Beranda / Romansa / Apa Warna Hatimu? / Chapter 136 : Kekosongan Hati

Share

Chapter 136 : Kekosongan Hati

Penulis: Giovanna Bee
last update Terakhir Diperbarui: 2021-12-16 12:15:14

    Aroma disinfektan menyerbu indera penciuman. Perlahan aku membuka mata. Aku berada di sebuah kamar yang didominasi warna putih. Tanganku terasa hangat. Aku menoleh dan melihat Richard yang sedang menggenggam tanganku. Ada kelegaan di wajahnya.

    "Hazel," desah Richard.

    "Hai... Richard...." Suaraku parau. "Untung kamu cepat sampai."

    Richard menuangkan segelas air dan membantuku minum.

    "Thanks."

    "Gimana rasanya? Masih... Panas?"

    "Nggak. Cuma lapar." Aku tersenyum.

    "Oh, syukurlah. Aku cemas setengah mati waktu kamu pingsan semalam."

    "Semalam?" Aku melongo.

    "Iya. Ini udah jam tiga pagi."

    Aku merasa ingin pingsan lagi.

    "Kamu mau makan apa? Biar kupesankan," tanya Richard.

    "Mama udah tau?"

    "Ya, begitu kamu masuk ruang perawatan aku la
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 137 : Terkejut!

    Hangatnya sinar matahari menyambut kami yang melangkah keluar dari rumah sakit. Aku menarik nafas dalam-dalam. Udara segar jauh lebih baik daripada aroma disinfektan. Aku menoleh memandang Richard yang berdiri di sampingku. "Mau langsung pulang?" tanya Richard. "Iya. Mama pasti udah masak. Aku lapar." "Oke. Kita pulang." Richard menggandeng tanganku. Aku melepas gandengan Richard dan memeluk lengannya. Aku tahu dia terkejut dengan sikap manjaku. Biarin saja. Sekali-sekali aku ingin merasakan nyamannya bergantung pada seseorang. "Emm... Hazel? Aku senang kamu manja, tapi harus begini ya?" Richard yang sedang menyetir berusaha mendapatkan lengannya kembali. Betul. Aku tidak melepasnya sama sekali. Aku tertawa dan mempererat pelukan. "Longgarin sedikit, ada belokan," pinta Richard. "Kamu duduk manis dulu deh. Oke?"&n

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-17
  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 138 : Kemampuan Baru

    Elisabet menatapku serius. Aku dan Richard duduk di sofa, berhadapan dengan Elisabet seperti dua orang terdakwa. Keheningan mencekam ini berlangsung selama beberapa menit. Aku mulai bergerak-gerak gelisah. Richard melirikku. 'Tenang sedikit, Hazel...' Sontak aku menoleh menatap Richard. Dia sedikit terkejut dan memalingkan wajah. Aku mengernyit lalu kembali fokus pada Elisabet. "Mama nggak menyangka." Elisabet memecah keheningan. Aku tersentak kaget. Richard ikut kaget karena gerakanku yang mendadak. "Hazel... Kamu bikin aku kagetan juga," keluh Richard. "Sorry...." Aku menjulurkan lidah. Elisabet berdeham untuk mengembalikan fokus kami. Aku dan Richard langsung duduk patuh seperti dua anak murid yang sedang mnghadapi sidang. "Hazel, kamu bilang baru hari ini bisa melihat pikiran Richard?" Elisabet memastikan.&nbs

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-18
  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 139 : Will You Marry Me?

