Tiga hari kemudian.
11.00. Brandon memanggil asisten pribadinya, Ricky Lambert, yang biasa dipanggilnya Richie dengan telepon nirkabel. Hari ini lidah Brandon entah mengapa ingin mengecap sesuatu yang masam.
"Richie, cepat belikan aku mangga yang belum matang, salad, jeruk atau apapun itu yang rasanya masam."
"Tapi untuk apa, Tuan?"
Brandon melotot ke arah Richie, "Tentu saja untuk kumakan!, masih tanya lagi. Kau pikir aku menyuruhmu membelinya untuk kuberikan pada Panther?"
Panther merupakan anjing penjaga rumah yang pernah menakuti Anneth.
"Bukan begitu, hanya rasanya aneh saja karena Tuan biasanya menghindari mak
Dengan bantuan Richie, Brandon dapat bertemu dengan Dokter pribadinya. Dia pun langsung mengutarakan semua keluhan yang dirasakannya beberapa waktu belakangan. "Berdasarkan gejala-gejala yang Anda rasakan saat ini, berdasarkan pemeriksaan juga dapat saya simpulkan Pak Brandon sedang mengalami sindrom couvade. Sindrom dimana saat ini Anda sedang mengalami ngidam." ucap Dokter. "Apa ngidam, Dok? Maksudnya apa? Apa saya hamil, Dok ?" tanya Brandon cemas. "Oh, tentu tidak, Pak, maksud saya disini, Anda pasti menghamili seorang wanita sehingga Anda mengalami gejala sindrom seperti ini." terang Dokter. "Tapi bagaimana bisa, Dok?" tanya Brandon kembali "
Anneth menangis sesenggukkan tanpa henti usai mengetahui kenyataan pahit yang dialaminya. "Mana mungkin ini sampai terjadi?" sesalnya. Naomi merangkul Anneth mencoba menenangkan sahabatnya itu. "Lalu apa rencanamu setelah ini?" tanya Naomi penasaran. "Meminta pertanggungjawabannya, apalagi yang bisa kulakukan sekarang?" tanya Anneth balik. "Baiklah. Ta-tapi apa kau yakin dia yang menanamkan benih sperma itu di rahimmu?" tanya Naomi dipenuhi keraguan. "Maksudmu, aku tipe wanita jalang yang akan melakukan hubungan badan dengan pria manapun, Naomi?" balas Anneth dengan mata terbelalak.
Anneth tak menyangka Brandon akan meminta menikahinya secepat itu. Bahkan, pria berbadan tegap itu berjanji akan segera membicarakan persoalan ini dengan Papanya dan meminta restunya. Meskipun tak dipungkiri terselip keraguan dalam diri Anneth bahwa rencana ini akan berjalan mulus-mulus saja kedepannya. "Syukurlah kalau Brandon mau bertanggung jawab atas janin ini, tak ada yang perlu dirisaukan." gumamnya. Anneth yang masih bertahan di cafe seorang diri sambil merenung tentang masa depan dikejutkan oleh suara deringan ponsel. "Halo, Anneth, kau ada dimana, apa kau sudah ada di penginapanmu?" tanya Savvy. "Saya masih di cafe J&K, Pak, baru ketemu teman disini." balas Anneth.
Sorot mata tajam dan dingin Brandon kini berubah menjadi teduh dengan sepasang bola matanya begitu jernih bak lautan yang bening dan dalam bak samudra. Bola mata itu kini menatap lurus ke arah Anneth. Namun, Anneth masih merasakan aura ketegasan dan penuh kharisma yang seolah tak pernah luntur dari pria itu. "Kita tidak bisa menikah." tandas Brandon. "Apa maksudmu kita tidak bisa menikah, kau t'lah janji akan menikahiku, Brandon." ucap Anneth menimpali. "Papaku tidak menyetujui pernikahan kita, apa kau paham itu, hah?!" seru Brandon. "Lalu apa rencanamu, apa kau akan lepas tangan begitu saja, tidak mau bertanggung jawab atas janin?" tanya An
"Oh, maaf, sepertinya aku salah masuk ruangan." ucap pria asing yang masih berdiri tepat di ambang pintu sambil mengedarkan pandang ke segala sisi ruangan termasuk ke sisi lantai yang tampak berantakan karena berkas-berkas yang berjatuhan. "It's ok. Anda sedang mencari siapa, by the way ?" tanya Samara. "Pak Devisser." jawab pria asing itu. "Baiklah, tunggu di luar sebentar, akan kuantarkan kau ke ruangannya." ucap Samara yang dilingkupi rasa malu karena ruangannya yang tampak tak beraturan telah dilihat oleh seseorang. Sambil melangkah mengayunkan kaki menuju ruangan Pak Devisser, Samara terlibat percakapan dengan pria asing yang ditemuinya secara tak sengaja itu.
Dua bulan kemudian. "Apa-apaan ini, Ann?! Jelaskan padaku apa yang coba kau sembunyikan?" tanya Savvy dengan suara meninggi sambil menyodorkan sebuah foto pada Anneth di ruang kerjanya. Anneth mengambil foto dari jemari Savvy dengan tangan gemetaran. "Ti-tidak mungkin." gumam Anneth sambil mengernyitkan dahi dan mengatupkan mulut. "Apanya yang tidak mungkin?" tanya Savvy suara meninggi. "Ma-maaf, berikan waktu, aku akan menjelaskannya padamu nanti." jawab Anneth berusaha menghindar dari cercaan Savvy yang haus akan penjelasan. Anneth berdiri di ruang kerjanya sambil terus mengamat
Pernikahan yang diinginkan Anneth akhirnya terjadi meski tanpa restu orang tua Brandon. Pernikahan mereka juga dilakukan dengan tertutup. Meskipun pernikahan yang diinginkan Anneth terwujud tapi pernikahan ini sama sekali bukanlah seperti pernikahan yang selama ini diidam-idamkannya. Hanya segelintir orang yang diundang dalam pernikahan ini, termasuk Devaro (Lea), Naomi dan Sherly. Bahkan, dari awal Brandon sudah mengatakan dengan tegas pada Anneth bahwa tidak akan ada resepsi pernikahan, hanya akad. Bagi Brandon, resepsi yang diadakan meskipun tertutup hanya akan membuat berita pernikahan semakin menyebar dan meluas. Berita pernikahan yang meluas apalagi sampai terdengar ke telinga orangtuanya, tentu akan membuatnya dimarahi habis-habisan. Konsekuensi terberatny
Tok … tok … tok … Terdengar pintu diketuk, Anneth yang sedang sibuk mencari keberadaan suaminya bergegas melangkah menuju ke depan pintu rumah yang sengaja dirancang secara otomatis dan modern oleh Brandon. Tujuan Brandon merancang pintu sedemikian rupa agar tidak sembarang orang bisa masuk ke dalam rumahnya sesuka hati. Alangkah terkejutnya Anneth saat mendapati Brandon pulang dalam keadaan kacau dan berantakan dengan ditemani oleh seorang pria asing. Rupanya, pria asing itu yang mengantar pulang Brandon dengan mobil karena tidak mungkin bagi Brandon menyetir dalam keadaan mabuk. Anneth pun mengucapkan rasa terima kasihnya pada pria asing yang ditemuinya itu. "Syukurlah kau baik-baik saja, Bray." ujar Anneth.