"Hah!"
Pemuda itu terbangun dengan keringat bercucuran. Nafasnya tersengal-sengal setelah sebuah mimpi membangunkan paksa dirinya dari tidur lelap.
"Ada apa tuan?"
Sebuah kepala muncul dari bawah ranjang. Lehernya kemudian memanjang, menelisik setiap inci bagian tubuh dan memastikan sang tuan baik-baik saja.
Tuan muda itu kemudian duduk, berusaha menghilangkan pening yang teramat sangat dengan memijat pelan keningnya sendiri. Merasa sang tuan tidak sedang dalam keadaan baik, kepala berleher panjang itu perlahan mengeluarkan tubuhnya.
"Biarkan aku membantumu, tuan.." Menampakkan sesosok wanita berbalut pakaian khas kerajaan Jepang.
Beralih ke belakang sisi pemuda yang tengah terduduk lemas, jemari pucat wanita itu menyentuh pelipis sang tuan. Menyalurkan dingin yang menjalar dan menenangkan pikiran. Perlahan, pemuda itupun kembali terpejam.
"Apakah anda kembali memimpikan hal itu?" Semilir dingin membelai tengkuk ketika wanita itu berbicara.
"Hm.." Ia hanya bergumam, tanpa dijelaskan, pelayan itu sudah mengerti. Bayangan tentang mimpi yang berulang kali terjadi itu telah begitu sering bertandang di setiap tidurnya. Membangunkannya tanpa sengaja, hingga membuat salah satu pelayan setia itu berdiam diri untuk berjaga.
Setelah beberapa menit menenangkan diri, tangan hangat itu menyentuh jemari pucat yang sedari tadi memberikan sentuhan lembut. Menyingkirkan pelan kulit dingin itu dari bahunya.
"Terimakasih, Sora." Ucapan pemuda itu dibalas tatapan khawatir dari sosok yang belum beralih dari tempatnya, sementara sang tuan muda bangkit dan berjalan keluar kamar.
-0-
Para pelayan terlihat berjalan kesana kemari, sibuk mempersiapkan tuan mereka yang hendak pergi. Barisan jas dan dasi tersanding, dipilah satu-persatu sesuai keinginan sang tuan.
"Persiapkan keretaku, Martin. Aku tidak ingin kita terlambat di pertemuan kali ini." Titah tuan muda, namun tak ada satupun dari mereka yang bergerak. Hanya hembusan angin ringan dari jendela yang menjadi pertanda hadirnya seseorang di antara kerumunan pelayan.
"Baik, tuan." Dibalik keheningan, mereka dapat mendengar bisikan yang berhembus bersama udara dingin. Kemudian disusul desingan angin yang bergerak keluar ruangan.
Semua nampak normal, tiada sesuatupun yang aneh terjadi di Castil ini. Setiap pelayan dan semua orang yang berada di sini sudah berteman baik dengan mereka. Dibubuhi dengan penglihatan istimewa sebagai syarat utama, semua akan menjadi neraka bila tidak terbiasa.
"Ah!" Termasuk bagi seorang gadis yang baru menjadi salah satu bagian di keluarga ini.
Bahunya bergetar hebat begitu hembusan dingin menjalari lehernya. Tangannya tak berhenti gemetar ketika matanya bertemu pandang dengan iris merah yang baru saja terbang keluar, semerah anggur yang ia antarkan.
"Ely," Seorang pelayan berparas dewasa memberikannya pandangan tajam. Baru saja ingin menegur sang bawahan, tuan muda yang tengah dipakaikan dasi itu memegang bahunya. Mengisyaratkannya untuk diam.
Berdiri di hadapan pelayan baru yang diam ketakutan, sang tuan mengambil gelas anggur dari tangannya, mengalihkan perhatian gadis lemah itu ke dalam matanya.
"Kami senang kau berada disini. Tapi bila kau tidak bisa bertahan.." Mata sehitam malam itu menghujam Ely hingga ke dalam sum sum tulang. Bayang-bayang tipis perlahan keluar, mengelilingi sang tuan. "Kau boleh memilih untuk keluar dari Castil ini."