    "Aku mau kerja sebentar, kamu duduk manis dong." Aku mengomeli Richard yang terus menjahiliku, menarik kursiku saat aku berusaha fokus di laptop. "Nanti aja. Pacarmu kan lagi di sini." "Ini kerjaan darimu loh! Company profile?" Aku melotot. "Santai aja, aku nggak mengejar harus cepat selesai, kan?" Richard tersenyum dan menarik kursiku lagi. "Hih! Ya udah lah. Tidur aja." Aku mematikan laptop dan berbaring di tempat tidur. 'Akhirnya nyerah juga,' batin Richard. "Kamu nih, mau ngapain juga sih? Aku kan masih dalam masa pemulihan," gerutuku. Richard geleng-geleng kepala, "Benar-benar nggak bisa dikendalikan ya?" Aku meringis. "Apa yang kupikirkan sekarang?" tanya Richard. "Gampang. Kamu lagi mikirin kita berdua." Sedetik kemudian aku terbelalak sambil mendekap mulut. Adegan dalam piki

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-20
  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 140 : Mengunjungi Ayah

    "Hazel, putri kesayangan Papa. Papa akan selalu berada di sini, menjagamu sampai kamu besar dan kuat!" "Iya, Papa! Janji ya!" Pekik diriku yang masih kecil. Gambaran-gambaran masa kecilku menyeruak ke permukaan. Hatiku bergetar karena luka yang tercipta sebelas tahun lalu. Aku mencengkeram baju Richard kuat-kuat. Apakah ini saatnya aku memaafkan papa? Jika aku hendak melangkah maju aku harus melepas yang telah lalu. Melihatku gemetar dalam pergumulan Richard tidak berkata apa-apa. Dia memelukku dengan stabil. "Kamu tau cerita papaku?" tanyaku. "Sepertinya mamamu pernah cerita." "Ada yang harus kuselesaikan dengannya," lirihku. "Ya, aku mengerti. Kapan kamu mau ke sana?" "Sekarang?" Setelah memberitahu Elisabet, kami berdua melaju menuju taman pemakaman umum di atas bukit. Perjalanan memakan wakt

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-20
  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 141 : Richard dan Bryan

    Pagi hari di gedung milik Yilmaz Group, tepatnya di lantai dua puluh. Bryan dan Richard duduk berhadapan dalam satu ruangan. Wajah mereka tampak serius. Sebuah laptop terpampang di tengah meja, menampakkan layar video conference yang sepertinya baru saja berakhir. Bryan menghela nafas dan bersandar ke belakang. Jari telunjuknya menekan pelipis. Masalah kali ini bukan hanya tidak terpecahkan, tapi malah menyerang balik. "Begitu aja?" Bryan memecah keheningan. "Pasti terjadi sesuatu di balik layar, kalau nggak mana mungkin orang-orang yang tadinya berada di pihak kita malah menyeberang ke pihak lawan?" Richard mengernyit. "Abram." Bryan berkata dingin. "Tapi kenapa? Bukannya kita udah menutupi semua jejak? Dia nggak mungkin bisa membedakan kita." "Bro, coba pikirkan lagi, pertemuan terakhir lo dengan Hazel, apakah nggak terlalu mencolok?" tanya Bryan.&n

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-22
  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 142 : Richard dan Bryan (2)

    "Bryan, lo nggak sedang bermain api?" Richard menatap saudaranya tajam. Abram telah pergi seperti badai. Bryan tertawa, "Gue udah keluarin kartu AS, lo juga nggak percaya?" "Dari mana lo dapat?" Bryan tersenyum penuh makna, "Gue kan fotografer, Brother. Gue punya jaringan sendiri di dunia atas maupun bawah tanah." Richard menghela nafas dengan tidak berdaya, "Gue harap lo nggak melakukan sesuatu yang melanggar hukum." "Apa? Lo masih bisa mikir kayak gitu? Lo nggak ingat apa yang dilakukan Abram terhadap... Terhadap ibu." Ekspresi Bryan mengeras. "Ya, dia yang membuat kita seperti ini." Richard menyetujui. Sejenak kedua bersaudara itu terdiam, tenggelam dalam pikiran dan kenangan masing-masing. Sejak dilahirkan telah kehilangan kasih sayang seorang ibu, ketika beranjak besar mereka pun tidak mendapat kasih sayang ayah, m

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-22
  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 143 : Kiriman Foto

