Giliranku bernyanyi. Aku berdiri dengan mic di tangan, berusaha konsentrasi pada layar di tengah hingar-bingar percakapan dan pertengkaran. Aku melompat kaget saat ada tangan memeluk pinggangku. Refleksku bekerja dengan baik. Si pelaku mundur selangkah.
"Ngapain lo??" Aku membentak Hendri. "Menghayati lagu." Hendri menyeringai. "Jangan macam-macam ya. Gue udah punya pacar." Aku menatapnya tajam. Teman-teman tidak ada yang memperhatikan. Semua sibuk dengan urusan sendiri. "Janur kuning belum melengkung, kan?" Hendri mendekat lagi. Tangannya terangkat ke wajahku. Aku menepis tangan Hendri. "Kok gue suka sama cewek galak ya? Makin galak makin seru dibawa ke tempat tidur." "Udah lah, malas gue ladenin lo." Aku meletakkan mic dan hendak pergi. "Hei, mau ke mana? Pestanya baru mulai, Sayang." Hendri menangkap lenganku.&Aroma disinfektan menyerbu indera penciuman. Perlahan aku membuka mata. Aku berada di sebuah kamar yang didominasi warna putih. Tanganku terasa hangat. Aku menoleh dan melihat Richard yang sedang menggenggam tanganku. Ada kelegaan di wajahnya. "Hazel," desah Richard. "Hai... Richard...." Suaraku parau. "Untung kamu cepat sampai." Richard menuangkan segelas air dan membantuku minum. "Thanks." "Gimana rasanya? Masih... Panas?" "Nggak. Cuma lapar." Aku tersenyum. "Oh, syukurlah. Aku cemas setengah mati waktu kamu pingsan semalam." "Semalam?" Aku melongo. "Iya. Ini udah jam tiga pagi." Aku merasa ingin pingsan lagi. "Kamu mau makan apa? Biar kupesankan," tanya Richard. "Mama udah tau?" "Ya, begitu kamu masuk ruang perawatan aku la
Hangatnya sinar matahari menyambut kami yang melangkah keluar dari rumah sakit. Aku menarik nafas dalam-dalam. Udara segar jauh lebih baik daripada aroma disinfektan. Aku menoleh memandang Richard yang berdiri di sampingku. "Mau langsung pulang?" tanya Richard. "Iya. Mama pasti udah masak. Aku lapar." "Oke. Kita pulang." Richard menggandeng tanganku. Aku melepas gandengan Richard dan memeluk lengannya. Aku tahu dia terkejut dengan sikap manjaku. Biarin saja. Sekali-sekali aku ingin merasakan nyamannya bergantung pada seseorang. "Emm... Hazel? Aku senang kamu manja, tapi harus begini ya?" Richard yang sedang menyetir berusaha mendapatkan lengannya kembali. Betul. Aku tidak melepasnya sama sekali. Aku tertawa dan mempererat pelukan. "Longgarin sedikit, ada belokan," pinta Richard. "Kamu duduk manis dulu deh. Oke?"&n
Elisabet menatapku serius. Aku dan Richard duduk di sofa, berhadapan dengan Elisabet seperti dua orang terdakwa. Keheningan mencekam ini berlangsung selama beberapa menit. Aku mulai bergerak-gerak gelisah. Richard melirikku. 'Tenang sedikit, Hazel...' Sontak aku menoleh menatap Richard. Dia sedikit terkejut dan memalingkan wajah. Aku mengernyit lalu kembali fokus pada Elisabet. "Mama nggak menyangka." Elisabet memecah keheningan. Aku tersentak kaget. Richard ikut kaget karena gerakanku yang mendadak. "Hazel... Kamu bikin aku kagetan juga," keluh Richard. "Sorry...." Aku menjulurkan lidah. Elisabet berdeham untuk mengembalikan fokus kami. Aku dan Richard langsung duduk patuh seperti dua anak murid yang sedang mnghadapi sidang. "Hazel, kamu bilang baru hari ini bisa melihat pikiran Richard?" Elisabet memastikan.&nbs
"Aku mau kerja sebentar, kamu duduk manis dong." Aku mengomeli Richard yang terus menjahiliku, menarik kursiku saat aku berusaha fokus di laptop. "Nanti aja. Pacarmu kan lagi di sini." "Ini kerjaan darimu loh! Company profile?" Aku melotot. "Santai aja, aku nggak mengejar harus cepat selesai, kan?" Richard tersenyum dan menarik kursiku lagi. "Hih! Ya udah lah. Tidur aja." Aku mematikan laptop dan berbaring di tempat tidur. 'Akhirnya nyerah juga,' batin Richard. "Kamu nih, mau ngapain juga sih? Aku kan masih dalam masa pemulihan," gerutuku. Richard geleng-geleng kepala, "Benar-benar nggak bisa dikendalikan ya?" Aku meringis. "Apa yang kupikirkan sekarang?" tanya Richard. "Gampang. Kamu lagi mikirin kita berdua." Sedetik kemudian aku terbelalak sambil mendekap mulut. Adegan dalam piki
