Joe menatap bergantian pada adik dan kakak pertamanya. Sejak pulangnya dari kampus siang ini, suasana di ruang tengah terasa menegangkan. Dia seperti berada di tengah-tengah perang dunia yang siap meledak kapan saja.
Joe menatap kakak pertamanya, Juan. Beberapa waktu belakangan sikap sang kakak menjadi semakin dingin. Bahkan Juan yang biasanya lembut pada Maya, tampak semakin tak tersentuh. Ini jelas tak seperti biasanya. Joe sampai bingung dengan perubahan tersebut. Sepertinya ada hal yang disembunyikan Juan dari mereka semua. Lalu dengan Maya? Sang adik berubah menjadi perempuan dengan sifat yang berkebalikan dari sebelumnya. Mulai dari tutur kata sampai gesture tubuh. Entah dirinya yang terlalu berlebihan atau yang lain memang tidak peka.
“Uhuk.” Joe pura-pura terbatuk. Namun baik sang adik maupun kakaknya hanya melirik sekilas. Tak ada yang berniat membantunya.
“Uhuk ... Uhuk.” Joe semakin mengeraskan batuknya. Dia semakin kesal saja melihat resp
Maya menghela napas panjang. Seharian ini dia benar-benar suntuk, bosan, dan tidak ada kerjaan sama sekali. Dia sudah berhenti dari tempat kerjanya kemarin. Dia tidak bisa terus di sana dan beresiko bertemu dengan sang kakak suatu hari nanti. Itu hanya akan membahayakan rencana yang sedang dijalani. Namun setelah berhenti, sekarang dia malah tidak memiliki aktivitas apa pun. Mencari pekerjaan baru pun tidak semudah bayangannya selama ini. Dia banyak mendapatkan penolakan bahkan saat pertama kali melamar. Kemarin sempat pula dia bekerja di sebuah restoran sebagai pelayan ganti. Namun baru dua jam, dia sudah berhasil memecahkan lima piring dan tiga gelas mahal. Maya jelas dimarahi habis-habisan sampai dia pulang dalam keadaan menangis. Sedikit keberuntungannya, dia tidak dituntut ganti rugi. Padahal bisa saja pihak restoran menagih ganti rugi dari barang mahal yang dipecahkannya. Maya merasa tidak cocok berkerja di restoran itu. Bahkan luka di tangannya belum juga semb
“Kamu mau ke mana?” Julian yang baru datang menatap heran dengan penampilan Joe. Adiknya itu tampak sangat rapi, seakan mau pergi saja. Biasanya Joe tidak pernah berpenampilan serapi ini bila hanya mau pergi ke kampus atau bermain. “Pesta.” “Dengan Maya?” tebak Julian yang memang benar sepenuhnya. Joe memberikan senyum lebar dengan anggukan mantap, Julian mendengus melihatnya. “Cari pasanganlah. Jangan selalu membawa Maya sebagai pasangan ke pesta begini.” “Malas. Selama ada Maya, untuk apa wanita lain?” jawabnya santai. “Masalahnya kamu terlalu mendominasi. Aku jadi tidak punya waktu membawa dia,” tukas Julian dengan jengkel. Joe berdecih, sangat paham dengan maksud sang kakak. Julian juga butuh Maya untuk menjadi pasangannya. Memang ketiga pria Walter tidak pernah terlibat skandal dengan wanita mana pun. Mereka single dan bahagia. Sampai detik ini, wanita tidak masuk ke dalam pikiran mereka. Terlalu banyak urusan dan ta
Juan tidak bisa tenang. Sejak tadi yang dilakukannya hanya melihat pergerakan jam dinding yang sangat lambat. Entah baterainya yang akan habis, apa memang kesabarannya yang mulai menipis. Rasanya dia ingin memutar jam secepat mungkin dan menunggu kedatangan sang adik. Sudah dua jam sejak kepergian Maya dan Joe, sampai saat ini belum ada tanda-tanda kepulangan keduanya. Juan makin gusar sendiri. Dia jelas melihat penampilan gadis itu yang sangat cantik luar biasa. Padahal dia sering melihat penampilan Maya yang sejak lahir memang cantik, tapi kenapa malm ini terasa sangat berbeda. Maya memang bakat membuat orang terpikat, terjerumus pada pesona yang tidak mudah ditampik. Semakin Juan berusaha menghindar, jiwanya malah makin terikat tanpa sadar. Entah kenapa Juan baru menyadari beberapa hari ini. “Sialan! Kenapa mereka lama sekali.” Juan makin gusar. Dia tidak bisa tinggal diam saja sedangkan perasaannya makin resah begini. Ingin sekali dia menjemput Maya dan memaksany
