"Richard, gimana kalau ayahmu tiba-tiba muncul dan menyuruhmu pulang?" tanyaku mendadak.
"Firasat buruk?" Richard menatapku. "Kepikiran aja. Kan nggak lucu kalau serombongan orang mendadak muncul di depan rumah." Aku masih mengingat dengan jelas usaha Abram untuk menculikku dari apartemen. "Lihat situasi, nggak bisa dibicarakan sekarang." Richard tampak serius. Aku termenung. Ya betul, pada saatnya nanti Richard pasti akan kembali pada keluarganya. Tidak mungkin dia menjadi orang biasa sepertiku. Sial. Aku langsung merasa tidak percaya diri. Pagi ini Richard membantuku memotong rumput di pekarangan rumah yang mulai tinggi. Memakai baju kemeja lusuh peninggalan papa membuatnya terlihat seperti seorang suami yang baik. Aku menggelengkan kepala untuk mengusir imajinasi liar yang mampir di otakku. Bukan salahku, hanya saja Richard terlalu ganteng untuk ukuran sRichard menetap di kamarku sementara aku sibuk dengan desain. Dia memperhatikan setiap gerakanku. Mulanya aku merasa tertekan, tapi lama kelamaan perilaku aneh Richard dapat kuabaikan. Kuanggap saja seperti seekor kucing yang sedang bergelung malas di tempat tidur. Sesekali aku melirik Richard. Lama-lama aku merasa dia semakin mirip dengan kucing. Aku menggigit bibir untuk menahan tawa. Fokus kerjaku buyarlah sudah. "Ada yang lucu?" Dengan enaknya Richard menarik kursiku hingga beradu dengan tempat tidur. "Nggak! Apa sih? Ganggu orang kerja ih," seruku pura-pura galak. "Makin dilihat kamu makin manis." Richard mulai merayu. "Lagi nggak ada kerjaan jadi mengkhayal ya? Bikinin teh manis dong?" Aku menyeringai. "Hmm...." Richard memutar kursiku seperti mainan. Melihat tingkah Richard yang semakin manja aku bangkit. Biar saja dia mengambil ku
Hari ini aku bertekad menemani Richard ke studio. Satu minggu ini dia bekerja tanpa mengeluh. Tidak ada keluhan, hanya rasa lelah dan luka lecet di tangan. Aku tahu Richard tidak akan berkata jujur tentang kondisi pekerjaannya. Aku harus melihat sendiri. Aku sudah sering menemani Elisabet ke galeri, jadi jalur perjalanan ke sana sudah kuhafal luar kepala. Kami naik kendaraan umum selama setengah jam dan dilanjutkan berjalan kaki selama lima belas menit, tibalah kami di galeri. "Kamu mau temani seharian?" tanya Richard ragu. "Boleh kan?" Aku mengulum bibir. "Aku sih boleh aja, entah Pak Gatot." "Aku kenal dia kok." Kami berjalan masuk ke bagian belakang galeri. Ada sebuah bangunan terpisah dengan pekarangan luas. Aroma kayu menyambut indera penciuman. "Hei, lama nggak ketemu, Hazel! Nggak sama Elisabet?" sapa Pak Gatot.
Tiba di rumah aku dikejutkan dengan penampakan sebuah motor sport yang parkir dalam pekarangan. Richard terlihat cuek dan langsung melenggang masuk rumah. Aku mengikuti dengan was-was. "Jadi sekarang kamu full time kompetisi?" "Iya, Tante. Kadang dikirim ke luar negeri. Ini aja baru pulang dari Korea Selatan." "Ohh wah hebat ya. Semoga sukses terus ke depannya." Aku berusaha membuat diriku transparan, tapi Richard tidak. Dia menyapa tamu yang sedang duduk di sofa. "Bertemu lagi," sapa Richard dengan ramah. "Nah, ini orangnya pulang. Hazel? Teman lamamu nih, Hendri," kata Elisabet. Aku meringis, "Tempo hari udah ketemu." "Kok nggak cerita? Oya, Hendri, ini Richard pacarnya Hazel." Elisabet memperkenalkan. "Kami udah kenalan, Tante." Hendri tersenyum. "Kalian anak-anak muda ngobrollah
"Whaaattt?? Richard ketemu siapa? Di mana? Bagaimana? Coba lo jelasin lebih pelan sedikit?" Suara Wahyu terdengar nyaring. Aku mengernyit menjauhkan handphone dari telinga. "Hazel? Ayo cerita! Mumpung lagi nggak ada orang di sini!" desak Wahyu. "Bacot lo kayaknya tambah gede, Bro. Budeg kuping gue!" sergahku. "Hahahaha sorry, sorry. Oke, gue kalem. Lembut. Cerita yang lengkap dong?" "Kita berdua ketemu sama cowok yang gue taksir waktu SMA." "Ih, CLBK! Langsung dihajar dong sama Richard?" "Dari Hong Kong. Teman gue instruktur taekwondo, Bro! Gue nggak tau siapa yang bakal menang kalau berantem." Aku menghela nafas. "Tapi pada intinya sekarang kan lo pacarnya Richard. Temen lo udah nggak ada hubungan apa-apa kan, Bro?" "Ya nggak lah! Baru sekarang ketemu lagi kok." "Kayak drama korea
