Share

5. Bukan Yang Pertama

Penulis: Hilda Wardani
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Nyaris tengah malam, Rafka membopong Mone menuju unit apartemennya. Mone minum sangat banyak hingga ia mabuk berat sampai tak mampu berjalan dengan benar. Rafka juga sebenarnya cukup pusing karena tidak terbiasa minum. Sepertinya ia akan memarkirkan mobilnya di sini semalam dan pulang naik taksi.

"Raf ... Raf ... kamu tau gak?" Dengan suara yang putus-putus, Mone bertanya. Rafka bisa menebak ucapan Mone akan ngelantur.

"Ada yang mulus, tapi bukan jalan hidupku hahaha." Mone tertawa dengan leluconnya sendiri. "Ada yang happy ending, tapi bukan kisah cintaku," lanjutnya sambil diikuti tawanya kembali.

Rafka membiarkan Mone terus mengoceh tanpa menyahutinya. Ia fokus mencari nomor unit apartemen Mone, sebab cewek itu pun tidak hafal letak unitnya karena mabuk.

Rafka berdiri di depan pintu salah satu unit sambil mencocokan nomornya dengan kunci yang Mone bawa. Beruntung apartemen yang Mone tempati tidak hanya menggunakan pin, bisa repot jika Mone tidak bisa ditanyai untuk keadaan saat ini.

Rafka memasuki unit apartemen Mone yang bertipe studio. Hanya ada satu ruangan yang disekat dengan kitchen set untuk area dapur.

Rafka berniat menjatuhkan Mone di tempat tidurnya, tapi karena kondisi yang sempoyongan, Rafka ikut terjatuh menimpa tubuh Mone.

"Ahh …." Mone mengeluh, karena ditimpa tubuh Rafka.

Rafka belum bergerak, ia tampak tertegun melihat wajah Mone yang kini tepat berada di hadapannya.

"Loh, kok kamu Rafka?" Mone kembali berbicara hal-hal aneh, sudah jelas sejak tadi ia memang bersama Rafka.

Lalu, Mone tersenyum saat melihat Rafka masih terdiam. Tangan Mone yang masih berada di bahu Rafka, bergerak untuk menarik Rafka mendekat ke wajahnya hingga tidak menyisakan jarak.

Mone mencium bibir Rafka perlahan, hingga Rafka menyadari dan mengangkat kepalanya.

Mone tertawa. Ia masih melihat wajah Rafka di hadapannya. "Kok bisa-bisanya aku mimpi kaya gini sama kamu ya, Raf. Padahal kamu udah pergi ... jauh ... ninggalin aku. Kamu ninggalin aku kan, Raf? Hahaha."

Rafka tidak mendengar ucapan Mone dengan jelas, ia hanya menangkap Mone mengatakan ini mimpi. Lalu pengaruh alkohol kembali menguasai tubuh dan pikirannya. Ia melihat Mone yang masih tertawa dan terus mengoceh, semakin membuat kepalanya sakit.

Lalu, Rafka menyadari satu hal. Mana mungkin Mone berada di hadapannya? Bukankah Mone menghilang sejak delapan tahun lalu tanpa ada kabar dan jejak. Mungkin benar kata Mone, lebih masuk akal jika ini mimpi. Rafka sudah ratusan kali memimpikan bertemu dengan Mone, dan terbangun di pagi hari dengan kecewa karena itu sebatas mimpi.

Mungkin ini memang mimpi. Rafka tidak percaya Mone harus hadir di situasi mimpi erotisnya. Sebab setelah itu, Rafka yang memajukan wajahnya untuk membalas ciuman Mone sebelumnya.

Sejak masa pubertasnya, tentu saja ini bukan kali pertama Rafka bermimpi seperti ini. Rafka menikmati mimpinya sebisa mungkin, melepas kerinduan pada wanita yang pernah dicintainya. Pada wanita yang sesekali masih mengganggu pikirannya padahal Rafka bertemu lagi dengannya saja tidak pernah.

Persetan dengan Fara. Rafka ingin menikmati mimpi indahnya dengan Mone.

***

Rafka mengerjapkan matanya saat mendengar suara alarm dari ponselnya, ia berusaha mengumpulkan kesadarannya, dengan sesekali menggerakan tubuh meski matanya sempat terpejam kembali. Namun, alarm ponsel Rafka terus berbunyi selagi Rafka belum mematikannya. Tangan Rafka berusaha mencari keberadaan ponsel itu di tempat tidurnya dengan mata yang masih terpejam.

"Sshh ... itu apasih? Berisik!" Mone yang tidur di sebelahnya ikut terganggu dengan suara itu, tetapi Mone juga enggan membuka matanya. Hanya tubuhnya yang kini bergerak untuk berganti posisi tidur.

Seketika Rafka membuka mata, bukan lagi karena alarm yang masih terus berbunyi, tapi karena mendengar suara Mone yang terasa dekat. Mana mungkin Mone berada di kamarnya?

Rafka langsung terduduk sambil menyentuh pelipisnya yang terasa pusing, ia memperhatikan sekelilingnya, ini bukan kamarnya. Lalu ia melihat ke arah sampingnya, tempat suara Mone berasal. Benar saja, Rafka menemukan Mone di sana.