"Hazel, putri kesayangan Papa. Papa akan selalu berada di sini, menjagamu sampai kamu besar dan kuat!" "Iya, Papa! Janji ya!" Pekik diriku yang masih kecil. Gambaran-gambaran masa kecilku menyeruak ke permukaan. Hatiku bergetar karena luka yang tercipta sebelas tahun lalu. Aku mencengkeram baju Richard kuat-kuat. Apakah ini saatnya aku memaafkan papa? Jika aku hendak melangkah maju aku harus melepas yang telah lalu. Melihatku gemetar dalam pergumulan Richard tidak berkata apa-apa. Dia memelukku dengan stabil. "Kamu tau cerita papaku?" tanyaku. "Sepertinya mamamu pernah cerita." "Ada yang harus kuselesaikan dengannya," lirihku. "Ya, aku mengerti. Kapan kamu mau ke sana?" "Sekarang?" Setelah memberitahu Elisabet, kami berdua melaju menuju taman pemakaman umum di atas bukit. Perjalanan memakan wakt
Pagi hari di gedung milik Yilmaz Group, tepatnya di lantai dua puluh. Bryan dan Richard duduk berhadapan dalam satu ruangan. Wajah mereka tampak serius. Sebuah laptop terpampang di tengah meja, menampakkan layar video conference yang sepertinya baru saja berakhir. Bryan menghela nafas dan bersandar ke belakang. Jari telunjuknya menekan pelipis. Masalah kali ini bukan hanya tidak terpecahkan, tapi malah menyerang balik. "Begitu aja?" Bryan memecah keheningan. "Pasti terjadi sesuatu di balik layar, kalau nggak mana mungkin orang-orang yang tadinya berada di pihak kita malah menyeberang ke pihak lawan?" Richard mengernyit. "Abram." Bryan berkata dingin. "Tapi kenapa? Bukannya kita udah menutupi semua jejak? Dia nggak mungkin bisa membedakan kita." "Bro, coba pikirkan lagi, pertemuan terakhir lo dengan Hazel, apakah nggak terlalu mencolok?" tanya Bryan.&n
"Bryan, lo nggak sedang bermain api?" Richard menatap saudaranya tajam. Abram telah pergi seperti badai. Bryan tertawa, "Gue udah keluarin kartu AS, lo juga nggak percaya?" "Dari mana lo dapat?" Bryan tersenyum penuh makna, "Gue kan fotografer, Brother. Gue punya jaringan sendiri di dunia atas maupun bawah tanah." Richard menghela nafas dengan tidak berdaya, "Gue harap lo nggak melakukan sesuatu yang melanggar hukum." "Apa? Lo masih bisa mikir kayak gitu? Lo nggak ingat apa yang dilakukan Abram terhadap... Terhadap ibu." Ekspresi Bryan mengeras. "Ya, dia yang membuat kita seperti ini." Richard menyetujui. Sejenak kedua bersaudara itu terdiam, tenggelam dalam pikiran dan kenangan masing-masing. Sejak dilahirkan telah kehilangan kasih sayang seorang ibu, ketika beranjak besar mereka pun tidak mendapat kasih sayang ayah, m
Sehabis hujan rerumputan di pekarangan rumah Elisabet berwarna hijau cerah. Udara pagi yang sehari-hari sejuk kini bertambah dingin. Aku menginjak rumput dengan kaki telanjang. Sensasi sisa embun dingin membuatku bergidik. Aku mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi dan menarik nafas dalam. Segar sekali. Aku melihat sekeliling. Pandanganku bertemu dengan ayam jantan Mak Endah. Ayam jantan itu bertengger angkuh di atas pagar, memandang rendah dunia. "Dasar ayam... Gue potong tau rasa lo...." Aku berbicara sendiri. Tanaman airmata pengantin sudah merambat tinggi, membentuk kerimbunan yang menyejukkan mata. Aku menyentuh daunnya yang berbentuk hati. Bunga-bunga mungil berbentuk lonceng berwarna merah muda mulai bermunculan di sana-sini. Cantik sekali. Teringat pada percakapan terakhir dengan Richard, aku menghela nafas. Waktu itu samar-samar aku menangkap keresahan hati Richard. Bayangan-bayangan pe