Di tengah ketidaknormalan, Alana tumbuh menjadi gadis yang tetap ceria, ceplas-ceplos, berusaha selalu tersenyum walau hati menangis, dan gadis yang cerdas. Cerdas dalam artian selalu mencari celah untuk bisa bahagia dengan caraku sendiri. Aku tetap tumbuh menjadi gadis yang cantik dan normal karena bisa merasakan cinta pada lawan jenis. Untung kan aku nggak frustasi amat, sampe berubah orientasi gitu.
Kalau Dika menghilangkan suntuk dengan cara naik gunung, hingga mengabaikan skripsinya. Dengan artian dia lebih banyak suntuk daripada enggak. Kalau aku menghilangkan suntuk dengan menepi di balkon rumah. Rumah dinas ini tak punya lantai 2. Namun, ayah membangunnya untuk jemuran baju. Setelah bunda mengomel kalau cucian tak pernah kering.
Menepi di lantai 2 sembari menikmati kesendirian. Aku dan kesendirian, ditambah segelas jus mangga dingin yang kubuat dengan diam-diam. Membiarkan paru-paruku menghisap oksigen segar sebebasnya. Seenggaknya dia tak terbelenggu seperti aku, hehe. Menatap langit yang seperti lautan bintang, indah sekali. Inilah keunggulan kota ini. Polusinya tak sedahsyat Jakarta. Aku bisa bebas menikmati hawa dingin tanpa harus pakai AC. Oh senangnya.
Sebagai info, ini sudah jam 12 malam. Jam dimana Bang Ranu sudah terlelap di meja dinasnya karena piket. Jam dimana ayah memeluk bunda untuk merangkai mimpi. Jam dimana para maling beroperasi dan para lelembut berkeliaran. Namun, ini jam dimana aku paling bebas berkreasi, yakni bercuap-cuap dengan Dika. Iyalah, aku bisa bebas menelepon pacarku, hehe. Inilah caraku mencari celah. Sebab mana bunda tahu kalau aku diam-diam menyimpan ponsel, buahahah.
"HPmu disita lagi, Na?" tanyanya.
"Iyalah, nggak mungkin aku pakai HP jelek ini kalau HP kesayanganku ada," balasku emosi.
"Ayahmu masih marah ya sama kamu, Na?" buka Dika pelan.
"Ya biasalah Dik. Bukan ayah sih, lebih tepatnya bunda. Kamu tahu 'kan kalau bunda lebih kejam daripada ayah," jawabku sekenanya. Ia terkekeh.
"Iya, aku masih ingat sakitnya dilempar pot bunga. Bukan dilempar bunganya saja, tapi sekalian sama potnya." Ia terkekeh renyah lagi.
"Iya, sekalian sakitnya dipukul Bang Ranu," ucapku penuh sesal, "maafin keluargaku ya, Dik?"
"Paan sih elu, Lan ... eh kamu. Udahlah, ini udah jadi resikoku karena nekat macari kamu," hiburnya pada diri sendiri.
Aku kembali bertanya pertanyaan yang sama, "kamu masih tahan pacaran sama aku?"
"Kalau kamu, masih tahan pacaran sama mahasiswa pengangguran seperti gue?"
Aku terdiam, tak tahu harus menjawab jujur atau tidak, "kamu mau jawaban jujur atau nggak?"
"Bohong saja, Na. Aku sudah tahu kalau jawaban jujurmu pasti tidak. Sudah lama kamu ingin putus, 'kan?" ia mulai membahas masalah lama kami.
"Kok kamu bahas itu, Dik?" tanyaku pelan.
"Ayahmu pasti suka 'kan kalau aku ini seorang tentara," imbuhnya makin aneh.
"Kok kamu makin aneh, Dik?" tolakku halus.
Terdengar tawa pelannya, "tapi itu benar 'kan, Na? Bukannya menantu idaman ayah bundamu itu tentara, ya?"
IYA DIKA, ITU SANGAT BENAR!
"Ayahku cuma ingin menantu yang bertanggung jawab," jawabku sekenanya. Suasana kami mulai alot.
"Jadi aku nggak tanggung jawab? Aku udah biasa ya Na jadi pemimpin pendakian," balasnya tak mau kalah.
Aku berusaha merayunya, "ya bukan itu maksudku, Dika. Ayahku juga suka naik gunung tapi nggak lupa sama pendidikannya."
Duh, aku bahas apaan sih?
"Oh cuma gara-gara skripsiku nggak kelar-kelar? Lana, kamu tahu 'kan kalau itu bukan karena aku yang malas tapi karena dosenku yang gila," jawabnya kasar.
"Ya kamu berusaha kejar dong. Aku pernah ikut kuliahnya Profesor Yunas, orangnya baik."
Walah, aku makin memperkeruh ya ini?
"Iya baik karena kamu cantik. Dia baik sama semua cewek cantik," jawaban yang sama Dika.
"Ya udahlah. Capek bahas itu! Terserah kamu deh, masa depanmu ada di tanganmu sendiri," simpulku seperti biasa.
