Hidupku sangat berubah ketika Davin memilih mendekat, bahkan berniat untuk bergabung. Biasanya, aku selalu sendiri di setiap waktu. Bahkan di hari Sabtu, saat beberapa individu saling berkencan, aku justru berdiam di rumah untuk menonton.
Sayangnya, kehidupan tenangku di hari Sabtu harus berakhir karena Davin secara tiba-tiba muncul di depan rumah sambil berucap kepada ibuku, “Tante, apa saya boleh mengajak Nadia berjalan-jalan?”
“Memangnya ingin ke mana, Nak Davin?” Ibuku menyahuti.
“Cuma mau berkeliling Kota Jakarta dan kalau Nadia ingin ke mana, saya bersedia menemani, Tante.”
Oh, hei, tunggu. Tidak adakah yang berniat bertanya soal pendapatku? Sebab, seseorang yang akan diajak nantinya adalah AKU, lho. AKU.
“Vin, ngapain sih kok tiba-tiba ngajak jalan?” Kesal, aku langsung bertanya tanpa basa-basi.
“Nggak ngapa-ngapain. Pengen jalan-jalan aja sama kamu.”
“Ya sudah, teteh kalau mau jalan, mangga atuh,” kata ibu, tiba-tiba menyahuti. Sejujurnya, bukan persoal izin dari ibu yang aku permasalahkan, tetapi … apakah aku mau diajak jalan-jalan bersama Davin atau tidak, ihwal ini sama sekali tidak digubris.
Menyebalkan.
“Mau?” tanya Davin, bagai menuntut sebuah konfirmasi dariku.
“Ya, oke. Awas kalau nanti membosankan, ya.”
Barangkali memang aku yang selalu meremehkan Davin sehingga aku selalu bertemu dengan kekalahan ketika berjumpa dengannya. Dari awal hingga sekarang, dia tidak pernah menawarkan sebuah kata; membosankan. Justru, setiap perlakuannya selalu mengejutkan.
Saat aku mendengar cerita dari orang-orang yang berkata bahwa menaiki sepeda berdua dengan kekasih mereka adalah hal paling menyenangkan, aku tidak bisa memahaminya. Namun, untuk saat ini, meski Davin bukanlah kekasihku, setidaknya aku bisa memahami cerita orang-orang.
Kota Jakarta memang indah, meski kepadatannya tiada dua. Bagaimana angin sepoi-sepoi menyapa wajahku di saat Davin melajukan motor, bagaimana Davin sesekali dengan sengaja mengerem mendadak, tiba-tiba buatku, semua itu terasa menyenangkan.
“Vin, udah berapa cewek yang kamu bonceng di motor ini?” tanyaku, sedikit menggoda Davin.
“Berapa, ya … saya pikir dulu,” katanya, sambil berpura-pura berpikir. “Ada tiga, termasuk kamu.”
“Wah, kamu diam-diam playboy, ya.”
“Enak aja. Tiga orang itu ibuku, adikku, dan nenekku. Eh, empat jadinya kalau sama kamu,” jelas Davin, lalu dibubuhi sebuah tawa pelan.
“HAH? Nenek kamu? Nggak jatuh tuh?”
“Jatuh dong, pas saya bonceng sekali pula, terus meninggal. Hehehe.”
Di saat itu, aku sungguh tidak mengerti harus menanggapi bagaimana. Jika kutanggapi jenaka, aku takut akan menjadi tidak sopan dan justru membuat Davin tersinggung. Sebaliknya, jika kutanggapi serius, aku takut suasana kami akan menjadi canggung.
“Berarti kamu harus hati-hati bawa motornya biar aku nggak jatuh!” responsku, pada akhirnya agak bercanda sembari mendaratkan tepukan pada salah satu pundak Davin.
“Dari awal mendekati kamu pun, saya sudah berhati-hati. Apa lagi, kalau sekarang ada di boncengan saya.”
Kadang kala, aku menganggap Davin sebagai orang aneh yang tiba-tiba meminta izin mendekat, tanpa tahu apa maksudnya. Namun, saat ini, aku menganggap Davin adalah salah satu orang paling manis di muka bumi. Setelah mendiang ayahku.
――
“Kamu mau cilor juga nggak, Nadia?” Tanpa ada yang meminta, Davin tiba-tiba memberi penawaran kepadaku. Agaknya kami merasa lelah usai berputar-putar keliling Jakarta hingga memutuskan untuk berhenti sejenak di tukang cilor pinggir jalan. Sederhana, tetapi aku menyukainya.
Menyukai cilornya, bukan Davin.
“Aku mau cilornya dua puluh ribu!” seruku, seiring melangkah penuh antusias mendekati Davin yang tengah memesan cilor kepada si abang penjual.
“Sesuka itu sama cilor?” Davin ingin sebuah konfirmasi pasti dari pertanyaan itu. Dan, aku pun sudah tahu.
“Iya! Banget!”
