"Why can't you hold me in the street? Why can't I kiss you on the dance floor? I wish that it could be like that. Why can't we be like that? 'Cause I'm yours ...." - Secret Love Song, Little Mix feat Jason Derulo
_____________
"Kalo lo pada, siapa yang udah nikah dan udah persiapan mau nikah?" Kini Mone menatap teman-temannya yang lain secara bergantian.
"Yaampun, Mon! Lo kayak tante gue pas lebaran, yang ditanyain kawin-kawin doang." Bagas menyahut dengan nada sewot.
"Jadi ini yang duluan nikah tuh Fando?" Mone kembali membahas soal nikah, melihat wajah teman-temannya, ia pun yakin dengan ucapannya. "Akhirnya terjawab sudah pertanyaan gue waktu itu, ya?" ucapnya dengan pertanyaan retoris.
Saat teman-temannya kembali bersahutan dengan Mone, Rafka justru terdiam. Pertanyaan Mone saat mereka berlibur untuk perpisahan SMA, yang saat itu dijawab Rafka dengan percaya dirinya.
Ucapan Mone berhasil menarik dirinya dalam pusaran kenangan yang kini sudah tersimpan rapi dalam sebuah kotak di sudut hatinya. Namun, kedatangan Mone seolah kembali membongkar paksa kotak itu.
Dan sang objek yang mengobrak-abrik perasaannya itu, kini malah sedang tertawa tanpa terlihat terbebani. Rafka bertanya-tanya, semudah itukah perpisahan mereka bagi Mone? Semudah itukah Mone melupakannya?
"Ke mana, Raf?" tanya Farel yang menyadari Rafka bangkit dari duduknya.
"Ke depan bentar, mau ngerokok sekalian cari sinyal. Fara nelpon tapi gak masuk nih kayaknya."
Ucapan Rafka menarik perhatian Mone, bukan kata Fara yang Mone yakini sebagai pacar Rafka, tapi merokok lah yang justru menjadi perhatian Mone.
"Sejak kapan Rafka ngerokok?" tanya Mone saat Rafka sudah menjauh.
"Sejak lo pergi, terus di ajarin deh sama Bagas," sahut Dika.
"Gak bener lo, Gas!"
"Gak bener tuh kalo gue ajarin ngeganja, Mon. Masa ngerokok doang dibilang gak bener."
Mone mengibaskan tangannya, pertanda ia tak lagi ingin membahasnya, lalu ia ikut berdiri. "Gue mau nyicipin makanan dulu. Mau nitip gak?"
"Ambilin ketoprak dong, Mon."
"Gak deh, gue udah nyobain semuanya."
"Yang laen?"
Setelah semuanya menggeleng, Mone pun berkeliling untuk mencari makanan. Dilihatnya stan siomay, bakso, soto, sampai sate mengelilingi setiap sudut aula ini. Mone jadi ingin mencicipi semuanya, maka ia memutuskan untuk ke stan sate terlebih dahulu, agar ia bisa menikmatinya selagi berjalan mengelilingi aula ini.
Namun, langkahnya terhenti saat matanya menangkap sosok yang dikenalnya, sedang mengobrol dengan beberapa koleganya. Mone melihat lelaki itu sesekali tertawa, dan menyahuti obrolan koleganya.
Mone mendengus, ia mengeluarkan ponselnya, menelpon lelaki itu.
Pada nada sambung ke dua, lelaki itu baru mengangkatnya. Kini Mone dapat melihat Pandu yang menjauh sedikit dari teman-temannya untuk menjawab panggian Mone.
"Kamu di mana?" tanyanya. Ia tidak mengalihkan perhatiannya sedetik pun dari Pandu yang kini membelakanginya.
"Aku kan udah bilang, lagi ada acara sama temen kantor."
"Kamu tau kalo acara yang kamu datengin itu sama kayak aku?"
Pertanyaan Mone membuat Pandu memperhatikan sekitarnya untuk mencari keberadaan Mone, namun Pandu tidak menemukan posisi Mone karena ramainya acara itu.
"Aku lagi jalan ke kamu."
"Mone, stop! Oke. Oke. Kita ketemu di depan."
Mone mendesah kencang. Tanpa menyahut, ia mematikan sambungannya. Ia tau apa yang di khawatirkan Pandu. Acara yang di katakan Pandu ternyata acara yang sama dengan Mone, padahal Mone mengajak lelaki itu untuk menemaninya menghadiri pernikahan Fando.
