Pukul lima lewat lima belas menit, Rafka baru tiba di samping mobilnya yang terparkir pada basement gedung perkantoran tempatnya bekerja. Ia memencet tombol yang ada pada kunci mobil dan terdengar bunyi klik pelan dari mobilnya. Lalu ia membuka pintu mobil dan duduk di hadapan setir.
Tak lama kemudian mesin mobilnya menyala, mobil itu perlahan-lahan keluar dari parkiran basement, meluncur ke jalan raya yang dipenuhi berbagai macam kendaraan.
Padatnya jalanan ibu kota saat jam pulang kerja bukanlah hal aneh baginya. Mau tak mau Rafka harus menurunkan kecepatan mobilnya, membuat lelaki itu mendengus pelan karena waktu semakin menjelang petang.
Rafka melirik jam tangannya. Sudah sepuluh menit berlalu dan mobilnya belum berada jauh dari kantornya. Ia mendengus lagi, berusaha menyabarkan hatinya sendiri menghadapi kemacetan Ibu Kota yang tak pernah absen mewarnai jalan raya.
Terdengar ringtone ponsel pertanda panggilan masuk, Rafka mengangkat panggilannya yang sudah tersambung dengan airpods di telinganya.
"Aku udah keluar, kamu di mana?" Suara manis seorang wanita segera menyapanya dari seberang sana.
"Masih di jalan. Macet banget, ya, kapan sih gak macet?" Rafka menyahuti pertanyaan wanita di telepon itu.
"Yaudah, aku tunggu di lobi, ya."
"Iya, Sayang."
"Bye."
"Hm."
Setelah panggilannya berakhir, Rafka kembali fokus pada jalanan di hadapannya. Barusan adalah telepon dari kekasihnya, Fara. Dan tujuannya setiap pulang kantor adalah kantor Fara, untuk menjemput wanita itu.
Letak kantornya dengan kantor Fara memang tidak terlalu jauh, jika jalanan normal ia hanya membutuhkan waktu lima belas menit dengan menggunakan mobil. Namun, saat jam pulang kerja seperti ini, paling cepat Rafka bisa sampai di kantor tempat Fara bekerja dalam waktu tiga puluh menit.
Setelah menempuh waktu sekitar empat puluh lima menit, akhirnya ia sampai di basement parkir gedung, tempat Fara bekerja. Setelah memarkirkan mobilnya, ia naik lift menuju lobi tempat Fara menunggu.
Rafka mengedarkan pandangannya ketika memasuki lobi, lalu menemukan Fara duduk di salah satu sofa yang tersedia di sana. Ia berjalan menghampiri Fara, wanita itu tampak sibuk dengan ponsel di tangannya dan airpods yang terpasang di kedua telinganya.
Kening Fara tampak berkerut saat sedang memperhatikan ponselnya, mungkin ia melihat sesuatu yang membuatnya bingung.
Rafka menyukai cara wanita itu berekspresi.
"Pacarnya Rafka, ya?" Rafka berhenti di hadapan Fara, membuat wanita itu mendongak karena mengenali suara itu.
Fara tertawa pelan, lalu menyahut, "Iya, nih, masa disuruh nunggu gini, Mas. Nanti kalo diambil orang si Rafka ngamuk."
"Gak bakal ngamuk kok, Rafka, kan, orangnya baik hati dan penyabar."
"Kamu? Sabar? Bisa hujan badai dunia ini, Raf, kalo kamu bisa sabar." Fara tertawa meledek Rafka dengan jawaban sarkasnya, lalu berdiri dan berjalan mendahului Rafka yang masih berdiri di tempatnya.
"Aku sabar, kok, kalo ngadepin macet pas pulang kerja. Kalo aku gak sabar, udah aku tabrakin semua kendaraan yang ngalangin."
"Abis itu kamu ditangkep polisi, masuk penjara, pas keluar jadi mantan napi. Jangan harap aku masih mau sama kamu, ya."
"Yah, kalo kamu gak mau sama aku, aku cari yang lain lah. Meskipun mantan napi, kadar kegantenganku, kan, gak berkurang."
