"Dulu kita masih remaja. Usia anak SMA. Di sekolah kita berjumpa. Pulang pasti kita berdua. Dan kini kamu ada di mana? Dan kini rindu, apa kabarmu?" - Dulu Kita Masih Remaja, The Panas Dalam
_____________________
12 Tahun Yang Lalu...
Tahun ajaran baru sudah masuk sejak satu minggu yang lalu, papan mading yang berisi daftar nama siswa dan penempatan kelasnya sudah tak ramai seperti hari senin di minggu kemarin.
Memang tidak ada yang menarik dari mading SMA Graha, selain berisi info-info tentang perlombaan yang sangat jarang diminati para siswanya. Mading itu hanya ramai saat hari pertama tahun ajaran baru, karena para siswa yang berebut untuk melihat namanya masuk di kelas mana.
Namun, pagi ini seorang siswa yang seragamnya ditutupi oleh sweater hitam berdiri di depan madding, memperhatikan daftar nama siswa yang masih tertempel di sana. Ia berusaha mencari namanya dalam jajaran daftar nama siswa di kelas sebelas. Ada satu kemungkinan mengapa siswa itu baru mencari tau namanya ada di kelas mana, padahal tahun ajaran baru sudah masuk satu minggu.
Siswa itu baru kembali masuk sekolah, setelah berlibur dua minggu ditambah libur sendiri satu minggu.
"Sebelas IPS tiga. Dengan berat hati gue infokan, kita gak sekelas, Raf."
Rafka menoleh ke asal suara yang berasal dari sampingnya, mendapati teman semejanya saat kelas sepuluh, Fando.
"Bukan bilang dari tadi, jadi gue gak lama-lama di depan mading kaya orang bego."
"Gue aja gak tau lo masuk hari ini, Nyet!" Fando berjalan mengikuti langkahnya menuju kelas barunya.
Mereka sampai di depan kelas XI IPS 3. Rafka melenggang memasuki kelas barunya dan Fando masih mengikutinya. Beberapa siswa XI IPS 3 memperhatikan wajah baru di kelasnya itu, sebagian yang pernah sekelas dengan Rafka mengenalnya, sebagian lagi tidak. Rafka memang tidak terlalu terkenal, karena memang tidak ada alasan untuk dia dikenal.
Rafka berjalan menuju meja paling belakang, yang terletak di pojok kelas, sebagai satu-satunya meja yang tersisa. Ia juga tidak berharap mendapat pilihan tempat duduk.
"Lo ngapain di sini, Raf?" tanya siswa yang duduk di bangku barisan belakang, menyapa Rafka ketika ia melemparkan tas ke meja.
"Gue sekelas sama lo lagi? Ya ampun, dosa apa yang udah gue lakuin?" Rafka membalas ucapan Farel, teman sekelasnya saat kelas sepuluh.
"Kelas lo di sini? Kok dari kemaren lo gak ada?" Dika yang menempati bangku di depan Rafka, kini menoleh. Saat kelas sepuluh , kelas cowok itu berada di sebelahnya, membuatnya lebih sering bergabung dengan anak-anak kelasnya.
"Gue baru masuk hari ini." Rafka menjawab dengan santai.
"Tai, berasa sekolah punya nenek lo ya, baru masuk hari ini."
Rafka tertawa mendengar komentar Farel, sedang Dika hanya menggelengkan kepala dengan kelakuannya.
"Nah, lo ngapain di sini, Do? Lo masuk IPS 1, kan?"
"Gue mau minta oleh-oleh lah, apa gunanya si Rafka liburan ke Bandung ampe tiga minggu gak bawa apa-apa?"
Seorang siswi yang duduk di deretan bangku paling depan, sedari tadi menoleh ke belakang. Siswi itu memperhatikan gerak-gerik Rafka yang baru datang dan langsung berbaur dengan teman-teman sekelas mereka.
Mone tidak mendengar apa yang dibicarakan cowok-cowok itu, tapi saat melihat gerak bibir mereka menyebut nama Rafka, ia akhirnya berdiri.
Ternyata itu yang bernama Rafka. Sejak cowok itu melewati depan meja Mone tadi, sebenarnya ia sudah mengira bahwa siswa itu adalah Rafka, karena Mone tak pernah melihatnya di kelas ini.
