“Menurut kamu, apa makna menjadi manusia?” Margaret tiba-tiba saja melempar sebuah pertanyaan serius kepadaku. Aku mengernyit sembari menatap Margaret dengan penuh selidik.
“Kamu istirahat harus banget bahas yang berat?” tanyaku, langsung menunjukkan sikap tidak terima ketika jadwal santai di jam istirahat begini diganggu.
“Jawab dulu.” Kalau sudah begini, aku paham betul. Mau tidak mau, Margaret harus kujawab.
“Jadi manusia … itu berarti kita akan menderita,” kataku, lantas mengetuk meja di hadapan beberapa kali. “Hidup di dunia itu … menyedihkan, ya?”
Bagiku, hal paling menyebalkan di dunia ini adalah sendu dan pilu. Namun, ada satu hal lain yang membuat aku ingin menghentikan waktu agar tidak lagi berjalan adalah ketika harmoni dalam kehidupan telah hilang.
Barangkali semesta sering tertawa di atas lara yang kuderita. Barangkali pula, burung-burung tengah bernyanyi riang di saat aku bukan kepalang ingin menghilang. Bagi mereka, aku hanyalah seorang gadis lemah. Namun, mereka lupa bagaimana aku menderita.
***
“Hei! Hei! Itu Davin, ‘kan?”
“Gila. Dia cakep banget, ya.”
“Kabarnya dia jomblo, ‘kan?”
“Iyalah. Orang susah dideketin gitu. Dingin banget orangnya.”
Halah, lagi-lagi hal seperti ini terjadi. Anak-anak gadis di sekolahku memang kerap kali seperti cacing kepanasan ketika sosok anak Adam yang dikenal dengan Davin itu lewat di depan mereka. Memang kuakui, Davin itu memiliki tampang rupawan dengan tinggi semampai, pula tubuh ideal. Ditambah status sosial yang merupakan kapten tim voli, rasanya semakin meningkatkan kasta Davin sehingga bisa berada di puncak kepopuleran.
Berbeda sekali denganku.
“Davin tuh dewa dari dunia mana, ya?” Ke mana Margaret yang sebelumnya mengajakku mengobrol topik berat? Kok dia jadi ikut-ikutan para cacing kepanasan?
“Dunia ghaib kali,” responsku, acuh tak acuh, diiringi kedua bahu yang terangkat.
Yah, sejujurnya aku iri dengan orang seperti Davin yang bisa mendapat kepopuleran dengan mudah. Aku iri dengan Davin, sekalipun dia terkenal dingin, tetapi tetap saja memiliki banyak teman. Tidak dapat kupungkiri, kita hidup di dunia sialan yang lebih mengutamakan rupa dibanding apa pun.
“Nad, kamu tuh emang nggak tertarik ke Davin sedikit pun?” Margaret semakin lama melempar pertanyaan yang menurutku tidak penting, sungguh.
“Biasa aja,” kataku, “nggak ada yang spesial banget dari Davin juga.”
Yah, aku sendiri belum pernah berbincang dengan Davin, kok. Aku cukup tahu diri. Aku hanya seonggok kayu lapuk, sedangkan Davin bersinggah di takhta puncak tertinggi pada alam semesta. Tidak pula aku berharap bisa berbincang dengannya, sebab kurasa nanti kami akan saling canggung, mengingat bagaimana Davin selalu dingin dan tak banyak bersuara.
Jadi, bagiku, memandangi dalam senyap itu sudah cukup.
Buk!
“Aduh, Nadia minggir, dong! Jangan di jalan gini,” tegur seorang wanita kepadaku, tentunya dengan marah-marah.
Lah? Untuk sejemang, aku benar-benar dibuat bingung. Pasalnya, akulah korban di sini, yang dia tabrak menggunakan kaki dengan sangat sengaja. Aku tahu dia sengaja menabrakku, tetapi aku tidak tahu mengapa dia malah memarahiku.
“Orang sinting,” gumamku dengan singkat. Hei, wajar saja jika aku merasa tidak terima untuk disalahkan, bukan? Lagi pula, sejak awal, dialah yang mencari perkara.
“Hah? Ngomong apa kamu tadi?”
“Kamu orang sinting. Aku duduk nggak di tengah jalan, kakimu aja kurang kerjaan nyenggol.”
Persetan apabila harus saling baku hantam, dia duluan mencari perkara kepadaku. Aku memang wanita bermental lemah, tetapi bukan berarti aku bisa dengan mudah dihina, tahu!
