~Brie~
Aku telah melakukan kesalahan besar. Niatku datang ke stasiun televisi tempatnya bekerja adalah membantu menyelesaikan masalah yang dia biarkan berlarut. Akibatnya, aku malah menambah masalahku sendiri. Damian tahu bahwa aku masih mencintai dia dan mengambil keuntungan dari perasaanku itu.
Bodoh sekali. Bisa-bisanya aku membiarkan dia mencium aku berulang kali di kantornya. Aku tidak akan bisa berbohong lagi kepadanya dengan mengatakan bahwa aku membenci dia. Mengapa semua rencanaku berantakan setiap kali ada hubungannya dengan hatiku?
Melihat buket bunga kirimannya di atas meja di kamarku adalah bukti bahwa aku tidak akan bisa lari lagi darinya. Lari, siapa yang ingin aku bohongi? Diriku sendiri? Aku tidak bertindak seperti orang yang ingin lari dari laki-laki yang mengejarnya. Aku malah datang secara sukarela ke tempat kerjanya.
Aduh. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Lusa nanti aku akan pergi dari kota ini menuju kota lain di mana kehidup
~Damian~ Mereka ingin tahu semua tentang kehidupan pribadiku, maka aku mengabulkan semuanya. Biar mereka semua puas dan meneruskan hinaan dan makian mereka kepadaku di media daring dan sosial. Aku sudah tidak peduli lagi pada reputasi atau nama baik. Mereka boleh menghancurkan aku sesuka mereka. Hal yang diawali oleh Brie telah membukakan mataku mengenai banyak hal. Aku kini tahu siapa kawan dan lawan. Mereka yang aku pikir adalah rekan kerjaku, ternyata suka menusuk dari belakang. Wanita yang mengaku mencintai aku, rela melakukan segala hal untuk mendapat perhatianku. Adik yang aku pikir akan mendukung segala yang aku lakukan, justru mengkhianati aku. Bapak yang berusaha aku maafkan setelah pukulannya nyaris merenggut nyawaku sepuluh tahun yang lalu, ternyata belum berubah. Apa pun yang sudah aku lakukan untuk membuatnya bangga kepadaku tidak akan pernah cukup baginya. Dia mau aku selalu menjadi anak yang sempurna. Hal yang tidak mungkin sanggup aku penuhi.
~Brie~ Aneh. Ada apa dengan Damian? Aku mencoba menghubungi dari pagi tadi, tidak satu pun panggilan dariku yang dijawabnya. Padahal ponselnya aktif. Apa dia sedang berada di rumah sakit menjaga mamanya? Pesanku juga tidak dibalas. Bila aku nekat ke rumah sakit untuk menemuinya, aku khawatir aku akan membuat kekacauan di sana. Aku tidak mau bertemu dengan keluarganya. Aku juga tidak ingin keadaan ibunya semakin parah melihat kedatanganku. Tetapi aku harus menemuinya dan bicara. Walaupun kami tidak sepenuhnya telah kembali bersama, aku tidak mau pergi begitu saja tanpa mengucapkan selamat tinggal kepadanya. Kami mungkin tidak akan pernah bertemu lagi, jadi ini adalah kesempatan terakhir untuk menyelesaikan segalanya secara baik-baik. Aku perlu melakukan ini untuk diriku sendiri. Bukan dia yang sedang aku pikirkan. Aku yang lebih membutuhkan kepastian mengenai perasaanku kepadanya. Aku tidak ingin terus mengalami ini di dalam dadaku sendiri. Aku lelah d