Setelahnya, Davin tidak memberi tanggapan apa pun. Hanya senyum tipis yang bisa dia tunjukkan kepadaku. Sial. Kuakui, memang Davin itu memiliki rupa yang sangat rupawan. Siapa pun akan terpanah dan memberikan pujian kepadanya. Aku tahu itu. AKU TAHU. Namun, entah mengapa, senyumnya barusan justru membuatku tersipu malu.
Davin sinting.
Aku masih tidak mengerti bagaimana Davin bisa menghadirkan suasana yang jauh dari kata membosankan seperti sekarang. Padahal, kami hanya sekadar berkeliling kota dan memakan cilor bersama di atas sepeda motor, tetapi rasanya sudah serupa orang yang habis liburan ke luar negeri!
Di hari itu, aku seolah tahu, membuka pintu hati yang baru untuk orang lain ternyata tidak semenakutkan seperti di bayangan. Alih-alih merasa takut atau sebal karena waktu liburku justru diambil Davin, aku malah merasa senang bukan main.
Perjalanan kami memang sangatlah sederhana. Hanya ditemani sepeda motor matic dan jajanan pinggir jalan, tetapi aku sudah cukup merasakan euforia dari apa yang disebut orang lain ini sebuah kesederhanaan.
“Mau pulang nggak? Kayaknya sudah mulai sore ini. Saya janji ke ibu kamu, balikin kamunya enggak sampai Maghrib,” tawarnya, lalu melihat ke angkasa; di mana memang langit sudah mulai berwarna abu-abu seolah mengisyaratkan kepada umat manusia bahwa mentari akan beristirahat sebentar lagi.
“Emangnya aku barang, segala dibalikin?” Davin tertawa, aku juga. Padahal, tidak ada sesuatu yang lucu. Barulah sekon selanjutnya, aku menambahkan, “Ya udah, yuk pulang.”
Bagiku, Davin juga orang yang menepati omongan. Dia berjanji kepada ibu akan mengantarkanku ke rumah sebelum adzan maghrib berkumandang. Lagi-lagi aku salah sangka terhadap Davin. Tadinya kupikir dia akan mengajakku jalan-jalan ke tempat lain dengan modus ingin pulang. Namun, kenyataan yang ada, dia justru benar-benar membawaku kembali ke rumah.
Kehadiran Davin sudah kuanggap sebagai fenomena aneh yang fana. Pikirannya yang mungkin sudah menyimpan sejuta hal misterius, tetapi tiada mampu kubaca, begitulah aku menyebut dia anomali.
Terkadang aku ingin memintanya mengajarkanku bagaimana cara membaca pikiran seorang Davin. Sebab, bagiku, banyak sekali bongkahan teka-teki serupa puzzle yang masih belum terkumpul sehingga aku tidak bisa mengetahui bagaimana Davin sesungguhnya. Aku juga tidak bisa mengetahui apa tujuan dia mendekatiku.
Dia adalah misteri dengan kebebasan. Aku yang tidak mengerti dalam kesederhanaan.
“Nggak pulang, Vin?” tanyaku, menyela konversasi di antara ibu dan Davin.
“Hush! Teteh, nggak baik ngusir orang kayak gitu.”
“Lho, aku nggak ngusir, Bu. Cuma ini ‘kan sudah maghrib, barangkali dia mau sholat di rumah.”
“Hahaha.” Hobi Davin yang sekarang kusadari adalah; tertawa. Lihat, baru saja dia secara tiba-tiba tertawa tanpa ada hal yang menurutku bisa untuk ditertawakan. “Tante, Nadianya menggemaskan gini nurun siapa, ya? Lucu banget cara dia mengingatkan sholat.”
Coba beritahu kepadaku, apakah ada obat penangkal pembual? Jika ada, beritahu di mana aku bisa membeli dan mendapatkannya. Nanti akan kuberikan obat itu untuk Davin agar dia berhenti melempar bualan tidak bertujuan.
Aku hanya bisa memutar kedua bola mata lantaran terlalu malas ‘tuk memberikan tanggapan. Tuan Davin, bagimu aku mungkin hanya kayu lapuk yang bisa dengan mudah dibujuk, tetapi layaknya kayu lapuk, aku benar-benar tidak bisa untuk dibentuk.
“Ya sudah, Nadia, Tante, saya pamit pulang dulu,” kata Davin, mulai berpamitan kepada ibu dengan mencium punggung tangan beliau. “Tante, boleh saya cium kening Nadia?”
“JANGAN SINTING!” teriakku, begitu reflek seolah tidak perlu berpikir ‘tuk memberi sebuah keputusan. “Davin, aku kasih kamu izin mendekat, bukan berarti kamu bisa kurang ajar.”
“Punten, Kang, si Teteh meni galak pisan orangnya,” sahut ibuku, pun berusaha mencoba menenangkan aku yang sudah mulai emosi.
Pada awalnya, kukira Davin akan mundur atau paling tidak merasa terkejut karena aku baru saja membentak dia dengan tegas tanpa ada sangsi dalam hati barang sedikit pun. Namun, alih-alih sesuai dengan prediksi, Davin justru tersenyum dengan begitu manis seolah puas pada reaksi yang kuberikan beberapa saat lalu.
