Home / Lain / Another Eye / Chap 04: The First Step

Share

Chap 04: The First Step

Author: Andrea
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

"Selamat malam tuan dan nyonya, jamuan makan malam bersama akan segera dimulai. Silahkan menuju balairung utama untuk acara selanjutnya."

Seruan pembawa acara membuat perhatian para bangsawan beralih. Mereka kemudian berjalan bersama menuju tempat jamuan makan malam. Dibalik ramainya tamu, Henry Grandes terlihat terburu-buru menaiki tangga. Kemudian berbelok memasuki salah satu ruangan yang ada. 

Disisi tembok, Martin menelisik pembicaraan Henry dari luar. Dirinya yang menyamarkan diri sebagai salah satu prajurit penjaga bebas memasuki gedung untuk memperlancar rencana sang tuan.

Di dalam ruangan, nampak tuan Henry dan dua orang prajurit tengah berbincang. Prajurit-prajurit itu terlihat tegang dan ketakutan ketika berbicara kepada tuan Henry. 

"T-tidak mungkin!" Henry berteriak, Martin semakin menajamkan pendengaran. "Aku sudah membasmi mereka waktu itu, dan kalianlah yang aku tugaskan. Bagaimana bisa mereka masih ada, dan bahkan muncul disini, hah?!"

Dua orang prajurit yang tengah dimarahi itu hanya bisa terdiam. Mereka kebingungan, termasuk Henry yang merasa ganjil dengan apa yang terjadi sekarang. 

"T-tapi mereka ada diluar, tuan. Anak-anak pengemis itu berkumpul diluar gerbang dan kini mulai mencoba masuk melalui pagar.." Jelas salah seorang prajurit. Wajah garangnya menciut dihadapan tuannya yang merasa begitu marah. 

Tuan Henry mendecih kesal. Tangannya menggaruk kepala sembari berjalan kesana kemari, berusaha berpikir keras. Sesaat kemudian ia terdiam, berhasil mendapatkan sebuah ide cemerlang. 

"Bunuh.." Ucapnya, membuat pandangan kedua prajurit itu beralih padanya. "Bunuh mereka semua. Dan singkirkan mereka dari sini!"

Para prajurit itu nampak terkejut, sebelum akhirnya tuan Henry benar-benar tersulut amarah karena bawahannya itu tak bergerak sama sekali dari tempatnya. 

"Cepat lakukan sekarang, atau kalianlah yang akan aku singkirkan!" Teriaknya. Kedua prajurit itu seketika bergegas keluar ruangan. 

Martin yang berjaga diluar pintu menunduk ketika mereka melewatinya. Mata merahnya menyala, sesaat kemudian melebur menjadi bayangan. 

"Biarkan kami masuk!"

"Buka!"

"Buka gerbangnya!!"

Teriakan-teriakan anak kecil terus bergema di telinga, dan benar-benar membuat dua prajurit itu kebingungan.

"Cepat pergi dari sini!" Usir mereka. Mereka terlihat sibuk menghadapi anak-anak kecil di depan gerbang. Merasa kewalahan, salah satu dari mereka meminta bantuan prajurit lain yang tengah berjaga.

"Kenapa kalian diam saja? Cepat bantu aku mengusir mereka!" Teriaknya. Namun prajurit lainnya malah nampak kebingungan. Mereka semua saling berpandangan, kemudian menatap rekan mereka yang bertingkah aneh sedari tadi.

"Cepatlah bantu aku mengusir anak-anak itu! Mereka akan mengganggu acara tuan bila tidak disingkirkan dari sini!" Celotehnya. Tapi lagi-lagi para rekan prajuritnya diam tak berkutik dan malah melihatnya dengan tampang heran, sedangkan anak-anak pengemis itu mulai bertindak lebih. Membuatnya semakin merasa panik.

"Aish! Kalian memang tidak bisa diandalkan!" Teriak prajurit itu akhirnya. Ia memilih pergi dan membantu temannya yang tengah berusaha mengusir anak-anak itu. Ia bersumpah akan melaporkan prajurit-prajurit disini kepada tuan Henry agar mereka segera dipecat karena tidak mau membantu mengatasi masalah ini.

