Serupa bagaimana takdir yang tidak dapat ditebak akan pergi ke mana, aku juga tidak bisa menebak Davin. Ke mana langkah yang akan dia ambil, apa tindakan selanjutnya, maupun apa isi pikiran lelaki populer satu itu. Aku tidak pernah bisa tahu maupun menebak hal begitu karena aku bukan seorang cenayang, lho.
Sejujurnya, kupikir perkataan Davin kapan lalu hanyalah sebuah senda gurau belaka. Namun, aku tidak pernah menyangka bahwa dia akan benar-benar datang kembali kepadaku.
Aku jadi bertanya-tanya; mengapa aku? Lihatlah bagaimana kami sangat kontras dan berkontradiksi. Sudah seperti dua kutub magnet yang tidak seharusnya saling menarik. Davin kutub positif, aku kutub negatif. Lantas, mengapa kutub positif sepertinya berusaha menarikku?
“Hai, Nadia, sekarang sudah mau kasih nomor WA-nya belum?”
Lihat, ‘kan? Aku masih tidak mafhum. Sejak di hari awal Davin mengajakku berkenalan, dia sudah datang mendekat sebanyak dua puluh kali, hanya untuk meminta nomor WA. Berkali-kali pula aku menolaknya. Tidak kusangka lelaki satu itu sangat pantang mundur untuk meminta nomor, bahkan di jam istirahat, saat kantin sedang ramai seperti sekarang.
Tidakkah Davin sadar bahwa dia adalah pusat atensi semesta? Ke mana pun dia berjalan, akan selalu ada atensi yang menyertai. Jika boleh berkata jujur, aku agak terganggu dengan hal-hal seperti ini. Musabab aku hanyalah kayu lapuk yang tidak pernah mendapat atensi, tetapi berada di dekat Davin membuatku langsung dihunjam seribu atensi.
Atensi penuh dengki, lebih tepatnya.
“Belum. Lagian, kenapa kamu kenceng banget mau minta nomor?” tanyaku, disisipi tatapan menyelidik penuh kecurigaan. Pun, dalam minda, ada sejuta probabilitas bececeran atas alasan Davin dengan tanpa menyerahnya mencoba meminta nomorku.
Maka, tanpa ada sangsi dalam hati, aku mengimbuhkan, “OOOOHHHH! Kamu mau pakai nomorku buat pinjaman ojol, ‘kan?”
Oh, hei, di dunia ini―terlebih era sekarang―kita tidak sepatutnya dengan mudah percaya pada manusia. Bagiku, dunia ini adalah tempat permainan dan kita semua pemainnya. Sekali kepercayaan dengan mudah diberikan, selamat tinggal sudah pada kehidupan.
“Sembarangan,” kata Davin, yang kemudian tergelak pasca merungu tuduhan dariku.
“Terus buat apa? Pajangan di antara koleksi kontak aja gitu?”
“Salah. Tebak, dong?”
Lho, malah mengajak bermain tebak-tebakan.
“Hm … untuk dijual biar dapet chat ajakan judi online?”
Lagi-lagi Davin tertawa sehingga seluruh entitas manusia di kantin kembali melihat ke arah kami dengan tatapan penuh kedengkian. Aku bisa mengetahuinya karena setelah melihat kami, mereka akan langsung saling berbisik bagai membicarkan topik panas yang patut untuk dijadikan bahan julid.
Ah, Davin ini benar-benar tidak peka sekitar atau tidak peduli, sih?
“Pikiran kamu itu isinya hal-hal kriminal, ya?” tanya Davin, yang lantas menopang dagu dengan salah satu tangan dan menatapku tanpa henti, pun beri tambahan seringai pada rupa, “Nyerah nggak?”
Dasar sialan. Bilang saja memang ingin aku menyerah!
“Oke, nyerah. Untuk apa emang nomorku?”
Angguk kepala pelan diagihkan oleh Davin sebagai respons pertama. “Bagus kalau nyerah,” katanya, masih dengan intonasi santai, “Alasan saya sederhana. Saya hanya ingin lebih dekat dengan kamu dan … mengajakmu tenggelam dalam euforia karena cinta.”