Fara menoleh ke sampingnya, di mana Rafka sudah berjalan sejajar dengannya, tanpa ragu wanita itu mencubit kecil lengan Rafka karena ucapannya barusan.
"Aw aw aw." Rafka meringis dan menjauhkan tangannya dari jangkauan Fara. "Sakit tau!" cibir Rafka. "Ciye yang takut aku cari yang lain, ciye. Pasti udah sayang banget, tuh," lanjutnya, masih menggoda Fara.
Fara bergidik mendengar suara Rafka yang kini menggodanya dengan sangat norak, suara Rafka yang lumayan keras membuat beberapa pasang mata menoleh ke arahnya, lalu ia segera berjalan cepat meninggalkan lelaki itu.
"Bukan pacar aku. Bukan. Gatau siapa, sih?"
Rafka tertawa dengan tingkah Fara yang kini sudah berjalan di depannya lagi.
Rafka mempercepat langkahnya untuk mensejajari Fara, setelah kembali berjalan di sebelah wanita itu, ia merangkulnya dengan lembut.
Mereka sudah di dalam mobil Rafka, mobil itu kembali melaju menuju jalan raya yang masih macet. Normalnya, Rafka mengendarai mobil dengan kecepatan di atas 60-80 km/jam. Namun, di waktu pulang kerja turun menjadi 20 km/jam.
"Far, kamu tau Fando temen SMA aku? Yang sering main sama aku itu?" tanya Rafka, di sela-sela konsentrasi dengan jalanan.
Fara mengingat sebentar, ia tau teman-teman SMA Rafka karena Rafka masih aktif bermain dengan mereka, hanya saja ia berpikir yang mana yang bernama Fando.
"Ah iya, Fando! Yang alumni IPB, ya? Kenapa emang?"
"Iya, yang itu. Minggu depan dia nikah. Gila, ya, gak nyangka tuh anak yang nikah duluan. Kita—aku dan yang lainnya—gak ada yang tau dia nikah sama siapa?" Rafka bercerita dengan antusias.
Ia suka berbagi cerita dengan Fara, karena wanita itu akan menyimaknya dengan baik, juga menanggapi ceritanya yang sebenarnya banyak yang tidak pahami Fara.
"Lah, bisa gitu? Emang Fando gak punya pacar? Atau dia gak pernah cerita kali sama kalian?"
Rafka berpikir sejenak, mengingat-ingat tentang wanita mana yang pernah dekat dengan Fando. Namun, sebisa mungkin ia mencari, sejak masuk SMA hingga detik ini, ia tidak menemukan satu pun wanita yang pernah pacaran dengan Fando. Yang ia ingat hanya satu nama, cewek yang pernah Fando suka saat SMA. Namun, ia segera menepis nama itu dari pikirannya.
"Serius, gak tau. Dia gak pernah deket sama cewek, atau godain cewek juga sih, asli kaku banget! Makanya kaget pas tau dia mau nikah."
"Mungkin, dia emang gak suka aja kali cerita tentang cewek ke temen-temennya."
"Atau kapok?" cetus Rafka tiba-tiba.
Fara seketika menoleh, merasa tertarik dengan tanggapan Rafka. "Kapok?" ulangnya, tidak mengerti maksud Rafka.
Rafka hanya mengangguk, sambil tersenyum. Tanpa menjawab apa pun lagi.
Obrolan mengenai wanita mana yang akan dinikahi Fando berakhir sampai sana. Pembicaraan mereka berakhir saat Rafka mengajak Fara untuk menghadiri pernikahan Fando minggu depan, tapi Fara berusaha mengecek agendanya terlebih dahulu.
Mengisi perjalanan dengan obrolan ringan, tanpa terasa mobil Rafka sudah sampai di depan gerbang rumah Fara. Wanita itu pun bergegas turun tanpa menunggu Rafka membukakan pintu untuknya. Terlebih, Rafka tidak mungkin melakukan itu. Rafka yang pemalas, mana mungkin mau kurang kerjaan bukain pintu mobil untuknya?