Sapuan kuas di tangan Richard sedikit tidak stabil. Wajahnya begitu serius, kedua alis bertaut. Aku tersenyum geli melihat keseriusannya belajar melukis. Elisabet pun turut mengawasi dari sebelah sana. Richard mengusap keringat di dahinya dengan punggung tangan. Aku benar-benar menahan tawa sampai terbungkuk. Cat bewarna kuning melintang di dahi Richard. Aku mengusap cat nyasar itu dengan sepotong kain. "Melihat cara kerja kalian satu lukisan pun nggak akan selesai," ledek Elisabet. "Mama...." Wajahku merah padam. Richard meringis, "Ternyata melukis nggak semudah yang terlihat." "Betul sekali. Perlu latihan dan kesabaran," ujar Elisabet. "Aku akan coba selesaikan lukisan ini di waktu luang," kata Richard. "Bagus. Kalau selesai akan kubawa ke galeri," kata Elisabet. "Lumayan kalau terjual," timpalku. R
Hari yang normal di antara hari-hari lainnya. Aku dan Elisabet menyibukkan diri di depan canvas masing-masing. Berdasarkan imajinasi aku berusaha melukis pemandangan matahari tenggelam di tepi pantai. Lumayan. Lukisan karya Richard belum juga selesai. Aku ingin membantu menyelesaikan tapi ditolak mentah-mentah oleh Richard. Dia ingin melakukan sendiri. Baiklah. Ada bagusnya juga. Siapa tahu kemudian hari Richard juga bisa mendapatkan uang dari melukis, meskipun aku meragukannya. Suara pintu diketuk membuat kami heran. Siapa yang bertamu siang begini? Aku bangkit keluar. Mataku melebar melihat Bryan berdiri di pintu masuk. "Hai, Hazel," Bryan tersenyum manis. "Hai...." Aku meringis seperti orang kena stroke ringan. "Apa kabarnya? Richard sedang kerja?" "Iya. Kok tau?" "Ayah yang tau." Aku menduga Bryan datang karena peri
Menunggu adalah pekerjaan yang paling menyiksa. Apalagi mengetahui bahwa Bryan menunggu untuk membujuk Richard kembali ke ayahnya. Begitu pulang Richard pasti dapat menebak apa yang terjadi. Matanya tidak buta. Tiga mobil hitam yang parkir di depan rumah sangat mencolok perhatian. "Hazel!" Richard menghambur masuk. Pandangannya langsung tertuju pada Bryan. "Richard," panggilku. "Kamu nggak apa-apa?" Richard menghampiriku dengan cemas. "Nggak apa-apa. Cuma ngobrol kok." Richard berbalik menghadapi Bryan, "Mau apa lo datang ke sini? Suruh anak buah lo pergi!" "Lo pikir gue mau datang kayak begini? Kalau bukan karena ayah ngapain gue ganggu kalian?" Bryan meringis. "Dia nyuruh lo ngapain?" tanya Richard. "Apa lagi? Membujuk lo supaya mau ikut pulang." "Bilang sama dia, gue udah nggak ada hubungannya deng
Aku teringat kisah Sam Pek Eng Tay, kisah cinta antara dua anak manusia yang tidak dapat bersatu hingga akhir hayat. Dulu aku menganggap kisah cinta yang tidak direstui hanyalah karangan yang kelewat imajinatif. Namun, sekarang aku sendiri mengalaminya! Rasanya ingin memaki dengan segala kata makian dari berbagai bahasa yang kutahu. Kubatalkan, karena percuma saja aku memaki kalau tidak ada sasarannya. Aku ingin sekali memaki-maki di depan muka Abram. Kalau perlu melempar barang ke wajah lelaki tua mesum itu. Kesal. Aku kesal karena Richard memutuskan mengalah pada Abram demi keselamatanku. Aku mengerti maksud perbuatannya, tapi tetap saja sulit untuk menerima. "Hazel, kalau kamu uring-uringan terus besok aku batal pergi ya?" Richard menyentil dahiku. "Aduh, apaan sih? Reseh ah." Aku merengut. "Mau jalan sebentar?" "Ayo." Kami berdua berj
