentang gerakan seseorang. Lagipula aku memang tidak terbiasa mudah percaya dengan setiap pria sepertinya."Apa Mbak? Saya dosen yang Anda kenal,"ucap Daffa masih membela diri. "Aku mungkin tidak pernah menjalani pendidikan di bawah naungan Swa Bhuwana Paksha. Tapi jangan lupakan satu hal, Pak Daffa. Aku mengenal Chandra dari semenjak SMA sampai lulus pendidikan. Taruna tidak banyak mengenal tentara yang sudah aktif dan dilantik.Bahkan hanya beberapa saja yang dihormati dan kamu? Katakan siapa kamu sebenarnya atau aku cari tau sendiri?"tanyaku menodongkan pulpen membuat dagunya terangkat. Meskipun pahit rasanya kembali menyebut pria brengsek itu. Saat i
Detik jam yang berbunyi begitu lirih di keheningan malam masih saja membuatku terjaga. Di depan ku gadis kecil yang tengah asyik terlelap begitu tenang tak bisa membuatku begitu heboh. Ingatanku masih berkeliaran pada pria itu.Bukan Chandra tentunya tapi Daffa. Mengapa akhir-akhir ini tanpa sengaja malah banyak kalimat seolah begitu sengaja merujuk pada kode yang bisa ku pahami secara jelas maksudnya. Apa dia tidak malu jika mengatakan itu secara serius? Masalahnya aku itu janda dan sudah punya anak dari pria lain. Bagaimana dia bisa berpikir demikian?Seperti beberapa menit lalu saat dirinya mengantar makanan. Aku tidak bermasalah tentang makanannya hanya dengan kedekatan kami terutama masalah ku dan Chandra baru juga usai itu terlalu memancing bahan pembicaraan orang lain. Mungkin dia tidak salah mendekati jika ingin membantu ku mengasuh Alandra. Hanya saja ini Indonesia yang kental dengan budaya dan tata krama."Bu Dya
Tangisan Alandra memecah keheningan malam. Semenjak tadi sore sepertinya dirinya terlalu sensitif. Hanya menangis dan enggan menyusu. "Boleh saya yang gendong Mbak,"tanya Daffa sedari tadi melihat Alandra yang terus menangis di gendongan ku."Eh udah nanti cantiknya hilang loh. Cantiknya Om udah ya,"ucap Daffa mulai kehilangan akal. Namun justru kalimat itu yang seolah magnet membuat Alandra tenang hingga perlahan mereda. "Alandra capek ya?,"tanya Daffa hanya ku gelengkan sejenak.Dia masih lajang tapi ilmu parenting nya sudah mumpuni. "Mbak sudah makan?,"tanya Daffa ku gelengkan pelan. "Alandra dari tadi nangis gimana mau makan?,"tanyaku. "Nah itu. Menyusui harus rajin makan Mbak,"ucap Daffa membuka rantang berisi makanan dari Mayang."Mas sudah makan?,"tanyaku di angguki mantap membuatku kembali melanjutkan makan malam ku. "Mbak saya masih belum bisa memenuhi kualifikasi jadi suaminya kah?,"tanya Daffa mencairkan suasana
Daffa POV"Bercanda mu Mas,"ucap perempuan di depan ku yang kembali tersenyum lebar. Entahlah kejujuran ku mungkin belum tampak nyata di matanya. Mayor Chandra, apapun alasan mu membawa pulang wanita lain. Tetap saja kau lupa ada berlian yang kau sia-sia kan.Melihatnya harus berjuang untuk orang yang paling dia benci sampai bertaruh nyawa itu sudah sangat hebat. Aku yang terlambat menemukannya. Seharusnya aku menemukan saat dirinya masih kabur di Bandara Adisutjipto. Namun sayang sekalipun aku menemukannya yang selalu tertulis dalam benaknya hanya Chandra.Tidurnya tampak begitu tentram sama saat dirinya jatuh koma. Ku naikkan selimut yang membalut tubuhnya, sembari membenarkan letak selang infus sebelum bermasalah. "Aneh kamu Mas. Dia sekarang masih istri orang tapi jauh lebih memilih dia,"ucapan itu membuatku menghentikan kegiatan ku.Ku tatap wanita dengan perut sedikit membuncit yang tengah mena
Danau dengan air jernih begitu memukau mata tampak nyata di depan mata ku. "Kenapa cepat sekali kamu datang kemari Dy?,"tanya seorang gadis dengan kulit putih porselen. "Apa aku ngga boleh kemari juga Ra? Kamu ke tempat bagus ngga pernah ngajak lagi. Aku rindu dengan setiap hari yang pernah terlewat dengan manis selama di MIT,"ucapku menggosok pelan lengan ku. "Hmn sama Dy. Tapi pernah nggak kamu begitu rindu dengan sosok sosok yang selalu membuatmu jatuh dan bangun,"tanya Laura. "Ada. Kenapa memangnya,"tanyaku menaikkan sebelah alisku bingung. "Apa kau enggan berdiri dengannya lagi sampai kemari?,"tanya Laura. "Iya Ra. Aku hanya sanggup menemani saat itu saja. Aku sudah mengajukan gugatan cerai. Buat apa dia menjalani hidup yang bukan menjadi harapan. Dengan tinggal dengan Divyan akh tidak merusak hubungan yang sebenarnya lebih dari cinta masa muda. Aku sudah mengikhlaskan sebelum pergi kesini,"ucapku. "Okelah. Kau pan