Bisa kita bertemu? Mulan membaca pesan itu dengan seksama. Setelah mengetik balasan dan mengirimkannya, dia segera bersiap-siap. Siang ini dia akan bertemu dengan Maya di kafe biasanya. Kebetulan keadaan rumah cukup sepi. Semua orang sedang sibuk dengan pekerjaannya. Apalagi Juan yang biasanya selalu memantau kesehariannya sedang tidak di rumah. Setidaknya dia memiliki waktu bebas tanpa tatapan tajam pria itu. Mulan memakai pakaian santai yang nyaman. Karena dominan baju di lemarinya adalah gaun, Mulan tidak memiliki pilihan lain. Sepertinya dia harus menyuruh beberapa pelayan menyiapkan kaos dan celana nanti. Dia sudah gerah dengan gaun yang terlalu feminim seperti ini. Setelah penampilannya sempurna, Mulan segera meraih tas selempang dan keluar dari kamarnya. Dia melihat-lihat keadaan sekitar. Beruntung tidak ada pelayan yang berkeliaran seperti biasanya. Dia bisa pergi tanpa ada hambatan. Namun sialnya, Mulan melupakan satu
“Kamu mau langsung pulang?” tanya Maya yang sedang membereskan barang-barangnya. Sudah hampir dua jam mereka berbincang. Maya yang menjawab beberapa pertanyaan ringan yang Mulan ajukan. Apalagi terkait dengan Alfa dan beberapa teman lain yang dikenalnya. Jelas tanpa mengungkit kembali masalah perasaannya pada Juan. Maya sudah memberikan respon apatis untuk sebagai tanda larangan.Mulan menoleh sebentar dan menggeleng. “Tidak. Ada tempat yang harus aku datangi setelah ini,” jawabnya dengaan jujur.“Kamu sudah izin ke Kak Juan atau Bruce?”“Tidak juga.”Maya memelotot mendengarnya. “Kamu serius?” pekiknya tanpa sadar. Beberapa pengunjung di sana langsung menatapnya dengan ekspresi terganggu. Maya meringis dan memohon maaf lewat tatapannya.Sedangkan Mulan yang sudah selesai memasukkan barangnya ke dalam tas, menatap Maya dengan lekat. Sebelah alisnya naik ke atas, “Aku tidak perlu izin
“Istri sialan! Mati kau ke neraka!” Plak. Ringan sekali Robin melayangkan tamparannya. Wajah Lucy sampai terlempar ke samping, sudut bibirnya sudah robek dan terluka dengan cukup parah. Entah sudah keberapa kali tamparan itu didapatkannya, Lucy tidak bisa melawan. Lebih tepatnya tidak akan melawan. Karena dia sadar dirinyalah yang bersalah di sini. Dia yang mematik api lebih dulu. “Robin, maafkan aku.”“Maaf? Maaf setelah kamu melakukan sejauh ini?” Robin menatap sengit pada wanita di bawahnya. Tatapannya sungguh bengis, kedua tangannya mengepal. Rasanya tak puas hanya menampar wanita itu. Setiap hari emosinya tidak pernah reda. Lucy masih bersimpuh di kaki sang suami, memeluknya dengan erat. Tatapannya memohon belas kasih yang tidak akan pernah ada lagi. Robin seakan manusia tanpa hati. Lantaran hatinya pun terkikis oleh penghianatan orang yang dicintainya. &l