Satu minggu kemarin, nama cowok itu selalu dikeluhkan oleh sekretaris kelas—yang duduk semeja dengannya—karena mengotori absen. Jadi, saat ada wajah baru di kelasnya, tak sulit bagi Mone mengira bahwa dia adalah Rafka.
"Rafka, ya?" tanya Mone saat sudah sampai di samping meja Rafka, membuat tak hanya Rafka yang menoleh, melainkan ketiga cowok yang tadi sedang terlibat candaan ikut menoleh.
"Ya." Rafka menjawab singkat sambil memperhatikan Mone. Ia memang pernah melihatnya, tapi tak pernah benar-benar mengenalnya.
"Kalo gue Dika." Dika ikut menjawab pertanyaan Mone.
"Gue Farel."
Mone melihat pada Dika dan Farel secara bergantian yang kini cengengesan. "Udah tau!" jawab Mone ketus.
Farel dan Dika hanya tertawa.
"Tugas seni budaya, lo satu kelompok sama gue, ya. Gue Mone. Hari rabu harus dikumpulin, anak-anak yang lain udah pada ngerjain, tapi karena lo gak masuk-masuk, gue belom ngerjain. Jadi, gue cuma mau bilang, pulang sekolah nanti kita harus selesain itu!" lanjutnya.
Rafka mendengarkan ucapan Mone hingga selesai, cewek itu tampak tidak terganggu meski barusan diledek oleh Farel dan Dika yang sepertinya sudah lebih mengenal Mone.
"Kelompoknya cuma berdua doang? Cuma lo sama gue?"
"Yap."
"Ciye, cuma berdua." Dika lagi-lagi bersuara, yang berhasil membuat kotak pensil plastik yang tertangkap oleh mata Mone menemplok di kepalanya.
"Aw, sadis lo, Mon!"
"Besok aja deh, ya, hari ini gue gak bisa."
"Kenapa?"
Rafka bingung ketika Mone bertanya. Maksudnya, mereka tidak cukup saling mengenal dan haruskah Mone bertanya 'kenapa?' saat Rafka mengatakan tidak bisa?
"Ada urusan." Tak ayal Rafka menjawab.
"Urusannya apa?"
Tanpa disangka, Mone malah bertanya seperti itu. Hal itu membuat mata Rafka melebar, menatap cewek yang masih berdiri di samping mejanya itu. Memang dia harus tau, apa?
"Kok lo kepo banget sih, Mon ama Rafka? Gue jadi curiga." Kali ini Farel yang menggoda Mone.
Sebenarnya Rafka juga mau bertanya seperti itu, memang apa pentingnya urusannya bagi cewek ini? Kenapa juga dia harus tau?
"Bukan gitu, maksud gue kalo urusannya gak penting, nanti ajalah. Tugas ini lebih penting, tau! Dikumpulin hari Rabu, dan kalo ngerjain besok berarti hari Selasa. Emang yakin bisa ngerjain dalam satu hari?" Mone yang tidak terima dengan tuduhan Farel segera menjelaskan, membuat cowok-cowok itu hanya manggut-manggut. Lalu Mone kembali menoleh pada Rafka. "Jadi, Rafka, apa pun urusan lo pulang sekolah nanti, tolong dibatalin, ya. Ini tugas pertama di kelas sebelas, gue gak mau nilai gue kosong gara-gara lo yang dari kemarin gak masuk dan urusan lo hari ini!" tandasnya.
Setelah mengatakan itu ia segera berbalik tanpa menunggu jawaban Rafka. Ia berjalan kembali menuju bangkunya.
Fando sedari tadi hanya diam. Karena ia tak mengenal Mone dan rasanya tidak enak jika ia ikut-ikutan berkomentar. Namun, setelah cewek itu kembali duduk di bangkunya, barulah Fando bersuara. "Dia Mone."
"Dia bossy." Rafka membalas ucapan Fando.
"Ya ampun, jadi lo sekelas sama Mone! Gue bakal sering-sering maen deh, Raf, ke kelas lo. Udah ah mau bel, gue balik ke kelas." Lantas Fando berdiri dan meninggalkan kelasnya, setelah mengatakan hal yang Rafka sendiri tidak mengerti.