Lalu, mobilnya melesat meninggalkan komplek perumahan tempat tinggal Fara. Untuk kembali memasuki jalan raya yang sudah mulai lengang.
Teringat akan Fara, sebenarnya belum lama ia berpacaran dengan wanita itu. Mungkin baru sekitar sembilan bulan terakhir ini, meski mereka sudah mengenal lebih dari setahun.
Pertemuan awal mereka bermula saat ia mengunjungi kantor pusat, yang satu gedung dengan tempat Fara bekerja. Ketika ia diajak makan siang dengan rekan kerjanya di gedung tersebut, di kantin yang berada pada lantai lobi gedung, sayangnya siang itu sedang penuh.
Alena, rekan kerja Rafka di perusahaan pusat tempat Rafka bekerja, kebetulan mengenal Fara. Karena meja yang ditempati Fara tidak terlalu penuh, Alena akhirnya mengajaknya untuk bergabung dengan Fara dan teman-temannya.
Dari sana mereka saling mengenal, hingga beberapa pertemuan baik yang kebetulan atau pun direncanakan, hingga akhirnya sembilan bulan yang lalu Rafka baru menyatakan perasaannya pada Fara. Perlahan, tapi meyakinkan, membuat Fara tak kuasa untuk menolak Rafka.
***
Hari itu pun tiba, hari pernikahan Fando. Dan sampai hari itu pula, Rafka masih tidak mengetahui wanita mana yang akan dinikahi Fando selain wanita itu bernama Nadira. Meskipun ia memiliki akses grup W******p bersama teman-teman SMA-nya, tapi Fando sama sekali tak berbicara tentang wanita itu.
Sabtu pagi, Rafka sudah rapi dengan kemeja batik bermotif kompakan dengan teman-teman SMA-nya, yang sumpah norak abis, tapi ia tetap memakainya.
Ijab kabul dilaksanakan jam sepuluh, sedang resepsi menyusul di malam hari. Fara tidak bisa ikut karena harus menemani ibunya berkunjung ke rumah Neneknya, yang biasanya memakan waktu seharian penuh.
Ponselnya mendadak ramai dengan bunyi notifikasi W******p-nya. Rafka masih menunggu mobilnya yang sedang dipakai Retha, adiknya, mengantar Ibu ke pasar. Kebetulan acara juga mulai jam sepuluh, dan saat ini baru jam delapan.
Rafka membaca pesan-pesan di roomchat tidak bermutu dari teman-temannya, sambil sesekali terkekeh pelan. Roomchat itu berisikan teman sekelasnya semasa SMA, tepatnya hanya anak-anak cowok yang main dengannya saja.
Rafka akhirnya tertarik dengan isi chat teman-temannya yang membahas calonnya Fando, dan mengaitkan dengan nama pacarnya. Mata Rafka agak memicing dengan teori teman-temannya itu.
Dika : namanya Nadira, lah cewenya Rafka Anindia Fara
Bagas : passs bangettt guyzzzzzzz
Farel : pantes Fando gapernah cerita
Deni : diam diam bales dendam hahaha
Rafka menggelengkan kepalanya melihat isi chat teman-teman SMA-nya itu. Ia melempar ponselnya asal ke kasur, tidak terlalu memikirkan soal Nadira calon istriya Fando dan Anindia Fara tunangannya. Lagi pula, gak mungkin banget kan?
Namun, Rafka menjadi teringat sesuatu.
Fando.
Kapok.
Balas dendam.
Dan seorang cewek yang pernah mengisi masa SMA mereka.