Sesuai dengan kesepakatan mereka. Pagi setelah sarapan, mereka akan menjemput sang ayah di bandara. Mulan terpaksa satu mobil dengan Juan lantaran Julian dan Joe sudah tiba lebih dulu di sana.Sepanjang perjalanan, tidak ada satupun yang membuka mulut. Juan masih kesal dengan kepergian sang adik yang tak meminta izinnya. Padahal dia sangat panik di rumah saat mendapat kabar dari Bruce. Pengawal itu mengaku ditipu habis-habisan. Juan jadi berpikir, sejak kapan sang adik pintar berbohong? Apalagi Bruce sangat pintar, kenapa sampai bisa ditipu? Dia bahkan melampiaskan amarahnya pada Bruce, memukuli pengawal yang tidak becus menjaga sang adik.Sedangkan Mulan sejak tadi berkali-kali mencuri pandang ke arah Juan. Dia melirik pria itu dengan penuh penilaian. Memang dari ketiga pria itu, Juan memiliki tubuh yang lebih matang dan mempesona. Diam saja sudah mampu memikat banyak perempuan dengan tatapannya. Mata biru safir dengan wajah tampan. Mulan bahkan tidak menyangkal sempa
Mulan makin pias saat lelaki itu melangkah lebar, mempersempit jarak mereka hingga tanpa aba-aba tubuhnya tertarik dalam sebuah pelukan yang sangat erat. Tubuhnya mematung, Mulan seakan kehilangan kinerja sarafnya, Mulan merasa lumpuh total. Kedua tangannya terkulai, tak bertenaga untuk membalas pelukan yang sarat akan kerinduan tersebut.Kriss Walter, lelaki paruh baya yang hampir menginjak setengah abad. Usianya memang sudah cukup tua, tapi kewibawaan dan gurat ketampanannya belum juga luntur. Merasakan pelukannya tidak terbalas, Kriss merenggangkannya. Dia menatap gadis yang dikiranya adalah Maya Walter, si bungsu yang paling dimanjanya. Tatapannya sangat lekat dan penuh rasa khawatir. Dia menangkup kedua pipi itu dengan lembut.“Hey, kamu tidak apa-apa, Sayang?” tanyanya, penuh dengan kekhawatiran.Mulan berusaha mengumpulkan kesadarannya. Dia memaksakan senyum di bibirnya yang pucat. Dengan tak ketara, dia mundur selangkah, seraya membebaskan wa
Maya menatap minumannya dengan tatapan kosong. Tangannya menari di sekitar pinggiran gelas yang masih penuh. Baru seteguk, dan dia sudah merasa tidak berselera.Lagi, Maya beralih menatap sekitar, melihat hilir mudik orang-orang dengan koper besarnya. Suara mendayu resepsionis yang memberitahukan penerbangan menjadi pengisi suasana malam ini. Dirinya hanya duduk dan menikmati semua yang tertangkap matanya.Ya, Maya sudah membulatkan tekadnya untuk mengikuti Bruce ke Inggris. Selain untuk memulai hidup baru, tidak salahnya juga dia bersama pria itu. Sudah terbukti, hanya Bruce yang bisa menjaganya dan memberi rasa aman. Pria itu seakan menjamin sesuatu yang Maya cari; tempat berpulang.Keluarganya pun tidak ada yang melarang. Mereka seakan memasrahkan dirinya pada Bruce. Bahkan ayahnya berharap dirinya mau membuka hati segera. Kriss selalu menegaskan bahwa apa yang Bruce lakukan sejak dulu adalah ketulusan, bukti kesungguhan pria itu padanya. Maya hanya menjawab dengan senyuman kaku.D
Sedangkan di kamarnya, Mulan juga tak kalah sedih. Meski awalnya dia berusaha kuat, berpura-pura tidak peduli. Nyatanya dia sangat terpukul dengan kepergian Maya. Ada semacam beban di hatinya yang tidak terangkat, dan malah membuatnya terluka dari dalam. Bahkan mereka belum berbaikan. Mereka masih terlibat banyak masalah dan belum diselesaikan. Keduanya memiliki ego yang sama-sama tinggi tanpa ada satupun yang berniat mengalah."Sayang, jangan terlalu bersedih. Ingat anak kita," bujuk Juan yang mulai cemas dengan keadaan Mulan. Apalagi perempuan itu sampai terisak keras, bahunya bahkan bergetar hebat. Juan mulai khawatir berlebihan. Dia bukannya tidak ingin memahami kesedihan Mulan, tapi dia tidak ingin kesedihan wanita itu malah berakibat fatal pada calon buah hati mereka. "Aku hanya merasa bersalah pada Maya. Bagaimanapun secara tidak langsung aku yang sudah membuat hidupnya hancur. Andai dulu kami tidak pernah bertemu, mungkin Maya masih hidup bahagia. Maya tidak akan mengalami k