"Nah gitu dong, baru Lanaku! Besok kita ketemu, ya? Di depan perpus!"
"Ngapain ngajak ketemuan di depan perpus? Bukannya itu tempat keramat buatmu, Dik?" iyalah dia alergi sama buku dan dunianya.
Nada suaranya menggoda, "lihat saja besok!"
"Oke!" jawabku menyerah.
Telepon ditutup. Aku kembali berteman dengan kesendirian. Bersama dengan jus mangga yang tinggal segaris. Bersama dengan langit malam yang bertabur ribuan bintang. Lumayan cerah malam ini setelah hujan seharian. Walau sempat tersenyum sebentar karena bercanda dengan Dika, tapi ujung-ujungnya kecut juga. Terutama ketika membahas tentang skripsi.
Setidaknya aku membenarkan kata-kata ayah. Sama skripsi saja dia nggak tanggung jawab, gimana sama hidupku nanti? Rasa-rasanya jus wortel bunda membuka sedikit mata batinku. Masa iya aku harus hidup dengan orang seperti Dika? Yang tak bisa menentukan masa depannya sendiri? Yang selalu dan terlalu santai sama hidupnya. Bener juga, ya? Bisakah aku bertahan dengannya? Ah, aku berpikir apa sih?
"Ayahmu pasti suka kalau aku ini seorang tentara." Begitu kata Dika tadi, yang kurasa masuk akal. Coba kalau Dika itu tentara, pasti kepercayaan ayah bunda jatuh gitu aja kepadanya. Pasti aku takkan terkekang seperti ini. Percaya deh, ayah dan bunda lebih percaya sama Om Fauzi dibanding sama aku. Alasannya sesama tentara takkan saling menghianati. Ya ya ya, terserah deh.
Namun, jujur membayangkan punya pacar tentara saja aku sudah ngeri. Betapa membosankannya mereka apalagi kalau kayak ayah? Hiiii, rambutnya kotak. Maksudku potongannya gitu-gitu aja. Aku jadi semacam melihat spongebob versi manusia gitu deh. Belum lagi tutur katanya yang kaku. Tingkah lakunya yang harus ditata seperti robot. Alamak, aku mah ogah! Itumah lepas dari jeratan ayah bunda masuk ke jeratan lain. Alana nggak sebodoh itu sih.
Belum lagi kalau mereka berseragam, alamak serem bener! Judes, nggak banyak omong, nggak banyak senyum, kaku bak besi. Males banget kalau sampai kenal salah satu atau salah dua dari mereka. Mendingan jojoba ah, ih amit-amit juga sih. Nggak mau jadi perawan tua sih aku. Fantasi liarku masih tetap yakni dipanggil mahmud bukan marmut.
---
Mungkin aku tergolong manusia ceria di tengah jeratan kedua orang tua yang over protektif. Aku masih bisa tertawa celamitan kendati aku disuruh menjaga sikap dan tutur. Aku masih bisa menyelinap untuk kabur bersama kekasihku yang tak direstui kendati harus menantang amarah orang tua. Aku masih bisa melucu kendati hidupku sangat datar seperti triplek.
Ya itulah aku, seorang Alana. Seorang gadis dengan kulit putih, rambut lurus sedikit bergelombang warna hitam legam, bibir mungil yang bakalan pucat kalau gak digincuin, mata bulat dengan bulu mata lentik yang selalu dikira hasil sulam, dan wajah tirus ala cewek oplas di Korea sana. Namun, sumpah, aku gak oplas kok. Semua kuwarisi dari bunda yang super menawan itu.
Seperti biasa, setelah turun dari mobil yang mengantar, aku berjalan pelan menuju gedung kampus. Sesekali melirik ke arah belakang karena Om Fauzi masih mengawasi gerak-gerikku. Mirip maling deh, tapi ya sudahlah aku 'kan memang maling. Maling hatinya Dika, wueheheh. Aku pura-pura bersikap biasa dengan menyapa gerombolan anak perempuan, padahal nggak kenal. Mereka membalasku karena tahu aku pacar mahasiswa populer di kampus ini. Maha benar Dika dengan segala kekerenannya.
Setelah Om Fauzi menghilang ditelan badai, aku bisa leluasa berlari ke arah perpustakaan kampus. Perpustakaan memang agak jauh dari tempat kuliahku. Tentu saja untuk mengejar waktu karena kuliah akan dimulai setengah jam lagi. Tujuanku cuma satu, menemui Dika yang hendak memberiku kejutan. Apaan ya? Kok aku jadi deg-degan. Gak mungkin lamaran, 'kan? Perasaan Dika gak pernah bahas itu deh.
Kuamati Dika sedang memangku laptopnya di bawah pohon waru, ia terlihat serius dengan berbicara dengan salah satu mahasiswi, "iyuh siapa sih?" gumamku.
"Dika!" panggilku sok imut. Aku mendekati keduanya. Dika mendongak dan menyapaku manis.
"Hai Alana!" Manis bener suaranya, gak kayak biasa, "kamu udah datang. Coba tebak aku lagi apa?"
"Mainan laptop ...," tebakku yang langsung dipotong.