"Apa yang dia maksud?" Ucap salah satu prajurit yang tengah berjaga didepan pintu kepada teman disampingnya. "Anak-anak pengemis?" Tanyanya lagi.

"Entahlah." Temannya menjawab sembari menatap dua prajurit tadi yang mulai menghilang ke dalam hutan. "Aku bahkan tidak melihat siapa-siapa.."

-0-

Ruangan lebar itu kini begitu berisik, para tamu ramai memperbincangkan sang tuan rumah yang masih belum muncul dalam acara.

Sedangkan disamping itu, tuan Henry begitu sibuk berjalan kesana kemari. Keningnya penuh dengan keringat menunggu prajurit-prajurit tadi kembali. Ia begitu cemas bila pertemuan ini hancur karena hadirnya para tikus yang akan mempermalukan harga dirinya sebagai pemimpin di wilayah Resalf.

Tidak ada yang boleh menjatuhkan posisinya. Semua kekayaan dan kenikmatan ini tidak akan pernah ia biarkan terlepas dari genggamannya, apalagi hanya karena sampah-sampah Resalf yang tidak berharga. Begitu berbahaya bila ada seekor tikus yang memasuki istananya, dia pasti akan malu ketika kegagalan dalam pemerintahannya terlihat oleh semua konglomerat yang ada disini. Dia sama sekali tidak mau hal itu terjadi.

"Tuan Henry."

Panggilan seseorang langsung membuat sang tuan menoleh. Senang mengira itu adalah prajurit yang sedang ia tunggu-tunggu, ternyata ia harus menelan kecewa ketika itu adalah prajurit lainnya.

"Ah, ya. Ada apa?" Tanya tuan Henry.

"Para tamu sudah menunggu, tuan. Jamuan makan malam akan dimulai sebentar lagi." Ujarnya.

"Oh baiklah, baik. Aku akan ke bawah sekarang juga."

"Dan tuan.."

Belum sempat berjalan keluar, prajurit itu kembali berucap. "Ada seseorang yang ingin menemui anda."

Dari belakang punggungnya, seorang bocah tiba-tiba melangkah ke hadapannya. Membuat tuan Henry terkejut seketika.

"Ke-kenapa ada pengemis kumuh disini?!" Teriakannya menggema mengisi ruangan. Anak yang ia teriaki tak bergeming sama sekali, dan malah menatapnya dengan pandangan tajam. Tiada rasa takut yang terlihat sedikitpun di dalam iris hazel itu.

"Apa-apaan tatapan itu?! Tidak sopan sama sekali, dasar manusia miskin!" Bentaknya. "Kau bahkan tidak pantas menginjakkan kaki di gedung ku yang megah ini. Atau kau terpesona karena rumahmu yang kumuh itu tidak bisa sedikitpun dibandingkan dengan kekayaanku, hah?" Pria itu tergelak tanpa berdosa.

Ucapan demi ucapan yang terlontar dari bibir tuan Henry semakin lama membuat sosok kecil dibelakang Martin itu bergetar marah. Tangannya terkepal erat dan gemetar hebat. Perlahan, kaki kecilnya mulai melangkah ke depan, tubuhnya seketika berubah dikelilingi aura hitam.

"Balaskan dendammu, Gretta.." Dan bisikan itu seketika membuat iris matanya berubah merah menyala.

"AAAAAAARGH!"

BRAK!

Sebuah debuman keras tiba-tiba mengangetkan seluruh manusia yang berada dalam acara. Para bangsawan mendadak panik dan spontan berdiri, keadaan menjadi semakin ramai dan berisik dari sebelumnya. Ketakutan membalut mereka dengan rasa penasaran teramat sangat. 

Mereka kemudian berjalan berduyun-duyun menuju keluar gedung dimana sumber suara berasal. Sesampainya di depan, mereka dikejutkan dengan pemandangan tuan Henry yang mengenaskan.

"Pergi!"

"Jauhkan pengemis ini dariku, pergi!!"

"Pergi kau dasar pengemis hina! Lepaskan aku!"

Pria itu terus menjerit tanpa henti, wajahnya yang berlumuran darah dengan kaca yang menempel di kulitnya makin membuat para bangsawan ketakutan sekaligus merasa jijik dengannya.