Saat mendengar Kriss sudah pulang, Bruce segera menemui lelaki itu di ruang kerjanya. Setibanya di sana ternyata sudah ada Juan yang tengah berbincang dengan Kriss."Ada apa?" Kriss langsung bertanya dengan sebelah alis yang dinaikkan.Bruce menatap Juan sekilas sebelum memusatkan pandangannya pada Kriss. "Saya akan membawa Maya segera," katanya mantap.Kriss dan Juan yang mendengarnya menampilkan ekspresi berbeda. Mereka menatap Bruce yang tampaknya tak masalah dengan pandangan mereka."Kenapa cepat sekali?" tanya Kriss yang masih belum rela jika Maya pergi. Padahal baru beberapa waktu mereka berkumpul, dan sekarang sudah ada yang harus pergi lagi."Ini demi kesehatan Maya juga. Dia membutuhkan tempat dan suasana baru untuk kesehatannya. Di sini dia selalu merasa tertekan dan itu tidak baik untuk kesehatan bayinya.""Tunggu! Apa yang kamu bicarak
Dengan telaten, Bruce menguapi Maya. Bubur yang awalnya ditolak mentah kini sudah habis tanpa sisa. Lelaki itu tersenyum tipis, merasa bangga karena berhasil membujuk wanita itu. Setelah selesai, beberapa pelayan masuk dan mengambil piring kotor. Sementara Bruce membantu Maya minum."Sudah?" tanyanya dengan suara yang berusaha lembut. Meski Bruce merasa geli sendiri. Dia tidak terbiasa bersikap demikian, tapi demi Maya, dia akan belajar.Maya mengangguk pelan. Dia membetulkan posisi bersandarnya yang langsung dibantu oleh Bruce. Lelaki itu sangat sigap dan teliti pada hal kecil yang Maya butuhkan."Sudah nyaman, kan?""Iya."Setelah itu kepada hening. Maya hanya diam dengan tatapan lurus ke arah tembok. Suasana yang terlalu hening membuat keduanya mendengar deru napas masing-masing. Maya tidak berani menoleh saat merasakan tatapan intens dari sampingnya. D
Dengan sekali dobrak, Bruce berhasil masuk. Dia langsung berlari ke dalam dan mencari keberadaan Maya. Ranjang dalam keadaan kosong, langkah kakinya makin terburu. Kali ini dia masuk ke dalam kamar mandi. Tanpa permisi membukanya dan menemukan Maya yang tergeletak di sana. Bruce melotot kaget.“Maya!” serunya dan segera berjongkok di dekat wanita itu. Wajah wanita itu pucat dengan penampilan yang basah kuyub. Entah berapa lama wanita itu berada dalam keadaan tersebut.Maya masih setengah sadar. Dia menatap Bruce dengan sayu dan tak bertenaga. “Bruce?” panggilnya dengn suara lirih.“Maya, kamu bisa mendengar saya?”Maya mengangguk lemah. Bruce segera membopong wanita itu keluar dari sana. Dia membawa Maya ke ranjang dan meletakkannya dengan hati-hati. Setelah itu dia mencari baju hangat untuk wanita itu dan memakaikannya tanppa malu. Beruntung Maya tidak melakukan pemberontakan. Mungkin karena tenaganya sudah sangat lema