“Apa yang sedang kamu lakukan? Kamu mengabaikan telepon dan pesan dariku setelah kamu berjanji di depan kamera bahwa kamu akan membahagiakan aku. Apa kamu sedang bercanda?” tanyaku tanpa basa-basi. “Aku tidak bercanda. Kamu tahu bahwa aku serius dengan semua ucapanku kepadamu,” protesnya. Dia mendesah pelan. “Aku pengangguran, Brie. Aku tidak punya apa-apa lagi. Bagaimana aku bisa memasang mukaku di depanmu dengan keadaanku ini?” Laki-laki dan harga dirinya. Hal yang sering sekali tidak bisa aku mengerti. Dia menundukkan kepala, sama sekali tidak mau melihat ke arahku. Pasti dia merasa sedang berada di titik terendah dalam hidupnya. Aku pernah berada pada posisi itu. Bukan hal yang ingin aku alami lagi. “Aku akan terbang ke Bali pada hari Minggu besok.” Aku bisa melihat dari sudut mataku ketika dia mengangkat wajahnya dan mengarahkan pandangannya kepadaku. “Jadi, aku menghubungi kamu untuk berpamitan. Aku tidak akan pernah kembali ke Jakarta lagi.” “A
Aku tidak pernah jatuh cinta. Seumur hidupku di dunia, aku tidak sempat merasakan hal indah itu karena tidak ada pria yang seperti Papa. Yang sayang kepadaku, menjagaku, menemani ke mana aku pergi, dan yang mau bermain boneka denganku. Papa adalah cinta pertamaku. Pria yang mengajari aku bahwa cinta itu memberi waktu, berkorban, dan tanpa mengharapkan balasan. Tidak pernah keluar dari mulut Papa agar suatu hari nanti aku menjadi anak yang berbakti kepada orang tua. Papa dan Mama mengajari aku menjadi anak yang mandiri dan kelak tidak lagi bergantung kepada mereka. Damian menunjukkan hal yang sama. Dia tahu siapa aku, kami tidak akan bisa bersama karena kami menyandang nama keluarga yang sama. Bukan hanya adat-istiadat, pemimpin gereja di mana kami berada pun tidak merestui hubungan kami. Tetapi dia tetap mencintai aku. Lebih murni dari sayang seorang sahabat, lebih dalam dari cinta seorang kekasih. Dia menolong menyatukan kembali hatiku yang telah lama hancur
“Ian,” katanya sambil memegang tanganku dan menciumnya. Aku menatapnya tidak percaya. “Ini bukan saatnya untuk bercanda,” protesku. “Aku tidak sedang bercanda. Jangan panggil aku Damian.” Dia mencoba untuk berdiri, aku menahan tubuhnya dengan memegang kedua pundaknya. “Siapa yang sudah melakukan ini kepadamu?” tanyaku sedikit memaksa. Dia hanya diam. “Ayo, kita ke dokter. Lebam ini perlu diperiksa.” “Dokter sudah memeriksanya.” “Lalu mengapa kamu malah memakai riasan dan bukan obat dari dokter?” protesku lagi. “Apa kamu akan marah-marah begini saat aku sedang sakit?” tanyanya yang memasang wajah sedih. Aku kembali hanya menatapnya. “Aku tidak mau kamu sampai melihat ini, maka aku menutupinya. Dan siapa yang melakukan ini bukan masalah. Bekasnya akan segera hilang.” Tidak mau berdebat dengannya lagi, aku pun berhenti mendesaknya memberitahu aku siapa yang telah memukulnya. Aku meminta obat yang sudah diresepkan dokter dan dia me
~Damian~ Kak Christos akhirnya menghubungi aku dan memberitahu bahwa Mama sudah siap untuk kami jenguk. Untuk memastikan hal itu, aku ingin mendengar langsung suaranya. Kakak memberikan ponselnya kepada Mama, lalu kami berbincang sejenak. Mama tidak terdengar marah atau kesal denganku. Sebaliknya, intonasi suara Mama tenang dan bicara dengan damai bersamaku. Sama seperti sebelum semua masalah ini terjadi. Sebelum Mama tahu bahwa aku bertekad menikahi wanita yang satu marga denganku. “Bawa Brie ke sini. Aku ingin bicara dengannya,” kata Mama mengejutkan aku. “Tetapi, Mama mau membicarakan apa dengan dia?” tanyaku tanpa dapat menyembunyikan rasa khawatirku. Hubungan mereka tidak baik dan Brie jelas berkata bahwa dia sudah lelah dengan hinaan orang yang ditujukan kepadanya. “Aku hanya meminta satu hal itu saja. Apa kamu tidak bisa mengabulkannya? Aku menonton siaran konferensi pers itu, jadi aku tahu bahwa kamu masih bertemu dengannya,” ucap Mama