***
"Dulu kita masih remaja. Usia anak SMA. Di sekolah kita berjumpa. Pulang pasti kita berdua. Dan kini kamu ada di mana? Dan kini rindu, apa kabarmu?" - Dulu Kita Masih Remaja, The Panas Dalam_____________________ 12 Tahun Yang Lalu...Tahun ajaran baru sudah masuk sejak satu minggu yang lalu, papan mading yang berisi daftar nama siswa dan penempatan kelasnya sudah tak ramai seperti hari senin di minggu kemarin.Memang tidak ada yang menarik dari mading SMA Graha, selain berisi info-info tentang perlombaan yang sangat jarang diminati para siswanya. Mading itu hanya ramai saat hari pertama tahun ajaran baru, karena para siswa yang berebut untuk melihat namanya masuk di kelas mana.Namun, pagi ini seorang siswa yang seragamnya ditutupi oleh sweater hitam berdiri di depan madding, memperhatikan daftar nama siswa yang masih tertempel di sana. Ia berusaha mencari namanya dalam jajaran daftar nama siswa di kelas sebelas. Ada satu kemungkinan mengapa siswa itu baru mencari tau namanya ada di
“Udara mana kini yang kau hirup?Hujan di mana kini yang kau peluk?Di mana pun kau kini…Rindu tentangmu tak pernah pergi” – Dere, Kota_____________Malam harinya merupakan acara resepsi pernikahan Fando. Rafka dan teman-temannya sudah berkumpul di sana, mengisi salah satu meja yang kosong untuk menaruh semua makanan yang ingin mereka cicipi.Fando sendiri tampak sibuk menyalami tamu-tamu yang datang.Sekedar informasi, tentu saja Nadira-nya Fando bukan Anindia Fara.Rafka tertawa kecil mengingat tebakan asal teman-temannya. Sebrengsek-brengseknya hal yang pernah ia lakukan pada Fando, itu cuma masa lalu yang mungkin Fando sendiri sudah tidak mengingatnya."Dari dateng tadi kita belom salaman, nih." Farel mengingatkan teman-temannya yang masih sibuk mencicipi makanan."Nanti ajalah, gue sibuk. Lah si Bagas juga ngilang ke mana tuh?" Dika baru kembali dengan sebuah mangkuk berisikan bakso.Farel sampai bergidik melihat porsi makan Dika. Padahal, belum lama lelaki itu baru menghabiska
"Why can't you hold me in the street? Why can't I kiss you on the dance floor? I wish that it could be like that. Why can't we be like that? 'Cause I'm yours ...." - Secret Love Song, Little Mix feat Jason Derulo_____________"Kalo lo pada, siapa yang udah nikah dan udah persiapan mau nikah?" Kini Mone menatap teman-temannya yang lain secara bergantian."Yaampun, Mon! Lo kayak tante gue pas lebaran, yang ditanyain kawin-kawin doang." Bagas menyahut dengan nada sewot."Jadi ini yang duluan nikah tuh Fando?" Mone kembali membahas soal nikah, melihat wajah teman-temannya, ia pun yakin dengan ucapannya. "Akhirnya terjawab sudah pertanyaan gue waktu itu, ya?" ucapnya dengan pertanyaan retoris.Saat teman-temannya kembali bersahutan dengan Mone, Rafka justru terdiam. Pertanyaan Mone saat mereka berlibur untuk perpisahan SMA, yang saat itu dijawab Rafka dengan percaya dirinya.Ucapan Mone berhasil menarik dirinya dalam pusaran kenangan yang kini sudah tersimpan rapi dalam sebuah kotak di su