"Kalian!" Tiba-tiba pria gempal itu membentak para tamu yang berkumpul menyaksikannya. "Tolong bantu aku menyingkirkan pengemis ini!"

Tuan Henry terus menggeliat, berusaha melepaskan dekapan pengemis yang menempel di punggungnya. Lehernya bagaikan tercekik saat tangan dingin itu terkalung begitu erat menjepit nafasnya. Perihnya luka yang ia dapat ketika terjatuh dari lantai dua menambah penderitaan yang ia rasakan, namun semua orang hanya berdiri tanpa memberinya pertolongan.

"Bantu aku melepaskan pengemis ini, kumohon!" Rintihnya lagi. Tiada yang berani mendekatinya. Semua merasa ngeri ketika melihat pria itu menjerit-jerit dihadapan mereka, bahkan para prajurit hanya bisa menyaksikan sang tuan tanpa bisa meolong sedikitpun.

Akhirnya, salah seorang bangsawan maju mewakili mereka semua.

"Mohon maaf tuan Henry, kami sangat ingin membantu. Tapi kami bahkan tidak tau apa yang harus kami lakukan." Ucapnya. "Pengemis yang kau maksud itu.. tidak ada."

Henry Grandes terdiam. Wajahnya menyiratkan ngeri teramat dalam. Matanya tak mampu bergerak ketika hembusan dingin perlahan menyapu lehernya.

"Hihihi!" Dan sebuah kikikan terdengar seiring dengan munculnya sosok rupa mengerikan tepat di samping wajahnya. "Matilah kau.. Henry."

.

Related chapters

  • Another Eye   Chap 05: Level of Sight

    "Kejadian kemarin tampaknya membuat polisi kebingungan." Ucap seseorang yang tengah berdiri membelakanginya. "Kau lagi-lagi membuat pemerintah pusat kerepotan, tuan Zein.."Kasus yang terjadi malam lalu meninggalkan misteri besar yang menjadi teka-teki tak terpecahkan oleh pihak keamanan. Tidak ada yang bisa ditangkap dalam peristiwa itu. Pelaku pembunuhan dua orang prajurit di tengah hutanpun tidak pernah ditemukan. Mereka menaruh praduga bila kedua lelaki itu dimakan binatang buas, karena tubuh mereka bagai tercabik hingga sulit untuk dikenali.Dan Henry Grandes, malangnya laki-laki itu kini harus menjalani masa suram di dalam rumah sakit jiwa, setelah sebelumnya terbukti sebagai tersangka tindakan keji hilangnya nyawa anak-anak kaum pinggiran kota Resalf. Hal itu membuat sedikitnya para bangsawan yang menyaksikan sendiri kejadian janggal itu merasa trauma dan akhirnya sedikit demi sed

  • Another Eye   Chap 06: Beautifull Devil

    Barisan prajurit nampak berjajar, membentuk sebuah penjagaan yang ketat. Zein berdiri bersama para warga. Menyaksikan desa yang sebelumnya begitu subur berubah kering bagaikan gurun tandus. Berpetak-petak tanah dipenuhi tanaman busuk dan membuat udara dipenuhi bau tak sedap.Sedangkan para penduduk Yuilr hanya bisa meratapi tanaman-tanaman mereka, berkeluh kesah kepada sang tuan karena panennya gagal di musim ini."Kami tidak tau apa yang terjadi, tuan. Seluruh kebun kami mengering, bahkan hingga bunga yang kami tanam didepan rumahpun ikut layu. Desa Doinh yang berada disebelah kami juga mulai terdampak, tuan.." Ujar kepala desa. Wajah tuanya terlihat begitu sedih menjelaskan apa yang telah terjadi pada mereka.Salah seorang bocah kemudian berjalan mendekat sembari membawa seekor anak domba yang tak lagi bergerak, "Dan kini ternak kamipun mulai teranca