“Pfftttt―. Nadia, kamu gemas, ya.”
Secara tiba-tiba, deret kata serupa sanjungan nan berasal dari bariton seorang lelaki berhasil menginterupsi. Reflek saja, kepalaku bergerak ‘tuk menoleh pada sumber suara.
LOH, EH? DAVIN? IYA, YANG MENGINTERUPSI TADI ADALAH DAVIN! DAVIN, LOH!
Tunggu dulu, memang tadi Davin bilang apa kepadaku? Saking terkejutnya, aku sampai lupa apa yang dikatakan Davin. Maka, aku hanya bisa mengerjapkan mata dengan bingung; harap-harap Davin akan mengulangi perkataannya.
“Kamu Nadia, ‘kan? Kamu lucu, saya gemas,” katanya, dengan enteng, “boleh kenal?”
Selamat, Nadia. Selamat atas tidak lagi berfungsinya otak hanya karena ucapan enteng dari seorang Davin. Jadi, kira-kira desain undangan nikah apa yang cocok untuk kami berdua? Nadia, tolong jangan gila.
Padahal Davin hanya mengajak berkenalan, tetapi efeknya seolah Davin telah membelah bumi. Semua orang di sekitarku langsung berteriak heboh hanya karena hal ini. Tidak heran, sih, sebab yang kita bicarakan sekarang ini Davin loh. Seorang kulkas hidup berasmakan Davin. Dan, dia baru saja mengajakku berkenakan.
“Ya, boleh aja. Lagian udah tau namaku tuh, aku juga udah tau namamu. Jadi, udah kenalan!” jawabku kemudian, dibubuhi dengan nada yang riang.
“Oke, udah kenal,” kata Davin, lalu terburu-buru mengeluarkan gawai hitam dari dalam saku celana dan diberikan kepadaku dengan berkata, “kata orang, say no to narkoba, tapi kalau no wa kamu setelah kenal, pasti boleh, ‘kan?”
“Enggak.”
Tanpa pikir panjang, aku langsung menolak permintaan Davin. Orang-orang pasti berpikir aku gila karena telah menolak permintaan seorang kapten tim voli paling populer, tetapi bagiku, hal seperti itu cukup menyeramkan. Aku tidak peduli dia Davin si kapten voli yang diidam-idamkan kaum hawa atau Presiden Korea Utara sekalipun. Meminta nomor pribadi orang yang baru diajak kenalan itu menyeramkan, tahu. Dan, aku berhak menolak dengan tegas.
“I see. You’re quite different, then,” respons Davin, diiringi dengan mesem―yang tidak tahu apa maknanya dan aku merinding―tetapi lantas mengimbuhkan, “Kalau tadi kamu kasih nomormu, mungkin saya langsung hapus, tapi ternyata enggak. Kamu memang lucu dan menarik, saya jadi tertarik.”
ANEH. Demi Dewa siapa pun yang ada di dunia, aku merasa bahwa Davin adalah orang paling aneh di muka bumi. Seingatku, dia adalah orang dingin yang susah didekati, tetapi mengapa berubah menjadi orang aneh seperti ini?
“Mm … ya, oke? Terus aku harus apa? Jempalitan?”
“Nggak perlu ngapa-ngapain. Kamu cukup duduk aja, nanti saya samperin lagi.”
“Mau ngapain emang?”
“Saya? Saya mau berjuang dekat dengan kamu, Nadia.” Benar-benar deh, Davin ini ngelantur apa? “Ah, sebelum kamu kaget, saya minta izin mendekat, ya. Kalau nggak suka, saya usahain biar kamu suka. Kamu siap-siap aja.”
Aku bingung bukan main sekarang. Barangkali wajahku sudah seperti orang paling bodoh di muka bumi karena tidak mengerti maksud Davin sama sekali. Tidak pula aku mengerti kejadian apa yang terjadi saat ini lantaran semua terasa terlalu tiba-tiba untuk kayu lapuk yang hampir punah sepertiku.
“Aku harus siap-siap apa?” tanyaku, yang mungkin dianggap Davin kelewat lugu dan bodoh.
“Siap-siap menilai, apakah saya pantas kamu terima masuk ke hidupmu atau tidak.”
“Kayak jadi juri mendadak aku mah.”
“Lebih baik jadi juri daripada menjadi duri, ‘kan?”
Sungguh, sejak tadi, aku tetap tidak mengerti. Semua kejadian ini terjadi begitu cepat sehingga otak kecilku tidak mampu bekerja lagi. Bahkan kepergian Davin setelah mengucap fonetik yang tiada dapat kumafhumi, aku hanya bisa menatap cakrawala di atas sana.