Nyaris tengah malam, Rafka membopong Mone menuju unit apartemennya. Mone minum sangat banyak hingga ia mabuk berat sampai tak mampu berjalan dengan benar. Rafka juga sebenarnya cukup pusing karena tidak terbiasa minum. Sepertinya ia akan memarkirkan mobilnya di sini semalam dan pulang naik taksi."Raf ... Raf ... kamu tau gak?" Dengan suara yang putus-putus, Mone bertanya. Rafka bisa menebak ucapan Mone akan ngelantur."Ada yang mulus, tapi bukan jalan hidupku hahaha." Mone tertawa dengan leluconnya sendiri. "Ada yang happy ending, tapi bukan kisah cintaku," lanjutnya sambil diikuti tawanya kembali.Rafka membiarkan Mone terus mengoceh tanpa menyahutinya. Ia fokus mencari nomor unit apartemen Mone, sebab cewek itu pun tidak hafal letak unitnya karena mabuk.Rafka berdiri di depan pintu salah satu unit sambil mencocokan nomornya dengan kunci yang Mone bawa. Beruntung apartemen yang Mone tempati tidak hanya menggunakan pin, bisa repot jika Mone tidak bisa ditanyai untuk keadaan saat ini
Mone tersenyum ramah sambil menyapa beberapa orang yang sempat berkenalan dengannya setelah dua minggu Mone bekerja di tempat ini. Mone melewati beberapa ruangan divisi lain untuk menuju ke ruangannya.Interior kantor ini setiap divisi memiliki ruangan masing-masing, hal itu membuat kantornya memiliki lorong-lorong yang di kanan-kirinya berisi ruangan tiap-tiap divisi dengan pintu dan kaca yang membuat siapa pun yang melintas di lorong tersebut dapat melihat aktivitas di dalamnya."Pagi, Bu Mone," sapa Dini, rekan satu divisinya, yang terlihat sedang menikmati sarapan di mejanya."Pagi, semuanya." Mone balas menyapa semua orang yang ada di ruangannya, yang setelah sapaan Dini, mereka bergantian untuk menyapa Mone."Bu, tadi ada titipan sarapan kayak biasa. Udah aku taro di meja, ya." Fara teringat dengan lontong sayur yang tadi pagi ia terima untuk sarapan Mone."Oh, iya. Thank you, Fara." Mone tersenyum ramah."Tuh, Far. Punya pacar tuh dikirimin sarapan, bukan stiker WhatsApp." Dion
Rafka melihat Mone keluar dari lobi gedung kantornya sambil membawa map plastik berisikan dokumen. Teringat ucapan Mone saat di kantin yang mengatakan akan keluar kantor, dengan keluar melalui lobi berarti Mone tidak naik kendaraan pribadi.Rafka yang baru keluar dari basement parkir gedung tersebut, seketika menghentikan mobilnya di depan lobi, lalu membuka kaca jendelanya untuk memanggil Mone."Mone!" panggil Rafka. Mone yang sedang melihat ke ponselnya menenggak, lalu melihat Rafka dalam mobil di hadapannya. "Kamu ke arah mana?""Neo Soho.""Bareng aku aja, sekalian lewat."Mone berpikir sebentar. Rafka pasti akan membahas lagi kejadian tempo hari, Mone sebenarnya malas membahasnya. Tapi, mengingat sejak tadi ia mencari taksi online tak kunjung dapat, akhirnya Mone menyetujui ajakan Rafka."Emang kamu mau ke mana?" Mone memasang sabuk pengamannya, lalu memutar kaca spion mobil Rafka untuk merapikan rambutnya."Balik ke kantor.""Loh, kantor kamu bukan di sekitaran sini? Jadi emang
Angkringan malam Jogja yang berjejer di sebelah selatan Monumen Tugu ramai di kunjungi para wisatawan lokal. Akhir pekan memang selalu menjadi favorit para pengunjung yang berasal dari berbagai kota untuk menghabiskan minggu di Kota Yogyakarta. Terbukti dari ramainya tempat-tempat wisata malam di setiap jumat atau sabtu malam. Dari mulai kedai kopi yang estetik dengan live musik, sampai angkringan kopi joss di samping jalan monumen tugu yang diiringi musik dari beberapa pengamen yang melintas.Rafka termasuk dalam golongan keduanya. Setelah dua jam lalu menikmati kopi di kedai kopi yang namanya sedang naik daun karena terkenal di i*******m, kini Rafka berada di angkringan kopi joss untuk menikmati kopi yang fenomenal di Jogja."Raf ... Raf ... lambung kamu kalo bisa nangis udah nangis kali tuh. Baru dua jam lalu kamu minum kopi." Fara yang melihat arang yang masih menggolak dalam gelas kopi Rafka, menggelengkan kepalanya melihat Rafka yang meminum kopi dalam jangka waktu berdekatan."K