Seolah belum cukup, Rafka memeriksa tubuhnya yang kini terbalut selimut biru muda milik Mone, lalu menoleh bergantian pada Mone yang tubuhnya pun tertutup selimut itu. Rafka menyadari satu hal, dirinya dan Mone tidak berbalut sehelai benangpun dan tertidur di atas ranjang yang sama.

Rafka masih shock dan tidak bergerak dari posisinya. Ia memikirkan apa yang telah terjadi antara dirinya dan Mone? Perlahan, reka ulang kejadian semalam berputar di kepalanya, saat dirinya yang mengantarkan Mone pulang, hingga malah terjebak bersama Mone karena mengira itu mimpi.

Jika di mimpi-mimpi sebelumnya Rafka selalu kecewa karena pertemuannya dengan Mone tidaklah nyata, kali ini Rafka justru menyesali bahwa kejadian semalam itu adalah nyata.

"Mon ... Mone ...." Rafka menepuk bahu Mone, yang tidak berbalut apa pun, membuat tangan Rafka semakin gemetar.

Astaga. Apa yang sudah ia perbuat pada Mone? Apa yang akan ia katakan pada Fara jika Fara tau tentang ini?

"Nghh ... aku masih ngantuk." Mone menjawab tanpa membuka matanya.

"Mon, bangun dulu. Aku ... kita ... semalem?" ucap Rafka putus-putus. Ia seolah kehilangan seluruh kosa kata untuk menggambarkan kejadian semalam.

Mone mengubah posisi tidurnya, yang kini menghadap Rafka. Ia membuka matanya sebentar, lalu melihat Rafka yang kini duduk di sampingnya tanpa menggunakan baju. Mone tersenyum geli, mungkin bagian bawah Rafka juga belum menggunakan celana.

"Kamar mandi sebelah sana, udah ada handuk dan sikat gigi baru kok. Kamu bisa pake," kata Mone sambil menunjuk sebuah pintu di samping sekat kitchen set, lalu kembali melanjutkan tidurnya.

Rafka menatap Mone tidak percaya. Kenapa Mone malah menjelaskan posisi kamar mandi dengan santainya? Rafka yakin Mone tadi sudah membuka matanya dan melihat keberadaan Rafka. Tapi, cewek itu tidak terlihat terkejut dan kembali melanjutkan tidurnya.

Rafka tau ini kejadian gila. Sebelum ia kembali memikirkan seluruh hal ini, mungkin Mone benar, ia harus menyiram kepalanya terlebih dahulu agar bisa berpikir dengan jernih.

***

"Pagi, Rafka. Aku lagi bikin telor dadar, kamu bisa sarapan dulu sebelum pulang."

Rafka yang sedang membasuh rambutnya dengan handuk, seketika menghentikan aktivitasnya saat melihat Mone yang menyapanya dengan hangat, bahkan menyuruhnya untuk sarapan.

"Mon, kamu inget kejadian semalem?" tanya Rafka memastikan.

"Ehm, i … ya ... terus?" Mone menjawabnya sambil membalik telur dadarnya, hingga ucapannya harus berbagi fokus dengan aktivitas tangannya.

"Terus?" Rafka menaikan volume suaranya, mengulang ucapan Mone. Ia tidak mengerti dengan jawaban Mone. Mengapa Mone bisa sesantai itu jika dia mengingatnya?

Mone mengangkat telur dadarnya dan meletakkannya pada piring. Barulah ia memfokuskan perhatiannya pada Rafka, yang kini ekspresinya sangat terkejut setelah mendengar jawaban Mone.

"Ah, I got it!" Setelah beberapa detik terdiam, Mone seolah dapat memahami ekspresi Rafka. "Kamu gak usah khawatir, ini bukan masa subur aku kok, jadi aku gak akan hamil."

Bukan reda, ekspresi Rafka justru semakin mengeras saat wajah Mone masih terlihat santai.

Mone mengembuskan napasnya, saat menyadari Rafka masih tidak puas dengan ucapannya. "Oke. Aku ngerti. It's not my first time. Maksudku, kejadian semalem. Jadi, kamu gak perlu ngerasa bersalah."

Hati Rafka serasa hancur saat mendengar perkataan itu keluar dari mulut Mone. Dari Mone. Gadisnya yang dulu manis dan sering mengomel saat teman-temannya sering membahas hal-hal yang tabu, karena Mone cewek sendiri di antara mereka. Ucapan Mone barusan, seperti menamparnya dengan telak. Pertemuan semalam yang membutuhkan waktu delapan tahun lamanya, harus dihancurkan dengan kenyataan pahit yang ia ketahui pagi ini.

"Kenapa, Mon? Kenapa kamu sekarang kayak gini?" Akhirnya Rafka kembali bersuara, saat Mone sedang meminum susu vanilanya.

Mone meletakan gelas susunya, lalu menatap Rafka yang kini memancarkan tatapan kecewa. Akhirnya ia sadar, cara hidupnya dan Rafka sudah berbeda. Namun, ditanyai kenapa, emosi dalam dirinya berhasil tersulut.

Rafka bertanya kenapa?

Kenapa?

Kenapa?

Rafka menanyakan kenapa setelah delapan tahun kemudian.

Setelah delapan tahun Mone berjuang sendirian tanpa ada Rafka di sampingnya.

Setelah delapan tahun lalu Mone menyadari, bahwa Rafka tidak kunjung datang saat ia ingin sekali diselamatkan.