~Brie~ Aku tidak menduga sama sekali bahwa alasan mama Damian meminta bertemu denganku adalah untuk melakukan hal ini. Sepuluh tahun berlalu dan baru dia dari kedelapan belas orang tua yang bekerja sama merusak nama baikku yang meminta maaf. Kalimat itu sudah cukup bagiku, dia tidak perlu sampai berlutut di depanku. Aku juga bukan manusia suci tanpa dosa. Meskipun hanya satu orang tua, aku merasa sangat lega. Aku semakin percaya bahwa aku hanyalah korban, bukan pelaku kejahatan. Sepuluh tahun kepalaku diisi dengan berbagai tuduhan jahat yang sengaja mereka sebarkan. Kadang-kadang aku ragu, mungkinkah aku melakukan semua yang mereka katakan? Karena semakin hari, tuduhan itu semakin meyakinkan. Aku sempat berpikir bahwa akulah yang telah menggoda mereka bertujuh sehingga mereka ingin meniduri aku. Akulah yang berpakaian terlalu mengundang yang membuat darah muda mereka terpancing. Akulah yang memberikan diri kepada mereka secara sukarela, bukan mereka yang mema
“Oh.” Rhea segera meletakkan tangannya di bawah perutnya. Suaminya segera melepaskan papa Damian dan berlari ke sisi istrinya. “Aku akan melahirkan, sayang.” Suasana kamar pun kembali riuh. Christos memanggil suster dan meminta pertolongan, Mama memberi petunjuk apa yang sebaiknya dilakukan oleh Rhea dan suaminya. Rhea mulai menangis karena merasa malu sudah buang air sembarangan. Luhut berusaha untuk menghibur istrinya tetapi tidak ada usahanya yang berhasil. Melihat itu, aku segera mendekatinya. Ini bukan hal yang baru bagiku karena aku juga pernah melahirkan. Aku memintanya untuk tenang dan tidak panik. Dia hanya perlu ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan berganti pakaian. Aku meminta suaminya untuk mengambil pakaian Mama dan membeli pembalut. Untung saja mereka sudah siap dengan keadaan itu. Tas yang berisi barang yang akan diperlukan Rhea saat proses melahirkan, ada di dalam bagasi mobil. Aku membantu Rhea berganti pakaian yang lebih nyaman. Lalu m
~Damian~ Meskipun tidak ada banyak hal yang bisa aku lakukan di tempat ini, aku menggunakan fasilitas yang ada dengan baik. Aku membaca hampir semua buku yang ada di perpustakaan, berolahraga setiap pagi dan sore bersama teman-teman, menjauhi masalah, dan berkenalan dengan orang-orang baru. Sebagian besar dari mereka adalah orang baik yang terpaksa berbuat jahat karena keadaan. Aku menyukai diriku yang baru. Aku mengetahui lebih banyak hal baru, bukan hanya yang telah aku pelajari selama ini di dunia jurnalistik. Ilmu yang aku dapat tidak hanya dari membaca, tetapi juga dari bicara dengan orang-orang yang ada di penjara. Keluarga dan sahabatku tidak pernah datang berkunjung atas permintaanku. Walaupun ini adalah keinginanku sendiri, aku tidak mau mereka melihat aku dalam keadaan paling terpuruk. Aku lebih memilih menahan rasa rindu yang berat kepada istriku daripada melihatnya berduka setiap kali melihat aku berada di tempat yang tidak bisa dijangkaunya.