Sungguh, aku sangat berterima kasih kepada diri sendiri karena sedang tidak mengunyah santapan mie ayam di hadapan, tidak jua sedang menyeruput likuid jus alpukat pada gelas di samping mangkok. Jika aku sedang melakukan salah satu di antaranya, barangkali sekarang nyawaku sudah pergi, menyusul para arwah pahlawan veteran di alam lain.
“Kamu ini hobinya ngelantur, ya? Jam istirahat mau selesai, mending kamu makan baksomu.”
“Kamu nggak mau suapin saya?”
Kalian tahu tidak? Sekarang aku sedang berpikir, taraf kegilaan Davin itu sampai di titik mana? Pun, aku juga berpikir, apakah label lelaki kulkas yang melekat di diri Davin hanyalah bualan belaka? Sejak awal dia mengajak berkenalan, aku sama sekali tidak melihat sisi dingin seorang Davin tuh.
“Mau aku suapin pakai sekop punya Pak Samsul tukang kebun?”
“Boleh, kalau emang kamu yang suapin.”
“Jangan kayak orang sinting. Cepet makan atau kuusir nih? Aku mau makan dengan tenang.”
“Nadia jangan marah-marah. Nanti kalau semakin gemas bisa bahaya.”
Lama-lama aku bisa gila kalau meladeni Davin. Maka dari itu, aku hanya bisa menghela napas dan menyelisik keadaan sekitar; harap-harap bisa menemukan teman Davin atau siapa pun yang bisa membawa lelaki aneh ini pergi.
“Kamu cari siapa, Nadia? Jangan cari yang lain, kalau saya di depan kamu, dong.” Bocah satu ini ... perlu banget bertanya dan berbicara begitu? Yang benar saja!
“Cari temen kamu yang bisa bawa kamu pergi dari sini. Beneran, deh, kamu sebenernya mau ngapain duduk sama aku?”
“Dibilang, saya mau dekat sama kamu. Saya, ‘kan, mau usaha sampai dapat nomor WA-mu, terus dekat sama kamu.” Ternyata, Davin memang orang gila.
Aku kalah. Tidak ada lagi kata yang mampu tervokal keluar melalui bilah bibir. Alih-alih melanjutkan perdebatan dengan lelaki agak sinting ini, aku memilih untuk segera beranjak pergi. Lagi pula, mie ayam yang di mangkokku sudah habis. Namun, sialnya, Davin dengan reflek menggenggam tanganku agar tubuh si kayu lapuk ini tidak beranjak pergi.
“Nadia, tunggu sebentar,” katanya, lalu mengeluarkan selembar kertas putih kosong tanpa noda, “Saya mau menebak sesuatu soal kamu. Jam pelajaran ke-lima setelah ini, kamu bakalan ke kelas saya. Kalau beneran terjadi, kamu harus tulis nomormu di kertas ini. Gimana?”
Coba, apa lagi rencananya sekarang? Tolong, mengganggu di jam istirahat saja sudah cukup!
“Mau belajar jadi peramal kamu? Ya udah, terserah aja. Paling juga kamu ngarang.”
… Begitu pikirku. Namun, ternyata aku salah. Davin tidak mengarang, pun ucapannya justru menjadi kenyataan.
Tepat saat jam istirahat selesai, seorang guru matematika masuk ke kelas. Di detik itu juga, guru matematika yang diketahui bernama Bu Dini langsung menyuruhku untuk mengambil tas beliau di kelas Davin, XII IPA-3. Aku tidak bisa mengagih respons apa pun, selain hanya tersenyum dengan masam.
Si Davin sialan itu ternyata memang sengaja. Dia sudah tahu dari awal bahwa alurnya akan menjadi seperti ini. Tidak, dia sengaja menjebakku. Lihat saja ekspresinya sekarang. Tepat saat aku menginjakkan kaki di dalam ruang kelas XII IPA-3. Davin memandangku tanpa berkedip, pun tak lupa bubuhi senyum penuh kemenangan.
“Nadia,” panggil Davin mendadak, “Kamu kalah. Waktunya kasih nomormu.”
Oh, Tuhan, lihatlah bagaimana senyum liciknya itu seolah mendeklarasikan kemenangan.
Ya sudahlah. Nasi sudah menjadi bubur. Aku memang salah karena sudah terjebak permainan buatan Davin. Hasilnya … aku kalah. Maka, penuh dengan keterpaksaan, aku segera memberinya nomor WA yang juga menjadi nomor ponselku.