"Delapan tahun ya, Raf? Kamu baru nanya kenapa? Kamu gak berpikir selama delapan tahun itu apa aja yang udah aku laluin sampe bisa berdiri untuk hari ini? Kamu gak mikir, delapan tahun lalu, kamu ke mana? Kamu ke mana saat aku yang saat itu berpikir cuma punya kamu. KAMU GAK ADA!" Mone berteriak di akhir kalimatnya, wajahnya tidak lagi santai seperti sebelumnya. Kini matanya seolah menjelaskan penderitaannya sepanjang delapan tahun ini.

"Mone"

"Kamu terlalu sibuk sama perasaan dan ego kamu, dan milih buat ninggalin aku cuma karena aku gak ngikutin kemauan kamu!"

"Mon, kamu nyaris mati waktu itu! Kalo kamu mau denger aku sekali aja"

"Aku nyaris mati berkali-kali dan kamu gak pernah ada di sana ya, Rafka! Dan hari ini, kamu gak berhak nanya kenapa setelah kamu lebih milih buat gak mau tau apa-apa!" potong Mone.

Rafka berhasil terdiam saat Mone membentaknya dengan seluruh emosi yang dimilikinya. Mone yang kini di hadapannya, bukan Mone yang mampu tertawa hanya karena mendengar candaan teman-temannya. Bukan Mone yang menangis karena nilai ulangannya harus remedial padahal ia sudah belajar semalaman.

Dan yang Rafka tidak mengerti, apa yang membuat Mone hingga nyaris mati berkali-kali? Apa saja yang sudah Mone lalui dan Rafka tidak tahu tentang itu.

Mone benar. Rafka tidak tau apa-apa. Atau menurut Mone, Rafka memilih tidak tau apa-apa.

"Aku nyari kamu. Aku nyari kamu ke mana-mana dan aku gak nemuin kamu, Mon. Aku nanya sama semua orang yang kenal sama kamu, tapi gak ada satupun yang tau. Bertahun-tahun yang aku lakuin cuma nyari kamu. Gimana aku bisa tau kalo bahkan kamu ngilang gitu aja."

Mone menggeleng, ia tidak menerima ucapan Rafka yang seolah menyalahkannya. "Kamu baru nyari aku setelah aku gak ada. Kamu ke mana, pas aku tiap hari lewat di depan kamu dan kamu lebih milih buat pura-pura gak liat aku?"

Mone menarik napasnya, setiap detail kenangan kini seolah berputar di kepalanya. Tentang hari-hari sulit ia yang harus ia lalui sendirian, sementara Rafka sibuk bergelut dengan egonya.

"Apa pun yang terjadi sama aku saat ini, kamu cuma perlu tau, bahwa kamu turut andil dalam kehidupanku sekarang yang kamu anggep hancur."

Ringtone dari ponsel Rafka mengalihkan pertengkaran mereka. Rafka memutuskan untuk mengangkat ponselnya terlebih dulu. Saat membaca nama pemanggil, mata Rafka membesar beberapa saat, lalu mengangkatnya.

"Iyaa, Far."

"Aku di rumah kamu, tapi Mama kamu bilang semalem kamu gak pulang, kamu juga gak bilang nginep di mana."

Rafka menghela napas, ia melihat Mone yang kini sedang mencuci wajan yang tadi dipakai untuk menggoreng telur.

"Aku nginep di rumah temen, ini udah mau pulang. Kalo gak mau nunggu, nanti aku ke rumah kamu."

Mone mendengar pembicaraan Rafka yang sedang menelpon, itu pasti pacar Rafka yang semalam disebutkan. Mone tidak ingat siapa namanya. Dari nada bicara Rafka, ia dapat menebak, hubungan Rafka dan pacarnya pasti berjalan lancar dan wajar. Iya. Wajar. Seperti saat dulu Mone bersama Rafka.

Terlepas dari keegoisan Rafka saat itu, Rafka adalah cowok terbaik yang pernah ia temui. Sebelum berakhir dengan tangis perpisahan, Rafka seringkali menjadi alasannya tersenyum sampai tertawa terbahak-bahak.

Mungkin hal itu juga dirasakan pacarnya Rafka saat ini. Ia dapat membayangkan bagaimana hancurnya perasaan pacar Rafka jika tau semalam lelaki itu bersamanya. Melakukan sesuatu yang harusnya bersama wanita itu setelah menikah nanti, malah Mone yang merebutnya.

Mone tau. Dari ekspresi Rafka, itu jelas kali pertama Rafka melakukannya.

Rafka menyudahi sambungan telepon, lalu memakai jaketnya.

"Mon, aku harus pulang. Sorry, gak bisa sarapan, dan ... buat semuanya, aku minta maaf."

Permintaan maaf Rafka terdengar sangat tulus, meski Mone yakin, bahkan Rafka tidak tahu masalahnya apa.

"Kita harus bahas masalah yang tadi lagi next time. Dan, masalah semalem—"

"Masalah semalem lupain aja, Raf. Anggep aja gak pernah ada kejadian semalem. Aku gak akan ungkit apa-apa. Aku janji." Suara Mone kini sudah lebih tenang dan terkontrol.

Meskipun fakta yang Rafka ketahui hari ini sangat mengejutkan, bagaimana mungkin Rafka bisa melupakan begitu saja kejadian semalam? Alih-alih melupakan, justru Rafka akan mengingatnya seumur hidup. Meskipun kejadian semalam adalah sebuah kesalahan, tapi bolehkah Rafka menyimpannya bersama kenangan lain dalam kotak kenangannya tentang Mone?