Memangnya kenapa kalo dia Mone? Kenapa juga Fando harus sering main ke kelasnya?
"Gue baru inget si Fando pernah naksir sama Mone gara-gara satu bis pas LDKS." Farel yang membantu jawab pertanyaan dalam benak Rafka.
Ah, rupanya cewek itu yang pernah diceritakan Fando tempo hari. Cewek model bossy gitu yang disukai Fando? Rafka tebak, kalaupun cewek itu punya pacar atau siapa pun yang menjadi pacarnya, pasti dia yang lebih banyak mengatur.
***
“Udara mana kini yang kau hirup?Hujan di mana kini yang kau peluk?Di mana pun kau kini…Rindu tentangmu tak pernah pergi” – Dere, Kota_____________Malam harinya merupakan acara resepsi pernikahan Fando. Rafka dan teman-temannya sudah berkumpul di sana, mengisi salah satu meja yang kosong untuk menaruh semua makanan yang ingin mereka cicipi.Fando sendiri tampak sibuk menyalami tamu-tamu yang datang.Sekedar informasi, tentu saja Nadira-nya Fando bukan Anindia Fara.Rafka tertawa kecil mengingat tebakan asal teman-temannya. Sebrengsek-brengseknya hal yang pernah ia lakukan pada Fando, itu cuma masa lalu yang mungkin Fando sendiri sudah tidak mengingatnya."Dari dateng tadi kita belom salaman, nih." Farel mengingatkan teman-temannya yang masih sibuk mencicipi makanan."Nanti ajalah, gue sibuk. Lah si Bagas juga ngilang ke mana tuh?" Dika baru kembali dengan sebuah mangkuk berisikan bakso.Farel sampai bergidik melihat porsi makan Dika. Padahal, belum lama lelaki itu baru menghabiska
"Why can't you hold me in the street? Why can't I kiss you on the dance floor? I wish that it could be like that. Why can't we be like that? 'Cause I'm yours ...." - Secret Love Song, Little Mix feat Jason Derulo_____________"Kalo lo pada, siapa yang udah nikah dan udah persiapan mau nikah?" Kini Mone menatap teman-temannya yang lain secara bergantian."Yaampun, Mon! Lo kayak tante gue pas lebaran, yang ditanyain kawin-kawin doang." Bagas menyahut dengan nada sewot."Jadi ini yang duluan nikah tuh Fando?" Mone kembali membahas soal nikah, melihat wajah teman-temannya, ia pun yakin dengan ucapannya. "Akhirnya terjawab sudah pertanyaan gue waktu itu, ya?" ucapnya dengan pertanyaan retoris.Saat teman-temannya kembali bersahutan dengan Mone, Rafka justru terdiam. Pertanyaan Mone saat mereka berlibur untuk perpisahan SMA, yang saat itu dijawab Rafka dengan percaya dirinya.Ucapan Mone berhasil menarik dirinya dalam pusaran kenangan yang kini sudah tersimpan rapi dalam sebuah kotak di su
Nyaris tengah malam, Rafka membopong Mone menuju unit apartemennya. Mone minum sangat banyak hingga ia mabuk berat sampai tak mampu berjalan dengan benar. Rafka juga sebenarnya cukup pusing karena tidak terbiasa minum. Sepertinya ia akan memarkirkan mobilnya di sini semalam dan pulang naik taksi."Raf ... Raf ... kamu tau gak?" Dengan suara yang putus-putus, Mone bertanya. Rafka bisa menebak ucapan Mone akan ngelantur."Ada yang mulus, tapi bukan jalan hidupku hahaha." Mone tertawa dengan leluconnya sendiri. "Ada yang happy ending, tapi bukan kisah cintaku," lanjutnya sambil diikuti tawanya kembali.Rafka membiarkan Mone terus mengoceh tanpa menyahutinya. Ia fokus mencari nomor unit apartemen Mone, sebab cewek itu pun tidak hafal letak unitnya karena mabuk.Rafka berdiri di depan pintu salah satu unit sambil mencocokan nomornya dengan kunci yang Mone bawa. Beruntung apartemen yang Mone tempati tidak hanya menggunakan pin, bisa repot jika Mone tidak bisa ditanyai untuk keadaan saat ini