"Mone?"Rafka terkejut saat bertemu Mone menggeret kopernya di minimarket hotel. Di sebelah tangannya Mone tampak membeli beberapa kaleng minuman beralkohol.Rafka sendiri belum bisa tidur, mungkin efek kafeinnya baru terasa, hingga memutuskan untuk membeli rokok di minimarket yang masih berada di lingkungan hotel."Aku mau bayar." Mone menunjuk kasir yang berada di belakang Rafka, mengisyaratkan agar Rafka minggir, sebab menghalangi jalan Mone.Rafka pun minggir, membiarkan Mone menyelesaikan transaksinya. Ia masih bertanya-tanya, mengapa jam satu malam Mone malah membawa koper?"Kamar di sini udah penuh, aku mau nyari penginapan deket sini." Mone menjelaskan, sambil memberikan beberapa lembar uang pada kasir.Rafka semakin tidak paham. Ini sudah jam satu malam. Untuk apa Mone mencari penginapan lagi? Jika mereka bertengkar seperti malam itu, bukankah seharusnya Pandu yang mengalah dan mencari penginapan lain?"Kamu tau penginapan lain deket sini?" Mone sudah berbalik, kini bertanya
"Cause all of me. Loves all of you. Love your curves and all your edges. All your perfect imperfections. "Give your all to me. I'll give my all to you. You're my end and my beginning. Even when I lose I'm winning. 'Cause I give you all of me. And you give me all of you." - All Of Me, John Legend __________ Sebuah ruangan 2x3 yang terletak di sayap gedung, menjadi ruang privat antara perias dan calon mempelai wanita. Bagai ratu, mempelai wanita ditangani khusus oleh pemilik usaha riasan pengantin itu. Para pendamping sudah lebih dulu dirias bergantian oleh beberapa asisten di ruangan sebelah. Riasan pemeran utama jelas sakral dan memakan waktu lebih lama. Mata Mone mengerjap-ngerjap usai perias memasangkan bulu mata. Meski ia minta riasan sederhana, faktanya ia tetap harus memakai entah berapa lapis bulu mata yang membuatnya sulit untuk mengedip. Untuk sentuhan terakhir, Riani, pemilik bisnis perias pengantin itu menyemprotkan hairspray pada rambutnya yang sudah ditata. Setelahnya,
"Ketemu!" Hilman setengah berteriak, ia membuka gulungan tali tersebut, lalu menyuruh Mone untuk sedikit menyingkir.Dikaitkannya tali tersebut pada batang pohon yang terlihat kokoh, yang berada di dekat situ. Hilman khawatir jika hanya mengandalkan tenaga mereka, yang ada malah yang lainnya ikut terseret. Kemudian, ia melemparkan tali tersebut pada Rafka, agar lelaki itu dapat memanjat dengan berpegangan pada tali tersebut."Tangan Rafka berdarah!" Mone memberitahu pada Bagas yang kini ada di dekatnya."Tenang, Mon. Rafka pasti bisa naik." Bagas menggenggam sebelah tangan Mone yang bergetar ketakutan, berusaha menenangkan sahabatnya itu.Rafka menggapai tali yang bergelantungan di sampingnya. Ia menoleh ke bawah sekilas, berusaha menelaah seberapa dalam tempat itu jika tak mampu menarik dirinya dengan tali itu. Namun, gelapnya malam seolah mengubur pandangannya. Ia tak dapat melihat ke bawah dengan jelas, tertutup oleh pekat.Kedua tangannya kini sudah menggenggam tali. Perlahan, ia