Mone bahkan menunjukan undangannya, harusnya Pandu tau jika acara mereka itu sama, tapi Pandu malah menolaknya dan justru datang sendirian ke tempat ini.
Mone mengikuti ucapan Pandu, untuk bertemu di depan aula acara ini. Mone berjalan ke sudut parkiran yang gelap dan sepi, di mana ia melihat Pandu sudah berdiri di sana.
Mone benci tempat itu. Ia benci setiap tempat yang berada di sudut dan sepi. Kenapa tempat-tempat seperti itu harus selalu menjadi tempat pertemuan mereka? Ia ingin berjalan dengan Pandu di tengah keramaian, di bawah gemerlap lampu, diantara reriuh suara yang membuat mereka harus saling berteriak agar bisa terdengar.
Saat Pandu menyadari kedatangannya, lelaki itu memeluk dan mencium keningnya. Mone memejamkan matanya sesaat, sebelum ia menatap Pandu dengan kilat amarah.
"Mon, please. Kamu ngerti, kan posisi aku?" Pandu yang melihat amarah Mone, menarik tangan wanita itu untuk digenggamnya.
Mone menepisnya. Selalu kalimat itu yang diucapkan Pandu, menuntut Mone untuk selalu memahaminya.
"Enggak! Aku gak ngerti. Kamu dateng sendirian dan aku juga sendirian. Kenapa kita gak dateng barengan aja? Aku udah ajak kamu, ya, bahkan sebelum aku tau kamu juga diundang." Mone melontarkan kekesalan yang sejak dalam aula dipendamnya.
"Nadira, mempelai wanita, temen kantor aku. Dia dan anak-anak kantor kenal Anggika karena pernah ikut family gathring. Kalo aku dateng sama kamu, apa yang akan mereka pikirin?"
Lagi, Mone mendesah. "Mas, kamu tuh ... selalu mikirin pendapat orang lain, tapi sedikit aja, kamu gak pernah dengerin pendapat aku!"
"Sayang, dengerin aku dulu. Kamu jangan kayak gini dong, aku jadi serba salah." Pandu mengusap lembut bahu Mone yang tampak berguncang, karena emosi yang mempengaruhinya.
Mone menggeleng. "Kamu gak salah. Aku harusnya sadar diri, kalo aku cuma kesalahan buat kamu. Kesalahan yang harus kamu tutupin dari semua orang."
Pandu memijat keningnya, ia tidak bisa lagi membantah ucapan Mone. Ingin sekali ia menyangkalnya, tapi ucapan Mone selalu menamparnya dengan telak.
Mone berbalik untuk segera pergi dari sana, tapi langkahnya terhenti saat Pandu menarik tangannya.
"Aku anter kamu pulang."
Mendengar itu Mone kembali menoleh pada Pandu. "Kamu mau aku pulang sekarang?"
Pandu tau. Pada akhirnya Mone lebih memilih bergelut dengan pikirannya dari pada mendengarkannya. Terbukti dengan cara wanita itu menarik kembali tangannya, dan berjalan cepat meninggalkannya.
Sambil berjalan, sesekali Mone menghapus air matanya. Ia benci keadaan seperti ini. Pertengkarannya dengan Pandu tidak akan memiliki ujung, dan dalam setiap pertengkarannya, ia selalu menangis karena menyadari betapa menyedihkan posisinya.
"Sorry." Mone menabrak orang di depannya karena berjalan menunduk hingga tidak memperhatikan jalan.
"Mone? Kamu gak papa?"
Mone mendongak, menyadari suara si penabrak. Rupanya Rafka. Dan Rafka melihatnya dengan jelas betapa keruh wajahnya dengan tangan yang berusaha menghapus air mata.
"Mone, tunggu!"
Rafka melihat lelaki yang tampak mengejar Mone, lalu memahami situasi ini. Mungkin lelaki itu pacar Mone, dan mereka baru saja bertengkar.
"Raf, kamu bawa kendaraan? Parkir di mana?" Mone tidak menyahuti lelaki itu, ia malah menanyai Rafka.
"Eh, bawa. Di situ!" Rafka menunjuk mobilnya yang parkir tidak jauh dari tempatnya berdiri.
"Aku ikut kamu, ya." Mone segera berjalan ke tempat mobil Rafka terparkir.