Mone tersenyum ramah sambil menyapa beberapa orang yang sempat berkenalan dengannya setelah dua minggu Mone bekerja di tempat ini. Mone melewati beberapa ruangan divisi lain untuk menuju ke ruangannya.Interior kantor ini setiap divisi memiliki ruangan masing-masing, hal itu membuat kantornya memiliki lorong-lorong yang di kanan-kirinya berisi ruangan tiap-tiap divisi dengan pintu dan kaca yang membuat siapa pun yang melintas di lorong tersebut dapat melihat aktivitas di dalamnya."Pagi, Bu Mone," sapa Dini, rekan satu divisinya, yang terlihat sedang menikmati sarapan di mejanya."Pagi, semuanya." Mone balas menyapa semua orang yang ada di ruangannya, yang setelah sapaan Dini, mereka bergantian untuk menyapa Mone."Bu, tadi ada titipan sarapan kayak biasa. Udah aku taro di meja, ya." Fara teringat dengan lontong sayur yang tadi pagi ia terima untuk sarapan Mone."Oh, iya. Thank you, Fara." Mone tersenyum ramah."Tuh, Far. Punya pacar tuh dikirimin sarapan, bukan stiker WhatsApp." Dion
Rafka melihat Mone keluar dari lobi gedung kantornya sambil membawa map plastik berisikan dokumen. Teringat ucapan Mone saat di kantin yang mengatakan akan keluar kantor, dengan keluar melalui lobi berarti Mone tidak naik kendaraan pribadi.Rafka yang baru keluar dari basement parkir gedung tersebut, seketika menghentikan mobilnya di depan lobi, lalu membuka kaca jendelanya untuk memanggil Mone."Mone!" panggil Rafka. Mone yang sedang melihat ke ponselnya menenggak, lalu melihat Rafka dalam mobil di hadapannya. "Kamu ke arah mana?""Neo Soho.""Bareng aku aja, sekalian lewat."Mone berpikir sebentar. Rafka pasti akan membahas lagi kejadian tempo hari, Mone sebenarnya malas membahasnya. Tapi, mengingat sejak tadi ia mencari taksi online tak kunjung dapat, akhirnya Mone menyetujui ajakan Rafka."Emang kamu mau ke mana?" Mone memasang sabuk pengamannya, lalu memutar kaca spion mobil Rafka untuk merapikan rambutnya."Balik ke kantor.""Loh, kantor kamu bukan di sekitaran sini? Jadi emang
Angkringan malam Jogja yang berjejer di sebelah selatan Monumen Tugu ramai di kunjungi para wisatawan lokal. Akhir pekan memang selalu menjadi favorit para pengunjung yang berasal dari berbagai kota untuk menghabiskan minggu di Kota Yogyakarta. Terbukti dari ramainya tempat-tempat wisata malam di setiap jumat atau sabtu malam. Dari mulai kedai kopi yang estetik dengan live musik, sampai angkringan kopi joss di samping jalan monumen tugu yang diiringi musik dari beberapa pengamen yang melintas.Rafka termasuk dalam golongan keduanya. Setelah dua jam lalu menikmati kopi di kedai kopi yang namanya sedang naik daun karena terkenal di i*******m, kini Rafka berada di angkringan kopi joss untuk menikmati kopi yang fenomenal di Jogja."Raf ... Raf ... lambung kamu kalo bisa nangis udah nangis kali tuh. Baru dua jam lalu kamu minum kopi." Fara yang melihat arang yang masih menggolak dalam gelas kopi Rafka, menggelengkan kepalanya melihat Rafka yang meminum kopi dalam jangka waktu berdekatan."K
"Mone?"Rafka terkejut saat bertemu Mone menggeret kopernya di minimarket hotel. Di sebelah tangannya Mone tampak membeli beberapa kaleng minuman beralkohol.Rafka sendiri belum bisa tidur, mungkin efek kafeinnya baru terasa, hingga memutuskan untuk membeli rokok di minimarket yang masih berada di lingkungan hotel."Aku mau bayar." Mone menunjuk kasir yang berada di belakang Rafka, mengisyaratkan agar Rafka minggir, sebab menghalangi jalan Mone.Rafka pun minggir, membiarkan Mone menyelesaikan transaksinya. Ia masih bertanya-tanya, mengapa jam satu malam Mone malah membawa koper?"Kamar di sini udah penuh, aku mau nyari penginapan deket sini." Mone menjelaskan, sambil memberikan beberapa lembar uang pada kasir.Rafka semakin tidak paham. Ini sudah jam satu malam. Untuk apa Mone mencari penginapan lagi? Jika mereka bertengkar seperti malam itu, bukankah seharusnya Pandu yang mengalah dan mencari penginapan lain?"Kamu tau penginapan lain deket sini?" Mone sudah berbalik, kini bertanya