Sesaat sebelum terpejam, gadis itu bisa melihat kepulan aura hitam memenuhi tubuh sang tuan. Menampakkan mata-mata dan bisikan yang menutupi pikirannya. Sebelum akhirnya gadis itu jatuh pingsan.
Menghembuskan nafas pelan, pelayan senior tadi kembali menghampiri dirinya, "Maafkan atas kelancanganku, tuan. Gadis itu tidak lagi pantas menjadi pelayan pribadimu."
Pemuda itu menatap barisan makhluk berkepala botak yang mengangkut pelayan baru itu keluar. Padahal ia sendiri yang menemukan gadis itu dan menjadikannya pelayan disini, tapi sepertinya tampang Martin yang menyeramkan sangat merusak mentalnya.
"Aku tidak tega membiarkannya terlunta-lunta di pinggir jalan seperti itu, Ginna. tetapi akan lebih memprihatinkan bila dia mati karena gila disini." Ucap sang pemuda, menyesap sedikit anggur manis di tangannya.
"Anda sungguh baik, tuan. Tapi membawa orang asing ke dalam Castil memiliki resiko yang besar." Balas Ginna. Pelayan itu sudah mengerti perangai sang tuan sejak kecil, namun ia tetap saja khawatir. "Meskipun atas dasar kemanusiaan."
Wanita yang tak lagi muda itu membenahi kemeja sang tuan. Bahu lemah yang dahulu sering gemetar kini sudah menjelma tegap dan bidang. Tak luput sama sekali ingatan disaat dulu tangannya menyentuh pipi kurus seorang anak lelaki yang berusaha melawan kerasnya kehidupan. Ia akan terus setia, meski sebuah fakta besar bisa saja membuat seluruh harta berpindah dalam genggaman tangannya.
"Lebih baik anda bersegera.."
Tapi, tak akan ia biarkan penderitaan merenggut kebahagiaan sang tuan lagi.
Bersamaan dengan itu, derap langkah perlahan mendekati mereka. "Kereta anda sudah siap, tuan." Menampakkan seorang lelaki berparas ramah dengan sepasang kacamata tipis yang bertengger di matanya.
Menggangguk sekilas kepada para pelayan yang memohon undur diri, tuan muda itu berjalan keluar ruangan bersama sang sekretaris.
Sepatunya bergema di tiap lantai mengkilap yang ia lewati. Cahaya berdenyar terang, menyelimuti tiap sudut ruangan hingga menembus keluar. Jendela-jendela raksasa yang berjajar rapih di sepanjang koridor membuat castil itu terlihat menyala diantara gelapnya malam.
Elmardillo Casttella. Begitu para rakyat dan jajaran bangsawan menyebutnya. Castil besar milik keluarga Elmardillo berdiri megah diatas bukit Armuld, menempati ruang tertinggi dalam tatanan kota Elgarsy. Singgahsana yang tersusun begitu tepat karena menghadap seluruh wilayahnya itu, membuatnya bisa mengawasi secara langsung kota yang berada dalam kekuasaan keluarganya.
Namun meski dirinya berdaulat di posisi tertinggi, para rakyat tak pernah merasakan kepedihan barang setitik. Semua tersanding rapih bak kota surga, tanpa kekerasan, tanpa rintihan, bergelimang kemakmuran. Bahkan ketika para bangsawan lain begitu tak sudi bertemu pandang dengan jelata, rakyat dapat begitu mudah mengagumi kejayaan sang tuan dari balik halaman luas bila saja mereka tengah bertandang.
Mereka berjalan dengan kakinya sendiri, membawa serta rasa cita atas kemakmuran dan kebebasan yang diberikan sang tuan. Tak ayal, hasil panen dan berbagai barang indah dibawa sebagai buah tangan.