Rafka bingung, ketika dirinya terseret dalam masalah Mone. Namun, ia tetap mengikuti Mone ke arah mobilnya.
Sedangkan lelaki tadi terlihat pasrah dan tak lagi mengejar Mone, ia kembali memasuki aula acara.
"Sebelah sini, Mon." Rafka menunjuk mobilnya, saat Mone berdiri di sisi yang salah.
"Oh, sorry." Mone menarik pintu mobil Rafka yang ternyata belum terbuka.
"Loh, maksudnya mau balik sekarang?"
"Kamu masih lama?"
Sial. Rafka mana tega melihat Mone seperti itu. Terang saja kondisi Mone tidak memungkinkan wanita itu kembali ke dalam. Suasana hatinya sedang buruk, Mone terlihat lelah untuk memamerkan senyumnya lagi.
Rafka memencet kunci mobilnya, agar Mone bisa membuka pintu mobil. "Kamu tunggu dalem, aku pamit dulu sama Fando dan yang lain."
Mone mengangguk, lalu membuka pintu mobil Rafka dan menunggu di dalam.
Sekitar sepuluh menit Mone menunggu, akhirnya Rafka kembali.
Rafka sempat berbohong saat teman-temannya menanyakan, ia mengatakan bertemu Mone di depan dan katanya harus pulang cepat karena ada urusan mendadak. Padahal, Mone menunggu di mobilnya.
"Rumah kamu di mana?"
"Aku udah input di gps kamu, ikutin aja."
Rafka mengangguk, lalu mengikuti arahan gps yang mengarahkannya menuju rumah Mone.
Rupanya, Mone tinggal di apartemen.
"Kamu udah lama di Jakarta?" Rafka membuka obrolannya.
Ia yakin sekali selama ini Mone tidak tinggal di Jakarta. Sebab, Rafka pernah mencari Mone hampir di setiap sudut Jakarta dan tidak menemukannya sama sekali. Jika memang Mone tinggal di Jakarta, tidak mungkin selama delapan tahun mereka tidak pernah bertemu.
"Baru dua minggu ini, kerjaan aku dipindah ke kantor pusat. Tadinya aku di Surabaya."
"Jadi, sebelumnya kamu tinggal di Surabaya?"
"Kamu mau nanya selama delapan tahun aku ke mana aja kan, Raf?"
Pertanyaan Mone tepat sasaran. Rafka hanya tersenyum, menjawab bahwa tebakan Mone benar.
"Aku lanjut kuliah di Palembang, ikut tinggal di sana bareng bapak tiri aku. Terus pas lulus, aku dapet kerjaan di Jogja. Karena bosen, aku sempet kerja di Bali, terus pindah ke Malang sekalian lanjut S2, dan terakhir di Surabaya, kantor cabangnya tempat aku kerja sekarang. Dan sekarang aku di Jakarta."
Pantas saja Rafka tidak pernah menemukan Mone, rupanya petualangan Mone sepanjang itu. Sedangkan dirinya selama delapan tahun terakhir tetap di Jakarta.
Rafka tak lagi berbicara meski masih banyak yang ingin ia tanyakan pada Mone, karena saat ini Mone terlihat larut dalam lamunannya. Ia dapat menangkap aura kesedihan masih menyelimuti wanita itu. Ia tidak tau apa yang menjadi bahan pertengkaran mereka di parkiran tadi, yang ia tau, Mone sangat terpukul.
Satu pertanyaan Rafka terjawab saat melihat Mone di parkiran, tentu saja Mone punya pacar, atau tunangan, atau siapa lah itu. Mone tumbuh semakin baik dan menarik, lelaki mana yang akan membiarkan Mone sendirian?
Rafka mendengar sesekali ponsel Mone bergetar, tapi Mone tampak tidak ada niatan untuk mengeluarkan ponsel dari tas tangannya. Ia juga tidak repot-repot mengingatkan Mone untuk mengangkat panggilan itu.
Setelah menempuh perjalanan dua puluh menit, mobil Rafka tiba di komplek apartemen tempat Mone tinggal. Mone masih bergeming di tempatnya, tidak menyadari mobil Rafka sudah berhenti.
"Mon," panggilnya, sembari menyentuh pelan bahu Mone, hingga membuat wanita itu tersadar.