Setelah Rafka menutup pintunya dengan rapat, menyisakan Mone kembali sendirian. Pertemuannya kembali dengan Rafka tentu jauh dari kata baik, belum lagi memikirkan masalahnya dengan Pandu.

Prang ....

Kepalang kesal dengan isi kepalanya tentang rentetan kejadian brengsek yang di alaminya, Mone melempar wajan yang tadi berniat ia gantung setelah di cuci.

***

8 Tahun Yang Lalu... 

Mata kuliah hari ini sudah berakhir, Mone merapikan diktat-diktat kuliahnya, memasukan alat-alat tulisnya ke dalam tas sampingnya. Beberapa teman sekelasnya menyapa Mone, untuk duluan keluar kelas, Mone hanya tersenyum mengangguk.

Mone memang tidak terlalu akrab dengan teman-temannya untuk mata kuliah ini, hanya sebatas mengenal nama dan bertegur sapa jika berpapasan.

"Mone! Lama amat, sih, makan bakso, yuk. Gue selama nunggu kelas lo kelar udah membayangkan bakso nih." Cewek berkucir satu dengan poni depan, memasuki kelas Mone yang sudah tidak ada dosen.

Mone menoleh ke asal suara, lalu berkata, "Emang lo gak ada kelas?" Mone memakai liptint terlebih dahulu sebelum keluar kelas. Bibirnya pasti sudah terlihat pucat, sejak tadi pagi Mone belum sempat touch up.

"Dosennya bolos. Mau dong, Mon." Decha menunjuk liptint yang digunakan Mone.

Mone memberikan liptintnya pada Decha.

Lalu keduanya berjalan beriringan menuju kedai bakso depan kampus. Sebenarnya Mone ingin langsung pulang, karena terlalu lelah beraktivitas. Akhir-akhir ini masalah keluarganya menyita perasaannya, tapi Mone seperti tidak di ijinkan untuk beristirahat sebentar untuk meratapi nasibnya yang menyedihkan, mengingat sudah masuk masa akhir semester.

Mone melewati area terbuka kampusnya, tempat anak-anak nongkrong sambil menikmati angin secara langsung. Kebanyakan yang berkumpul di sana anak cowok, sebab di area itu diizinkan untuk merokok, tidak seperti di kantin kampus atau koridor.

"Mone tuh lewat." Mone dapat mendengar suara kasak kusuk dari salah satu perkumpulan mahasiswa. Saat dilihatnya, Mone mengenal mereka karena beberapa kali pernah sekelas atau teman UKM nya.

"Mone sombong amat, sih, lewat doang," cetus salah satu mahasiswa, saat Mone hanya melintas tanpa menoleh.

"Ya terus gue musti dadah-dadah pas lewat, biar kayak Miss Indonesia?" Mone menghentikan langkahnya, untuk menoleh sebentar pada gerombolan itu.

"Sini gabung, dong, Mon. Gue usir deh si Rafka kalo lo gabung. Butek gue liat pemandangan muka-muka kucel nih orang." Bagas menunjuk teman-temannya, lalu melanjutkan, "Lagian, brengsek nih si Rafka! Dia yang putus jadi kita yang ikut didiemin Mone." Bagas mengelipak kepala Rafka yang berada di sebelahnya.

Mone melihatnya, Rafka yang tampak membalas Bagas dengan mengelipak balik, tapi enggan untuk menoleh pada Mone sedikitpun. Cowok itu hanya menyibukan diri dengan obrolan anak-anak lainnya, atau menoleh ke arah yang berlainan dengan Mone. Bahkan setelah disindir dengan teman-teman tongkrongannya, Rafka tampak tidak peduli.

"Decha, nanti pulang bareng yuk." Alvin berteriak saat Mone dan Decha sudah kembali berjalan.

Tampak surakan kompak dari teman-temannya karena ulah Alvin.

"Kalo gue ngajak Mone pulang bareng, boleh kan, Raf?"

Rafka yang sedang memainkan ponselnya, menoleh pada Hilman. "Tanya ke orangnya lah, jangan nanya gue."

Mone meremat tangannya, kesal dengan perilaku Rafka sebulan terakhir ini. Pasca kandasnya hubungan mereka dengan cara tidak baik-baik, Rafka benar-benar tidak menghubunginya atau peduli sama sekali. Rafka tampak sibuk dengan dunianya sendiri, sampai mengalihkan pandangannya setiap kali Mone melintas.

Mone mengeyahkan pikirannya tentang Rafka, di saat-saat seperti ini, saat Mone membutuhkan Rafka di sampingnya karena Mone nyaris tidak kuat untuk bertahan di tengah peliknya konflik keluarganya, Rafka justru malah memilih meninggalkannya.