~Brie~ “Sayang, ayo, cepat!” seruku dari ambang pintu apartemen. Aku menepati semua kesepakatan yang kami bicarakan pada hari terakhir kami bersama. Aku tidak datang menjenguknya atau mengirim apa pun untuknya. Aku fokus menjalani hidup dan pekerjaanku. Setelah sahabatku menikah, aku yang bertanggung jawab penuh atas hotel. Sebagai seorang wanita yang jauh dari suami, tentu saja aku mengalami banyak godaan. Apalagi aku bekerja di hotel. Meskipun aku jarang bertemu dengan orang-orang karena aku mengangkat Gerald menjadi asistenku untuk urusan rapat dan bertemu dengan klien di luar hotel. Tetapi aku sering bertemu tamu hotel yang tertari kepadaku saat makan bersama Papa dan Saoirse di restoran. Waktu berjalan begitu cepat karena kesibukanku di hotel. Ditambah lagi putri kami yang sangat aktif menyita waktu luangku yang sepenuhnya aku curahkan untuknya. Hanya pada saat aku tidur seorang diri di kamar, aku merasakan kesepian yang tidak bisa ditutupi denga
~Damian~ Aku tidak pernah menyangka bahwa aku bisa jatuh cinta semakin dalam kepada istriku. Aku pikir rasa cintaku kepadanya sangat dalam dan tidak akan bisa lebih dalam lagi. Tetapi aku merasakan sendiri pada hari ini bahwa hal itu bisa terjadi. Dia duduk di sana, di kursi saksi dengan wajah yang berani, mata menatap tajam ke seluruh penjuru, saat menjawab satu per satu pertanyaan yang diajukan oleh jaksa penuntut, kuasa hukum yang membela kami para pelaku, bahkan hakim. Meskipun sesekali dia bersuara berat mengulang kembali kejadian menyakitkan itu, dia tidak gugup apalagi bicara dengan gagap. Mendengar semua kalimat itu, aku teringat pada peristiwa pada hari reuni tersebut. Malam di mana untuk pertama kalinya, aku tahu siapa dia yang sebenarnya. Sikap teman-temanku masih sama, merasa layak untuk menudingkan jari mereka menyalahkan dia. Hari ini aku tidak melihat tatapan arogan itu. Foto-foto bukti kekerasan yang kami lakukan sudah cukup untuk memb
Aku menatap putriku yang tertidur pulas setelah aku membacakan sebuah cerita untuknya. Dia anak yang baik, tidak pernah sekalipun aku mendengar dia mengeluh. Kami baru saja beberapa minggu bersama, bagaimana aku tega merebut kebahagiaan ini darinya? Dia telah kehilangan kasih sayang orang tuanya sejak dia lahir ke dunia. Setelah dia begitu bahagia bisa tinggal bersama kami, aku tidak sanggup memisahkan dia dari ayahnya sendiri. Aku tidak mau putriku menderita seperti aku. Papa dan Damian tidak bisa melakukan ini kepadaku, kepada putriku. Apa yang kami miliki sekarang telah kami perjuangkan dengan mahal. Aku menikah dengan laki-laki satu margaku dan menentang adat, kami menanggalkan nama keluarga kami, dan kami tinggal jauh dari komunitas yang menjadi identitas kami sejak lahir. Setelah melalui semua tantangan, aku tidak mau berpisah dari suamiku. Namun apa yang kami jalani saat ini juga tidak sehat. Dia tidak jauh dariku, dia ada di sini di dekatku. Tetapi ka
Kami baru menikah selama satu minggu, membicarakan banyak hal mengenai masa depan keluarga kecil kami, mendiskusikan yang terbaik untuk putri kami, dan dia meminta aku untuk melakukan hal yang akan merenggut dia dariku? Apa yang sedang dia pikirkan? “Apa kamu sadar dengan apa yang baru saja kamu katakan?” tanyaku yang menatapnya dengan saksama. Inikah hal yang beberapa hari ini meresahkannya? “Iya. Aku juga sudah membicarakan ini dengan psikolog. Dia mendukung keputusanku, tetapi keputusan terakhir tetap ada di tanganmu. Kamulah yang menentukan segalanya.” Dia menatapku penuh harap. Aku menarik kedua tanganku dari genggamannya. “Aku tidak mau melakukan itu. Aku tidak akan menuntut suamiku sendiri. Apalagi kasus ini sudah sangat lama dan kamu sudah mendapatkan balasannya. Kamu tidak punya hutang apa pun lagi padaku,” kataku menolak. “Itu bukan hukuman, Brie. Aku tidak bisa selamanya lari dari jerat hukum. Hal ini yang menghalangi aku untuk bahagia. Kam
Aku tidak membiarkan kekurangannya itu merusak suasana bulan madu kami. Ada banyak hal yang bisa kami lakukan bersama yang membuat pengalaman bercinta tetap menyenangkan. Beberapa kali dia berhasil membuatku mencapai puncak kenikmatan, dan wajahnya sangat bahagia. Bukan ini yang aku pikirkan sebagai solusi, tetapi dia tidak kelihatan keberatan hanya aku yang bisa menikmati setiap kali kami bercinta. Melihat wajah bahagianya, maka aku tidak mau membuatnya merasa sedih dengan merasa bersalah. “Aku mencintaimu, Ian. Apa adanya,” ucapku saat sekali lagi dia membuatku bahagia. “Aku tahu. Dan aku mencintaimu, istriku.” Dia mengecup keningku, lalu memeluk tubuhku saat kami berbaring bersama. Sesaat setelahnya, kami tertidur pulas. Bosan hanya berdua saja di dalam kamar dan melihat pemandangan itu-itu saja, maka pada Minggu malam itu, kami memutuskan untuk makan malam di restoran. Keluarga kami sedang makan juga, jadi kami segera bergabung bersama mereka.