Kepala pelayan terlompat kaget karena suara keras Abram. Lelaki tua itu, maksudku, calon ayah mertuaku berjalan ke arah kami seperti singa jantan yang sudah pensiun. Bahunya merosot, sorot matanya tidak segarang dahulu, dan wajah tampannya ditumbuhi janggut pendek. Aku terkesima melihat perubahan Abram. Richard pun sama terkejutnya seperti aku. Rupanya kekuasaan berbanding lurus dengan penampilan. "Ayah, aku sudah melamar Hazel," kata Richard. Abram duduk dengan anggun di sofa. Dia menunjuk ke arah sofa di hadapannya, tanda bagi kami untuk duduk. "Kamu sudah melamar Hazel?" Abram mengulang kata-kata Richard. Matanya jatuh pada kilau di jari manisku. "Ya." "Lalu apa tujuanmu kemari? Mau memamerkan bahwa kamu sekarang bisa berbuat apa saja?" ketus Abram. Meskipun sudah kalah tapi dia belum kehilangan seluruh semangat juangnya. "Ini ta
Langit mulai temaram saat mobil Richard tiba di depan rumahku. Sepanjang perjalanan aku tidak hentinya memandangi cincin di jari manisku, juga memandangi Richard sampai mengganggu konsentrasinya menyetir. Syukurlah kami tiba dengan selamat. "Mau langsung kasih tau mama?" tanyaku memastikan. "Iya dong. Mana boleh merahasiakan dari mamamu." Richard meremas tanganku. Kami pun berjalan berdampingan ke dalam rumah. Elisabet sudah duduk menunggu di sofa. Melihat wajahnya yang cerah aku bisa menebak kalau Elisabet sudah tahu. "Cepat juga kalian pulang? Mama pikir bisa sampai malam urusannya?" Elisabet tersenyum misterius. "Semuanya berjalan lancar, Bu," ujar Richard. Elisabet mengangguk. Sepasang matanya menatap dalam menembus jiwa. Kedua tangannya menyatu di pangkuan. Aku menarik Richard duduk bersebelahan di sofa, berhadapan dengan Elisabet. E
Aku menapaki langkah penuh kenangan. Seolah sudah lama sejak terakhir kali aku menjejakkan kaki di penthouse ini. Semuanya masih tampak sama, begitu juga dengan pemiliknya. "Kamu tau, aku berharap memiliki kemampuan untuk membaca pikiran. Aku ingin tau apa yang sedang kamu pikirkan sekarang." Richard memelukku dari belakang. Aku mendesah nyaman, "Jangan. Membaca pikiran itu nggak menyenangkan. Terlalu berisik." "Aku harus ajak kamu meeting lagi. Kamu bisa memperingatkan kalau lawan bisnisku punya maksud tidak baik." "Nggak mau! Enak aja. Emangnya aku alat pendeteksi kebohongan?" Aku tertawa. "Nggak lah. Mana ada pendeteksi kebohongan secantik ini?" goda Richard. "Kamu... Makin gombal!" "Tapi suka kan?" Richard memutar tubuhku hingga kami berhadapan. Aku menatap matanya dalam-dalam. Sepasang sayap putih miliknya turut me
"Tidak terima!" Abram membentak keras. Suaranya mengalahkan suara orang-orang yang berkumpul dalam ruang meeting besar di gedung pusat Yilmaz Group. "Dengan segala hormat, Ketua Komisaris. Melihat perkembangan perusahaan saat ini ada baiknya Anda bertindak dengan kepala dingin. Jangan berdasarkan ego." Bryan menatap tajam lawan bicaranya yang duduk di tempat terhormat. "Kalian anak-anak kemarin sore! Jangan kira aku tidak tau kalau semua ini adalah rencana kalian! Berani meremehkanku? Akan kutendang kalian semua dari keluarga!" Abram meraung seperti binatang liar. "Justru karena kami masih memandang Ayah, maka kami mengambil jalan ini. Apa yang terpenting saat ini? Menyelamatkan perusahaan, menyelamatkan ribuan bahkan puluhan ribu karyawan yang bernaung di bawah Yilmaz Group? Atau mempertahankan ego Anda?" Richard bertutur dengan halus. Abram termenung. Alisnya bertaut. Berulang kali dia memiki
Yilmaz Group mengalami guncangan hebat. Harga saham merosot drastis hingga nyaris tidak berharga. Banyak pemegang saham menjual saham mereka sebelum merugi semakin banyak. Dewan direksi mengadakan pertemuan internal darurat tanpa menyertakan Ketua Komisaris. Berita di media elektronik masih menerpa seperti badai. Para awak media mengepung kediaman Abram dan gedung kantor pusat Yilmaz Group. Abram menyembunyikan diri rapat-rapat. Bahkan gorden jendela di kediamannya pun tidak pernah dibuka. Siapa pernah menyangka bahwa perusahaan sebesar Yilmaz Group akan jatuh karena ulah pimpinannya sendiri? "Bro, gue mau ketemu Hazel. Lo bisa tangani keadaan di sini sendiri?" kata Richard pada Bryan yang duduk di seberang meja. "Lo tau kan saudara lo ini bisa diandalkan?" Bryan menyeringai. "Ya, sekarang gue tau." Richard terkekeh. "Pergilah dengan tenang. Bersenang
