~Damian~
Pikiranku terganggu selama sisa hari itu di tempat kerja karena ulah Erin. Beraninya dia menyentuh aku seintim itu saat aku tidak mengundang atau mengizinkannya melakukan itu. Ada apa dengan isi kepalanya? Dia baru saja bermesraan dengan asistenku di koridor, berikutnya dia ingin bercumbu denganku juga?
Aku segera mendorong tubuhnya menjauh dariku begitu aku sadar apa yang sedang dia lakukan. Dia mengaduh kesakitan karena punggungnya terantuk pintu cukup keras. Aku tidak peduli dengan itu, yang dia lakukan jauh lebih sadis.
“Keluar dari ruanganku sekarang!” teriakku marah. Aku bisa melihat badannya gemetar mendengar suara kerasku yang tidak pernah aku gunakan sebelumnya di tempat kerja ini. Tetapi dia tidak mundur atau keluar, dia hanya berdiri dengan mata menantangku.
“Ada apa denganmu? Aku tidak percaya kamu tidak tertarik denganku. Apa yang kamu sembunyikan dariku? Aku mencintaimu, Ian. Beri aku kesempatan untuk membuktikan itu kepadamu,”
~Nia~ Damian tidak bisa terus menciumku seintens itu di dalam mobilnya. Kaca depan mobilnya tidak bisa menghalangi kami dari tatapan penasaran orang-orang sekitar. Apalagi pada malam hari, lampu dari kendaraan lain membuat kami beberapa kali menjadi sorotan. Tetapi tentu saja dia tidak peduli. Dia berharap kado ciuman dariku, maka itu yang dimintanya saat aku akan keluar dari mobilnya. Saat dia mengucapkan cinta, lidahku hampir saja membentuk kalimat yang sama. Syukur saja aku berhasil menahan diri. Cinta. Ini tidak mungkin. Kami bahkan belum satu bulan bersama dan aku jatuh cinta kepadanya? Apa yang aku rasakan ini sebenarnya bisa menjadi keuntungan bagiku. Aku tidak perlu susah payah berpura-pura mencintainya. Masalahnya, tujuanku untuk menyakitinya akan terhalang oleh hatiku sendiri. Dan ini pertanda bahaya. Aku tersenyum melihat buket bunga mawar putih di atas meja kerjaku pada pagi hari. Kali ini aku menemukan kartu ucapan pada buket tersebut. Ad
“Lepaskan aku!” kataku dengan cepat berusaha menarik tanganku dari genggamannya. Tetapi dia mempererat pegangannya sehingga aku mengaduh kesakitan. “Bu, apa yang Ibu lakukan? Lepaskan dia!” kata Damian marah. Dua orang petugas keamanan datang mendekat dan membantu kami untuk menjauhkan diri dari perempuan itu. Aku segera mundur menjauh darinya sambil memegang pergelangan tanganku. “Lepaskan aku! Kalian ini siapa pegang-pegang aku begini?! Lepas!” kata wanita itu yang berusaha melepaskan diri dari pegangan kedua petugas sekuriti itu. “Kamu tidak apa-apa, sayang?” tanya Damian sambil melihat kondisi pergelangan tangan kiriku. Aku mengangguk pelan. Dia menggeram ke arah wanita itu. “Apa maksud Ibu tiba-tiba menyakiti Nia?” “Aku yang seharusnya bertanya kau itu siapa?!” semprot wanita itu dengan kesal. “Aku ini bounya. Kau siapa? Lepaskan aku! Aku punya hak untuk membawanya pulang.” Pulang? “Bou kamu, sayang?” tanya Damian bingung. Aku tidak menja
“Buka kaca ini! Hentikan mobilnya!” ucap Bou dengan teriakan keras, tidak peduli dengan orang-orang di sekelilingnya yang bingung melihat tindakannya itu. Apa yang dia inginkan? Daripada dia repot-repot datang mengancam aku atau membuang uang dengan datang ke Jakarta, lebih baik dia selesaikan masalahnya di Medan. Apa dia pikir aku adalah anak kecil yang bisa dia atur sesukanya? Aku sudah bukan Brie berusia dua puluh tahun yang bisa seenaknya diseret ke rumahnya. “Turun! Buka pintunya!” Mendengar ketukan dari kaca pintu belakang, aku nyaris memekik melihat wajah Amangboru. “Kau tidak bisa lari lagi. Buka!” “Ada apa dengan orang-orang ini? Apa mereka tidak mengerti kata tidak?” ucap Damian geram. Dia menepikan mobil, aku segera menyentuh tangannya. “Tidak ada gunanya bicara dengan mereka,” kataku dengan cepat. “Mereka tidak akan berhenti sampai berhasil membawa aku pulang. Aku tidak ingin ikut dengan mereka, Ian.” “Tetapi, sayang. Mereka bisa c
Damian mengajakku mendekati meja penerima tamu. Mereka menyapanya dengan ramah, lalu salah satu dari mereka memasuki restoran dan mengantar kami menuju meja. Aku merasakan beberapa pasang mata tertuju kepada kami, atau lebih tepatnya, kepadaku. Aku tidak perlu menoleh untuk tahu pemiliknya. Mereka adalah orang tua dan saudara Damian. Aku tahu apa arti dari kedatangan Damian ke tempat ini dengan membawa aku bersamanya. Dia sedang menantang keluarganya secara terang-terangan. Tamu lainnya yang menatap ke arah kami pasti segera mengenali aku. Penampilanku di layar kaca bersama Damian akan membuat mereka tahu siapa aku. Tetapi selain keluarga Damian, mereka belum tahu bahwa kami sedang menjalin hubungan terlarang. Jadi, mereka tidak akan mengerti mengapa wajah orang tua dan saudara Damian terlihat tegang melihat kehadiranku. Kami duduk satu meja dengan saudaranya. Ada delapan kursi yang mengelilingi meja bundar itu. Christos datang bersama istri dan anak laki-lak