***

Bab terkait

  • Antara Mantan dan Selingkuhan   6. Atasan Baru

    Mone tersenyum ramah sambil menyapa beberapa orang yang sempat berkenalan dengannya setelah dua minggu Mone bekerja di tempat ini. Mone melewati beberapa ruangan divisi lain untuk menuju ke ruangannya.Interior kantor ini setiap divisi memiliki ruangan masing-masing, hal itu membuat kantornya memiliki lorong-lorong yang di kanan-kirinya berisi ruangan tiap-tiap divisi dengan pintu dan kaca yang membuat siapa pun yang melintas di lorong tersebut dapat melihat aktivitas di dalamnya."Pagi, Bu Mone," sapa Dini, rekan satu divisinya, yang terlihat sedang menikmati sarapan di mejanya."Pagi, semuanya." Mone balas menyapa semua orang yang ada di ruangannya, yang setelah sapaan Dini, mereka bergantian untuk menyapa Mone."Bu, tadi ada titipan sarapan kayak biasa. Udah aku taro di meja, ya." Fara teringat dengan lontong sayur yang tadi pagi ia terima untuk sarapan Mone."Oh, iya. Thank you, Fara." Mone tersenyum ramah."Tuh, Far. Punya pacar tuh dikirimin sarapan, bukan stiker WhatsApp." Dion

  • Antara Mantan dan Selingkuhan   7. Jatuh Dalam Pelukan

    Rafka melihat Mone keluar dari lobi gedung kantornya sambil membawa map plastik berisikan dokumen. Teringat ucapan Mone saat di kantin yang mengatakan akan keluar kantor, dengan keluar melalui lobi berarti Mone tidak naik kendaraan pribadi.Rafka yang baru keluar dari basement parkir gedung tersebut, seketika menghentikan mobilnya di depan lobi, lalu membuka kaca jendelanya untuk memanggil Mone."Mone!" panggil Rafka. Mone yang sedang melihat ke ponselnya menenggak, lalu melihat Rafka dalam mobil di hadapannya. "Kamu ke arah mana?""Neo Soho.""Bareng aku aja, sekalian lewat."Mone berpikir sebentar. Rafka pasti akan membahas lagi kejadian tempo hari, Mone sebenarnya malas membahasnya. Tapi, mengingat sejak tadi ia mencari taksi online tak kunjung dapat, akhirnya Mone menyetujui ajakan Rafka."Emang kamu mau ke mana?" Mone memasang sabuk pengamannya, lalu memutar kaca spion mobil Rafka untuk merapikan rambutnya."Balik ke kantor.""Loh, kantor kamu bukan di sekitaran sini? Jadi emang

  • Antara Mantan dan Selingkuhan   8. Resiko Menjadi Yang Kedua

    Angkringan malam Jogja yang berjejer di sebelah selatan Monumen Tugu ramai di kunjungi para wisatawan lokal. Akhir pekan memang selalu menjadi favorit para pengunjung yang berasal dari berbagai kota untuk menghabiskan minggu di Kota Yogyakarta. Terbukti dari ramainya tempat-tempat wisata malam di setiap jumat atau sabtu malam. Dari mulai kedai kopi yang estetik dengan live musik, sampai angkringan kopi joss di samping jalan monumen tugu yang diiringi musik dari beberapa pengamen yang melintas.Rafka termasuk dalam golongan keduanya. Setelah dua jam lalu menikmati kopi di kedai kopi yang namanya sedang naik daun karena terkenal di i*******m, kini Rafka berada di angkringan kopi joss untuk menikmati kopi yang fenomenal di Jogja."Raf ... Raf ... lambung kamu kalo bisa nangis udah nangis kali tuh. Baru dua jam lalu kamu minum kopi." Fara yang melihat arang yang masih menggolak dalam gelas kopi Rafka, menggelengkan kepalanya melihat Rafka yang meminum kopi dalam jangka waktu berdekatan."K

  • Antara Mantan dan Selingkuhan   9. Mencuri Pandang

    "Mone?"Rafka terkejut saat bertemu Mone menggeret kopernya di minimarket hotel. Di sebelah tangannya Mone tampak membeli beberapa kaleng minuman beralkohol.Rafka sendiri belum bisa tidur, mungkin efek kafeinnya baru terasa, hingga memutuskan untuk membeli rokok di minimarket yang masih berada di lingkungan hotel."Aku mau bayar." Mone menunjuk kasir yang berada di belakang Rafka, mengisyaratkan agar Rafka minggir, sebab menghalangi jalan Mone.Rafka pun minggir, membiarkan Mone menyelesaikan transaksinya. Ia masih bertanya-tanya, mengapa jam satu malam Mone malah membawa koper?"Kamar di sini udah penuh, aku mau nyari penginapan deket sini." Mone menjelaskan, sambil memberikan beberapa lembar uang pada kasir.Rafka semakin tidak paham. Ini sudah jam satu malam. Untuk apa Mone mencari penginapan lagi? Jika mereka bertengkar seperti malam itu, bukankah seharusnya Pandu yang mengalah dan mencari penginapan lain?"Kamu tau penginapan lain deket sini?" Mone sudah berbalik, kini bertanya

  • Antara Mantan dan Selingkuhan   10. Menghabiskan Malam Bersama

    Kaleng ketiga kembali dibukanya setelah dua minuman kaleng Mone habis. Tanpa banyak bicara, Mone menikmati minuman kalengnya, sambil memperhatikan pemandangan kota Jogja pada malam hari dari jendela hotel.Tak banyak kendaraan yang melintas, hanya satu atau dua dalam setiap menitnya. Mone menyesap minuman dalam kalengnya, meski kepalanya mulai terasa pusing karena efek alkohol yang sudah mulai bekerja, Mone tetap menghabiskan kaleng ketiganya. Berharap seluruh isi dalam kepalanya lenyap seketika. Berharap seluruh rasa sakitnya dapat luruh selagi kesadarannya mulai mengabur.Mone menyandarkan kepalanya pada bagian belakang sofa. Saat ini posisi duduknya menyamping, untuk persiapan tidur di sofa. Hari sudah semakin malam saat Mone ngotot akan mencari penginapan lain, dan Rafka, yang saat itu mati-matian mencegah Mone untuk tidak keluar dari area hotel lalu menyarankan agar Mone tidur di kamarnya.Tadinya, Rafka ingin menyarankan Mone agar tidur di kamar Fara. Hanya saja, Rafka berusaha