Kaleng ketiga kembali dibukanya setelah dua minuman kaleng Mone habis. Tanpa banyak bicara, Mone menikmati minuman kalengnya, sambil memperhatikan pemandangan kota Jogja pada malam hari dari jendela hotel.Tak banyak kendaraan yang melintas, hanya satu atau dua dalam setiap menitnya. Mone menyesap minuman dalam kalengnya, meski kepalanya mulai terasa pusing karena efek alkohol yang sudah mulai bekerja, Mone tetap menghabiskan kaleng ketiganya. Berharap seluruh isi dalam kepalanya lenyap seketika. Berharap seluruh rasa sakitnya dapat luruh selagi kesadarannya mulai mengabur.Mone menyandarkan kepalanya pada bagian belakang sofa. Saat ini posisi duduknya menyamping, untuk persiapan tidur di sofa. Hari sudah semakin malam saat Mone ngotot akan mencari penginapan lain, dan Rafka, yang saat itu mati-matian mencegah Mone untuk tidak keluar dari area hotel lalu menyarankan agar Mone tidur di kamarnya.Tadinya, Rafka ingin menyarankan Mone agar tidur di kamar Fara. Hanya saja, Rafka berusaha
"Cause all of me. Loves all of you. Love your curves and all your edges. All your perfect imperfections. "Give your all to me. I'll give my all to you. You're my end and my beginning. Even when I lose I'm winning. 'Cause I give you all of me. And you give me all of you." - All Of Me, John Legend __________ Sebuah ruangan 2x3 yang terletak di sayap gedung, menjadi ruang privat antara perias dan calon mempelai wanita. Bagai ratu, mempelai wanita ditangani khusus oleh pemilik usaha riasan pengantin itu. Para pendamping sudah lebih dulu dirias bergantian oleh beberapa asisten di ruangan sebelah. Riasan pemeran utama jelas sakral dan memakan waktu lebih lama. Mata Mone mengerjap-ngerjap usai perias memasangkan bulu mata. Meski ia minta riasan sederhana, faktanya ia tetap harus memakai entah berapa lapis bulu mata yang membuatnya sulit untuk mengedip. Untuk sentuhan terakhir, Riani, pemilik bisnis perias pengantin itu menyemprotkan hairspray pada rambutnya yang sudah ditata. Setelahnya,
"Ketemu!" Hilman setengah berteriak, ia membuka gulungan tali tersebut, lalu menyuruh Mone untuk sedikit menyingkir.Dikaitkannya tali tersebut pada batang pohon yang terlihat kokoh, yang berada di dekat situ. Hilman khawatir jika hanya mengandalkan tenaga mereka, yang ada malah yang lainnya ikut terseret. Kemudian, ia melemparkan tali tersebut pada Rafka, agar lelaki itu dapat memanjat dengan berpegangan pada tali tersebut."Tangan Rafka berdarah!" Mone memberitahu pada Bagas yang kini ada di dekatnya."Tenang, Mon. Rafka pasti bisa naik." Bagas menggenggam sebelah tangan Mone yang bergetar ketakutan, berusaha menenangkan sahabatnya itu.Rafka menggapai tali yang bergelantungan di sampingnya. Ia menoleh ke bawah sekilas, berusaha menelaah seberapa dalam tempat itu jika tak mampu menarik dirinya dengan tali itu. Namun, gelapnya malam seolah mengubur pandangannya. Ia tak dapat melihat ke bawah dengan jelas, tertutup oleh pekat.Kedua tangannya kini sudah menggenggam tali. Perlahan, ia