"Kerjain skripsiku! Surprisee!" ujarnya ceria hingga mahasiswi itu mendongak terpesona, "ini Utami, dia mau bantuin aku buat konsul ke Prof Yunas."
Aku menepuk tangan lemas, "wau, aku terkejut!"
"Kok ekspresimu gitu, Na?" Dika seolah membaca wajahku.
Aku gugup, "enggak. Cuma aneh aja sama ini. Sejak kapan kerjain skripsi bisa berdua?" sindirku.
"Maksudmu?" Dika memicingkan pandangannya, seolah menangkap kecemburuanku, "Tami cuma bantuin aku untuk terhubung dengan Prof Yunas, Na!"
"Iya, tapi itu aneh, Dik!" bahasku.
"Aneh gimana? Bukannya bagus kalau aku kerjain skripsi. Bukannya itu yang kalian mau dengan menghinaku selama ini! Aku kerjain ini buatmu!" Suara Dika makin meninggi dan membuat Utami canggung.
Kutahu ini salah. "Oke maaf. Sikapku salah. Aku pergi dulu ya. Kuliahku sebentar lagi."
Lebih baik menghindar, Alana.
"Maaf ya Mbak," ucapku merasa tak enak pada Utami. Lantas aku berjalan cepat menghindari mereka.
Apa aku terlalu cemburu?
"Tunggu!" cergah Dika keras. Dia menahan tanganku kasar, sakit sekali, "sorry Tam. Besok kita lanjut. Thanks, ya!" ucapnya pada Utami dan membuat mahasiswi itu ngeloyor pergi. Diusir halus gitulah.
Dia menatapku tajam dengan raut wajah penuh emosi, Dika tetaplah si pemarah, "jangan bilang kamu cemburu!"
"Memangnya kenapa kalau aku cemburu? Kamu itu aneh Dika. Kamu cuek ke orang, tapi gak ke Utami itu!" cetusku seperti klepon yang meletus.
"Hai Alana," nada suaranya menekanku, "dia itu cuma bantuin aku kerjain skripsi nggak lebih. Kamu jangan cemburuan kayak anak kecil dong! Logis dong, Na! Aku itu demi kamu!" Dia membentakku keras, di depan banyak orang dan itu memalukan.
Aku tak enak hati, "udah deh Dik. Jangan kayak gini aku malu!"
"Kenapa? Kamu mulai malu pacaran sama aku? Iya! Hah!" bentaknya lagi, "asal kamu tahu ya, Utami itu mahasiswi kesayangannya Prof Yunas. Dia aku manfaatkan untuk dekat dengan Prof Yunas!" bentaknya tanpa mempedulikan wajahku lagi.
Suaraku terdengar lirih, "bukan gitu Dika. Maaf kalau cemburuku aneh, tapi aku gak suka kamu dekat dengan perempuan lain. Aku sayang sama kamu."
"Sayang?" dia memencet pipiku hingga aku terdongak menatapnya, "sayang bukan berarti aku gak bisa bebas dong. Kamu kok mulai otoriter kayak ayahmu sih, Na!" Ia lalu mengibaskan pipiku ke arah lain.
Sumpah itu sakit.
"Jangan bawa keluargaku, Dik!" aku menatapnya tajam dan lurus.
Kok kami jadi bertengkar gini sih? Bertengkar dengan pacar yang merupakan cowok populer bukan cita-citaku kali, hiks. Dia akhirnya menyeretku ke dekat semak-semak karena kami mulai memancing perhatian orang.
"Kenapa, hah? Bukannya benar? Kamu mulai mengatur aku harus apa, ya? Iya!" Dika menunjuk bahu kiriku dengan keras. Kasar sekali orang ini kalau marah.
"Aku nggak ngatur kamu Dika," aku mulai terisak, "aku cuma nggak suka kamu dekat sama Utami. Mungkin aku terlalu cemburu, mungkin aku salah paham. Aku minta maaf kalau salah. Aku cuma mau kamu lebih terbuka sama aku," aku berusaha sabar.
"Terbuka apa maksudmu, hah! Alana, aku nggak suka ya hubungan seserius itu. Aku sayang dan cinta sama kamu, tapi kita belum jadi suami istri. Kamu nggak punya hak ngatur hidupku!" ujarnya keras. Tepat di telinga, pekak sekali.
Aku menatapnya seolah tak percaya, "jadi itu harga hubungan kita di matamu. Oke, mungkin kamu lagi nggak bisa berpikir jernih. Aku kuliah dulu, Dika. Nanti bundaku tahu kalau aku bolos."
Namun, sebuah tarikan terasa keras menahan ketika aku hendak pergi, "mau kemana kamu! Kamu nggak boleh ninggalin aku, ya, Na!" cergahnya kasar.
"Ah, sakit Dika!" keluhku kesakitan. Namun, cengkraman tangannya makin keras.
"Jangan menghindar ketika kita bertengkar, kamu ingat itu, 'kan!" tandasnya sekali lagi. Aku mengangguk. Aku tetap meronta karena takut ia semakin kasar.