"Apakah bangsawan Resalf ikut dalam pertemuan ini?" Sang tuan muda membuka percakapan. Pria berkacamata yang berjalan di belakangnya itu berdeham, kemudian menyahut pelan.
"Benar, tuan. Pertemuan ini akan dihadiri oleh semua bangsawan dari barat dan beberapa perwakilan dari selatan." Balasnya.
Penjelasannya dibalas senyuman sekilas. Meski sudah sekian lama menemani tuan muda itu dalam masa jabatannya, nyatanya pemikiran dari sosok yang lebih muda darinya itu tetap sulit ditebak. Jabatannya sebagai sekretaris tak menjaminnya mengetahui apapun, sang tuan masih begitu banyak menyimpan rahasia dan misteri.
Ringkikan kuda menyambut di depan gerbang. Rambut panjang Martin berliuk saat membukakan pintu kereta.
"Baiklah. Tolong pastikan Elgarsy baik-baik saja hingga aku kembali, Davine. Alexan akan menemanimu."
Tepat setelah ia berkata, sebagian bayangan di bawah kakinya berpisah diri dan merayap ke sisi Davine. Kemudian membentuk siluet seseorang yang merupa persis seperti sang tuan muda.
"Bertemu denganku lagi, Davine." Wajah serupa pewaris tunggal Elmardillo itu tersenyum lebar. Meski tak seinci pun fisiknya terlihat berbeda, namun sifat asli Alexan begitu kontras dengan air muka tuan muda yang tenang.
"Jangan lupakan tugasmu Alexan." Ucap tuan mereka, mengingatkan. Setelah itu kereta kuda mulai berpacu menuju pusat pertemuan.
Tiada suara selain tepukan kaki kuda yang bergesekan dengan jalanan. Temaram lampu di pinggiran kota Resalf mengantarkan sunyi yang tak bertepi di dalam kereta. Martin berkendara dengan tenang, tak ingin mengganggu tuannya yang tengah menyelam dalam bacaan.Meski kerikil tajam tak jarang membuat kereta bergeredak, tuan mudanya itu tetap memilih melalui rute perumahan kumuh ketimbang jalanan mulus di pusat kota."Selera yang buruk sekali." Komentar Martin, setelah tertawa pelan dibalik kemudinya. Sosok yang merasa tengah menjadi bahan pembicaraan terdiam sejenak."Apa maksudmu?" Balasnya."Semua kekayaan ini tidak berarti untukmu, ya?" Sindirnya, lagi. Martin terus saja mencemooh apa yang selalu ia lakukan, sedangkan tuan muda itu hanya tersenyum kecil menanggapi rasa heran salah satu pelayan setianya.
Gerbang raksasa mulai terlihat dari kejauhan, menjulang tinggi menutupi pilar besar yang menyangga gedung. Sesaat kemudian kereta itu berhenti. Memberi petuah pada Martin agar menjaga anak yang ia bawa selagi dia menghadiri pertemuan, tuan muda itupun keluar. Lalu membawa tungkai panjangnya melangkah ke dalam acara. Para prajurit penjaga langsung menyambut kemudian mempersilahkannya masuk.Di balik pintu, permadani bak sutra tergelar diatas kaki para bangsawan yang saling bercengkrama dengan segelas wine di tangan mereka. Kenyataan bahwa pakaian rakyat yang bahkan tak seindah apa yang mereka injak tersebut membuat tuan muda itu terdiam."Zeindalr Elmardillo!" Seruan seseorang langsung membuat pandangannya beralih. Terlihat pria berbadan gempal tengah tersenyum lebar kepadanya dari atas tangga. "Pewaris tunggal keluarga Elmardillo Fanarlta!" Lanjutnya, kemudian turun dengan cepat.Beberapa orang men