Mone merapatkan mantel tebal yang melekat di tubuhnya. Hawa dingin semakin terasa merasuk ke tulangnya saat pendakian semakin mendekati puncak. Terlebih karena hari sudah mencapai petang, membuat sinar matahari perlahan memudar, berganti tugas dengan rembulan yang mulai menampakkan kehadirannya.Kakinya terus melangkah mengikuti teman-temannya yang berjalan di depannya. Mereka tampak mengejar waktu sebelum hari semakin malam, untuk setidaknya sampai pada pos berikutnya, lalu akan mendirikan tenda untuk bermalam sebelum melanjutkan perjalanan menuju puncak.Jalan berbatu dengan kanan-kiri jalan yang dipenuhi semak belukar, membuat langkahnya kesulitan. Terlebih karena pencahayaan yang mulai meremang, beberapa senter sudah mulai dinyalakan untuk membantu penerangan."Gara-gara si Rafka nih kebanyakan minta istirahat, jadi kesorean, kan!"Terdengar suara Alvin yang berjalan di belakangnya mengeluh, menyalahkan Rafka yang entah sudah berapa kali mengajak beristirahat karena kelelahan."Gu
Minggu sore, bagian luar stadion Gelora Bung Karno tampak ramai pengunjung. Di akhir pekan, tempat itu menjadi salah satu favorit warga Ibu Kota dalam melakukan aktivitas kebugaran jasmani. Sejak pagi hari yang dibarengi dengan car free day, sampai nyaris tengah malam, tempat itu tidak pernah sepi oleh pengunjung yang datang dan pergi silih berganti.Mone menghentikan aktivitas larinya yang sudah mencapai putaran kedua. Wanita itu kini hanya melangkah seperti biasa, diikuti Rafka yang sudah berjalan sejak menuntaskan lari satu putaran."Kamu gak lari!" protes Mone saat Rafka sudah berjalan di sebelahnya."Capek, Mon! Ini ngiterin GBK, bukan lapangan RPTRA*." Rafka mengulurkan air mineral yang ada di tangannya, yang segera disambut Mone.(RPTRA : Ruang Publik Terpadu Ramah Anak)Diteguknya air mineral sampai isinya nyaris separuh, lalu ia melanjutkan langkahnya, yang mulai berjalan santai. Namun, tetap mengitari stadion."Lagi, kamu kesambet setan apaan ngajak lari gini? Kamu mana mung
"Aku bersyukur kamu bisa hidup dengan baik. Bisa main lagi sama temen-temen kamu, jalan-jalan setelah pulang kerja, dan Rafka? If you two get back together, I'm really happy for you." Pandu mengatakannya dengan tulus. Sesekali ia melambaikan tangannya ke arah Naka yang berteriak memanggilnya.Tidak ada sahutan dari Mone, hal itu membuat Pandu penasaran dan menolehkan kepalanya kembali pada wanita itu. Matanya terbelalak melihat Mone yang kini sibuk menghapuskan air mata yang membasahi pipinya."Mon, kamu ...." Tangan Pandu setengah terangkat, berniat merengkuh tubuh Mone, yang kemudian diurungkannya. Hal itu membuatnya hanya dapat meremat tangannya sendiri. "Seumur hidup, aku belom pernah sebenci ini terhadap apa pun. Tapi sejak pertama kali lihat kamu nangis, demi apa pun aku benci lihat itu. Kenapa hidup kamu harus sesakit ini? Dari sekian banyak pilihan takdir, kenapa Tuhan memilihkan takdir yang kayak gini buat kamu. Sejak saat itu, aku selalu berharap gak akan ada hal buruk lainn