"Oh, iya? Udah sampe?" Mone sedikit terperanjat, lalu melihat sekelilingnya dan ternyata benar sudah sampai di komplek apartemennya.
Sebelum keluar Mone teringat sesuatu, sepertinya ia belum ingin berbaring di kasurnya, terlebih di komplek apartemennya memiliki kafe dan bar.
"Raf, kamu minum, gak? Aku kemarin liat ada kafe bar gitu di sini. Mau temenin aku nyobain? Aku traktir deh buat ucapan makasih karena udah dianter."
Rafka memikirkan ajakan Mone untuk beberapa detik, jika dulu Mone yang berumur dua puluh tahun sering mengajaknya ke kedai es krim, kini Mone yang berumur dua puluh sembilan tahun lebih memilih untuk minum di bar.
"Kadang si kalo acara kantor. Boleh deh, masih jam sembilan juga."
Mone mengarahkan mobil Rafka menuju parkiran terdekat dengan Kafe Bar yang dimaksudnya. Lalu mereka berjalan tak jauh untuk menuju kafe tersebut.
***
Nyaris tengah malam, Rafka membopong Mone menuju unit apartemennya. Mone minum sangat banyak hingga ia mabuk berat sampai tak mampu berjalan dengan benar. Rafka juga sebenarnya cukup pusing karena tidak terbiasa minum. Sepertinya ia akan memarkirkan mobilnya di sini semalam dan pulang naik taksi."Raf ... Raf ... kamu tau gak?" Dengan suara yang putus-putus, Mone bertanya. Rafka bisa menebak ucapan Mone akan ngelantur."Ada yang mulus, tapi bukan jalan hidupku hahaha." Mone tertawa dengan leluconnya sendiri. "Ada yang happy ending, tapi bukan kisah cintaku," lanjutnya sambil diikuti tawanya kembali.Rafka membiarkan Mone terus mengoceh tanpa menyahutinya. Ia fokus mencari nomor unit apartemen Mone, sebab cewek itu pun tidak hafal letak unitnya karena mabuk.Rafka berdiri di depan pintu salah satu unit sambil mencocokan nomornya dengan kunci yang Mone bawa. Beruntung apartemen yang Mone tempati tidak hanya menggunakan pin, bisa repot jika Mone tidak bisa ditanyai untuk keadaan saat ini
Mone tersenyum ramah sambil menyapa beberapa orang yang sempat berkenalan dengannya setelah dua minggu Mone bekerja di tempat ini. Mone melewati beberapa ruangan divisi lain untuk menuju ke ruangannya.Interior kantor ini setiap divisi memiliki ruangan masing-masing, hal itu membuat kantornya memiliki lorong-lorong yang di kanan-kirinya berisi ruangan tiap-tiap divisi dengan pintu dan kaca yang membuat siapa pun yang melintas di lorong tersebut dapat melihat aktivitas di dalamnya."Pagi, Bu Mone," sapa Dini, rekan satu divisinya, yang terlihat sedang menikmati sarapan di mejanya."Pagi, semuanya." Mone balas menyapa semua orang yang ada di ruangannya, yang setelah sapaan Dini, mereka bergantian untuk menyapa Mone."Bu, tadi ada titipan sarapan kayak biasa. Udah aku taro di meja, ya." Fara teringat dengan lontong sayur yang tadi pagi ia terima untuk sarapan Mone."Oh, iya. Thank you, Fara." Mone tersenyum ramah."Tuh, Far. Punya pacar tuh dikirimin sarapan, bukan stiker WhatsApp." Dion
Rafka melihat Mone keluar dari lobi gedung kantornya sambil membawa map plastik berisikan dokumen. Teringat ucapan Mone saat di kantin yang mengatakan akan keluar kantor, dengan keluar melalui lobi berarti Mone tidak naik kendaraan pribadi.Rafka yang baru keluar dari basement parkir gedung tersebut, seketika menghentikan mobilnya di depan lobi, lalu membuka kaca jendelanya untuk memanggil Mone."Mone!" panggil Rafka. Mone yang sedang melihat ke ponselnya menenggak, lalu melihat Rafka dalam mobil di hadapannya. "Kamu ke arah mana?""Neo Soho.""Bareng aku aja, sekalian lewat."Mone berpikir sebentar. Rafka pasti akan membahas lagi kejadian tempo hari, Mone sebenarnya malas membahasnya. Tapi, mengingat sejak tadi ia mencari taksi online tak kunjung dapat, akhirnya Mone menyetujui ajakan Rafka."Emang kamu mau ke mana?" Mone memasang sabuk pengamannya, lalu memutar kaca spion mobil Rafka untuk merapikan rambutnya."Balik ke kantor.""Loh, kantor kamu bukan di sekitaran sini? Jadi emang
