16.00. Anneth mulai mematikan laptop dan membereskan benda-benda yang berserakan di meja kerja. Sesaat Anneth meneguk air minum dalam gelas kaca yang belum sempat disentuhnya. Saat ia akan bersiap pulang, ponselnya berdering dari nomor yang tidak dikenal. Anneth yang awalnya ragu mengangkat panggilan itu akhirnya luluh juga, ia khawatir panggilan itu merupakan panggilan yang penting dari orang yang dikenalnya.
"Halo?" ujar Anneth dengan posisi duduk tepat di ujung meja kerjanya.
"Halo, Ann, ini aku Brandon."
"Brandon? Benarkah itu kau? Kenapa kau tidak menelponku menggunakan nomermu yang biasanya?"
"Ah, oh, itu, iya tidak karena ponselku sedang dicharge di ruanganku sedangkan aku berada di lobby kantorku. Kau sedang ada dimana, Ann?"
&nb
Rumah Brandon. 19.50. Brandon mengajak Anneth ke rumahnya usai mereka menghabiskan makan malam yang tak terlalu romantis di resto yang baru dicobanya. Rumah bertingkat yang luas tapi minimalis begitulah gambaran yang ada di benak Anneth saat pertama kali menjejakkan kaki di rumah pribadi kekasihnya itu. "Wine?" ujar Brandon menawarkan tapi terdengar memaksa di telinga Anneth. Anneth mengernyitkan kedua alisnya lalu menggeleng. "Cobalah seteguk, kau harus belajar mencoba hal-hal diluar kebiasaanmu. Itu akan memberi warna baru di hidupmu." Dengan masih diselimuti keraguan, Anneth mengiyakan asal perkataan Brandon.
Keesokan paginya. 06.30. Anneth terbangun dari tidur lelapnya usai kelelahan bermain dengan Brandon semalaman. Ia merasakan nyeri di sekitar paha atas karena permainan yang cukup kasar yang dilakukan oleh Brandon padanya. Mereka menyalurkan hasrat semalaman sampai menguras tenaga dan membasahi sprei dengan keringat mereka. Anneth merasa kepalanya pening karena Brandon mencekokinya lagi dengan wine usai permainan ranjang mereka selesai. Ia menengok ke arah samping, dilihatnya Brandon masih terlelap dengan posisi tertelungkup dengan wajah memandang ke arahnya. Anneth mengamati setiap jengkal raut muka kekasihnya yang tampak begitu tampan, bulu-bulu halus yang tumbuh di bawah dagunya menambah kejantanannya sebagai pria dewasa. Dalam kondisi tidurpun kau masih tampak tampan dan berkharisma, my man, batinnya.
DePanic Cafe. 12.15. Anneth memenuhi janjinya untuk bertemu dengan Devaro (Lea) saat istirahat kerja di cafe yang baru saja dibuka dengan mengusung konsep ala Santorini, Yunani. Saat pertama kali melangkah di halaman depan cafe, mata Anneth langsung disajikan dekorasi yang kebanyakan didominasi warna biru dan putih khas bangunan-bangunan di Santorini. Ia pun melanjutkan langkah kakinya dan masuk ke dalam cafe, disana sudah banyak pengunjung yang didominasi muda-mudi. Saat mengedarkan pandang dan belum menemukan batang hidung Devaro (Lea) disana, langsung saja Anneth memutuskan untuk memilih tempat duduk yang menurutnya nyaman dan bisa langsung menikmati view taman dan danau disamping cafe sejauh mata memandang. Beberapa saat kemudian, Devaro (Lea) datang bersamaan dengan pelayan yang membawa pesanan Anneth. Mereka sama-sama
Anneth, seorang kepala satpam dan dua buah anak buahnya bergegas menuju ke dalam hotel. Sesampainya di lounge, Anneth dibuat semakin tercengang dan panik tatkala melihat Savvy malah berguling-gulingan di lantai dengan lawannya dan tetap saling melemparkan pukulan di perut dan wajah menjadikan suasana semakin tak terkendali. Ia semakin geram karena tak ada satupun tamu atau pegawai hotel yang berusaha melerai mereka. Lebih geram lagi karena disana Anneth melihat ada sosok Samara yang hanya memandang dengan ekspresi ketakutan tanpa mempunyai inisiatif untuk mengambil tindakan apapun pada tunangannya itu. "Pak, ayo cepat hentikan perkelahian mereka!" Ketiga satpam itupun dengan susah payah melerai perkelahian mereka dan akhirnya berhasil. Savvy dan lawan tandingnya sudah dalam kondisi berdiri dengan masing-masing dipegangi oleh satp