    Sehabis hujan rerumputan di pekarangan rumah Elisabet berwarna hijau cerah. Udara pagi yang sehari-hari sejuk kini bertambah dingin. Aku menginjak rumput dengan kaki telanjang. Sensasi sisa embun dingin membuatku bergidik. Aku mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi dan menarik nafas dalam. Segar sekali. Aku melihat sekeliling. Pandanganku bertemu dengan ayam jantan Mak Endah. Ayam jantan itu bertengger angkuh di atas pagar, memandang rendah dunia. "Dasar ayam... Gue potong tau rasa lo...." Aku berbicara sendiri. Tanaman airmata pengantin sudah merambat tinggi, membentuk kerimbunan yang menyejukkan mata. Aku menyentuh daunnya yang berbentuk hati. Bunga-bunga mungil berbentuk lonceng berwarna merah muda mulai bermunculan di sana-sini. Cantik sekali. Teringat pada percakapan terakhir dengan Richard, aku menghela nafas. Waktu itu samar-samar aku menangkap keresahan hati Richard. Bayangan-bayangan pe

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-23
  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 144 : Penjelasan Richard

    Selain kabar menggembirakan dari Kak Sukma, sepanjang hari ini tidak ada lagi hal menyenangkan yang dapat mengalihkan pikiranku dari foto-foto Richard bersama wanita cantik. Aku kesal, tapi tidak ingin mendengar penjelasan. Lagipula bukankah seminggu terakhir Richard tidak meneleponku karena sedang sibuk dengan wanita lain? Apakah ada kebetulan seperti itu? Terlalu kebetulan... Hingga sore hari aku duduk terpekur di teras. Aku tahu ini terdengar dan terlihat bodoh, juga tidak sesuai dengan karakterku sama sekali. Namun, jika hati sudah menguasai logika apa yang dapat kulakukan? Kupikir-pikir ini pertama kalinya aku kecewa lagi. Oh, salah. Yang pertama kali adalah saat kematian ayahku, jadi ini adalah yang ke dua. "Hazel, kamu nggak mau makan siang? Udah jam dua loh. Sebentar lagi Mama mau ke galeri ambil bingkai pesanan. Kamu mau ikut?" Elisabet berjongkok di sebelahku. "Nggak, Ma. Aku jaga rum

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-24

Bab terbaru

  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 151 : Meminta Restu (2)

    Kepala pelayan terlompat kaget karena suara keras Abram. Lelaki tua itu, maksudku, calon ayah mertuaku berjalan ke arah kami seperti singa jantan yang sudah pensiun. Bahunya merosot, sorot matanya tidak segarang dahulu, dan wajah tampannya ditumbuhi janggut pendek. Aku terkesima melihat perubahan Abram. Richard pun sama terkejutnya seperti aku. Rupanya kekuasaan berbanding lurus dengan penampilan. "Ayah, aku sudah melamar Hazel," kata Richard. Abram duduk dengan anggun di sofa. Dia menunjuk ke arah sofa di hadapannya, tanda bagi kami untuk duduk. "Kamu sudah melamar Hazel?" Abram mengulang kata-kata Richard. Matanya jatuh pada kilau di jari manisku. "Ya." "Lalu apa tujuanmu kemari? Mau memamerkan bahwa kamu sekarang bisa berbuat apa saja?" ketus Abram. Meskipun sudah kalah tapi dia belum kehilangan seluruh semangat juangnya. "Ini ta

  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 150 : Meminta Restu

    Langit mulai temaram saat mobil Richard tiba di depan rumahku. Sepanjang perjalanan aku tidak hentinya memandangi cincin di jari manisku, juga memandangi Richard sampai mengganggu konsentrasinya menyetir. Syukurlah kami tiba dengan selamat. "Mau langsung kasih tau mama?" tanyaku memastikan. "Iya dong. Mana boleh merahasiakan dari mamamu." Richard meremas tanganku. Kami pun berjalan berdampingan ke dalam rumah. Elisabet sudah duduk menunggu di sofa. Melihat wajahnya yang cerah aku bisa menebak kalau Elisabet sudah tahu. "Cepat juga kalian pulang? Mama pikir bisa sampai malam urusannya?" Elisabet tersenyum misterius. "Semuanya berjalan lancar, Bu," ujar Richard. Elisabet mengangguk. Sepasang matanya menatap dalam menembus jiwa. Kedua tangannya menyatu di pangkuan. Aku menarik Richard duduk bersebelahan di sofa, berhadapan dengan Elisabet. E