  • Antara Mantan dan Selingkuhan   11. Sepenuhnya Selesai

    12 Tahun Yang LaluKijang super milik Bapak digunakan Pandu selama Bapak cuti kerja. Pandu mengantarkan Mone yang ngotot ingin masuk kuliah, padahal Pandu yakin kondisi Mone belum stabil. Selama dua malam, Pandu mendengar Mone terus menangis di dalam kamarnya.Namun hari ini, dengan wajah yang semakin memprihatinkan, Mone memilih untuk masuk kuliah. Akhirnya Pandu memaksa untuk mengantar Mone karena takut terjadi sesuatu dengan Mone saat di jalan."Mas nunggu di KFC depan, ya. Kalo kamu gak mau ikut kelas sampe abis, nanti Mas jemput di sini."Mone menatap Kakak tirinya yang sejak hari ibunya meninggal tampak mengkhawatirkannya. "Mas Pandu pulang aja, nanti aku pulang sendiri. Makasih, Mas." Mone turun dari kijang tersebut tanpa mengindahkan ucapan Pandu kemudian.Sepanjang perjalanan menuju kelasnya, Mone bertemu beberapa orang yang dikenalnya. Mereka mengucapkan bela sungkawa pada Mone, saat itu Mone berusaha tersenyum tegar menanggapi seluruh ucapan bela sungkawa teman-temannya.Ta

  • Antara Mantan dan Selingkuhan   12. Mantan Yang Hilang

    "Mone!" Dika berteriak dengan dramatis, lalu memeluk Mone diikuti dengan teman-temannya.Beberapa orang di stasiun ikut menoleh karena perilaku teman-teman Mone yang tampak rusuh saat melihat Mone ada di sana."Gila, Raf. Lo lagi latihan poligami apa gimana?" Deni yang melihat keberadaan Fara, yang ia ketahui sebagai pacar Rafka saat ini, jelas tidak mengerti saat melihat Mone ikut datang dengan Rafka."Gak sengaja ketemu," sahut Rafka."Eh kalian nginep di Vila ya? Gue mau ikut dong." Perhatian Mone kini sepenuhnya dengan teman-temannya.Bagas yang lebih dahulu terpikirkan untuk mengeluh saat mendengar ucapan Mone. "Ah kacau! Kamarnya cuma dua, Mon. Alamat tidur di ruang tamu lagi deh.""Lo udah pada kerja masih aja nyewa vila dua kamar gitu. Udah tau tidur gak pada bisa diem, seneng amat tumpuk-tumpukan." Mone memprotes dengan kelakuan mereka, mengingat terakhir kali mereka berlibur ke vila di kawasan Puncak, Bogor. Kamar yang hanya ada dua, sedangkan mereka berjumlah tujuh orang sa

  • Antara Mantan dan Selingkuhan   13. Satu Kamar Dengan Mantan

    Mobil yang di rental Rafka mampir ke hotel terlebih dahulu sebelum berlanjut ke vila yang telah di pesan teman-temannya untuk stay selama di Jogja. Rafka dan Mone perlu mengambil beberapa barang yang masih tertinggal di hotel.Mone bersyukur dengan kebetulan hari ini, setidaknya niat menghabiskan waktu dengan Pandu selama di Jogja yang berakhir tragis, tergantikan dengan liburan bersama teman-teman SMA nya. Meskipun Mone seringkali di teror dengan pertanyaan yang sama, ke mana saja selama delapan tahun, dan mengapa teman-temannya ikut menjadi korban dalam kandasnya hubungan Mone dan Rafka karena tidak diberi kabar Mone sama sekali.Menanggapi pertanyaan itu Mone hanya tertawa tanpa ada niatan untuk bercerita. Ia hanya menjawab sekenanya, seperti, "Pokonya delapan tahun ini gue sibuk nanjak karir, lanjut S2, ikut training sana sini, hadir seminar, terus fokus ikut tes buat naik jabatan deh. Demi bisa berkata 'Bye kemiskinan, welcome kekayaan dan kejayaan'."Beruntung teman-temannya tak

Bab terbaru

  • Antara Mantan dan Selingkuhan   Epilog

    "Cause all of me. Loves all of you. Love your curves and all your edges. All your perfect imperfections. "Give your all to me. I'll give my all to you. You're my end and my beginning. Even when I lose I'm winning. 'Cause I give you all of me. And you give me all of you." - All Of Me, John Legend __________ Sebuah ruangan 2x3 yang terletak di sayap gedung, menjadi ruang privat antara perias dan calon mempelai wanita. Bagai ratu, mempelai wanita ditangani khusus oleh pemilik usaha riasan pengantin itu. Para pendamping sudah lebih dulu dirias bergantian oleh beberapa asisten di ruangan sebelah. Riasan pemeran utama jelas sakral dan memakan waktu lebih lama. Mata Mone mengerjap-ngerjap usai perias memasangkan bulu mata. Meski ia minta riasan sederhana, faktanya ia tetap harus memakai entah berapa lapis bulu mata yang membuatnya sulit untuk mengedip. Untuk sentuhan terakhir, Riani, pemilik bisnis perias pengantin itu menyemprotkan hairspray pada rambutnya yang sudah ditata. Setelahnya,