  • Another Eye   Chap 07: Soul holder

    "Yeina, berhenti!""Jangan lari dariku, Yeina!""Kena kau!!""Jangan!""Hahahahahah!""Tidak, jangan..""TIDAAK!!"Perlahan Zein membuka mata, kemudian mengatur nafasnya pelan. Kepalanya penuh dengan potongan-potongan memori yang masih saja membesit meskipun ia telah terbangun dari tidur. Serpihan cerita hidup para hantu yang ia lenyapkan selalu memenuhi mimpinya, membagi kisah yang harusnya diketahui oleh setiap orang. Namun sayangnya kisah yang mengakhiri hidup mereka itu harus terkubur dan bahkan tak disadari oleh siapapun. Hilang dan tertelan bumi begitu saja. Zein mendengus pelan, kemudian bangkit dari posisinya. Kemeja putih yang ia kenakan nampak sedikit tersibak memperlihatkan dadanya yang bidang. Melihat langit yang masih menunjuk

  • Another Eye   Chap 08: Attention

    Kumpulan warga berbondong-bondong keluar dari castil setelah berpamitan pada sang tuan. Alexan merubah air wajahnya ketika semua orang telah pergi, kemudian berjalan menghampiri Davine."Ah, aku tidak tau berapa lama lagi harus melakukan pekerjaan ini." Pria itu mendesah lelah, keningnya mengerut dibalik paras Zein yang masih menempel pada wajahnya. Davine tersenyum menanggapi."Kita harus memberikan tuan Zein kesempatan untuk beristirahat, Alexan," ia berujar. "Ia perlu waktu untuk memulihkan kekuatannya," Davine menekan bagian tengah kacamata yang ia kenakan, membenarkan posisinya.Alexan mengangguk sekilas, "ya, benar. Untungnya tidak ada masalah serius untuk saat ini."Kondisi Zein memang sedikit melemah setelah kembali dari hutan. Dua kali menghadapi demon dan mengeluarkan kekuatan besar untuk mengalahkan mereka da

  • Another Eye   Chap 09: Woods of Soul

    "Toloooong!!"Jerit dan suara rintih kepanikan berpadu begitu keras di telinga. Puluhan orang berbondong-bondong membantu memadamkan api dan berusaha meraih kembali nyawa sekarat yang bergelimpangan di jalan raya. "Aaaaargh, tidak!!"Namun semuanya nampak mustahil. "Cepat padamkan kereta itu!"Api berpendar hingga membuat malam menjadi terang benderang."Selamatkan semua yang tersisa!"Namun ia dapat melihat satu-satunya cahaya hidup diantara kekelaman."Ginna, jangan biarkan dia hidup.."Membawanya kepada sebuah kisah yang selamanya akan terlukis dalam sejarah

  • Another Eye   Chap 10: The Secret

    Gemerincing lonceng kecil disela pita yang menjadi hiasan pohon-pohon tertiup angin. Menambah kegembiraan suasana di sekitar Feraldino de Castel yang penuh dengan kumpulan undangan yang datang. Kereta kuda Zein yang berhenti di halaman istana dijamu dengan sambutan hangat dari para penghuni castil besar itu. Bangsawan-bangsawan lain juga nampak mendapatkan keramahan yang sama. Sebuah suasana yang meriah untuk membayar lelah setelah perjalanan mereka.Dipandu menuju peristirahatan yang telah dipersiapkan, sang tuan rumah merangkul bahu Zein dan membawanya ke dalam sebuah ruangan. Menemaninya bersama dengan obrolan."Mohon maaf bila aku membawa seseorang bersamaku, tuan Roland. Aku bertanggung jawab dalam menjaganya hingga harus membawanya kemanapun aku pergi." Ucap Zein, meminta izin akan hadirnya Vinz di antara mereka.Roland menggeleng pelan, "sebuah kegemb

  • Another Eye   Chap 11: Girl in Red Dress

    "Semua ini hanya tipu muslihat, tuan."Sosok lelaki itu berbicara. Menyampaikan sebuah fakta kepada manusia-manusia yang tengah berdiri bersama dirinya disana, "Roland tidaklah sebaik yang anda kira.."Setelah Derl memberikan sebuah kesaksian atas temuan mengejutkan yang membuat Vinz ketakutan hingga ia harus mengambil alih tubuhnya, Zein menuntut lebih banyak penjelasan kepada sosok hantu dihadapannya. Membuatnya menggenggam begitu banyak kenyataan yang luput oleh pandangan mata."Perayaan besar yang mengundang begitu banyak orang ini adalah salah satu cara Roland menjebak rakyat agar mau bekerja di bawah kakinya.""Ia akan memancing kami - para rakyat miskin, untuk bergabung di dalam bisnisnya dengan iming-iming bayaran dan kemakmuran. Menghadiahi keluarga kami dengan segepok emas, lalu memeras tenaga kami untuk beker