Tiga hari kemudian. 11.00. Brandon memanggil asisten pribadinya, Ricky Lambert, yang biasa dipanggilnya Richie dengan telepon nirkabel. Hari ini lidah Brandon entah mengapa ingin mengecap sesuatu yang masam. "Richie, cepat belikan aku mangga yang belum matang, salad, jeruk atau apapun itu yang rasanya masam." "Tapi untuk apa, Tuan?" Brandon melotot ke arah Richie, "Tentu saja untuk kumakan!, masih tanya lagi. Kau pikir aku menyuruhmu membelinya untuk kuberikan pada Panther?" Panther merupakan anjing penjaga rumah yang pernah menakuti Anneth. "Bukan begitu, hanya rasanya aneh saja karena Tuan biasanya menghindari mak
Dengan bantuan Richie, Brandon dapat bertemu dengan Dokter pribadinya. Dia pun langsung mengutarakan semua keluhan yang dirasakannya beberapa waktu belakangan. "Berdasarkan gejala-gejala yang Anda rasakan saat ini, berdasarkan pemeriksaan juga dapat saya simpulkan Pak Brandon sedang mengalami sindrom couvade. Sindrom dimana saat ini Anda sedang mengalami ngidam." ucap Dokter. "Apa ngidam, Dok? Maksudnya apa? Apa saya hamil, Dok ?" tanya Brandon cemas. "Oh, tentu tidak, Pak, maksud saya disini, Anda pasti menghamili seorang wanita sehingga Anda mengalami gejala sindrom seperti ini." terang Dokter. "Tapi bagaimana bisa, Dok?" tanya Brandon kembali "
Anneth menangis sesenggukkan tanpa henti usai mengetahui kenyataan pahit yang dialaminya. "Mana mungkin ini sampai terjadi?" sesalnya. Naomi merangkul Anneth mencoba menenangkan sahabatnya itu. "Lalu apa rencanamu setelah ini?" tanya Naomi penasaran. "Meminta pertanggungjawabannya, apalagi yang bisa kulakukan sekarang?" tanya Anneth balik. "Baiklah. Ta-tapi apa kau yakin dia yang menanamkan benih sperma itu di rahimmu?" tanya Naomi dipenuhi keraguan. "Maksudmu, aku tipe wanita jalang yang akan melakukan hubungan badan dengan pria manapun, Naomi?" balas Anneth dengan mata terbelalak.
Anneth tak menyangka Brandon akan meminta menikahinya secepat itu. Bahkan, pria berbadan tegap itu berjanji akan segera membicarakan persoalan ini dengan Papanya dan meminta restunya. Meskipun tak dipungkiri terselip keraguan dalam diri Anneth bahwa rencana ini akan berjalan mulus-mulus saja kedepannya. "Syukurlah kalau Brandon mau bertanggung jawab atas janin ini, tak ada yang perlu dirisaukan." gumamnya. Anneth yang masih bertahan di cafe seorang diri sambil merenung tentang masa depan dikejutkan oleh suara deringan ponsel. "Halo, Anneth, kau ada dimana, apa kau sudah ada di penginapanmu?" tanya Savvy. "Saya masih di cafe J&K, Pak, baru ketemu teman disini." balas Anneth.
TIK… TOK… TIK… TOK… Jam dinding kuno berdetak keras. Anneth terkesiap. Napasnya berderu kencang. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Anneth masih saja duduk bertahan di ruang kerjanya seorang diri. KRUK… KRUK… KRUK… Perutnya yang kosong mulai keroncongan. Tak ada makanan atau cemilan yang tersedia di meja kerjanya. GLUK…
Anneth mengangkat jari-jemarinya yang gemetaran dan mulai mengigit-gigit kukunya. Dia tidak mampu lagi menyembunyikan kegelisahannya saat duduk di kursi. Anneth yang baru saja keluar dari ruangan Pak Devisser diselimuti penyesalan. Karena terus didesak Anneth terpaksa berterus terang mengenai pernikahannya dan menjelaskan kondisinya yang sedang hamil pada Pak Devisser dan Savvy. Sekarang Anneth hanya bisa pasrah menanti pengumuman yang akan disampaikan oleh Pak Devisser melalui atasannya Savvy mengenai statusnya di hotel Pandawa. "Akankah Pak Devisser memecatku?" tanya Anneth semakin tak tenang. Sambil memainkan gelang persahabatannya dengan Devaro alias Lea, Anneth memandang keluar melalui jendela kac
Aku akan menghibahkan lukisan anak kecil itu pada orang lain." ucap Savvy. "Apa?! Tapi kenapa?" tanya Anneth. "Rumahku jadi semakin sering mengalami kejadian-kejadian aneh, Ann. Bahkan asisten rumah tanggaku pernah hampir menghabisi nyawanya sendiri dengan pisau karena bisikan-bisikan gaib yang menghantuinya." jawab Savvy. Anneth seketika dibuat tercengang dengan penuturan Savvy. "Temanku yang seorang punya indra keenam pernah melihat keganjilan pada lukisan itu saat bertandang ke rumah. Katanya lukisan itu mengandung unsur dimensi dunia lain yang sulit dicerna dengan akal. Dulu aku juga pernah bilang padamu 'kan, sejak lukisan itu dipajang di dinding, rumahku menjadi semakin angker." lanjutnya.