Maya mengurung diri. Sejak pertengkarannya dengan Juan, wanita itu menolak orang yang ingin menjenguknya. Bahkan dengan sengaja mengunci pintu dan menutup semua akses masuk ke kamarnya. Makannya bahkan tidak teratur, Maya seakan tidak memikirkan kandungannya. Semua orang khawatir, tidak terkecuali Mulan dan Juan. Keduanya cemas dan merasa bersalah. “Jadi, bagaimana ini?” Mulan bergerak gelisah. Dia terus menatap ke arah kamar yang masih tertutup rapat. Juan segera merengkuh Mulan dan memeluknya dengan erat. “Jangan berdiri terus. Tidak baik pada baby kita,” tegurnya dan menggiring Mulan agar kembali duduk di sofa panjang bersama yang lain. Julian dan Joe pun hanya bisa diam tanpa tahu harus melakukan apa. Mereka sudah bergantian membujuk Maya, meminta wanita itu membuka pintu dan menyelesaikan masalah baik-baik. Namun bukannya menurut, Maya malah berteriak dan marah pada mereka. Empat orang di ruang tengah itu duduk dengan pikiran masing-masi
“Ada apa?” tanya Juan tak mau basa-basi.Kini mereka berada di ruang pribadi Joe. Ruangan yang berada di paling ujung dan tersendiri. Tempat yang biasanya digunakan hanya untuk sekadar berdiam dan menenangkan pikiran. Tidak banyak yang menginjakkan kaki di sini, karena sejak awal pun, Joe sudah memberi larangan keras.“Setelah kamu tahu semuanya, apa yang akan kamu lakukan?” tanya Joe dengan tatapan lurus pada sang kakak. Dia mengamati bagaimana setiap eskpresi lelaki itu yang tampak bingung dan frutasi sendiri. Kurang lebihnya, dia tahu apa yang dirasakan lelaki di depannya ini.Juan menarik napas panjangnya sebelum menjawab. “Yang jelas aku harus bertanggung jawab pada Mulan. Karena bayi dalam kandungannya adalah milikku,” jawabnya tegas.“Lalu Maya?”Kali ini Juan membalas tatapan Joe dengan lebih rumit. Tentang Maya, jelas dia belum berpikir lebih.“Kamu tahu kan dia juga sedang menga
Kali ini Juan bangun lebih dulu. Dia merasakan sebuah beban di dadanya. Sata dia menoleh, seulas senyum terbit di pagi ini melihat siapa yang tengah memeluknya dengan erat, tak lupa kepala yang bersandar di dadanya.Jika kemarin dia sempat kecolongan, saat ini dia sengaja terbangun lebih dulu. Sekadar memastikan bahwa wanita itu tidak pergi seperti sebelumnya. Masih di sisinya, masih berada dalam pelukannya. Juan tidak akan membiarkannya lepas meski hanya sedetik pun. Mengingat dari pengalaman, wanita-wanita di sekitarnya terlalu cerdik membuat bualan yang membuatnya bingung sendiri.Saat ini Juan sudah tidak lagi bimbang. Dia sudah mendapatkan jawaban dari rasa penasarannya kemarin. Tentang perasaannya yang dipermainkan sedemikian rupa. Semalam adalah buktinya. Rasa wanita itu tidak pernah berubah. Masih sama, nikmat dan panas secara bersamaan.Juan merubah posisinya menjadi serong, agar makin leluasa menatap Mulan yang masih tertidur. Dia menyingkap anak rambu
Mulan yang ingin masuk ke dalam kamar, terpaksa menghentikan langkahnya. Dia menatap Juan yang tiba-tiba berdiri di samping pintu tanpa disadarinya. Entah sejak kapan pria itu di sana. Mungkin Mulan terlalu asyik melamun sampai tak menyadari hal tersebut. “Bisa bicara?” Mendengar pertanyaan pria itu, Mulan mengangguk. Kembali melanjutkan langkah dan membuka pintu kamar. “Di dalam saja,” katanya, sekaligus mempersilahkan Juan masuk. Juan mengikuti Mulan ke dalam. Duduk di single sofa panjang yang membawa mereka dalam kebisuan. Belum ada yang angkat bicara. Juan masih mengamati seluruh ruangan, menghapal setiap sisi kamar wanita itu dalam kepalanya. Sedangkan Mulan memilih diam dan menunggu apa yang akan pria itu katakan. Jujur saja dia masih sedikit canggung berdua dengan Juan. Sisi jalangnya selalu meronta, apalagi dengan hormon sialan ini. Rasanya Mulan ingin mengulang kejadian terakhir mereka. Saling menyentuh, saling memuaskan. Buru-buru Mulan meng