Aku berlari menghindarinya, seperti menghindari penjahat, aku takut, "Alana, tunggu!" teriaknya dari kejauhan.
"Mau kemana kamu!" akhirnya langkahku kalah cepat. Tanganku dicengkram lagi. Dia mengangkat daguku kasar dan memaksa kami berpandangan.
"Sudah kubilang jangan pergi!" Hatiku seperti bermain lompat tali, berdebar keras hendak melompat dari tempatnya.
Dika sangat kasar saat ini. Tentu saja dia memang kasar apalagi jika sedang marah. Dia populer dengan ketampanannya. Dia juga terkenal dengan sikap kasarnya. Mungkin awalnya seperti bad boy idaman wanita, tapi kelamaan menyakitkan juga. Tak terhitung berapa luka lebam yang pernah kuderita sejak pacaran dengannya. Anehnya aku tak merasa takut, mungkin karena cinta. Namun, ini sudah tak benar. Ini salah, cinta buta itu salah. Dia tak berhak menyakiti aku!
"Lepasin aku!" teriakku keras, "kamu nggak bisa nyakitin aku gini, Dika!" dia terperangah.
Sepertinya Dika mulai sadar, "Na, ma - maaf aku ... kelepasan. Alana, aku tidak bermaksud ...."
"Setop! Berhenti Dika. Aku nggak mau dengar apapun lagi. Aku mau kuliah, terserah kamu apa!" putusku sambil melepas tangannya yang melemah.
"Alana!" panggilnya yang tak ingin kujawab.
---
Sepanjang kuliah aku tak konsentrasi. Selain neraca dagang yang memusingkan, aku juga pusing dengan masalah percintaan. Aku tak lagi bisa bersembunyi ketika aku sudah ketahuan. Aku tak bisa berpura-pura baik saja ketika sekelas membicarakanku. Sekampus malah. Demi apa jadi sensasi cuma gara-gara masalah ribut sama pacar, itu bukan cita-citaku kok.
Belum lagi dengan luka lebam di tanganku. Apa yang akan diperbuat bunda kalau beliau tahu luka ini. Apalagi di pipiku juga ada bekas cengkraman, kuku Dika. Menandas bekas di kulit, juga di hati. Ingin menangis rasanya karena ayah bunda menjagaku bak menjaga boneka porselen. Tapi kenapa lelaki yang bukan siapa-siapa, hanya pacar, berani menyakitiku hingga begini. Pantas saja orang tuaku makin marah. Sepertinya jus wortel bunda mulai membuka mata batinku.
Aku pulang kuliah duluan, lebih tepat kabur duluan. Melewatkan mata kuliah terakhir demi menghindari Om Fauzi lagi. Jujur aku ingin sendirian saja sekarang. Berteman mendung dan hujan Malang yang mulai merintik. Hujan di kota ini memang romantis, tapi juga tragis bagiku.
Tentu saja tragis sebab demi apa aku sendirian di sebuah halte yang dingin, sepi. Hanya aku dan rinai gerimis yang deras. Menatap aspal yang basah dan sepi. Memikirkan nasib percintaanku yang mengenaskan. Di suatu sisi aku membela Dika mati-matian di depan ayah bunda. Namun, di sisi lain, Dika menjelma menjadi sosok yang tak pantas kubela. Iya, dia selalu menyakiti hati dan fisikku. Baru jadi pacar saja sudah berani main tangan, apalagi jadi suami. Bisa-bisa aku dimutilasi gara-gara minta uang belanja, ih amit-amit.
Kurasa, sekarang aku berada di titik jenuh. Tentu saja ingin meneruskan atau menyudahi hubungan ini. Aku lelah membangun hubungan ini. Walau Dika menyayangiku, rela melakukan apapun demi kebahagiaanku, tapi semua ini menyakitkan. Jujur aku lelah dengan wataknya. Dia sering membuatku takut dengan kekasarannya. Jujur aku takut kehilangan nyawa hanya karena cinta. Apaan sih! Mikir apaan ya aku ini, tapi itu benar.
Aku kembali terjatuh dalam lamunan. Entah kemana arah pikiranku. Yang jelas, sekarang kondisi rumah pasti sedang gonjang-ganjing. Secara ponselku mati kehabisan baterai. Aku menghilang dari kampus, dan dari Dika. Bisa jadi Dika dihajar habis-habisan sekarang, tapi ya sudahlah. Aku sedang malas dengannya. Rasakan saja balasan karena menyakitiku.
"Alana?" sebuah suara membuyarkan lamunanku. Hah, Dika lengkap dengan motor nyentriknya? Aku harus menghindar. Aku takut padanya.
Aku memacu langkah seribu, seratus ribu kalau perlu, menabrak hujan tak apa, "Alana, jangan pergi!" hisss, kata-kata itu lagi.
"Na, please stay!" teriaknya sambil berlari ke arahku. Ia memegang tanganku dengan lembut di tengah hujan. Tumbenan!
"Aku salah, Na. Aku tadi udah nyakitin kamu. Nggak seharusnya aku kayak gitu. Aku kasar karena kebawa emosi, Na. Maafin aku ya Alana. Jujur cuma kamu di hatiku, nggak ada cewek lain. Kamu tahu 'kan aku setia sama kamu."