  • Another Eye   Chap 12: The Bloody Festival

    Zein melangkah menuju kerumunan. Ikut berbaur bersama para bangsawan dan melihat Roland berbincang diantara yang lainnya. Nampaknya Alexan memainkan perannya dengan sangat baik."Tuan Roland terlihat lebih bugar dari sebelumnya, ya.."Sebuah suara terdengar di dekat Zein, dan kemudian di susul dengan kehadiran seorang pemuda yang berdiri di sampingnya. Zein tersenyum ke arah pemuda tersebut, memperhatikan bahwa lelaki itu sepertinya bukan dari golongan bangsawan.Tangannya terlihat menggenggam gelas kecil berisi anggur merah, rambutnya yang diikat kecil serta setelan denim sederhana yang ia kenakan menunjukkan ia mungkin hanya perwakilan dari negara bagian Terrant."Perkenalkan, tuan. Namaku Edrich Frankrov. Senang bisa bertemu anda disini, tuan Zein Elmardillo." Ucapnya, sembari mengulurkan tangan.

Latest chapter

  • Another Eye   Chap 63: Sudden Contract

    Dua orang itu masih setia berdiri berhadapan. Berdikusi mengenai satu hal, sedangkan Harss tidak bergabung karena harus menangani Gyor yang mendadak tidak terkendali. "Sekarang apa?" Tanya Gerald. Edrich sendiri tidak tahu harus menjawab apa. Dia juga masih belum menemukan solusi. "Jika berhubungan dengan medis, kita mungkin bisa membawanya pada dokter spesialis jiwa, bukan?" Benar, memang benar. Saran Gerald tidak ada salahnya sama sekali. Tapi penyembuhannya akan memakan waktu lama. "Kalau ada solusi kedua yang lebih praktis, aku akan sangat menerimanya karena waktu kita tidaklah banyak, Gerald." Ucapan Edrich membuat pria itu merenung sekian menit. Berjalan kesana kemari sembari menggaruk rambutnya yang memang sudah acak-acakan. Pandangannya lalu jatuh pada Sin yang tengah berjongkok, memainkan bangkai kupu-kupu di atas tanah. "Oh," Pekikan Gerald itu menarik perhatian. "Bagaimana jika kau mencari jejak dimana hantu Kurt berada? K

  • Another Eye   Chap 62: Ghost or Imaginary?

    "Jadi kau sudah menangkapnya?!" Harss berteriak di tengah kerumunan. Membuat orang-orang menyingkir keheranan, sedangkan Edrich mau tak mau harus berbohong agar keanehan yang ada pada Sin tidak membuat orang itu mencurigai mereka. "Ya, aku menemukannya di suatu tempat. Jadi sekarang ikutlah denganku, malam ini juga kita akan mengintrogasinya."Harss terlihat puas sekali. Berjalan mendahului Edrich dan meninggalkannya di belakang. Mengekor sembari melihat punggung itu sayu, Edrich sedikit ragu ingin menanyakan sesuatu di benaknya. Apalagi kalau bukan soal anak itu. "Tuan Harss.""Hm?" Pria itu menoleh sekejap, memperhatikan Edrich yang diam saja. "Ada apa Edrich?"Tapi nampaknya dia masih belum ingin bertanya. Urusan ini akan ia bahas nanti saja. "Tidak apa, mari bergegas." Mereka masih menghadapi kasus nyata sekarang. Jika membicarakannya saat ini, pikiran Harss akan terbagi dan mungkin mereka tidak akan fokus menyelesaikan masalah setelahnya."Sete