"Selamat malam tuan dan nyonya, jamuan makan malam bersama akan segera dimulai. Silahkan menuju balairung utama untuk acara selanjutnya."Seruan pembawa acara membuat perhatian para bangsawan beralih. Mereka kemudian berjalan bersama menuju tempat jamuan makan malam. Dibalik ramainya tamu, Henry Grandes terlihat terburu-buru menaiki tangga. Kemudian berbelok memasuki salah satu ruangan yang ada.Disisi tembok, Martin menelisik pembicaraan Henry dari luar. Dirinya yang menyamarkan diri sebagai salah satu prajurit penjaga bebas memasuki gedung untuk memperlancar rencana sang tuan.Di dalam ruangan, nampak tuan Henry dan dua orang prajurit tengah berbincang. Prajurit-prajurit itu terlihat tegang dan ketakutan ketika berbicara kepada tuan Henry."T-tidak mungkin!" Henry berteriak, Martin semakin menajamkan pendengaran. "Aku sudah membasmi mereka waktu itu, dan kalianlah yang aku tugaskan. Bagaimana bisa mere
"Kejadian kemarin tampaknya membuat polisi kebingungan." Ucap seseorang yang tengah berdiri membelakanginya. "Kau lagi-lagi membuat pemerintah pusat kerepotan, tuan Zein.."Kasus yang terjadi malam lalu meninggalkan misteri besar yang menjadi teka-teki tak terpecahkan oleh pihak keamanan. Tidak ada yang bisa ditangkap dalam peristiwa itu. Pelaku pembunuhan dua orang prajurit di tengah hutanpun tidak pernah ditemukan. Mereka menaruh praduga bila kedua lelaki itu dimakan binatang buas, karena tubuh mereka bagai tercabik hingga sulit untuk dikenali.Dan Henry Grandes, malangnya laki-laki itu kini harus menjalani masa suram di dalam rumah sakit jiwa, setelah sebelumnya terbukti sebagai tersangka tindakan keji hilangnya nyawa anak-anak kaum pinggiran kota Resalf. Hal itu membuat sedikitnya para bangsawan yang menyaksikan sendiri kejadian janggal itu merasa trauma dan akhirnya sedikit demi sed
Barisan prajurit nampak berjajar, membentuk sebuah penjagaan yang ketat. Zein berdiri bersama para warga. Menyaksikan desa yang sebelumnya begitu subur berubah kering bagaikan gurun tandus. Berpetak-petak tanah dipenuhi tanaman busuk dan membuat udara dipenuhi bau tak sedap.Sedangkan para penduduk Yuilr hanya bisa meratapi tanaman-tanaman mereka, berkeluh kesah kepada sang tuan karena panennya gagal di musim ini."Kami tidak tau apa yang terjadi, tuan. Seluruh kebun kami mengering, bahkan hingga bunga yang kami tanam didepan rumahpun ikut layu. Desa Doinh yang berada disebelah kami juga mulai terdampak, tuan.." Ujar kepala desa. Wajah tuanya terlihat begitu sedih menjelaskan apa yang telah terjadi pada mereka.Salah seorang bocah kemudian berjalan mendekat sembari membawa seekor anak domba yang tak lagi bergerak, "Dan kini ternak kamipun mulai teranca
"Yeina, berhenti!""Jangan lari dariku, Yeina!""Kena kau!!""Jangan!""Hahahahahah!""Tidak, jangan..""TIDAAK!!"Perlahan Zein membuka mata, kemudian mengatur nafasnya pelan. Kepalanya penuh dengan potongan-potongan memori yang masih saja membesit meskipun ia telah terbangun dari tidur. Serpihan cerita hidup para hantu yang ia lenyapkan selalu memenuhi mimpinya, membagi kisah yang harusnya diketahui oleh setiap orang. Namun sayangnya kisah yang mengakhiri hidup mereka itu harus terkubur dan bahkan tak disadari oleh siapapun. Hilang dan tertelan bumi begitu saja. Zein mendengus pelan, kemudian bangkit dari posisinya. Kemeja putih yang ia kenakan nampak sedikit tersibak memperlihatkan dadanya yang bidang. Melihat langit yang masih menunjuk