Sumpah yang bicara barusan Dika bukan? Kok lembut amat suaranya? Dika kerasukan apaan?
Aku berbalik menatapnya, please jangan luluh Alana! "kamu beneran cuma emosi?" yah, luluh juga nih hati hiks.
"Iya Alana," jawabnya sambil memanggil nama lengkapku. Itu adalah kesempatan yang sangat langka.
"Dan untuk menebus kesalahanku, ikutlah denganku. Aku bakalan wujudkan impianmu selama ini," janjinya meyakinkan.
"Impian? Impian apa, Dik?" tanyaku bingung. Dia hanya mengerling penuh misteri.
Dia tak menjawab selain hanya menarikku cepat menuju motor nyentriknya. Sebenarnya motor nyentrik ini motor modern yang ia modif hingga nyentrik. Ya sebelas dua belas sama motor-motor di sinet Anak Langit itulah.
Yang jelas kini kami berbaikan secara tak langsung. Ia mengunci tanganku hingga secara tak langsung aku memeluk Dika dari belakang. Sebenarnya aku risih, tapi jarak antara kami masih terhalang tas punggungnya. Tak masalah deh, pada akhirnya. Ngomong-ngomong dia mau ngajak aku kemana sih? Emang dia tahu tempat impianku? Jangan bilang kalau tempat itu, halo tempat itu adalah mustahil bagi anak yang diproteksi model aku.
"Jangan bilang kalau kita mau ke sana, Dika!" teriakku di dekat helmnya.
Dika membalasnya dengan suara keras, "iya kita memang mau ke sana, Na! Kamu pasti suka!"
"Bukan Bali, 'kan, Dika!" balasku lagi seolah tak percaya. Ia tak menjawab apapun selain hanya makin menginjak pedal gasnya.
"Dikaaa!" teriakku lagi untuk memperoleh jawaban.
Dia tak menjawab dan makin meninggalkan misteri di benakku. Terutama ketika motor ini makin kencang berjalan. Benarkah dia akan mengajakku ke Pulau Dewata? Ke pulau impianku selama ini? Dia tak mungkin segila dan senekat itu kan? Mana mungkin aku ke sana cuma sama dia? Apa mau digantung bunda? Duh Dika, tolong hentikan semua ini sebelum terlambat. Sebelum ayah mendatangkan bala pasukannya dan mengoyak tubuhmu. Tapi laju motor Dika makin kencang, tanpa bisa kucegah lagi. Nangis aja boleh gak sih? Mencari celah model apa ini?
***
Laju motor Dika sampai di sebuah terminal antar kota di pinggiran Kota Malang. Sudah pasti aku akan dibawanya ke luar kota. Tentu saja aku tak mau, big no no! Aku tak mau memantik api makin berkorbar. Aku takut pada masalah yang makin menyala. Ingin kuakhiri saja detik ini. Tak apa, aku sudah memaafkan dia kok. Dika tak perlu melakukan semua ini demi berbaikan denganku.“Dika, ini serius aku mau dibawa ke Bali?” tegasku sekali lagi. Dika hanya diam sambil memandang gelas kopi yang mengepul. Sekedar mengusir hawa dingin di tengah ketidakpastian.Kugugah lengannya, “Dika!” dia menoleh.“Kenapa, Na? harusnya kamu berdebar dong karena sebentar lagi bertemu dengan impian,” ucap Dika santai. Wajahku mencuram.“Mana bisa santai Dika! Ini ngaco, super ngaco. Aku emang gila, tapi nggak separah ini. Dika aku masih waras. Nggak mungkin aku keluar Malang dengan kamu! Itu cari mati namanya,” aku berdiri cepat, “aku
Kurasa saat ini hidup seorang Alana sedang berada di titik yang rendah, tidak rendah sekali sih, rendah biasa saja. Alana sudah biasa berada dalam situasi yang abnormal. Sejak awal kan sudah kubilang kalau keluarga si koplak Alana sedikit tidak normal. Namun ketika sadar, sebenarnya keluargaku itu sangat normal. Mereka sangat normal untuk ukuran orang tua yang melindungi anak perempuan satu-satunya.Ternyata begini ya rasanya menentang proteksi orang tua yang kuanggap aneh selama ini. Benar kata bunda, kini mata batinku sudah terbuka. Kalau sayang nggak bakal nyakitin. Kalau sayang pasti menjaga, menghargai, dan menghormati. Namun, apa yang Dika lakukan padaku? Salah semua! Kurasa dia lebih ke posesif, hii mengerikan.Di sepanjang jalan menuju terminal bis, aku berjalan gontai. Sesekali mematut wajah di kaca toko yang ramai. Mereka mema
