Anneth tak langsung pulang usai mengikuti perkuliahan, ia memilih menghabiskan waktu di perpustakaan untuk menyelesaikan tugas kuliahnya. Namun, kali ini ia melakukannya seorang diri karena Sherly mengatakan ada keperluan mendadak sehingga harus segera pulang. Perpustakaan kampus buka 24 jam dibuat mirip seperti perpustakaan di kampus-kampus luar negeri. Suasana tampak ramai karena dipenuhi pengunjung saat Anneth sudah berada di dalamnya. Beberapa dari mereka ada yang hanya sekedar mampir untuk meminjam buku perpustakaan lalu pulang dan sisanya lebih memilih bertahan disana dengan membaca buku atau mengerjakan tugas seperti yang akan dilakukannya.
Peraturan dibuat untuk ditaati kan bukan untuk dilanggar, karena itulah perpustakaan terasa hening dan senyap. Peraturan untuk dilarang bersuara keras atau berkerumun dalam jumlah banyak yang berpotensi menimbulkan kegaduhan diterapkan disan
"Tidak… aku tidak menguntitmu, jika itu yang ingin kau katakan." ujar Devaro. Anneth mengangkat tinggi alisnya karena merasa keheranan dengan sikap Devaro. "Tidak sengaja, baiklah kita lupakan mengenai hal itu. Hai Varo, bagaimana kabarmu? sepertinya sudah lama tak bersua denganmu." "Hai juga, Ann. Aku baik-baik saja. Apa kau punya recehan lebih, aku sama laparnya denganmu tapi kulihat recehanku tak cukup untuk mengisi perutku yang mulai membuncit." "Haha… Seakan sudah lama sekali aku tak mendengar kata "membuncit". Kalau begitu kusarankan padamu untuk melakukan diet sehat." "Diet katamu? Itu berarti aku takkan bisa makan semua makanan yang kusuka."
"Ada apa, kenapa wajahmu tiba-tiba memucat? Apa kau sakit?" tanya Devaro cemas saat mereka sudah mendapat tempat duduk di bus. Anneth menggeleng. "Aku merasakan kegajilan di bus ini." "Keganjilan apa maksudmu, Ann?" "Entahlah, ini hanya imajinasiku saja atau kenyataan tapi para penumpangnya terlihat tak normal." "Tak normal, bagaimana sih?" "Aku sempat melirik para penumpang bus ini. Aku terperanjat ketika seorang perempuan berambut panjang tapi acak-acakan mendongak lalu menatapku dengan matanya yang merah menyala seakan ingin melahapku. Wajahnya juga berkerut ngeri dan sangat pucat pasi. Aku juga melihat kakek tua yang menopangkan daguny
Dari kejauhan menembus jendela kaca, Anneth yang siang itu mengenakan atasan putih tanpa lengan dan rok warna mint yang mengembang, menatap Devaro sedang duduk sendiri di kursi cafe yang dekat dengan jendela. Ia tampak meneguk secangkir minuman. Anneth bergegas menghampiri Devaro. "Hai, Devaro." ujar Anneth sesampainya di dalam cafe. "Hai, Ann, duduklah." Anneth duduk di kursi seberang Devaro. "Kau tampak elegan dengan syal indah itu." "Ah, iya, ini syal yang kubeli usai mendaki gunung di kota Banyuwangi. Ternyata selera kita tak berbeda jauh. Apa kau sudah lama berada disini?" "Tidak, baru pesan secangkir teh in