  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 149 : Melamar

    Aku menapaki langkah penuh kenangan. Seolah sudah lama sejak terakhir kali aku menjejakkan kaki di penthouse ini. Semuanya masih tampak sama, begitu juga dengan pemiliknya. "Kamu tau, aku berharap memiliki kemampuan untuk membaca pikiran. Aku ingin tau apa yang sedang kamu pikirkan sekarang." Richard memelukku dari belakang. Aku mendesah nyaman, "Jangan. Membaca pikiran itu nggak menyenangkan. Terlalu berisik." "Aku harus ajak kamu meeting lagi. Kamu bisa memperingatkan kalau lawan bisnisku punya maksud tidak baik." "Nggak mau! Enak aja. Emangnya aku alat pendeteksi kebohongan?" Aku tertawa. "Nggak lah. Mana ada pendeteksi kebohongan secantik ini?" goda Richard. "Kamu... Makin gombal!" "Tapi suka kan?" Richard memutar tubuhku hingga kami berhadapan. Aku menatap matanya dalam-dalam. Sepasang sayap putih miliknya turut me

  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 148 : Pemegang Saham Misterius

    "Tidak terima!" Abram membentak keras. Suaranya mengalahkan suara orang-orang yang berkumpul dalam ruang meeting besar di gedung pusat Yilmaz Group. "Dengan segala hormat, Ketua Komisaris. Melihat perkembangan perusahaan saat ini ada baiknya Anda bertindak dengan kepala dingin. Jangan berdasarkan ego." Bryan menatap tajam lawan bicaranya yang duduk di tempat terhormat. "Kalian anak-anak kemarin sore! Jangan kira aku tidak tau kalau semua ini adalah rencana kalian! Berani meremehkanku? Akan kutendang kalian semua dari keluarga!" Abram meraung seperti binatang liar. "Justru karena kami masih memandang Ayah, maka kami mengambil jalan ini. Apa yang terpenting saat ini? Menyelamatkan perusahaan, menyelamatkan ribuan bahkan puluhan ribu karyawan yang bernaung di bawah Yilmaz Group? Atau mempertahankan ego Anda?" Richard bertutur dengan halus. Abram termenung. Alisnya bertaut. Berulang kali dia memiki

  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 147 : Bagian Hidupku

    Yilmaz Group mengalami guncangan hebat. Harga saham merosot drastis hingga nyaris tidak berharga. Banyak pemegang saham menjual saham mereka sebelum merugi semakin banyak. Dewan direksi mengadakan pertemuan internal darurat tanpa menyertakan Ketua Komisaris. Berita di media elektronik masih menerpa seperti badai. Para awak media mengepung kediaman Abram dan gedung kantor pusat Yilmaz Group. Abram menyembunyikan diri rapat-rapat. Bahkan gorden jendela di kediamannya pun tidak pernah dibuka. Siapa pernah menyangka bahwa perusahaan sebesar Yilmaz Group akan jatuh karena ulah pimpinannya sendiri? "Bro, gue mau ketemu Hazel. Lo bisa tangani keadaan di sini sendiri?" kata Richard pada Bryan yang duduk di seberang meja. "Lo tau kan saudara lo ini bisa diandalkan?" Bryan menyeringai. "Ya, sekarang gue tau." Richard terkekeh. "Pergilah dengan tenang. Bersenang