Dua lelaki tampan duduk berhadapan bagaikan lukisan. Mereka sedang berada di tengah pembicaraan serius. "Bagaimana Brother? Udah dipikirkan baik-baik?" tanya Bryan. Richard tampak termenung di meja kerjanya. Wajahnya terlihat muram. "Gimana hubungan lo dengan Hazel? Udah lebih baik, kan?" "Baik. Tapi... Gue merasa kayak ada sesuatu yang tersembunyi." Richard berkata perlahan. Bryan menghela nafas, "Kalau nggak ada yang tersembunyi bukan wanita lah namanya. Itu yang menciptakan misteri yang menarik kita makhluk laki-laki." Richard menatap Bryan tajam, "Menurut lo begitu?" "Hei, pengalaman gue dengan wanita jauh lebih banyak dibanding lo. Tentu aja gue mengenal wanita lebih baik," kata Bryan sombong. "Menyesal gue nanya." Richard menahan tawa. Bryan menepuk meja dengan kesal, "Sekali-sekali dengar sauda
Ketika rasa kecewa pernah menempati hatimu, selamanya perasaan itu akan tinggal, mengintai dari sudut yang tergelap, menanti kapan saat yang tepat untuk merayap keluar. Seperti itulah kondisiku saat ini. Meskipun Richard telah menjelaskan semuanya dengan sangat baik—ditambah aku melihat isi hatinya—kekecewaan itu masih mengancam. Satu minggu lagi telah berlalu sejak kedatangan Richard dengan penjelasannya. Sesuai janji, setiap malam Richard meneleponku, menceritakan hal-hal yang dikerjakan sehari-hari, termasuk siapa saja yang ditemui. Aku tahu Richard tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Dia tidak mau kehilangan diriku. Aku juga menyibukkan diri dengan pekerjaan. Kak Sukma dan Irwan adalah dua klien tetap yang perlahan menjadi teman. Belum lagi ada Wahyu dengan celotehan super konyolnya yang membuatku selalu tertawa. Aku tidak kekurangan kegembiraan. Aku cuma kekurangan kehadiran Richard. "Apa
Selain kabar menggembirakan dari Kak Sukma, sepanjang hari ini tidak ada lagi hal menyenangkan yang dapat mengalihkan pikiranku dari foto-foto Richard bersama wanita cantik. Aku kesal, tapi tidak ingin mendengar penjelasan. Lagipula bukankah seminggu terakhir Richard tidak meneleponku karena sedang sibuk dengan wanita lain? Apakah ada kebetulan seperti itu? Terlalu kebetulan... Hingga sore hari aku duduk terpekur di teras. Aku tahu ini terdengar dan terlihat bodoh, juga tidak sesuai dengan karakterku sama sekali. Namun, jika hati sudah menguasai logika apa yang dapat kulakukan? Kupikir-pikir ini pertama kalinya aku kecewa lagi. Oh, salah. Yang pertama kali adalah saat kematian ayahku, jadi ini adalah yang ke dua. "Hazel, kamu nggak mau makan siang? Udah jam dua loh. Sebentar lagi Mama mau ke galeri ambil bingkai pesanan. Kamu mau ikut?" Elisabet berjongkok di sebelahku. "Nggak, Ma. Aku jaga rum
Sehabis hujan rerumputan di pekarangan rumah Elisabet berwarna hijau cerah. Udara pagi yang sehari-hari sejuk kini bertambah dingin. Aku menginjak rumput dengan kaki telanjang. Sensasi sisa embun dingin membuatku bergidik. Aku mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi dan menarik nafas dalam. Segar sekali. Aku melihat sekeliling. Pandanganku bertemu dengan ayam jantan Mak Endah. Ayam jantan itu bertengger angkuh di atas pagar, memandang rendah dunia. "Dasar ayam... Gue potong tau rasa lo...." Aku berbicara sendiri. Tanaman airmata pengantin sudah merambat tinggi, membentuk kerimbunan yang menyejukkan mata. Aku menyentuh daunnya yang berbentuk hati. Bunga-bunga mungil berbentuk lonceng berwarna merah muda mulai bermunculan di sana-sini. Cantik sekali. Teringat pada percakapan terakhir dengan Richard, aku menghela nafas. Waktu itu samar-samar aku menangkap keresahan hati Richard. Bayangan-bayangan pe