Mone merapatkan mantel tebal yang melekat di tubuhnya. Hawa dingin semakin terasa merasuk ke tulangnya saat pendakian semakin mendekati puncak. Terlebih karena hari sudah mencapai petang, membuat sinar matahari perlahan memudar, berganti tugas dengan rembulan yang mulai menampakkan kehadirannya.Kakinya terus melangkah mengikuti teman-temannya yang berjalan di depannya. Mereka tampak mengejar waktu sebelum hari semakin malam, untuk setidaknya sampai pada pos berikutnya, lalu akan mendirikan tenda untuk bermalam sebelum melanjutkan perjalanan menuju puncak.Jalan berbatu dengan kanan-kiri jalan yang dipenuhi semak belukar, membuat langkahnya kesulitan. Terlebih karena pencahayaan yang mulai meremang, beberapa senter sudah mulai dinyalakan untuk membantu penerangan."Gara-gara si Rafka nih kebanyakan minta istirahat, jadi kesorean, kan!"Terdengar suara Alvin yang berjalan di belakangnya mengeluh, menyalahkan Rafka yang entah sudah berapa kali mengajak beristirahat karena kelelahan."Gu
Minggu sore, bagian luar stadion Gelora Bung Karno tampak ramai pengunjung. Di akhir pekan, tempat itu menjadi salah satu favorit warga Ibu Kota dalam melakukan aktivitas kebugaran jasmani. Sejak pagi hari yang dibarengi dengan car free day, sampai nyaris tengah malam, tempat itu tidak pernah sepi oleh pengunjung yang datang dan pergi silih berganti.Mone menghentikan aktivitas larinya yang sudah mencapai putaran kedua. Wanita itu kini hanya melangkah seperti biasa, diikuti Rafka yang sudah berjalan sejak menuntaskan lari satu putaran."Kamu gak lari!" protes Mone saat Rafka sudah berjalan di sebelahnya."Capek, Mon! Ini ngiterin GBK, bukan lapangan RPTRA*." Rafka mengulurkan air mineral yang ada di tangannya, yang segera disambut Mone.(RPTRA : Ruang Publik Terpadu Ramah Anak)Diteguknya air mineral sampai isinya nyaris separuh, lalu ia melanjutkan langkahnya, yang mulai berjalan santai. Namun, tetap mengitari stadion."Lagi, kamu kesambet setan apaan ngajak lari gini? Kamu mana mung
"Aku bersyukur kamu bisa hidup dengan baik. Bisa main lagi sama temen-temen kamu, jalan-jalan setelah pulang kerja, dan Rafka? If you two get back together, I'm really happy for you." Pandu mengatakannya dengan tulus. Sesekali ia melambaikan tangannya ke arah Naka yang berteriak memanggilnya.Tidak ada sahutan dari Mone, hal itu membuat Pandu penasaran dan menolehkan kepalanya kembali pada wanita itu. Matanya terbelalak melihat Mone yang kini sibuk menghapuskan air mata yang membasahi pipinya."Mon, kamu ...." Tangan Pandu setengah terangkat, berniat merengkuh tubuh Mone, yang kemudian diurungkannya. Hal itu membuatnya hanya dapat meremat tangannya sendiri. "Seumur hidup, aku belom pernah sebenci ini terhadap apa pun. Tapi sejak pertama kali lihat kamu nangis, demi apa pun aku benci lihat itu. Kenapa hidup kamu harus sesakit ini? Dari sekian banyak pilihan takdir, kenapa Tuhan memilihkan takdir yang kayak gini buat kamu. Sejak saat itu, aku selalu berharap gak akan ada hal buruk lainn
"Kau dan aku saling membantu, membasuh hati yang pernah pilu, mungkin akhirnya tak jadi satu, namun bersorai pernah bertemu...." - Sorai, Nadin Amizah____________Mone berjongkok, untuk menyamai tingginya dengan Naka. "Naka, kok sendirian? Emang ke sini sama siapa?" tanyanya lembut, meski mati-matian ia berusaha mengatur detak jantungnya, khawatir akan orang yang menemani Naka. Entah Anggika atau Pandu, Mone jelas tidak menginginkan keduanya."Ama Papa," sahutnya dengan suara yang terdengar menggemaskan.Mone mematung seketika, mendengar satu nama meluncur dari mulut kecil Naka. Namun, ia segera tersadar Naka tampak masih di hadapannya."Papanya mana?""Gak tau," jawab Naka polos.Mone mengembuskan napasnya yang mulai terasa berat, kemudian ia tersenyum untuk menghadapi Naka."Naka mau main ama Aunty. Papa kenapa gak ajak Aunty buat maen sama Naka?"Senyum Mone luntur seketika, mendengar ucapan Naka. Anak itu menganggapnya yang kerap kali berdalih mengajak Naka main untuk mencuri wak