Jadi, sebenarnya … semesta ingin mengajakku bermain sampai mana?
***
Serupa bagaimana takdir yang tidak dapat ditebak akan pergi ke mana, aku juga tidak bisa menebak Davin. Ke mana langkah yang akan dia ambil, apa tindakan selanjutnya, maupun apa isi pikiran lelaki populer satu itu. Aku tidak pernah bisa tahu maupun menebak hal begitu karena aku bukan seorang cenayang, lho.Sejujurnya, kupikir perkataan Davin kapan lalu hanyalah sebuah senda gurau belaka. Namun, aku tidak pernah menyangka bahwa dia akan benar-benar datang kembali kepadaku.Aku jadi bertanya-tanya; mengapa aku? Lihatlah bagaimana kami sangat kontras dan berkontradiksi. Sudah seperti dua kutub magnet yang tidak seharusnya saling menarik. Davin kutub positif, aku kutub negatif. Lantas, mengapa kutub positif sepertinya berusaha menarikku?“Hai, Nadia, sekarang sudah mau kasih nomor WA-nya belum?”Lihat, ‘kan? Aku masih tidak mafhum. Sejak di hari awal Davin mengajakku berkenalan, dia sud
Hidupku sangat berubah ketika Davin memilih mendekat, bahkan berniat untuk bergabung. Biasanya, aku selalu sendiri di setiap waktu. Bahkan di hari Sabtu, saat beberapa individu saling berkencan, aku justru berdiam di rumah untuk menonton.Sayangnya, kehidupan tenangku di hari Sabtu harus berakhir karena Davin secara tiba-tiba muncul di depan rumah sambil berucap kepada ibuku, “Tante, apa saya boleh mengajak Nadia berjalan-jalan?”“Memangnya ingin ke mana, Nak Davin?” Ibuku menyahuti.“Cuma mau berkeliling Kota Jakarta dan kalau Nadia ingin ke mana, saya bersedia menemani, Tante.”Oh, hei, tunggu. Tidak adakah yang berniat bertanya soal pendapatku? Sebab, seseorang yang akan diajak nantinya adalah AKU, lho. AKU.“Vin, ngapain sih kok tiba-tiba ngajak jalan?” Kesal, aku langsung bertanya tanpa basa-basi.“Ng
Menurutku, beberapa orang di dunia ini sangatlah tidak penting dan tidak punya pekerjaan. Sebab, mereka saling berlomba untuk menjadi orang nomor satu saat ada gossip tersebar bak lonceng yang berdenting.Untuk kali ini, aku adalah korbannya.Sejak aku tiba di sekolah ini, pemandangan yang kulihat adalah siswa-siswi saling berbisik sambil melihat ke arahku. Mereka bergiliran melirikku seolah aku ini binatang menjijikkan yang pantas untuk mereka hina dalam diam.“Kalian tau nggak, sih, Nadia itu ternyata cewek penggoda banget,” ucap salah seorang cewek yang mengomando obrolan tentangku.“Kenapa gitu?”“Iya! Soalnya dia genit dan godain Davin melulu. Nggak nyangka ternyata dia murahan, ya.” Oh, hei, sejak kapan kesimpulan itu kalian berikan kepadaku? Sejak kapan pula, aku menggoda Davin? Justru dia yang terus-menerus datang kepadaku! 
Sudah TIGA HARI lamanya, aku dan Davin tidak saling bertegur sapa. Tidak juga saling bertukar obrolan melalui sosial media. Alasannya? Aku mengacuhkan dia! Bahkan, semua kontak Davin telah aku blokir. Aku sudah benar-benar tidak peduli. Mendengar namanya pun, aku tidak sudi.“Nadia, Nadia, kamu nggak mau ambil tindakan ke mereka yang masih ngomongin kamu kah? Mereka sudah keterlaluan, lho.” Indira, si kawan sebangku, baru saja berbisik; atau sebenarnya mencoba memengaruhi.Yah, para kampret itu masih membicarakanku soal menjadi bahan taruhan Davin and the gang. Kalau boleh berkata jujur, aku tidak terlalu peduli tentang mereka yang membicarakanku. Aku hanya kecewa terhadap Davin karena ternyata dia tidak sedewasa itu.“Ah, enggak mau. Biarin aja. Nanti juga capek sendiri,” jawabku, mencoba acuh tak acuh pada sekitar.“Kamu seriusan mau diem aja? Nggak sakit hati memangny