Hidupku yang sempat acak kadul sebulan yang lalu mulai tertata sedikit demi sedikit. Perlahan aku mulai menata hidup menjadi lebih normal daripada biasanya. Biasanya dalam artian saat aku masih berhubungan dengan Dika dan sesudah putus. Kuakui, hidupku nggak teratur, acak seperti acar timun di dalam mangkok.Sebulan yang lalu, sesampainya aku di Banyuwangi, para pasukan ayah dan beberapa petugas polisi langsung memeriksa semua bus dan menemukanku. Aku dikawal menuju mobil dengan iringan penjagaan ketat. Kira-kira 3 mobil berisi tentara dan polisi berseragam lengkap dan bebas deh. Tentu saja membuat gaduh.Semua karena apalagi kalau bukan karena permintaan ayah. Ayah menghubungi semua rekannya di wilayah Banyuwangi dan memintaback-up. Jadinya, penemuanku membuat kehebohan bak penemuan sebuah fosil langka. Namun, sekali lag
Saat ini aku bak berada di mimpi indah dan malas bangun. Kenapa, sebab pemandangan di depan mata ini sungguh layak untuk dikenang dan dipertahankan. Entah takdir apa yang mempertemukanku lagi dengan Mas Kecup-able yang ternyata adalah tamu dari ayah tercinta. Tamu kehormatan yang ditunggu kedatangannya sejak pagi tadi akhirnya datang juga.Setelah kedatangannya, tak lama kemudian ayah dan bunda datang secara bersamaan. Kedua orang tuaku itu lantas menyalami dan menepuk-nepuk pundak Mas Kecup-abledengan suka cita. Bak bertemu dengan anak mereka yang telah hilang ratusan tahun. Seriusan, Bang Ranu aja jarang digituin. Makanya dia banyak diam dan cemberut aja. Cemburu ya, Bang?“Ssstt, berisik lu Lan! Gua gaplok, koplak juga lu!” ancamnya tadi.Well
“Alana, kamu jangan berisik! Selama 2 hari Mas Dru bakalan tidur bareng Bang Ranu, sekamar. Jangan ganggu kedamaiannya! Jangan bertindak gila! Yang sopan! Gak boleh celamitan! Gak boleh pake tank top atau celana gemes! Awas ya kalau pake celana gemes, Bunda remes pipimu sampai lecet!”“Savannah, kamu baru boleh bicara sama dia kalau kamu diajak ngobrol. Kalau gak, kamu gak boleh gangguin Mas Dru. Itu bikin dia gak nyaman! Awas ya kalau melanggar larangan Ayah, Ayah hentikan kuota internetmu sebulan!”Apa yang kamu rasakan ketika dapat wejangan sekaligus ancaman dari kedua orang tua saat perutmu kenyang? Pengen muntah, pup, atau apaan? Kalau aku sih gak pengen apa-apa, sebab udah kebal. Iyalah, aku mah sudah biasa diancam model gituan sama ayah dan bunda, sebagai anak yang diproteksi abis-abisan tentu saja. Tapi, baru kali ini ayah dan bunda mengesampingkanku, boneka porselennya, demi anak orang lain. Wauw, ada apakah ini?
Pagi yang ngantuk setelah semalaman aku gondok sendiri. Iyalah gara-gara sibuk menyangkal hati sendiri, aku jadi tidur jam 12 malam. Selain itu, aku sibuk memeluk dinding untuk kepo apa aktivitas Mas Dru. Apa dia ngorok pas bobok? Suka kentut juga gak kayak Bang Ranu? Hasilnya apa? Senyap Pemirsa. Dia sangat tenang seperti vampire. Mungkin suara kentut dan dengkurannya dalam modesilent,who knows?Hahaha.Walau ngantuk, aku tak boleh malas. Iyalah ini kan hari bersejarah dalam hidup Alana, dimana selama 2 hari aku akan menemaninya. Iya, si lelaki peluk-abledengan suara nyes itu. Kami bakalan menjelajah Kota Malang. Aku bakalan bisa memeluknya dari belakang dan memuaskan fantasi liarku, hiii jijay! Cewek genit amat, Lana! Ya gak mungkinlah, aku masih punya malu kali. Kabarnya Mas Dru bakalan bawa motorScoopymilik ayah.
Fyuh, aku melap keringat dingin setelah seorang polisi akhirnya mendatangi mobil Mas Dru yang dipinggirkan. Polisi di kota ini juga tergolong cepat dan cekatan loh, mereka bisa datang secepat kilat kalau kita buat salah.Well, pada akhirnya Mas Dru mengikuti prosedur yang berlaku, menunjukkan identitas, surat kendaraan dan SIM-nya. Dengan tegas, ia menceritakan kronologis kejadian dengan detail hingga pak polisinya cuma angguk-angguk aja, gak pake geleng-geleng.“Baik saya mengerti. Selamat melanjutkan perjalanan dan hati-hati,” simpul pak polisi itu sambil memberikan hormat.Mas Dru juga membalasnya dengan santun dan senyum. Tuh kan, pak polisinya aja juga jatuh cinta sama Mas Dru. Ya gak gitu Alana, itu karena Mas Dru patuh sama prosedur makanya lempeng aja, duh!