Angkringan malam Jogja yang berjejer di sebelah selatan Monumen Tugu ramai di kunjungi para wisatawan lokal. Akhir pekan memang selalu menjadi favorit para pengunjung yang berasal dari berbagai kota untuk menghabiskan minggu di Kota Yogyakarta. Terbukti dari ramainya tempat-tempat wisata malam di setiap jumat atau sabtu malam. Dari mulai kedai kopi yang estetik dengan live musik, sampai angkringan kopi joss di samping jalan monumen tugu yang diiringi musik dari beberapa pengamen yang melintas.Rafka termasuk dalam golongan keduanya. Setelah dua jam lalu menikmati kopi di kedai kopi yang namanya sedang naik daun karena terkenal di i*******m, kini Rafka berada di angkringan kopi joss untuk menikmati kopi yang fenomenal di Jogja."Raf ... Raf ... lambung kamu kalo bisa nangis udah nangis kali tuh. Baru dua jam lalu kamu minum kopi." Fara yang melihat arang yang masih menggolak dalam gelas kopi Rafka, menggelengkan kepalanya melihat Rafka yang meminum kopi dalam jangka waktu berdekatan."K
"Mone?"Rafka terkejut saat bertemu Mone menggeret kopernya di minimarket hotel. Di sebelah tangannya Mone tampak membeli beberapa kaleng minuman beralkohol.Rafka sendiri belum bisa tidur, mungkin efek kafeinnya baru terasa, hingga memutuskan untuk membeli rokok di minimarket yang masih berada di lingkungan hotel."Aku mau bayar." Mone menunjuk kasir yang berada di belakang Rafka, mengisyaratkan agar Rafka minggir, sebab menghalangi jalan Mone.Rafka pun minggir, membiarkan Mone menyelesaikan transaksinya. Ia masih bertanya-tanya, mengapa jam satu malam Mone malah membawa koper?"Kamar di sini udah penuh, aku mau nyari penginapan deket sini." Mone menjelaskan, sambil memberikan beberapa lembar uang pada kasir.Rafka semakin tidak paham. Ini sudah jam satu malam. Untuk apa Mone mencari penginapan lagi? Jika mereka bertengkar seperti malam itu, bukankah seharusnya Pandu yang mengalah dan mencari penginapan lain?"Kamu tau penginapan lain deket sini?" Mone sudah berbalik, kini bertanya
Kaleng ketiga kembali dibukanya setelah dua minuman kaleng Mone habis. Tanpa banyak bicara, Mone menikmati minuman kalengnya, sambil memperhatikan pemandangan kota Jogja pada malam hari dari jendela hotel.Tak banyak kendaraan yang melintas, hanya satu atau dua dalam setiap menitnya. Mone menyesap minuman dalam kalengnya, meski kepalanya mulai terasa pusing karena efek alkohol yang sudah mulai bekerja, Mone tetap menghabiskan kaleng ketiganya. Berharap seluruh isi dalam kepalanya lenyap seketika. Berharap seluruh rasa sakitnya dapat luruh selagi kesadarannya mulai mengabur.Mone menyandarkan kepalanya pada bagian belakang sofa. Saat ini posisi duduknya menyamping, untuk persiapan tidur di sofa. Hari sudah semakin malam saat Mone ngotot akan mencari penginapan lain, dan Rafka, yang saat itu mati-matian mencegah Mone untuk tidak keluar dari area hotel lalu menyarankan agar Mone tidur di kamarnya.Tadinya, Rafka ingin menyarankan Mone agar tidur di kamar Fara. Hanya saja, Rafka berusaha