Kumpulan warga berbondong-bondong keluar dari castil setelah berpamitan pada sang tuan. Alexan merubah air wajahnya ketika semua orang telah pergi, kemudian berjalan menghampiri Davine."Ah, aku tidak tau berapa lama lagi harus melakukan pekerjaan ini." Pria itu mendesah lelah, keningnya mengerut dibalik paras Zein yang masih menempel pada wajahnya. Davine tersenyum menanggapi."Kita harus memberikan tuan Zein kesempatan untuk beristirahat, Alexan," ia berujar. "Ia perlu waktu untuk memulihkan kekuatannya," Davine menekan bagian tengah kacamata yang ia kenakan, membenarkan posisinya.Alexan mengangguk sekilas, "ya, benar. Untungnya tidak ada masalah serius untuk saat ini."Kondisi Zein memang sedikit melemah setelah kembali dari hutan. Dua kali menghadapi demon dan mengeluarkan kekuatan besar untuk mengalahkan mereka da
"Toloooong!!"Jerit dan suara rintih kepanikan berpadu begitu keras di telinga. Puluhan orang berbondong-bondong membantu memadamkan api dan berusaha meraih kembali nyawa sekarat yang bergelimpangan di jalan raya. "Aaaaargh, tidak!!"Namun semuanya nampak mustahil. "Cepat padamkan kereta itu!"Api berpendar hingga membuat malam menjadi terang benderang."Selamatkan semua yang tersisa!"Namun ia dapat melihat satu-satunya cahaya hidup diantara kekelaman."Ginna, jangan biarkan dia hidup.."Membawanya kepada sebuah kisah yang selamanya akan terlukis dalam sejarah
Dua orang itu masih setia berdiri berhadapan. Berdikusi mengenai satu hal, sedangkan Harss tidak bergabung karena harus menangani Gyor yang mendadak tidak terkendali. "Sekarang apa?" Tanya Gerald. Edrich sendiri tidak tahu harus menjawab apa. Dia juga masih belum menemukan solusi. "Jika berhubungan dengan medis, kita mungkin bisa membawanya pada dokter spesialis jiwa, bukan?" Benar, memang benar. Saran Gerald tidak ada salahnya sama sekali. Tapi penyembuhannya akan memakan waktu lama. "Kalau ada solusi kedua yang lebih praktis, aku akan sangat menerimanya karena waktu kita tidaklah banyak, Gerald." Ucapan Edrich membuat pria itu merenung sekian menit. Berjalan kesana kemari sembari menggaruk rambutnya yang memang sudah acak-acakan. Pandangannya lalu jatuh pada Sin yang tengah berjongkok, memainkan bangkai kupu-kupu di atas tanah. "Oh," Pekikan Gerald itu menarik perhatian. "Bagaimana jika kau mencari jejak dimana hantu Kurt berada? K
"Jadi kau sudah menangkapnya?!" Harss berteriak di tengah kerumunan. Membuat orang-orang menyingkir keheranan, sedangkan Edrich mau tak mau harus berbohong agar keanehan yang ada pada Sin tidak membuat orang itu mencurigai mereka. "Ya, aku menemukannya di suatu tempat. Jadi sekarang ikutlah denganku, malam ini juga kita akan mengintrogasinya."Harss terlihat puas sekali. Berjalan mendahului Edrich dan meninggalkannya di belakang. Mengekor sembari melihat punggung itu sayu, Edrich sedikit ragu ingin menanyakan sesuatu di benaknya. Apalagi kalau bukan soal anak itu. "Tuan Harss.""Hm?" Pria itu menoleh sekejap, memperhatikan Edrich yang diam saja. "Ada apa Edrich?"Tapi nampaknya dia masih belum ingin bertanya. Urusan ini akan ia bahas nanti saja. "Tidak apa, mari bergegas." Mereka masih menghadapi kasus nyata sekarang. Jika membicarakannya saat ini, pikiran Harss akan terbagi dan mungkin mereka tidak akan fokus menyelesaikan masalah setelahnya."Sete