“You know what, Nadia? I feel so glad that I choose you, not someone else.”
Dia berkata begitu, tanpa tahu bahwa aku bukanlah pilihan yang bisa disandingkan dengan orang lain. Bukan pula koleksi pada etalase yang bisa diseleksi. Bukan pula kumpulan playlist lagu yang bisa diputar ketika ingin. Aku satu-satunya, di dunia ini, dan di seluruh alam semesta. Aku ada di antara ketiadaan. Aku hilang di antara bintang cemerlang.
Temukan aku, kujadikan kau sinar paling terang.
***
Menurutku, beberapa orang di dunia ini sangatlah tidak penting dan tidak punya pekerjaan. Sebab, mereka saling berlomba untuk menjadi orang nomor satu saat ada gossip tersebar bak lonceng yang berdenting.Untuk kali ini, aku adalah korbannya.Sejak aku tiba di sekolah ini, pemandangan yang kulihat adalah siswa-siswi saling berbisik sambil melihat ke arahku. Mereka bergiliran melirikku seolah aku ini binatang menjijikkan yang pantas untuk mereka hina dalam diam.“Kalian tau nggak, sih, Nadia itu ternyata cewek penggoda banget,” ucap salah seorang cewek yang mengomando obrolan tentangku.“Kenapa gitu?”“Iya! Soalnya dia genit dan godain Davin melulu. Nggak nyangka ternyata dia murahan, ya.” Oh, hei, sejak kapan kesimpulan itu kalian berikan kepadaku? Sejak kapan pula, aku menggoda Davin? Justru dia yang terus-menerus datang kepadaku! 
Sudah TIGA HARI lamanya, aku dan Davin tidak saling bertegur sapa. Tidak juga saling bertukar obrolan melalui sosial media. Alasannya? Aku mengacuhkan dia! Bahkan, semua kontak Davin telah aku blokir. Aku sudah benar-benar tidak peduli. Mendengar namanya pun, aku tidak sudi.“Nadia, Nadia, kamu nggak mau ambil tindakan ke mereka yang masih ngomongin kamu kah? Mereka sudah keterlaluan, lho.” Indira, si kawan sebangku, baru saja berbisik; atau sebenarnya mencoba memengaruhi.Yah, para kampret itu masih membicarakanku soal menjadi bahan taruhan Davin and the gang. Kalau boleh berkata jujur, aku tidak terlalu peduli tentang mereka yang membicarakanku. Aku hanya kecewa terhadap Davin karena ternyata dia tidak sedewasa itu.“Ah, enggak mau. Biarin aja. Nanti juga capek sendiri,” jawabku, mencoba acuh tak acuh pada sekitar.“Kamu seriusan mau diem aja? Nggak sakit hati memangny
“Menurut kamu, apa makna menjadi manusia?” Margaret tiba-tiba saja melempar sebuah pertanyaan serius kepadaku. Aku mengernyit sembari menatap Margaret dengan penuh selidik. “Kamu istirahat harus banget bahas yang berat?” tanyaku, langsung menunjukkan sikap tidak terima ketika jadwal santai di jam istirahat begini diganggu. “Jawab dulu.” Kalau sudah begini, aku paham betul. Mau tidak mau, Margaret harus kujawab. “Jadi manusia … itu berarti kita akan menderita,” kataku, lantas mengetuk meja di hadapan beberapa kali. “Hidup di dunia itu … menyedihkan, ya?” Bagiku, hal paling menyebalkan di dunia ini adalah sendu dan pilu. Namun, ada satu hal lain yang membuat aku ingin menghentikan waktu agar tidak lagi berjalan adalah ketika harmoni dalam kehidupan telah hilang. Barangkali semesta sering tertawa di atas lara yang kuderita. Barangkali pula, burung-burung tengah bernyanyi r
Serupa bagaimana takdir yang tidak dapat ditebak akan pergi ke mana, aku juga tidak bisa menebak Davin. Ke mana langkah yang akan dia ambil, apa tindakan selanjutnya, maupun apa isi pikiran lelaki populer satu itu. Aku tidak pernah bisa tahu maupun menebak hal begitu karena aku bukan seorang cenayang, lho.Sejujurnya, kupikir perkataan Davin kapan lalu hanyalah sebuah senda gurau belaka. Namun, aku tidak pernah menyangka bahwa dia akan benar-benar datang kembali kepadaku.Aku jadi bertanya-tanya; mengapa aku? Lihatlah bagaimana kami sangat kontras dan berkontradiksi. Sudah seperti dua kutub magnet yang tidak seharusnya saling menarik. Davin kutub positif, aku kutub negatif. Lantas, mengapa kutub positif sepertinya berusaha menarikku?“Hai, Nadia, sekarang sudah mau kasih nomor WA-nya belum?”Lihat, ‘kan? Aku masih tidak mafhum. Sejak di hari awal Davin mengajakku berkenalan, dia sud