12 Tahun Yang LaluKijang super milik Bapak digunakan Pandu selama Bapak cuti kerja. Pandu mengantarkan Mone yang ngotot ingin masuk kuliah, padahal Pandu yakin kondisi Mone belum stabil. Selama dua malam, Pandu mendengar Mone terus menangis di dalam kamarnya.Namun hari ini, dengan wajah yang semakin memprihatinkan, Mone memilih untuk masuk kuliah. Akhirnya Pandu memaksa untuk mengantar Mone karena takut terjadi sesuatu dengan Mone saat di jalan."Mas nunggu di KFC depan, ya. Kalo kamu gak mau ikut kelas sampe abis, nanti Mas jemput di sini."Mone menatap Kakak tirinya yang sejak hari ibunya meninggal tampak mengkhawatirkannya. "Mas Pandu pulang aja, nanti aku pulang sendiri. Makasih, Mas." Mone turun dari kijang tersebut tanpa mengindahkan ucapan Pandu kemudian.Sepanjang perjalanan menuju kelasnya, Mone bertemu beberapa orang yang dikenalnya. Mereka mengucapkan bela sungkawa pada Mone, saat itu Mone berusaha tersenyum tegar menanggapi seluruh ucapan bela sungkawa teman-temannya.Ta
"Mone!" Dika berteriak dengan dramatis, lalu memeluk Mone diikuti dengan teman-temannya.Beberapa orang di stasiun ikut menoleh karena perilaku teman-teman Mone yang tampak rusuh saat melihat Mone ada di sana."Gila, Raf. Lo lagi latihan poligami apa gimana?" Deni yang melihat keberadaan Fara, yang ia ketahui sebagai pacar Rafka saat ini, jelas tidak mengerti saat melihat Mone ikut datang dengan Rafka."Gak sengaja ketemu," sahut Rafka."Eh kalian nginep di Vila ya? Gue mau ikut dong." Perhatian Mone kini sepenuhnya dengan teman-temannya.Bagas yang lebih dahulu terpikirkan untuk mengeluh saat mendengar ucapan Mone. "Ah kacau! Kamarnya cuma dua, Mon. Alamat tidur di ruang tamu lagi deh.""Lo udah pada kerja masih aja nyewa vila dua kamar gitu. Udah tau tidur gak pada bisa diem, seneng amat tumpuk-tumpukan." Mone memprotes dengan kelakuan mereka, mengingat terakhir kali mereka berlibur ke vila di kawasan Puncak, Bogor. Kamar yang hanya ada dua, sedangkan mereka berjumlah tujuh orang sa
"Cause all of me. Loves all of you. Love your curves and all your edges. All your perfect imperfections. "Give your all to me. I'll give my all to you. You're my end and my beginning. Even when I lose I'm winning. 'Cause I give you all of me. And you give me all of you." - All Of Me, John Legend __________ Sebuah ruangan 2x3 yang terletak di sayap gedung, menjadi ruang privat antara perias dan calon mempelai wanita. Bagai ratu, mempelai wanita ditangani khusus oleh pemilik usaha riasan pengantin itu. Para pendamping sudah lebih dulu dirias bergantian oleh beberapa asisten di ruangan sebelah. Riasan pemeran utama jelas sakral dan memakan waktu lebih lama. Mata Mone mengerjap-ngerjap usai perias memasangkan bulu mata. Meski ia minta riasan sederhana, faktanya ia tetap harus memakai entah berapa lapis bulu mata yang membuatnya sulit untuk mengedip. Untuk sentuhan terakhir, Riani, pemilik bisnis perias pengantin itu menyemprotkan hairspray pada rambutnya yang sudah ditata. Setelahnya,
"Ketemu!" Hilman setengah berteriak, ia membuka gulungan tali tersebut, lalu menyuruh Mone untuk sedikit menyingkir.Dikaitkannya tali tersebut pada batang pohon yang terlihat kokoh, yang berada di dekat situ. Hilman khawatir jika hanya mengandalkan tenaga mereka, yang ada malah yang lainnya ikut terseret. Kemudian, ia melemparkan tali tersebut pada Rafka, agar lelaki itu dapat memanjat dengan berpegangan pada tali tersebut."Tangan Rafka berdarah!" Mone memberitahu pada Bagas yang kini ada di dekatnya."Tenang, Mon. Rafka pasti bisa naik." Bagas menggenggam sebelah tangan Mone yang bergetar ketakutan, berusaha menenangkan sahabatnya itu.Rafka menggapai tali yang bergelantungan di sampingnya. Ia menoleh ke bawah sekilas, berusaha menelaah seberapa dalam tempat itu jika tak mampu menarik dirinya dengan tali itu. Namun, gelapnya malam seolah mengubur pandangannya. Ia tak dapat melihat ke bawah dengan jelas, tertutup oleh pekat.Kedua tangannya kini sudah menggenggam tali. Perlahan, ia