Gyor berhenti di sebuah bangku kecil. Menarik nafas dalam-dalam dan beristirahat di bawah pohon rindang setelah berlari dari orang-orang yang sebenarnya tidak mengejar. Dia takut mereka akan menanyainya mengenai Kurt ataupun mengenai kekasihnya. Dia memiliki janji dengan Kurt, dan sampai kapanpun dia tidak akan mengingkari janjinya."Hah.. Huufft.."Sin duduk diantara batang pohon. Memperhatikan Gyor dari atas kemudian turun dan duduk di sampingnya tanpa pria itu sadari. "Hei.""Huaaaargh!!" Gyor terlonjak, menjerit kaget dan seketika berdiri menjauh dari sana. "K-kau! Kau anak yang tadi!"Gyor menunjuk anak yang berjongkok di atas bangku itu dengan tangan gemetaran, sedangkan mata bulat Sin menatap tanpa ekspresi ke lawan bicaranya. "Sejak kapan kau mengikutiku, hah?!"Bocah itu perlahan berdiri. "Kenapa kau kabur, Gyorgie?" Matanya yang tidak berkedip itu membuat Gyor bergidik."N-namaku Gyor bukan Gyorgie! Kemana ayahmu
Sin menghela nafas lelah. Seharian dia memutari banyak desa untuk mencari pos-pos surat bersama pria besar bernama Gerald ini. Meskipun juga sedikit bersyukur setidaknya dia tidak disandingkan dengan pak tua Harss yang mengerikan. Omong-omong soal kantor pos, Edrich berencana untuk mencari informasi lebih lanjut mengenai orang bernama Kurt dan kekasihnya itu. Katanya jika dia bisa menemukan alamat Elena, dia bisa menginvestigasi lebih lanjut atau apalah itu - ke tempat dimana pelaku utama berada. Sebenarnya dia tidak mau ikut melakukan hal rumit seperti ini. Dengan sekali jentik jaripun, sebenarnya dia bisa mengetahui apapun jika sang tuan mau. Tapi seperti yang pernah ia katakan dulu, Edrich belum memberinya sesuatu paling penting untuk membayar dirinya. Apa itu? Tentu saja sebuah kontrak. Selain kontrak apalagi? Tubuhnya. Ya, Sin butuh tubuh pria itu. Namun bukan fisiknya yang payah itu, tapi inti dari tubuhnya. Dia punya kekuata
Harss melangkah ke arah rumah Edrich. Rekannya Gerald itu memberitahu kalau Edrich ingin membicarakan sesuatu ketika mereka bertemu di pasar. Sekarang dia bergegas kesana sembari berdoa semoga pemuda itu mendapat informasi yang membantu kasus mereka.Tok tok tokk!! "Edrich!"Tak lama setelah diketuk, pintu terbuka perlahan tanpa seorangpun yang terlihat. Harss melirik keheranan sebelum suara mencicit di bawah membuat pria tua itu menunduk. "Kau siapa ya?"Bocah tidak sopan. Tapi bukan itu yang membuat Harss terdiam. Namun wajah anak itu yang sekejap membuat bulu kuduknya meremang. Apakah itu dia? Tapi tidak mungkin karena anak itu sudah lama mati. Jadi Harss putuskan menatapnya cermat, memastikan apakah benar dia sosok yang pernah hidup itu atau hanya mirip saja."E-eh..." Sin beringsut menempel tembok, keringat dingin bercucuran saat pria berjenggot tebal memelototinya lekat-lekat sampai membuat jantungny