“Bisa jelaskan apa ini, Ian?” tanya papa Damian saat hanya ada kami saja di ruang makan itu. Para tamu sudah pulang dan para pelayan sedang membersihkan ruangan. Tetapi mereka menyiapkan tempat di sudut depan ruangan agar kami bisa bicara. “Bila maksud Bapak mengenai aku dan Nia, aku sudah memutuskan untuk tetap maju dan menikahi dia,” ucap Damian dengan serius. Rhea, Cempaka, dan mama Damian menarik napas terkejut. Luhut dan Christos bersikap lebih tenang. Bapaknya memejamkan mata dan menghela napas sejenak. “Kamu sadar dengan apa yang baru saja kamu ucapkan?” tanya papanya. Kami duduk bersama dengan kursi diatur melingkar sehingga kami bisa melihat satu sama lain. Aku dan Damian duduk berdampingan. Cempaka duduk di sebelah kiriku, tentu dengan ada sedikit jarak di antara kami, sedangkan Luhut duduk di sebelah kanan Damian. Aku hanya duduk diam mendengarkan pembicaraan di antara mereka, tidak berniat sedikit pun untuk menginterupsi atau ikut campur.
~Damian~ Aku tidak percaya dengan pendengaranku sendiri. Nia baru saja mengatakan cinta? Wanita yang selama ini mempermainkan perasaanku dengan keahliannya menarik-ulur. Dia yang pada satu waktu membalas ciumanku, dan pada waktu yang hampir bersamaan mengingatkan bahwa kami adalah saudara satu marga yang tidak bisa bersama. Nia yang itu jatuh cinta kepadaku? Tentu saja aku tidak akan melepaskan dia begitu saja setelah mendengar kata cintanya. Dia pikir dia bisa pergi setelah memberi aku sebuah ciuman selamat malam. Aku segera mengambil alih saat dia menjauhkan dirinya dariku. Aku memeluk tubuhnya dengan erat dengan satu tanganku, sedangkan tanganku yang lain berada di belakang lehernya. Dia tidak menarik diri, mendorongku menjauh, atau mengatakan tidak. Sebaliknya, dia tertawa dan membalas ciumanku. Seolah-olah tahu bahwa aku tidak akan merasa cukup dengan satu kecupan singkat saja. Ciuman kami kali ini terasa lebih intens dari biasanya. Mungkin karena kini k
“Monang dan Saulina tahu benar bagaimana mendidik anak-anak mereka. Apa yang kau lakukan ini? Mereka pasti tidak setuju dengan pilihanmu. Lalu untuk apa lagi kau tanyakan ini? Tidak ada yang namanya pernikahan dengan satu marga!” ucap Paktua dengan tegas. “Pasti ada jalan. Aku tidak percaya kami tidak boleh bersama. Aku dan Nia—” kataku berusaha untuk menjelaskan. “Tidak ada jalan bagi kalian untuk bersama,” tukasnya. “Memangnya kau mau menikah sendiri tanpa restu dari orang tuamu? Tanpa restu dari komunitasmu? Kalau kau memaksa tetap menikah dengan dia, kau tidak hanya kehilangan orang tua dan saudaramu. Hubunganmu dengan adat kita juga putus. Apa itu yang kau mau? Kau pikir kau masih bisa hidup tenang tanpa dukungan keluargamu?” Paktua menatapku dengan mata berapi-api. Dia bergantian menatap aku dan Nia dengan tajam. “Sebelum hubungan kalian terlalu jauh, putuskan dia. Aku tidak percaya kau melakukan ini kepada orang tuamu sendiri. Monang dan Saulina telah
~Nia~ “Kita akan bicarakan itu lain kali. Aku pasti akan menceritakan segalanya kepadamu. Tetapi tidak sekarang atau malam ini. Aku hanya ingin mencium kamu sebelum mengantar kamu pulang dan menyiksa diri tidur sendiri malam ini,” ucapnya mendramatisir. Aku tersenyum. Tentu saja dia tidak akan menceritakan apa pun kepadaku malam ini. Dia pasti khawatir hal itu akan membuat aku pergi darinya. Hal paling gelap dari masa lalunya yang tidak dia ketahui jauh lebih kelam dari itu. Tetapi dia akan segera mengetahui segalanya. “Sayang, aku mengizinkan kamu mencium aku. Tetapi aku tidak mau hubungan kita lebih jauh dari ini sebelum kita menikah,” kataku saat dia mendekatkan diri untuk menciumku lagi. “Aku janji, aku tidak akan melewati batas. Aku menghormati hubungan kita seperti halnya aku menghormati kamu.” Dia tersenyum ketika tangannya membelai pipiku. Baiklah. Janji itu sudah cukup untuk saat ini. Pintu diketuk dan dibuka ketika kami belum sempat