Mone merapatkan mantel tebal yang melekat di tubuhnya. Hawa dingin semakin terasa merasuk ke tulangnya saat pendakian semakin mendekati puncak. Terlebih karena hari sudah mencapai petang, membuat sinar matahari perlahan memudar, berganti tugas dengan rembulan yang mulai menampakkan kehadirannya.Kakinya terus melangkah mengikuti teman-temannya yang berjalan di depannya. Mereka tampak mengejar waktu sebelum hari semakin malam, untuk setidaknya sampai pada pos berikutnya, lalu akan mendirikan tenda untuk bermalam sebelum melanjutkan perjalanan menuju puncak.Jalan berbatu dengan kanan-kiri jalan yang dipenuhi semak belukar, membuat langkahnya kesulitan. Terlebih karena pencahayaan yang mulai meremang, beberapa senter sudah mulai dinyalakan untuk membantu penerangan."Gara-gara si Rafka nih kebanyakan minta istirahat, jadi kesorean, kan!"Terdengar suara Alvin yang berjalan di belakangnya mengeluh, menyalahkan Rafka yang entah sudah berapa kali mengajak beristirahat karena kelelahan."Gu
Minggu sore, bagian luar stadion Gelora Bung Karno tampak ramai pengunjung. Di akhir pekan, tempat itu menjadi salah satu favorit warga Ibu Kota dalam melakukan aktivitas kebugaran jasmani. Sejak pagi hari yang dibarengi dengan car free day, sampai nyaris tengah malam, tempat itu tidak pernah sepi oleh pengunjung yang datang dan pergi silih berganti.Mone menghentikan aktivitas larinya yang sudah mencapai putaran kedua. Wanita itu kini hanya melangkah seperti biasa, diikuti Rafka yang sudah berjalan sejak menuntaskan lari satu putaran."Kamu gak lari!" protes Mone saat Rafka sudah berjalan di sebelahnya."Capek, Mon! Ini ngiterin GBK, bukan lapangan RPTRA*." Rafka mengulurkan air mineral yang ada di tangannya, yang segera disambut Mone.(RPTRA : Ruang Publik Terpadu Ramah Anak)Diteguknya air mineral sampai isinya nyaris separuh, lalu ia melanjutkan langkahnya, yang mulai berjalan santai. Namun, tetap mengitari stadion."Lagi, kamu kesambet setan apaan ngajak lari gini? Kamu mana mung
"Aku bersyukur kamu bisa hidup dengan baik. Bisa main lagi sama temen-temen kamu, jalan-jalan setelah pulang kerja, dan Rafka? If you two get back together, I'm really happy for you." Pandu mengatakannya dengan tulus. Sesekali ia melambaikan tangannya ke arah Naka yang berteriak memanggilnya.Tidak ada sahutan dari Mone, hal itu membuat Pandu penasaran dan menolehkan kepalanya kembali pada wanita itu. Matanya terbelalak melihat Mone yang kini sibuk menghapuskan air mata yang membasahi pipinya."Mon, kamu ...." Tangan Pandu setengah terangkat, berniat merengkuh tubuh Mone, yang kemudian diurungkannya. Hal itu membuatnya hanya dapat meremat tangannya sendiri. "Seumur hidup, aku belom pernah sebenci ini terhadap apa pun. Tapi sejak pertama kali lihat kamu nangis, demi apa pun aku benci lihat itu. Kenapa hidup kamu harus sesakit ini? Dari sekian banyak pilihan takdir, kenapa Tuhan memilihkan takdir yang kayak gini buat kamu. Sejak saat itu, aku selalu berharap gak akan ada hal buruk lainn