Tok … tok … tok … Terdengar pintu diketuk, Anneth yang sedang sibuk mencari keberadaan suaminya bergegas melangkah menuju ke depan pintu rumah yang sengaja dirancang secara otomatis dan modern oleh Brandon. Tujuan Brandon merancang pintu sedemikian rupa agar tidak sembarang orang bisa masuk ke dalam rumahnya sesuka hati. Alangkah terkejutnya Anneth saat mendapati Brandon pulang dalam keadaan kacau dan berantakan dengan ditemani oleh seorang pria asing. Rupanya, pria asing itu yang mengantar pulang Brandon dengan mobil karena tidak mungkin bagi Brandon menyetir dalam keadaan mabuk. Anneth pun mengucapkan rasa terima kasihnya pada pria asing yang ditemuinya itu. "Syukurlah kau baik-baik saja, Bray." ujar Anneth.
Pernikahan yang diinginkan Anneth akhirnya terjadi meski tanpa restu orang tua Brandon. Pernikahan mereka juga dilakukan dengan tertutup. Meskipun pernikahan yang diinginkan Anneth terwujud tapi pernikahan ini sama sekali bukanlah seperti pernikahan yang selama ini diidam-idamkannya. Hanya segelintir orang yang diundang dalam pernikahan ini, termasuk Devaro (Lea), Naomi dan Sherly. Bahkan, dari awal Brandon sudah mengatakan dengan tegas pada Anneth bahwa tidak akan ada resepsi pernikahan, hanya akad. Bagi Brandon, resepsi yang diadakan meskipun tertutup hanya akan membuat berita pernikahan semakin menyebar dan meluas. Berita pernikahan yang meluas apalagi sampai terdengar ke telinga orangtuanya, tentu akan membuatnya dimarahi habis-habisan. Konsekuensi terberatny
Dua bulan kemudian. "Apa-apaan ini, Ann?! Jelaskan padaku apa yang coba kau sembunyikan?" tanya Savvy dengan suara meninggi sambil menyodorkan sebuah foto pada Anneth di ruang kerjanya. Anneth mengambil foto dari jemari Savvy dengan tangan gemetaran. "Ti-tidak mungkin." gumam Anneth sambil mengernyitkan dahi dan mengatupkan mulut. "Apanya yang tidak mungkin?" tanya Savvy suara meninggi. "Ma-maaf, berikan waktu, aku akan menjelaskannya padamu nanti." jawab Anneth berusaha menghindar dari cercaan Savvy yang haus akan penjelasan. Anneth berdiri di ruang kerjanya sambil terus mengamat
"Oh, maaf, sepertinya aku salah masuk ruangan." ucap pria asing yang masih berdiri tepat di ambang pintu sambil mengedarkan pandang ke segala sisi ruangan termasuk ke sisi lantai yang tampak berantakan karena berkas-berkas yang berjatuhan. "It's ok. Anda sedang mencari siapa, by the way ?" tanya Samara. "Pak Devisser." jawab pria asing itu. "Baiklah, tunggu di luar sebentar, akan kuantarkan kau ke ruangannya." ucap Samara yang dilingkupi rasa malu karena ruangannya yang tampak tak beraturan telah dilihat oleh seseorang. Sambil melangkah mengayunkan kaki menuju ruangan Pak Devisser, Samara terlibat percakapan dengan pria asing yang ditemuinya secara tak sengaja itu.
Sorot mata tajam dan dingin Brandon kini berubah menjadi teduh dengan sepasang bola matanya begitu jernih bak lautan yang bening dan dalam bak samudra. Bola mata itu kini menatap lurus ke arah Anneth. Namun, Anneth masih merasakan aura ketegasan dan penuh kharisma yang seolah tak pernah luntur dari pria itu. "Kita tidak bisa menikah." tandas Brandon. "Apa maksudmu kita tidak bisa menikah, kau t'lah janji akan menikahiku, Brandon." ucap Anneth menimpali. "Papaku tidak menyetujui pernikahan kita, apa kau paham itu, hah?!" seru Brandon. "Lalu apa rencanamu, apa kau akan lepas tangan begitu saja, tidak mau bertanggung jawab atas janin?" tanya An
Anneth tak menyangka Brandon akan meminta menikahinya secepat itu. Bahkan, pria berbadan tegap itu berjanji akan segera membicarakan persoalan ini dengan Papanya dan meminta restunya. Meskipun tak dipungkiri terselip keraguan dalam diri Anneth bahwa rencana ini akan berjalan mulus-mulus saja kedepannya. "Syukurlah kalau Brandon mau bertanggung jawab atas janin ini, tak ada yang perlu dirisaukan." gumamnya. Anneth yang masih bertahan di cafe seorang diri sambil merenung tentang masa depan dikejutkan oleh suara deringan ponsel. "Halo, Anneth, kau ada dimana, apa kau sudah ada di penginapanmu?" tanya Savvy. "Saya masih di cafe J&K, Pak, baru ketemu teman disini." balas Anneth.