  • Another Eye   Chap 61: Run Away

    Gyor berhenti di sebuah bangku kecil. Menarik nafas dalam-dalam dan beristirahat di bawah pohon rindang setelah berlari dari orang-orang yang sebenarnya tidak mengejar. Dia takut mereka akan menanyainya mengenai Kurt ataupun mengenai kekasihnya. Dia memiliki janji dengan Kurt, dan sampai kapanpun dia tidak akan mengingkari janjinya."Hah.. Huufft.."Sin duduk diantara batang pohon. Memperhatikan Gyor dari atas kemudian turun dan duduk di sampingnya tanpa pria itu sadari. "Hei.""Huaaaargh!!" Gyor terlonjak, menjerit kaget dan seketika berdiri menjauh dari sana. "K-kau! Kau anak yang tadi!"Gyor menunjuk anak yang berjongkok di atas bangku itu dengan tangan gemetaran, sedangkan mata bulat Sin menatap tanpa ekspresi ke lawan bicaranya. "Sejak kapan kau mengikutiku, hah?!"Bocah itu perlahan berdiri. "Kenapa kau kabur, Gyorgie?" Matanya yang tidak berkedip itu membuat Gyor bergidik."N-namaku Gyor bukan Gyorgie! Kemana ayahmu

  • Another Eye   Chap 60: Tricked

    Sin menghela nafas lelah. Seharian dia memutari banyak desa untuk mencari pos-pos surat bersama pria besar bernama Gerald ini. Meskipun juga sedikit bersyukur setidaknya dia tidak disandingkan dengan pak tua Harss yang mengerikan. Omong-omong soal kantor pos, Edrich berencana untuk mencari informasi lebih lanjut mengenai orang bernama Kurt dan kekasihnya itu. Katanya jika dia bisa menemukan alamat Elena, dia bisa menginvestigasi lebih lanjut atau apalah itu - ke tempat dimana pelaku utama berada. Sebenarnya dia tidak mau ikut melakukan hal rumit seperti ini. Dengan sekali jentik jaripun, sebenarnya dia bisa mengetahui apapun jika sang tuan mau. Tapi seperti yang pernah ia katakan dulu, Edrich belum memberinya sesuatu paling penting untuk membayar dirinya. Apa itu? Tentu saja sebuah kontrak. Selain kontrak apalagi? Tubuhnya. Ya, Sin butuh tubuh pria itu. Namun bukan fisiknya yang payah itu, tapi inti dari tubuhnya. Dia punya kekuata

  • Another Eye   Chap 59: Paper Cut

    Harss melangkah ke arah rumah Edrich. Rekannya Gerald itu memberitahu kalau Edrich ingin membicarakan sesuatu ketika mereka bertemu di pasar. Sekarang dia bergegas kesana sembari berdoa semoga pemuda itu mendapat informasi yang membantu kasus mereka.Tok tok tokk!! "Edrich!"Tak lama setelah diketuk, pintu terbuka perlahan tanpa seorangpun yang terlihat. Harss melirik keheranan sebelum suara mencicit di bawah membuat pria tua itu menunduk. "Kau siapa ya?"Bocah tidak sopan. Tapi bukan itu yang membuat Harss terdiam. Namun wajah anak itu yang sekejap membuat bulu kuduknya meremang. Apakah itu dia? Tapi tidak mungkin karena anak itu sudah lama mati. Jadi Harss putuskan menatapnya cermat, memastikan apakah benar dia sosok yang pernah hidup itu atau hanya mirip saja."E-eh..." Sin beringsut menempel tembok, keringat dingin bercucuran saat pria berjenggot tebal memelototinya lekat-lekat sampai membuat jantungny

  • Another Eye   Chap 58: Impossible Science

    "Keith, Chloe, makan malam sudah siap!"Sosok perempuan yang sudah memiliki banyak uban di rambutnya itu berjalan ke luar dapur sembari mengelap tangan di celemek yang ia kenakan. Namun sampai beberapa kali panggilan, kedua putranya itu tidak juga muncul seperti biasanya. "Chloe? Kurt?" Tangannya yang penuh dengan piring saji terpaksa menaruh makanan itu kembali. Dahinya mulai mengkerut curiga saat tak mendengar suara apapun dari kedua kamar anak-anaknya.Akhirnya wanita itu berjalan ke kamar mereka satu persatu. Kakinya bergegas berjalan ke kamar Kurt, namun yang ia temukan malah anak itu tengah tertidur di atas nakasnya sendiri. Tangannya menggelantung bersama pena yang sudah terjatuh di lantai. Mungkin dia kelelahan karena belajar."Kurt.. Apa kau tertid-" Kelopak mata Rose tiba-tiba melebar. Seluruh tubuhnya bagai membeku di tempat kala menemukan remaja lelaki itu telah sekarat dengan busa yang mengalir di sela