***
Hidupku sangat berubah ketika Davin memilih mendekat, bahkan berniat untuk bergabung. Biasanya, aku selalu sendiri di setiap waktu. Bahkan di hari Sabtu, saat beberapa individu saling berkencan, aku justru berdiam di rumah untuk menonton.Sayangnya, kehidupan tenangku di hari Sabtu harus berakhir karena Davin secara tiba-tiba muncul di depan rumah sambil berucap kepada ibuku, “Tante, apa saya boleh mengajak Nadia berjalan-jalan?”“Memangnya ingin ke mana, Nak Davin?” Ibuku menyahuti.“Cuma mau berkeliling Kota Jakarta dan kalau Nadia ingin ke mana, saya bersedia menemani, Tante.”Oh, hei, tunggu. Tidak adakah yang berniat bertanya soal pendapatku? Sebab, seseorang yang akan diajak nantinya adalah AKU, lho. AKU.“Vin, ngapain sih kok tiba-tiba ngajak jalan?” Kesal, aku langsung bertanya tanpa basa-basi.“Ng
Menurutku, beberapa orang di dunia ini sangatlah tidak penting dan tidak punya pekerjaan. Sebab, mereka saling berlomba untuk menjadi orang nomor satu saat ada gossip tersebar bak lonceng yang berdenting.Untuk kali ini, aku adalah korbannya.Sejak aku tiba di sekolah ini, pemandangan yang kulihat adalah siswa-siswi saling berbisik sambil melihat ke arahku. Mereka bergiliran melirikku seolah aku ini binatang menjijikkan yang pantas untuk mereka hina dalam diam.“Kalian tau nggak, sih, Nadia itu ternyata cewek penggoda banget,” ucap salah seorang cewek yang mengomando obrolan tentangku.“Kenapa gitu?”“Iya! Soalnya dia genit dan godain Davin melulu. Nggak nyangka ternyata dia murahan, ya.” Oh, hei, sejak kapan kesimpulan itu kalian berikan kepadaku? Sejak kapan pula, aku menggoda Davin? Justru dia yang terus-menerus datang kepadaku! 
Sudah TIGA HARI lamanya, aku dan Davin tidak saling bertegur sapa. Tidak juga saling bertukar obrolan melalui sosial media. Alasannya? Aku mengacuhkan dia! Bahkan, semua kontak Davin telah aku blokir. Aku sudah benar-benar tidak peduli. Mendengar namanya pun, aku tidak sudi.“Nadia, Nadia, kamu nggak mau ambil tindakan ke mereka yang masih ngomongin kamu kah? Mereka sudah keterlaluan, lho.” Indira, si kawan sebangku, baru saja berbisik; atau sebenarnya mencoba memengaruhi.Yah, para kampret itu masih membicarakanku soal menjadi bahan taruhan Davin and the gang. Kalau boleh berkata jujur, aku tidak terlalu peduli tentang mereka yang membicarakanku. Aku hanya kecewa terhadap Davin karena ternyata dia tidak sedewasa itu.“Ah, enggak mau. Biarin aja. Nanti juga capek sendiri,” jawabku, mencoba acuh tak acuh pada sekitar.“Kamu seriusan mau diem aja? Nggak sakit hati memangny
“Menurut kamu, apa makna menjadi manusia?” Margaret tiba-tiba saja melempar sebuah pertanyaan serius kepadaku. Aku mengernyit sembari menatap Margaret dengan penuh selidik. “Kamu istirahat harus banget bahas yang berat?” tanyaku, langsung menunjukkan sikap tidak terima ketika jadwal santai di jam istirahat begini diganggu. “Jawab dulu.” Kalau sudah begini, aku paham betul. Mau tidak mau, Margaret harus kujawab. “Jadi manusia … itu berarti kita akan menderita,” kataku, lantas mengetuk meja di hadapan beberapa kali. “Hidup di dunia itu … menyedihkan, ya?” Bagiku, hal paling menyebalkan di dunia ini adalah sendu dan pilu. Namun, ada satu hal lain yang membuat aku ingin menghentikan waktu agar tidak lagi berjalan adalah ketika harmoni dalam kehidupan telah hilang. Barangkali semesta sering tertawa di atas lara yang kuderita. Barangkali pula, burung-burung tengah bernyanyi r