  • Antara Mantan dan Selingkuhan   48. Mengikat Tanpa Cincin

    "Ketemu!" Hilman setengah berteriak, ia membuka gulungan tali tersebut, lalu menyuruh Mone untuk sedikit menyingkir.Dikaitkannya tali tersebut pada batang pohon yang terlihat kokoh, yang berada di dekat situ. Hilman khawatir jika hanya mengandalkan tenaga mereka, yang ada malah yang lainnya ikut terseret. Kemudian, ia melemparkan tali tersebut pada Rafka, agar lelaki itu dapat memanjat dengan berpegangan pada tali tersebut."Tangan Rafka berdarah!" Mone memberitahu pada Bagas yang kini ada di dekatnya."Tenang, Mon. Rafka pasti bisa naik." Bagas menggenggam sebelah tangan Mone yang bergetar ketakutan, berusaha menenangkan sahabatnya itu.Rafka menggapai tali yang bergelantungan di sampingnya. Ia menoleh ke bawah sekilas, berusaha menelaah seberapa dalam tempat itu jika tak mampu menarik dirinya dengan tali itu. Namun, gelapnya malam seolah mengubur pandangannya. Ia tak dapat melihat ke bawah dengan jelas, tertutup oleh pekat.Kedua tangannya kini sudah menggenggam tali. Perlahan, ia

  • Antara Mantan dan Selingkuhan   47. Lamaran Di Tepi Jurang

    Mone merapatkan mantel tebal yang melekat di tubuhnya. Hawa dingin semakin terasa merasuk ke tulangnya saat pendakian semakin mendekati puncak. Terlebih karena hari sudah mencapai petang, membuat sinar matahari perlahan memudar, berganti tugas dengan rembulan yang mulai menampakkan kehadirannya.Kakinya terus melangkah mengikuti teman-temannya yang berjalan di depannya. Mereka tampak mengejar waktu sebelum hari semakin malam, untuk setidaknya sampai pada pos berikutnya, lalu akan mendirikan tenda untuk bermalam sebelum melanjutkan perjalanan menuju puncak.Jalan berbatu dengan kanan-kiri jalan yang dipenuhi semak belukar, membuat langkahnya kesulitan. Terlebih karena pencahayaan yang mulai meremang, beberapa senter sudah mulai dinyalakan untuk membantu penerangan."Gara-gara si Rafka nih kebanyakan minta istirahat, jadi kesorean, kan!"Terdengar suara Alvin yang berjalan di belakangnya mengeluh, menyalahkan Rafka yang entah sudah berapa kali mengajak beristirahat karena kelelahan."Gu

  • Antara Mantan dan Selingkuhan   46. Hubungan Dewasa

    Minggu sore, bagian luar stadion Gelora Bung Karno tampak ramai pengunjung. Di akhir pekan, tempat itu menjadi salah satu favorit warga Ibu Kota dalam melakukan aktivitas kebugaran jasmani. Sejak pagi hari yang dibarengi dengan car free day, sampai nyaris tengah malam, tempat itu tidak pernah sepi oleh pengunjung yang datang dan pergi silih berganti.Mone menghentikan aktivitas larinya yang sudah mencapai putaran kedua. Wanita itu kini hanya melangkah seperti biasa, diikuti Rafka yang sudah berjalan sejak menuntaskan lari satu putaran."Kamu gak lari!" protes Mone saat Rafka sudah berjalan di sebelahnya."Capek, Mon! Ini ngiterin GBK, bukan lapangan RPTRA*." Rafka mengulurkan air mineral yang ada di tangannya, yang segera disambut Mone.(RPTRA : Ruang Publik Terpadu Ramah Anak)Diteguknya air mineral sampai isinya nyaris separuh, lalu ia melanjutkan langkahnya, yang mulai berjalan santai. Namun, tetap mengitari stadion."Lagi, kamu kesambet setan apaan ngajak lari gini? Kamu mana mung

  • Antara Mantan dan Selingkuhan   45. Sorai Perpisahan

    "Aku bersyukur kamu bisa hidup dengan baik. Bisa main lagi sama temen-temen kamu, jalan-jalan setelah pulang kerja, dan Rafka? If you two get back together, I'm really happy for you." Pandu mengatakannya dengan tulus. Sesekali ia melambaikan tangannya ke arah Naka yang berteriak memanggilnya.Tidak ada sahutan dari Mone, hal itu membuat Pandu penasaran dan menolehkan kepalanya kembali pada wanita itu. Matanya terbelalak melihat Mone yang kini sibuk menghapuskan air mata yang membasahi pipinya."Mon, kamu ...." Tangan Pandu setengah terangkat, berniat merengkuh tubuh Mone, yang kemudian diurungkannya. Hal itu membuatnya hanya dapat meremat tangannya sendiri. "Seumur hidup, aku belom pernah sebenci ini terhadap apa pun. Tapi sejak pertama kali lihat kamu nangis, demi apa pun aku benci lihat itu. Kenapa hidup kamu harus sesakit ini? Dari sekian banyak pilihan takdir, kenapa Tuhan memilihkan takdir yang kayak gini buat kamu. Sejak saat itu, aku selalu berharap gak akan ada hal buruk lainn