  • Another Eye   Chap 57: Long Night

    Malam ini juga Edrich menyelinap ke pos tahanan. Bersama Harss yang sedang dalam jam jaga, dia mengintip diam-diam bagaimana Chloe tidur di dalam selnya."Kau yakin hari ini dia akan mengigau lagi?""Tiap malam dia begitu," Harss duduk di bangkunya, mempersilahkan Edrich memperhatikan pemuda itu langsung saja. "Lihat saja sendiri."Edrich kemudian berjongkok di depan sel. Melihat Chloe yang tertidur di dalam sana. Remaja itu terlihat kurus dan sangat kecil, wajahnya tenang dengan mata terpejam. Namun tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya ada di kepalanya. Mengigau sebetulnya hanya peristiwa biasa, tapi tidak akan terjadi jika tidak didasari oleh sesuatu. Sedangkan Rose bilang, putranya itu tidak memiliki kebiasaan tersebut."Ngg.." Beberapa menit berlalu hingga kemudian tubuh pemuda itu mulai bergerak di sela tidur. Edrich menyimak perubahan ekspresi wajah Chloe dengan saksama. Memegangi sel agar ia bisa dengan jelas mendengar gumamannya. Tapi yan

  • Another Eye   Chap 56: A Little Boy

    "Aku tidak mengerti denganmu." Sepanjang jalan Harss menggelengkan kepala. Keheranan dengan pria kurus yang berjalan di sampingnya. Sedangkan Edrich terus berjalan lurus tanpa menghiraukan polisi berbadan kekar itu. "Untuk apa kau membawa pulang abu itu?"Berisik sekali, Edrich tidak bisa tenang berpikir. "Tentu saja ini akan membantu kita mengungkap teka-teki selanjutnya, tuan Harss. Kau juga bingung kan kenapa Kurt menghilangkan surat-surat yang ia terima seakan takut bersalah?"Ya, benar. Harss memang turut penasaran dengan itu. Tapi kenapa harus abu? Namun biarlah, Edrich terlalu rumit untuk dimengerti. Biasanya dia akan bergerak sendiri lalu dengan mengejutkannya memberikan sebuah pemikiran aneh yang ntah mengapa bisa menjadi fakta mencengangkan.-0-Rumah kembali berada dalam keadaan sunyi. Gerald seperti pernah mengalami situasi seperti ini. Hal ya

  • Another Eye   Chap 55: Chandelier

    "Tidak bisa." "Apa??" Edrich berjengit, Sin seakan menghiraukan perintahnya seperti angin lalu. Terus mengodek telinganya bagaikan suara Edrich hanya benalu. "Apa maksudmu tidak bisa?!" Sin kemudian berdiri bersedekap di hadapan pria itu. Meski badannya lebih besar, sepertinya Edrich merasa lebih berkuasa disini. "Bukankah aku tuanmu?!" Benarkan? "Kau belum sepenuhnya jadi tuanku, lagipula urusan manusia bukan urusanku." Pria berkuncir yang semula terbakar api amarah itu berubah menyipitkan mata. Menatap Sin lekat. "Apa maksudmu aku belum sepenuhnya jadi tuanmu?" Terlihat seperti dia ingin segera memanfaatkan kesempatan memerintahnya itu. "Dengar, tuan Edrich." Sin mulai memasang wajah serius. "Bagaimanapun juga aku ini seperti hewan buas yang baru saja masuk rumahmu. Apakah kau bisa langsung memegang dan mengelusku seperti anak kucing? Meskipun aku tidak akan menelanmu hidup-hidup, a

DMCA.com Protection Status