~Brie~ Hari ini adalah hari yang sangat membahagiakan bagiku. Pendeta yang baik hati itu mengumumkan bahwa aku dan keluargaku diterima sebagai anggota jemaat yang baru. Aku senang sekali karena pertemuan Papa dengan pendeta itu membuahkan hasil. Usai ibadah, aku dan Damian menemui pendeta tersebut di ruang rapat. Dia memberi kami daftar dokumen yang perlu kami siapkan sebagai syarat menikah. Begitu semua syarat dipenuhi, maka kami boleh menentukan tanggal. Sembari menunggu berkas dari orang tua Damian dikirim, dia memberi pilihan tanggal untuk melakukan konseling pranikah yang segera kami iyakan. Entah bagaimana Mama bisa membujuk papa Damian menandatangani surat persetujuan dari orang tua, kami menangis bahagia saat melihat tanda tangan dan namanya tersebut. Karena kami sudah mengikuti konseling dan tetap bertekad melangsungkan pernikahan, maka begitu berkas kami dinyatakan lengkap, pendeta setuju untuk menikahkan kami pada minggu berikutnya. Kami se
~Damian~ Saoirse berenang begitu bahagia dari satu tepi ke tepi lain kolam renang. Aku tidak menduga bahwa dia bisa berenang. Keahlian apa lagi yang dimiliki anak perempuan ini? Dia masih begitu muda, tetapi dia tidak berhenti membuat aku kagum pada bakatnya. Yang tidak terduga adalah bagaimana dia bisa menyayangi aku begitu cepat. Kami bertahun-tahun tidak pernah bertemu sepertinya bukan fakta yang menakutkan baginya. Iya bagiku. Mendadak menjadi seorang ayah bukanlah hal yang menyenangkan karena aku tidak siap dengan ini. Aku harus mengubah begitu banyak kebiasaan buruk agar dia tidak menirunya, dan aku harus belajar dengan cepat untuk memahami dia sekaligus ibunya. Mengerti hati seorang wanita saja menjadi tantangan besar bagiku, apalagi dua. Aku kagum melihat Papa bisa menangani kedua wanita rumit ini dengan baik. Wajar saja, mereka adalah anak dan cucunya. Aku menarik napas panjang saat putriku berjalan mendekati aku. “Sayang, jangan berjalan sec
Makanan sudah hampir siap, Damian keluar dari kamarnya dengan wajah masih mengantuk. Wajar saja. Dia tidak berhenti menciumku sampai lewat tengah malam. Dia menyapaku, lalu memberi kecupan di bibirku sebelum ke kamarku untuk membangunkan putri kami. “Jangan marah lagi kepadanya. Dia masih terlalu muda saat semua itu terjadi. Dan dia tidak bisa sendirian melawan kedua orang tuanya juga orang tua teman-temannya yang ingin melindungi reputasi mereka. Kamu tahu sendiri bahwa mereka melakukan segalanya untuk menyembunyikan perbuatan jahat anak-anak mereka.” Kalimat Papa tadi kembali terngiang di telingaku. Aku tidak marah lagi kepadanya, aku bahkan tidak kecewa saat tahu dia adalah ayah kandung Saoirse. Tetapi mengetahui semua ini membuat aku semakin mengerti beban yang telah dia tanggung sendirian selama ini. Dia dan aku berada pada posisi yang sama. Aku dijebak oleh dua sahabatku, sedangkan dia oleh teman-temannya. Kejahatan mereka semakin biadab karena membiark