Tuhan dia sedang berjuang, jaga dia, lindungi dia. Karena ada yang menunggu nya untuk pulang. Kita memang sedang berduka. Bukan berarti kita menyerah. Kita harus saling menjaga dan menguatkan hingga Tuhan menolong kitaAlunan lagu Doa Untuk Kamu terdengar begitu ringan. Setelah tanda tangan ku bubuhkan, aku bukan lagi orang yang berdiri di belakangnya. Suasana lingkungan yang tengah tenang menambah kesan lega. Sebuah buket mawar merah yang ku terima dari Nafisa masih harum mewangi.Biasanya akan ada tetangga yang menyapa ku. Namun kini hanya ada aku di sini. Mereka semua tengah di kesatuan untuk memperingati HUT PIA Ardhya Garini. Hah betapa lucunya dulu saat aku selalu saja mencari destinasi baru bersama Shyndhica dan Erma. Shyndhica dengan cerita masa lalu selalu mengejar Kapten Hercules No 1 Skuadron
Denting musik mengalun syahdu menemani pagi. Suasana kampus yang masih sepi menambah rasa segar pikiran. Tanggal kelahiran sudah kian di depan mata tapi belum juga ingin ku injakkan kata cuti. Di rumah hanya membuatku stres saja dengan pikiran yang berisi tentang dunia Chandra."Wah lagi sarapan nih Mbak,"ucap Daffa baru datang dengan wajah segarnya. "Wah apa ini Mbak?,"tanya Daffa mengangkat rantang di atas mejanya. "Dilarang menolak. Saya semalam juga bilang jangan ikut Anda menolak. Saya juga bisa keras kepala dong,"ucapku tanpa menatap nya."Saya sudah sarapan Mbak,"ucap Daffa memelas. "Makan siang masih bisa kok. Saya sekarang sudah merasa semakin keras kepala Mas,"ucapku santai. "Susah kalo ibu hamil yang bicara,"ucap Daffa pasrah. Sembari membereskan tempat makanan ku, sebuah pesan masuk dari Leni se pagi ini tampak janggal. Untuk apa dia menghubungi diri ku sepagi ini?"Mas Daffa hari ini ada praktikum nggak?,"ta
Nafas ku masih tersenggal padahal sudah larut. Mata ku dengan jelas mengingat dirinya memang Chandra Aklarta Maurya yang sama dengan yang menikahi ku. Apa mungkin identitas ku sudah mulai terkuak di muka umum? Namun untuk apa dia ke kota ini jika tanpa alasan. Akh tapi untuk apa aku peduli.DrrtSenyuman hangat tersaji di foto profil membuatku menggigit jari ku gugup. Nafisa menghubungi ku untuk pertama kalinya setelah meninggalkan Malang waktu itu. Rasa ingin menekan tombol hijau makin membuncah namun rasa takut banyak orang yang berada di seberang juga makin membuatku tak bisa memilih secara jelas."Nduk,"Sapa lembut sesaat setelah jari ku menggeser tombol hijau dalam ponsel seolah membuatku kembali seperti menantu yang selalu di sayang. Bibir ku terkatup rapat seolah tak ingin membalas sapaan lembut dari seberang."Iya Bun,"Rasa sesak sontak memenuhi relung benakku. "Masya Allah Dyan,"ucap Nafisa terdengar terisak haru begit
"Neraca massa tanpa reaksi kimia dijumpai pada banyak peristiwa operasi teknik kimia. Neraca massa ini menjadi titik tolak perhitungan yang lainnya sampai pada perencanaan alat proses. Oleh karena itu, dalam perhitungan awal ini tidak boleh salah. Umumnya, operasi teknik kimia merupakan proses pemisahan bahan untuk dimurnikan.Seperti penjelasan sebelumnya, neraca massa dibagi menjadi dua. Yakni neraca massa yang menggunakan reaksi kimia dan tanpa reaksi kimia. Pertama kita akan masuk terlebih dahulu ke dalam penggunaan neraca massa tanpa reaksi kimia karena lebih sederhana. Juga merupakan basic untuk menghitung neraca massa dengan reaksi kimia.Sampai disini ada yang ingin ditanyakan?,"tanyaku. Derita hamil tua, bahkan bergerak sedikit susahnya. "Bu saya mau bertanya. Prinsip dasar penggunaan neraca massa ini seperti apa dan guna nya dalam dunia industri seperti apa,"tanyanya. "Baik saya akan langsung menjawab saja. Sama halnya dengan