Berteman adalah status baru yang tersemat di antara aku dan Mas Drupada yang ehem itu. Kami kini bukanlah orang asing lagi, yeay! Asyik sekali kan bisa berteman sama cowok model dia. Mas-mas tentara yang keren, peluk-able, disiplin, semua perilakunya tertata, baik dalam memperlakukan wanita, dan lain sebagainya. Kalau dijabarin mah, semalam suntuk gak cukup kali. Jadi, sementara itu doang aja, hehe.Paling gak sekarang aku bisa punya modusan baru, alias orang yang bisa dimodusin tanpa sadar, hwahaha. Iyalah, secara aku gak pernah deket sama orang asing, lalu kemudian sekarang punya teman. Otomatis aku bisa punya tempat curhat baru, mana dia dewasa sekali. Sesekali aku juga bisa sentil hatinya dengan manja, wkwkw. Iyalah, cara memandang Mas Dru itu beda banget. Gak tahu sih, apa emang dia baik sama semua orang atau gimana. Yang jelas dia baik banget sama aku.
Aku hanya bisa melongo melihat kondisi kamar pengantin di pinggir pantai ini. Mirip seperti kapal karam yang pecah kena ombak, super berantakan. Perasaan tadi malam waktu datang masih rapi dan cantik dengan hiasan bebungaan. Lha kok sekarang udah mirip TPS gini yak. Memangnya aku dan Mas Dru abis ngapain sih? Perasaan cuma ehem-ehem doang nggak sampai banting-bantingan perabotan.Bunga-bunga cantik yang ada di atas kasur sudah berhambur ke seluruh kamar. Oh iya, karena Mas Dru yang melempar selimut dengan kasar dan menimpaku, uhuuu. Terus sofa itu bantalnya terbang kemana semua? Oh iya, di bawah sofanya gara-gara Mas Dru merebahkanku di atas sana. Kami kan menempel di sofa itu tadi malam, uhuk.Lantas tirai tipis di atas ranjang kayu kok bisa robek ya? Ups, sepertinya aku yang melakukannya. Aduh, dituntut nggak ya sama yang punya? Kenapa jiwa mudaku dan Mas Dru jadi sebar-bar ini? Malu gue, sumpah!
Siapa sih yang pertama kali bikin istilah kambing congek? Aku berterimakasih betul sama orang itu, sebab aku sah banget jadi kambing congek sekarang. Menunggu pernikahan yang kurang beberapa minggu lagi sambil menonton kemesraan mesum ala kemanten baru bukan cita-citaku, sumpah. Demi apaan sih dua manusia yang sama-sama panas itu mengumbar kemesraan mereka di depan hidungku.Pagi-pagi, mereka pamer ciuman bibir lekat kayak ketan di depan pintu kamar. Tepat saat aku baru saja melek dan mau minta makan di lantai bawah. Siang hari aku menyaksikan mereka saling memeluk manja sambil cubit-cubitan di bawah tangga. Ngapain cobak? Malam hari aku harus dengerin suara-suara aneh dari kamar seberang. Lagi bikin bayi atau bikin meja sih mereka tuh! Bikin aku harus tidur pakeheadsetsepanjang malam.Okay baiklah, aku hanya kambin
Drupada Sadika Djati POV“Jadi Dek Drupada dan Saudari Alana, ini Surat Izin Menikah kalian. Dengan ini, kalian sudah resmi sebagai suami dan istri di militer,” ucap Komandan sambil menyerahkan sebuah berkas. Akhirnya, surat berharga ini selesai juga.“Tapi ingat, kalian belum menikah secara resmi di agama. Jadi jangan coba-coba nyicil ya!” potong Komandan usil setengah bercanda. Tahu kok maksudnya.“Izin Komandan, menyicil apa ya?” pertanyaan itu meluncur bebas dari kesayanganku, Alana. Aduh Sayangku ini masa nggak tahu bahasan 20+++.“Errr, nyicil apa Dru?” alih Komandan dengan wajah kacau.“Siap, nyici
Mau tak mau tradisi pingitan harus kami jalani. Dua keluarga besar sudah curiga kalau aku dan Mas Dru makinhot. Mereka tak mau kami melanggar norma walau Mas Dru bukan tipe lelaki seperti itu. Tapi yang namanya setan, pintar memperdaya manusia, kan? Bunda takut kalau kami terjebak hujan di pondok terus melakukan uhuk-uhuk yang berbuah dua garis merah. Nanti pernikahannya bukan karena cinta tapi karena terpaksa, takut perutku membesar duluan. Alamak Bunda, kenapa bayanganya sinetron amat, tapi bener sih.Jadi, sudah seminggu lebih kami cuma bisa ketemu lewat suara. Sebab aku juga dilarang kirim foto dan video. Pertemuan kami di dunia nyata dan maya bener-bener terbatas demi kesucian cinta, halah. Okelah nggak apa-apa, Alana memang bukan orang alim, tapi Alana masih takut dosa. Alana nggak mau jadi perempuan rusak sebelum waktunya, meskipun rusaknya sama calon suami sendiri.Udah deh nyerocosnya, mending