  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 146 : Skandal Besar

    Dua lelaki tampan duduk berhadapan bagaikan lukisan. Mereka sedang berada di tengah pembicaraan serius. "Bagaimana Brother? Udah dipikirkan baik-baik?" tanya Bryan. Richard tampak termenung di meja kerjanya. Wajahnya terlihat muram. "Gimana hubungan lo dengan Hazel? Udah lebih baik, kan?" "Baik. Tapi... Gue merasa kayak ada sesuatu yang tersembunyi." Richard berkata perlahan. Bryan menghela nafas, "Kalau nggak ada yang tersembunyi bukan wanita lah namanya. Itu yang menciptakan misteri yang menarik kita makhluk laki-laki." Richard menatap Bryan tajam, "Menurut lo begitu?" "Hei, pengalaman gue dengan wanita jauh lebih banyak dibanding lo. Tentu aja gue mengenal wanita lebih baik," kata Bryan sombong. "Menyesal gue nanya." Richard menahan tawa. Bryan menepuk meja dengan kesal, "Sekali-sekali dengar sauda

  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 145 : Maafkan Papamu

    Ketika rasa kecewa pernah menempati hatimu, selamanya perasaan itu akan tinggal, mengintai dari sudut yang tergelap, menanti kapan saat yang tepat untuk merayap keluar. Seperti itulah kondisiku saat ini. Meskipun Richard telah menjelaskan semuanya dengan sangat baik—ditambah aku melihat isi hatinya—kekecewaan itu masih mengancam. Satu minggu lagi telah berlalu sejak kedatangan Richard dengan penjelasannya. Sesuai janji, setiap malam Richard meneleponku, menceritakan hal-hal yang dikerjakan sehari-hari, termasuk siapa saja yang ditemui. Aku tahu Richard tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Dia tidak mau kehilangan diriku. Aku juga menyibukkan diri dengan pekerjaan. Kak Sukma dan Irwan adalah dua klien tetap yang perlahan menjadi teman. Belum lagi ada Wahyu dengan celotehan super konyolnya yang membuatku selalu tertawa. Aku tidak kekurangan kegembiraan. Aku cuma kekurangan kehadiran Richard. "Apa

  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 144 : Penjelasan Richard

    Selain kabar menggembirakan dari Kak Sukma, sepanjang hari ini tidak ada lagi hal menyenangkan yang dapat mengalihkan pikiranku dari foto-foto Richard bersama wanita cantik. Aku kesal, tapi tidak ingin mendengar penjelasan. Lagipula bukankah seminggu terakhir Richard tidak meneleponku karena sedang sibuk dengan wanita lain? Apakah ada kebetulan seperti itu? Terlalu kebetulan... Hingga sore hari aku duduk terpekur di teras. Aku tahu ini terdengar dan terlihat bodoh, juga tidak sesuai dengan karakterku sama sekali. Namun, jika hati sudah menguasai logika apa yang dapat kulakukan? Kupikir-pikir ini pertama kalinya aku kecewa lagi. Oh, salah. Yang pertama kali adalah saat kematian ayahku, jadi ini adalah yang ke dua. "Hazel, kamu nggak mau makan siang? Udah jam dua loh. Sebentar lagi Mama mau ke galeri ambil bingkai pesanan. Kamu mau ikut?" Elisabet berjongkok di sebelahku. "Nggak, Ma. Aku jaga rum

  • Apa Warna Hatimu?   Chapter 143 : Kiriman Foto

    Sehabis hujan rerumputan di pekarangan rumah Elisabet berwarna hijau cerah. Udara pagi yang sehari-hari sejuk kini bertambah dingin. Aku menginjak rumput dengan kaki telanjang. Sensasi sisa embun dingin membuatku bergidik. Aku mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi dan menarik nafas dalam. Segar sekali. Aku melihat sekeliling. Pandanganku bertemu dengan ayam jantan Mak Endah. Ayam jantan itu bertengger angkuh di atas pagar, memandang rendah dunia. "Dasar ayam... Gue potong tau rasa lo...." Aku berbicara sendiri. Tanaman airmata pengantin sudah merambat tinggi, membentuk kerimbunan yang menyejukkan mata. Aku menyentuh daunnya yang berbentuk hati. Bunga-bunga mungil berbentuk lonceng berwarna merah muda mulai bermunculan di sana-sini. Cantik sekali. Teringat pada percakapan terakhir dengan Richard, aku menghela nafas. Waktu itu samar-samar aku menangkap keresahan hati Richard. Bayangan-bayangan pe

DMCA.com Protection Status