"Kau dan aku saling membantu, membasuh hati yang pernah pilu, mungkin akhirnya tak jadi satu, namun bersorai pernah bertemu...." - Sorai, Nadin Amizah____________Mone berjongkok, untuk menyamai tingginya dengan Naka. "Naka, kok sendirian? Emang ke sini sama siapa?" tanyanya lembut, meski mati-matian ia berusaha mengatur detak jantungnya, khawatir akan orang yang menemani Naka. Entah Anggika atau Pandu, Mone jelas tidak menginginkan keduanya."Ama Papa," sahutnya dengan suara yang terdengar menggemaskan.Mone mematung seketika, mendengar satu nama meluncur dari mulut kecil Naka. Namun, ia segera tersadar Naka tampak masih di hadapannya."Papanya mana?""Gak tau," jawab Naka polos.Mone mengembuskan napasnya yang mulai terasa berat, kemudian ia tersenyum untuk menghadapi Naka."Naka mau main ama Aunty. Papa kenapa gak ajak Aunty buat maen sama Naka?"Senyum Mone luntur seketika, mendengar ucapan Naka. Anak itu menganggapnya yang kerap kali berdalih mengajak Naka main untuk mencuri wak
Mone : all you can eat yukFarel : sekarang?Mone : yes!Bagas : skip. Gue sibuk. Cewek gue rumahnya lagi kosongDika : nanem saham terosssBagas : cuannya nikmat bgt nihMone : Dika? Farel? Deni? Fando?Deni : kok Rafka gak diabsen?Mone : Rafka kan udah sama gueDika : berduaan muluMone : sirik ajaFando : di mana, Mon? Gue bawa bini gue ya, dari kemaren dia pengen ayce, tapi gue belom sempet ngajakMone : GI, Ndo. Tar kabarin ya kalo udah otwFando : oke, gue lagi deket situ jugaFarel : gak ikut dulu. Mau lemburDeni : gak ikut juga. Gak punya duit, tengah bulanDika is typing...Mone : Dika gak punya pacar, kerjaan udah kelar, duit banyak. Mau alesan apa, lo?Dika : sialan!Dika : iyaa otwMone tertawa kecil melihat isi chat terakhir dari Dika. Sejak jalan-jalan ke Dufan, Mone memutuskan untuk bergabung ke dalam grup chat berisi teman-temam SMA-nya untuk memudahkan komunikasi."Kenapa?" tanya Rafka yang duduk di sebelah Mone. Keduanya sudah berada di depan restoran all you can e
Huruf-huruf besar yang menyala membentuk tulisan 'Sky Life Resto & Bar' terpampang di bagian atas bangunan berlantai dua ini. Pada lantai dua sebuah resto dan bar yang terletak di bilangan Jakarta Selatan itu, malam ini disewa untuk melangsungkan acara reuni kampus untuk satu angkatan fakultasnya.Sayangnya, jumlah alumni yang malam ini hadir tidak lebih dari lima puluh orang. Sekian tahun berlalu sejak mereka lulus dan menyandang gelar sarjana, membuat beberapa dari mereka kehilangan kontak, ataupun sudah berdomisili di luar kota, serta kesibukan-kesibukan lainnya.Mone melangkah menaiki anak tangga untuk bergabung dengan acara reuni kampus pertama kalinya. Secara ijazah, ia memang tidak lulus dari sana. Ia hanya sempat menghabiskan waktu beberapa tahun menuntut ilmu di kampus tersebut, lalu pindah mengikuti pekerjaan bapaknya."Yang biasa nyelenggarain reuni gini siapa, Raf?" tanya Mone disela-sela langkahnya menaiki anak tangga."Tiap tahun sih penggeraknya Hilman, paling dibantuin
Mone memasuki ruangan divisinya setelah mengganti kemejanya yang sedikit basah, akibat kehujanan tadi. Beruntung ia selalu menyiapkan kemeja cadangan di dalam loker, untuk berjaga-jaga apabila ada pertemuan penting di luar jam kerja. Ia tidak suka menggunakan pakaian kerja yang sudah dipakai sejak pagi.Para karyawan divisinya segera menyapa saat Mone melintas. Ia membalas sapaan mereka dengan senyuman. Paska kejadian peneguran itu, sikap mereka kembali normal, atau setidaknya kembali profesional. Untuk kedekatan mereka, tidak ada yang kembali. Sekat antara dirinya dengan staff divisinya kini kian terasa."Bu, ini ...." Laely bangkit dari kursinya, untuk berjalan sedikit menghampiri Mone yang melintasi mejanya. Ia membawa sebuah dokumen yang ingin ia tunjukan pada Mone."Iya, itu apa?" Mone menyambut satu lembar kertas yang diulurkan Laely."Debit note dari PRX buat claim yang kemaren. Ini mau dipake potong kontrak buat kontrak dia yang baru, Bu?"Mone memperhatikan lembar kertas yang