  • Antara Mantan dan Selingkuhan   44. Demi Anak

    "Kau dan aku saling membantu, membasuh hati yang pernah pilu, mungkin akhirnya tak jadi satu, namun bersorai pernah bertemu...." - Sorai, Nadin Amizah____________Mone berjongkok, untuk menyamai tingginya dengan Naka. "Naka, kok sendirian? Emang ke sini sama siapa?" tanyanya lembut, meski mati-matian ia berusaha mengatur detak jantungnya, khawatir akan orang yang menemani Naka. Entah Anggika atau Pandu, Mone jelas tidak menginginkan keduanya."Ama Papa," sahutnya dengan suara yang terdengar menggemaskan.Mone mematung seketika, mendengar satu nama meluncur dari mulut kecil Naka. Namun, ia segera tersadar Naka tampak masih di hadapannya."Papanya mana?""Gak tau," jawab Naka polos.Mone mengembuskan napasnya yang mulai terasa berat, kemudian ia tersenyum untuk menghadapi Naka."Naka mau main ama Aunty. Papa kenapa gak ajak Aunty buat maen sama Naka?"Senyum Mone luntur seketika, mendengar ucapan Naka. Anak itu menganggapnya yang kerap kali berdalih mengajak Naka main untuk mencuri wak

  • Antara Mantan dan Selingkuhan   43. Mantan Posesif

    Mone : all you can eat yukFarel : sekarang?Mone : yes!Bagas : skip. Gue sibuk. Cewek gue rumahnya lagi kosongDika : nanem saham terosssBagas : cuannya nikmat bgt nihMone : Dika? Farel? Deni? Fando?Deni : kok Rafka gak diabsen?Mone : Rafka kan udah sama gueDika : berduaan muluMone : sirik ajaFando : di mana, Mon? Gue bawa bini gue ya, dari kemaren dia pengen ayce, tapi gue belom sempet ngajakMone : GI, Ndo. Tar kabarin ya kalo udah otwFando : oke, gue lagi deket situ jugaFarel : gak ikut dulu. Mau lemburDeni : gak ikut juga. Gak punya duit, tengah bulanDika is typing...Mone : Dika gak punya pacar, kerjaan udah kelar, duit banyak. Mau alesan apa, lo?Dika : sialan!Dika : iyaa otwMone tertawa kecil melihat isi chat terakhir dari Dika. Sejak jalan-jalan ke Dufan, Mone memutuskan untuk bergabung ke dalam grup chat berisi teman-temam SMA-nya untuk memudahkan komunikasi."Kenapa?" tanya Rafka yang duduk di sebelah Mone. Keduanya sudah berada di depan restoran all you can e

  • Antara Mantan dan Selingkuhan   42. Menempel Seperti Cicak

    Huruf-huruf besar yang menyala membentuk tulisan 'Sky Life Resto & Bar' terpampang di bagian atas bangunan berlantai dua ini. Pada lantai dua sebuah resto dan bar yang terletak di bilangan Jakarta Selatan itu, malam ini disewa untuk melangsungkan acara reuni kampus untuk satu angkatan fakultasnya.Sayangnya, jumlah alumni yang malam ini hadir tidak lebih dari lima puluh orang. Sekian tahun berlalu sejak mereka lulus dan menyandang gelar sarjana, membuat beberapa dari mereka kehilangan kontak, ataupun sudah berdomisili di luar kota, serta kesibukan-kesibukan lainnya.Mone melangkah menaiki anak tangga untuk bergabung dengan acara reuni kampus pertama kalinya. Secara ijazah, ia memang tidak lulus dari sana. Ia hanya sempat menghabiskan waktu beberapa tahun menuntut ilmu di kampus tersebut, lalu pindah mengikuti pekerjaan bapaknya."Yang biasa nyelenggarain reuni gini siapa, Raf?" tanya Mone disela-sela langkahnya menaiki anak tangga."Tiap tahun sih penggeraknya Hilman, paling dibantuin

  • Antara Mantan dan Selingkuhan   41. Lipstik Di Acak-Acak

    Mone memasuki ruangan divisinya setelah mengganti kemejanya yang sedikit basah, akibat kehujanan tadi. Beruntung ia selalu menyiapkan kemeja cadangan di dalam loker, untuk berjaga-jaga apabila ada pertemuan penting di luar jam kerja. Ia tidak suka menggunakan pakaian kerja yang sudah dipakai sejak pagi.Para karyawan divisinya segera menyapa saat Mone melintas. Ia membalas sapaan mereka dengan senyuman. Paska kejadian peneguran itu, sikap mereka kembali normal, atau setidaknya kembali profesional. Untuk kedekatan mereka, tidak ada yang kembali. Sekat antara dirinya dengan staff divisinya kini kian terasa."Bu, ini ...." Laely bangkit dari kursinya, untuk berjalan sedikit menghampiri Mone yang melintasi mejanya. Ia membawa sebuah dokumen yang ingin ia tunjukan pada Mone."Iya, itu apa?" Mone menyambut satu lembar kertas yang diulurkan Laely."Debit note dari PRX buat claim yang kemaren. Ini mau dipake potong kontrak buat kontrak dia yang baru, Bu?"Mone memperhatikan lembar kertas yang

DMCA.com Protection Status