Anneth mendapat langsung kabar dari dr. Davis kalau ia mengambil cuti di rumah sakit untuk beberapa hari tapi masih akan berpraktek di klinik dekat rumahnya saat sore sampai menjelang malam tiba. Ia menawarkan pada Anneth untuk datang berkunjung ke klinik saja jika ingin berkonsultasi dengannya di hari itu. Anneth pun menyetujui penawaran Davis. Usai jam kerja di hotel berakhir, Anneth yang saat itu tidak datang ke kampus karena libur semester langsung tancap gas menuju klinik menggunakan bus, seperti biasa. Di dalam bus Anneth tersenyum kecut dalam hati mengingat bus berhantu yang pernah dinaikinya bersama Devaro.
Bus yang kutumpangi hari ini normal. Penumpang bus pun tampak normal-normal saja, tak ada darah mengalir, tak ada badan remuk, tak ada jeritan minta tolong, benar-benar wajar tidak seperti yang bus berhantu yang pernah kutumpangi. Ah, mengingatnya membuat bulu kudukku b
Tatapan tajam sekaligus dingin yang ditujukan Davis pada Anneth membuatnya canggung dan merasa terintimidasi. "Aku sudah tak sabar menunggu informasi yang akan kau berikan padaku." ujar Davis dengan suara serak tapi tegasnya. "Sejujurnya aku bingung harus mulai darimana tapi akan kuberitahu semua yang aku tahu dan diamanahkan Lea padaku." "Sebelum Lea mengalami kecelakaan?" Anneth sontak terperanjat mendengar pertanyaan yang meluncur deras dari bibir Davis. Pertanyaan yang diajukan Davis terasa benar-benar di luar dugaannya. Akankah aku mengatakan yang sebenarnya pada Davis kalau ruh Lea mengalami semacam reinkarnasi? Kuyakin dia pasti takkan memercayainya, benak Ann
"Apa kau yakin ingin melihat bayi itu? Bukan karena kata-kataku yang menyinggungmu atau terlampau kasar untuk didengar, mungkin bagimu." tanya Anneth. "Bukan. Aku benar-benar ingin melihat sosok malaikat kecil itu, Ann." Anneth mengalihkan pandangan dari Davis dan menerawang ke arah jalanan melalui kaca jendela mobil. Dalam benaknya, ia merasakan kegalauan dan kebimbangan mengenai tindakannya sejauh ini. Apakah semua yang kulakukan sampai detik ini sudah benar? Mengapa aku harus terjerumus sangat dalam ke kehidupan orang lain?, seolah-olah aku ini sangat mencampuri urusan orang lain yang bahkan baru saja kukenal, batinnya. Mobil yang semula mulus melesat di jalanan beraspal terhenti dalam sekejap dan mengaburkan l
Diluar langit sudah berwarna abu gelap dan rintikan hujan terdengar turun dengan perlahan. Masih bertahan di ruang tamu rumah Ibu Lea, Anneth bisa menatap raut muka Ibu Lea yang tampak berubah menjadi bimbang usai mendengar pertanyaan Davis. Sebagai sesama perempuan, Anneth dapat merasakan apa yang saat ini dirasakan Ibu Lea. Namun, dalam hati terdalam, Anneth berharap Ibu Lea menjelaskan dengan penuh kejujuran dan keterbukaan apa yang sudah dialami Lea semasa hidupnya, tepatnya sebelum ia menghembuskan napas terakhirnya. Sesaat kemudian, Anneth menatap raut muka Ibu Lea yang berusaha ingin menjelaskan keadaan yang terjadi sebenarnya. "Iya, Nak Davis, Lea telah mengandung dan melahirkan seorang bayi perempuan yang dia beri Tanaya. Lea juga telah menceritakan semua yang terjadi diantara kalian." "Lalu, dimana, Bu, anak itu sekarang?"