"Keith, Chloe, makan malam sudah siap!"Sosok perempuan yang sudah memiliki banyak uban di rambutnya itu berjalan ke luar dapur sembari mengelap tangan di celemek yang ia kenakan. Namun sampai beberapa kali panggilan, kedua putranya itu tidak juga muncul seperti biasanya. "Chloe? Kurt?" Tangannya yang penuh dengan piring saji terpaksa menaruh makanan itu kembali. Dahinya mulai mengkerut curiga saat tak mendengar suara apapun dari kedua kamar anak-anaknya.Akhirnya wanita itu berjalan ke kamar mereka satu persatu. Kakinya bergegas berjalan ke kamar Kurt, namun yang ia temukan malah anak itu tengah tertidur di atas nakasnya sendiri. Tangannya menggelantung bersama pena yang sudah terjatuh di lantai. Mungkin dia kelelahan karena belajar."Kurt.. Apa kau tertid-" Kelopak mata Rose tiba-tiba melebar. Seluruh tubuhnya bagai membeku di tempat kala menemukan remaja lelaki itu telah sekarat dengan busa yang mengalir di sela
Malam ini juga Edrich menyelinap ke pos tahanan. Bersama Harss yang sedang dalam jam jaga, dia mengintip diam-diam bagaimana Chloe tidur di dalam selnya."Kau yakin hari ini dia akan mengigau lagi?""Tiap malam dia begitu," Harss duduk di bangkunya, mempersilahkan Edrich memperhatikan pemuda itu langsung saja. "Lihat saja sendiri."Edrich kemudian berjongkok di depan sel. Melihat Chloe yang tertidur di dalam sana. Remaja itu terlihat kurus dan sangat kecil, wajahnya tenang dengan mata terpejam. Namun tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya ada di kepalanya. Mengigau sebetulnya hanya peristiwa biasa, tapi tidak akan terjadi jika tidak didasari oleh sesuatu. Sedangkan Rose bilang, putranya itu tidak memiliki kebiasaan tersebut."Ngg.." Beberapa menit berlalu hingga kemudian tubuh pemuda itu mulai bergerak di sela tidur. Edrich menyimak perubahan ekspresi wajah Chloe dengan saksama. Memegangi sel agar ia bisa dengan jelas mendengar gumamannya. Tapi yan
"Aku tidak mengerti denganmu." Sepanjang jalan Harss menggelengkan kepala. Keheranan dengan pria kurus yang berjalan di sampingnya. Sedangkan Edrich terus berjalan lurus tanpa menghiraukan polisi berbadan kekar itu. "Untuk apa kau membawa pulang abu itu?"Berisik sekali, Edrich tidak bisa tenang berpikir. "Tentu saja ini akan membantu kita mengungkap teka-teki selanjutnya, tuan Harss. Kau juga bingung kan kenapa Kurt menghilangkan surat-surat yang ia terima seakan takut bersalah?"Ya, benar. Harss memang turut penasaran dengan itu. Tapi kenapa harus abu? Namun biarlah, Edrich terlalu rumit untuk dimengerti. Biasanya dia akan bergerak sendiri lalu dengan mengejutkannya memberikan sebuah pemikiran aneh yang ntah mengapa bisa menjadi fakta mencengangkan.-0-Rumah kembali berada dalam keadaan sunyi. Gerald seperti pernah mengalami situasi seperti ini. Hal ya
"Tidak bisa." "Apa??" Edrich berjengit, Sin seakan menghiraukan perintahnya seperti angin lalu. Terus mengodek telinganya bagaikan suara Edrich hanya benalu. "Apa maksudmu tidak bisa?!" Sin kemudian berdiri bersedekap di hadapan pria itu. Meski badannya lebih besar, sepertinya Edrich merasa lebih berkuasa disini. "Bukankah aku tuanmu?!" Benarkan? "Kau belum sepenuhnya jadi tuanku, lagipula urusan manusia bukan urusanku." Pria berkuncir yang semula terbakar api amarah itu berubah menyipitkan mata. Menatap Sin lekat. "Apa maksudmu aku belum sepenuhnya jadi tuanmu?" Terlihat seperti dia ingin segera memanfaatkan kesempatan memerintahnya itu. "Dengar, tuan Edrich." Sin mulai memasang wajah serius. "Bagaimanapun juga aku ini seperti hewan buas yang baru saja masuk rumahmu. Apakah kau bisa langsung memegang dan mengelusku seperti anak kucing? Meskipun aku tidak akan menelanmu hidup-hidup, a