Mone : all you can eat yukFarel : sekarang?Mone : yes!Bagas : skip. Gue sibuk. Cewek gue rumahnya lagi kosongDika : nanem saham terosssBagas : cuannya nikmat bgt nihMone : Dika? Farel? Deni? Fando?Deni : kok Rafka gak diabsen?Mone : Rafka kan udah sama gueDika : berduaan muluMone : sirik ajaFando : di mana, Mon? Gue bawa bini gue ya, dari kemaren dia pengen ayce, tapi gue belom sempet ngajakMone : GI, Ndo. Tar kabarin ya kalo udah otwFando : oke, gue lagi deket situ jugaFarel : gak ikut dulu. Mau lemburDeni : gak ikut juga. Gak punya duit, tengah bulanDika is typing...Mone : Dika gak punya pacar, kerjaan udah kelar, duit banyak. Mau alesan apa, lo?Dika : sialan!Dika : iyaa otwMone tertawa kecil melihat isi chat terakhir dari Dika. Sejak jalan-jalan ke Dufan, Mone memutuskan untuk bergabung ke dalam grup chat berisi teman-temam SMA-nya untuk memudahkan komunikasi."Kenapa?" tanya Rafka yang duduk di sebelah Mone. Keduanya sudah berada di depan restoran all you can e
Huruf-huruf besar yang menyala membentuk tulisan 'Sky Life Resto & Bar' terpampang di bagian atas bangunan berlantai dua ini. Pada lantai dua sebuah resto dan bar yang terletak di bilangan Jakarta Selatan itu, malam ini disewa untuk melangsungkan acara reuni kampus untuk satu angkatan fakultasnya.Sayangnya, jumlah alumni yang malam ini hadir tidak lebih dari lima puluh orang. Sekian tahun berlalu sejak mereka lulus dan menyandang gelar sarjana, membuat beberapa dari mereka kehilangan kontak, ataupun sudah berdomisili di luar kota, serta kesibukan-kesibukan lainnya.Mone melangkah menaiki anak tangga untuk bergabung dengan acara reuni kampus pertama kalinya. Secara ijazah, ia memang tidak lulus dari sana. Ia hanya sempat menghabiskan waktu beberapa tahun menuntut ilmu di kampus tersebut, lalu pindah mengikuti pekerjaan bapaknya."Yang biasa nyelenggarain reuni gini siapa, Raf?" tanya Mone disela-sela langkahnya menaiki anak tangga."Tiap tahun sih penggeraknya Hilman, paling dibantuin
Mone memasuki ruangan divisinya setelah mengganti kemejanya yang sedikit basah, akibat kehujanan tadi. Beruntung ia selalu menyiapkan kemeja cadangan di dalam loker, untuk berjaga-jaga apabila ada pertemuan penting di luar jam kerja. Ia tidak suka menggunakan pakaian kerja yang sudah dipakai sejak pagi.Para karyawan divisinya segera menyapa saat Mone melintas. Ia membalas sapaan mereka dengan senyuman. Paska kejadian peneguran itu, sikap mereka kembali normal, atau setidaknya kembali profesional. Untuk kedekatan mereka, tidak ada yang kembali. Sekat antara dirinya dengan staff divisinya kini kian terasa."Bu, ini ...." Laely bangkit dari kursinya, untuk berjalan sedikit menghampiri Mone yang melintasi mejanya. Ia membawa sebuah dokumen yang ingin ia tunjukan pada Mone."Iya, itu apa?" Mone menyambut satu lembar kertas yang diulurkan Laely."Debit note dari PRX buat claim yang kemaren. Ini mau dipake potong kontrak buat kontrak dia yang baru, Bu?"Mone memperhatikan lembar kertas yang