"Kau dan aku saling membantu, membasuh hati yang pernah pilu, mungkin akhirnya tak jadi satu, namun bersorai pernah bertemu...." - Sorai, Nadin Amizah____________Mone berjongkok, untuk menyamai tingginya dengan Naka. "Naka, kok sendirian? Emang ke sini sama siapa?" tanyanya lembut, meski mati-matian ia berusaha mengatur detak jantungnya, khawatir akan orang yang menemani Naka. Entah Anggika atau Pandu, Mone jelas tidak menginginkan keduanya."Ama Papa," sahutnya dengan suara yang terdengar menggemaskan.Mone mematung seketika, mendengar satu nama meluncur dari mulut kecil Naka. Namun, ia segera tersadar Naka tampak masih di hadapannya."Papanya mana?""Gak tau," jawab Naka polos.Mone mengembuskan napasnya yang mulai terasa berat, kemudian ia tersenyum untuk menghadapi Naka."Naka mau main ama Aunty. Papa kenapa gak ajak Aunty buat maen sama Naka?"Senyum Mone luntur seketika, mendengar ucapan Naka. Anak itu menganggapnya yang kerap kali berdalih mengajak Naka main untuk mencuri wak
Mone : all you can eat yukFarel : sekarang?Mone : yes!Bagas : skip. Gue sibuk. Cewek gue rumahnya lagi kosongDika : nanem saham terosssBagas : cuannya nikmat bgt nihMone : Dika? Farel? Deni? Fando?Deni : kok Rafka gak diabsen?Mone : Rafka kan udah sama gueDika : berduaan muluMone : sirik ajaFando : di mana, Mon? Gue bawa bini gue ya, dari kemaren dia pengen ayce, tapi gue belom sempet ngajakMone : GI, Ndo. Tar kabarin ya kalo udah otwFando : oke, gue lagi deket situ jugaFarel : gak ikut dulu. Mau lemburDeni : gak ikut juga. Gak punya duit, tengah bulanDika is typing...Mone : Dika gak punya pacar, kerjaan udah kelar, duit banyak. Mau alesan apa, lo?Dika : sialan!Dika : iyaa otwMone tertawa kecil melihat isi chat terakhir dari Dika. Sejak jalan-jalan ke Dufan, Mone memutuskan untuk bergabung ke dalam grup chat berisi teman-temam SMA-nya untuk memudahkan komunikasi."Kenapa?" tanya Rafka yang duduk di sebelah Mone. Keduanya sudah berada di depan restoran all you can e
Huruf-huruf besar yang menyala membentuk tulisan 'Sky Life Resto & Bar' terpampang di bagian atas bangunan berlantai dua ini. Pada lantai dua sebuah resto dan bar yang terletak di bilangan Jakarta Selatan itu, malam ini disewa untuk melangsungkan acara reuni kampus untuk satu angkatan fakultasnya.Sayangnya, jumlah alumni yang malam ini hadir tidak lebih dari lima puluh orang. Sekian tahun berlalu sejak mereka lulus dan menyandang gelar sarjana, membuat beberapa dari mereka kehilangan kontak, ataupun sudah berdomisili di luar kota, serta kesibukan-kesibukan lainnya.Mone melangkah menaiki anak tangga untuk bergabung dengan acara reuni kampus pertama kalinya. Secara ijazah, ia memang tidak lulus dari sana. Ia hanya sempat menghabiskan waktu beberapa tahun menuntut ilmu di kampus tersebut, lalu pindah mengikuti pekerjaan bapaknya."Yang biasa nyelenggarain reuni gini siapa, Raf?" tanya Mone disela-sela langkahnya menaiki anak tangga."Tiap tahun sih penggeraknya Hilman, paling dibantuin
Mone memasuki ruangan divisinya setelah mengganti kemejanya yang sedikit basah, akibat kehujanan tadi. Beruntung ia selalu menyiapkan kemeja cadangan di dalam loker, untuk berjaga-jaga apabila ada pertemuan penting di luar jam kerja. Ia tidak suka menggunakan pakaian kerja yang sudah dipakai sejak pagi.Para karyawan divisinya segera menyapa saat Mone melintas. Ia membalas sapaan mereka dengan senyuman. Paska kejadian peneguran itu, sikap mereka kembali normal, atau setidaknya kembali profesional. Untuk kedekatan mereka, tidak ada yang kembali. Sekat antara dirinya dengan staff divisinya kini kian terasa."Bu, ini ...." Laely bangkit dari kursinya, untuk berjalan sedikit menghampiri Mone yang melintasi mejanya. Ia membawa sebuah dokumen yang ingin ia tunjukan pada Mone."Iya, itu apa?" Mone menyambut satu lembar kertas yang diulurkan Laely."Debit note dari PRX buat claim yang kemaren. Ini mau dipake potong kontrak buat kontrak dia yang baru, Bu?"Mone memperhatikan lembar kertas yang