Hotel Pandawa. 09.30. Anneth menatap layar laptop lekat-lekat yang ada di hadapannya sambil jari-jemarinya sibuk menekan tuts-tuts keyboard. Sesekali Anneth memalingkan wajahnya ke arah buku tulis polos yang tergeletak di samping laptop sambil tetap mengetik tanpa henti. Di ujung meja dekat dengan wadah, tempat pena dan alat tulisnya lainnya diletakkan terdapat gelas kaca berisi air putih yang bagian atasnya ditutup dengan penutup gelas tampak masih terisi penuh, belum berkurang sedikitpun. Rupanya, Anneth belum menyentuh sama sekali gelas itu apalagi menyesapnya. Perhatian Anneth yang semula berpusat pada laptop sedikit terganggu saat sebuah notifikasi pesan berbunyi. Jari-jemarinya yang semula sibuk berkutat dengan tuts-tuts keyboard dan mouse terpaksa terhenti sesaat, ia pun mulai mengecek pesan yang masuk di ponselnya.
16.00. Anneth mulai mematikan laptop dan membereskan benda-benda yang berserakan di meja kerja. Sesaat Anneth meneguk air minum dalam gelas kaca yang belum sempat disentuhnya. Saat ia akan bersiap pulang, ponselnya berdering dari nomor yang tidak dikenal. Anneth yang awalnya ragu mengangkat panggilan itu akhirnya luluh juga, ia khawatir panggilan itu merupakan panggilan yang penting dari orang yang dikenalnya. "Halo?" ujar Anneth dengan posisi duduk tepat di ujung meja kerjanya. "Halo, Ann, ini aku Brandon." "Brandon? Benarkah itu kau? Kenapa kau tidak menelponku menggunakan nomermu yang biasanya?" "Ah, oh, itu, iya tidak karena ponselku sedang dicharge di ruanganku sedangkan aku berada di lobby kantorku. Kau sedang ada dimana, Ann?" &nb
Rumah Brandon. 19.50. Brandon mengajak Anneth ke rumahnya usai mereka menghabiskan makan malam yang tak terlalu romantis di resto yang baru dicobanya. Rumah bertingkat yang luas tapi minimalis begitulah gambaran yang ada di benak Anneth saat pertama kali menjejakkan kaki di rumah pribadi kekasihnya itu. "Wine?" ujar Brandon menawarkan tapi terdengar memaksa di telinga Anneth. Anneth mengernyitkan kedua alisnya lalu menggeleng. "Cobalah seteguk, kau harus belajar mencoba hal-hal diluar kebiasaanmu. Itu akan memberi warna baru di hidupmu." Dengan masih diselimuti keraguan, Anneth mengiyakan asal perkataan Brandon.
Keesokan paginya. 06.30. Anneth terbangun dari tidur lelapnya usai kelelahan bermain dengan Brandon semalaman. Ia merasakan nyeri di sekitar paha atas karena permainan yang cukup kasar yang dilakukan oleh Brandon padanya. Mereka menyalurkan hasrat semalaman sampai menguras tenaga dan membasahi sprei dengan keringat mereka. Anneth merasa kepalanya pening karena Brandon mencekokinya lagi dengan wine usai permainan ranjang mereka selesai. Ia menengok ke arah samping, dilihatnya Brandon masih terlelap dengan posisi tertelungkup dengan wajah memandang ke arahnya. Anneth mengamati setiap jengkal raut muka kekasihnya yang tampak begitu tampan, bulu-bulu halus yang tumbuh di bawah dagunya menambah kejantanannya sebagai pria dewasa. Dalam kondisi tidurpun kau masih tampak tampan dan berkharisma, my man, batinnya.
DePanic Cafe. 12.15. Anneth memenuhi janjinya untuk bertemu dengan Devaro (Lea) saat istirahat kerja di cafe yang baru saja dibuka dengan mengusung konsep ala Santorini, Yunani. Saat pertama kali melangkah di halaman depan cafe, mata Anneth langsung disajikan dekorasi yang kebanyakan didominasi warna biru dan putih khas bangunan-bangunan di Santorini. Ia pun melanjutkan langkah kakinya dan masuk ke dalam cafe, disana sudah banyak pengunjung yang didominasi muda-mudi. Saat mengedarkan pandang dan belum menemukan batang hidung Devaro (Lea) disana, langsung saja Anneth memutuskan untuk memilih tempat duduk yang menurutnya nyaman dan bisa langsung menikmati view taman dan danau disamping cafe sejauh mata memandang. Beberapa saat kemudian, Devaro (Lea) datang bersamaan dengan pelayan yang membawa pesanan Anneth. Mereka sama-sama