Sampai detik ini, aku masih tak percaya jika akan segera menjadi istri orang. Seorang Alana yang gitu mau nikah? Ini serius apa? Dua ratus rius Alana dodol, tuh lihat setumpuk berkas menanti tanganmu. Mereka butuh diurus ke lembaga sana dan sini. Mulai dua hari yang lalu aku mengurus pengajuan nikah. Membaca map biru yang diberi Mas Dru saja sudah membuatku puyeng duluan.Ini seriusan ada puluhan surat yang harus diurus? Demi menikahi seorang tentara ganteng kecup-able, Drupada, aku harus mengurus puluhan surat dari beberapa lembaga yang berbeda. Haloooo, gimana dengan tugas kuliahku yang makin rumpik. Belum lagi pengajuan judul skripsi dimulai minggu depan. Hwaa, aku ingin pingsan.Jangan pingsan Alana, nanti kamu nggak jadi nikah sama Mas Dru. Kamu harus setrong demi kebahagiaanmu kelak. Ah hatiku tak henti menyemangati hati yang lain. Sesekali mematut diri di kaca. Badanku sering terbalut seragam hijau pu
Bertikai di asrama saat kamu akan mengurus pengajuan nikah bukan cita-citamu kan, Lana? Ya enggaklah, cita-citaku jelas, jadi istrinya Drupada Sadika Djati. Jadi jantung hatinya, yang akan memilikinya siang malam. Bukan untuk disidang seperti pesakitan. Apalagi untuk menodai nama baiknya di tempat ini.Tapi entah kedatangan manusia ajaib ini merusak semuanya. Nama baik Mas Dru dan nama baikku juga. Demi apaan calon istri Drupada ribut dengan mantan tunangan Drupada di asrama dan di saat aku baru saja berkenalan dengan pejabat batalyon. Itu sangat runyam. Jujur, tadi Danyon, Wadanyon, dan beberapa perwira mendatangi kami yang jadi sumber keributan.Kami didudukkan bersama. Diwejangi banyak hal hingga hampir sejam. Telinga dan bokongku sangat panas karena pesan itu lebih berantai daripada omelan bunda selama ini. Semoga ayah dan bunda tidak dihubungi ya? Supaya masalah nggak tambah runyam. Alana bisa nggak kamu berhent
Langit mendung di atas sana tidak berarti suram lagi. Justru nuansa hujan gerimis suram ini menambah mendayu suasana hatiku dan hatinya. Kini kami tak lagi terkungkung dengan perasaan yang abu-abu. Perasaanku dan Mas Dru sudah berwarna-warni. Dominan merah jambu dong ya, ahihi.Ini hari minggu pagi yang suram, tapi hatiku sangat cerah. Jam masih menunjukkan pukul 6 pagi, tapi Mas Dru mengajakku untuk jalan-jalan keliling kota. Padahal macet dimana-mana, tapi katanya malah asyik bisa lama-lama bersamaku. Sembari mendengarkan lagu cinta dari pemutar musiknya, sesekali kami curi-curi pandang. Ahay, gini amat rasanya jatuh cinta setelah patah hati. Gimana ya rasanya setelah nikah nanti? Apa makin indah atau makin panas?“Mau kemana sih Mas pagi-pagi ujan gini? Enakan di rumah makan gorengan sambil minum teh,” ucapku sambil melihat jalanan yang ramai. Ini manusia, ujan-
Aku meringis kesakitan sambil mengelus betisku yang pegal. Semua karena hukuman ayah yang seperti ayah tiri, disuruh berdiri pakai satu kaki selama 45 menit. Pengen nangis tauk rasanya. Gini amat nasib Alana. Nggak dapat cintanya Mas Dru, masih juga dihukum sama ayah bunda gara-gara ngrusak masa depannya orang lain.Masa depanku memang suram karena baru patah hati sama Mas Dru. Namun, seenggaknya aku nggak boleh ngancurin masa depannya dia. Iya-iya aku tahu, aku juga nggak mau kayak gini. Tapi nggak tahu kenapa hatiku yang bodoh ini lho, sukanya maksa pengen ketemu Mas Dru dan Mas Dru.Nggak ada ya manusia lain selain Mas Dru, mirip dikit bolehlah. Mirip semua dari wajah sampai sifatnya. Kalau ada kenalin dong, supaya aku nggak ngancurin hidupnya Drupada lagi. Manusia tipe Drupada Sadika Djati itu memang tipeku sekaleee. Susah nglupainnya woey.Sama seperti saat ini, aku sedang senyum-senyum sendiri mirip
Regita Loka Cakananta POV“Apa maksud kalian membatalkan pernikahan? Kalian ini waras apa nggak?”“Gita, apa Dru selingkuh?”“Siapa selingkuhannya? Anak siapa?”“Apa jangan-jangan kamu yang selingkuh, Git?”“Apa kalian tidak saling mencintai?”Well,you know-lah siapa yang lagi ngamuk seperti singa ini? Papaku tercinta. Tentu saja beliau ngamuk nggak karuan saat tahu aku dan Drupada menghadap dengan tujuan membatalkan pernikahan. Kami memang memutuskan untuk datang ke Bandung setelah malam menyakitkan itu.Bagaikan dilempar