Anneth mendapat langsung kabar dari dr. Davis kalau ia mengambil cuti di rumah sakit untuk beberapa hari tapi masih akan berpraktek di klinik dekat rumahnya saat sore sampai menjelang malam tiba. Ia menawarkan pada Anneth untuk datang berkunjung ke klinik saja jika ingin berkonsultasi dengannya di hari itu. Anneth pun menyetujui penawaran Davis. Usai jam kerja di hotel berakhir, Anneth yang saat itu tidak datang ke kampus karena libur semester langsung tancap gas menuju klinik menggunakan bus, seperti biasa. Di dalam bus Anneth tersenyum kecut dalam hati mengingat bus berhantu yang pernah dinaikinya bersama Devaro. Bus yang kutumpangi hari ini normal. Penumpang bus pun tampak normal-normal saja, tak ada darah mengalir, tak ada badan remuk, tak ada jeritan minta tolong, benar-benar wajar tidak seperti yang bus berhantu yang pernah kutumpangi. Ah, mengingatnya membuat bulu kudukku b
Tatapan tajam sekaligus dingin yang ditujukan Davis pada Anneth membuatnya canggung dan merasa terintimidasi. "Aku sudah tak sabar menunggu informasi yang akan kau berikan padaku." ujar Davis dengan suara serak tapi tegasnya. "Sejujurnya aku bingung harus mulai darimana tapi akan kuberitahu semua yang aku tahu dan diamanahkan Lea padaku." "Sebelum Lea mengalami kecelakaan?" Anneth sontak terperanjat mendengar pertanyaan yang meluncur deras dari bibir Davis. Pertanyaan yang diajukan Davis terasa benar-benar di luar dugaannya. Akankah aku mengatakan yang sebenarnya pada Davis kalau ruh Lea mengalami semacam reinkarnasi? Kuyakin dia pasti takkan memercayainya, benak Ann
"Apa kau yakin ingin melihat bayi itu? Bukan karena kata-kataku yang menyinggungmu atau terlampau kasar untuk didengar, mungkin bagimu." tanya Anneth. "Bukan. Aku benar-benar ingin melihat sosok malaikat kecil itu, Ann." Anneth mengalihkan pandangan dari Davis dan menerawang ke arah jalanan melalui kaca jendela mobil. Dalam benaknya, ia merasakan kegalauan dan kebimbangan mengenai tindakannya sejauh ini. Apakah semua yang kulakukan sampai detik ini sudah benar? Mengapa aku harus terjerumus sangat dalam ke kehidupan orang lain?, seolah-olah aku ini sangat mencampuri urusan orang lain yang bahkan baru saja kukenal, batinnya. Mobil yang semula mulus melesat di jalanan beraspal terhenti dalam sekejap dan mengaburkan l
Diluar langit sudah berwarna abu gelap dan rintikan hujan terdengar turun dengan perlahan. Masih bertahan di ruang tamu rumah Ibu Lea, Anneth bisa menatap raut muka Ibu Lea yang tampak berubah menjadi bimbang usai mendengar pertanyaan Davis. Sebagai sesama perempuan, Anneth dapat merasakan apa yang saat ini dirasakan Ibu Lea. Namun, dalam hati terdalam, Anneth berharap Ibu Lea menjelaskan dengan penuh kejujuran dan keterbukaan apa yang sudah dialami Lea semasa hidupnya, tepatnya sebelum ia menghembuskan napas terakhirnya. Sesaat kemudian, Anneth menatap raut muka Ibu Lea yang berusaha ingin menjelaskan keadaan yang terjadi sebenarnya. "Iya, Nak Davis, Lea telah mengandung dan melahirkan seorang bayi perempuan yang dia beri Tanaya. Lea juga telah menceritakan semua yang terjadi diantara kalian." "Lalu, dimana, Bu, anak itu sekarang?"
Hotel Pandawa. 09.30. Anneth menatap layar laptop lekat-lekat yang ada di hadapannya sambil jari-jemarinya sibuk menekan tuts-tuts keyboard. Sesekali Anneth memalingkan wajahnya ke arah buku tulis polos yang tergeletak di samping laptop sambil tetap mengetik tanpa henti. Di ujung meja dekat dengan wadah, tempat pena dan alat tulisnya lainnya diletakkan terdapat gelas kaca berisi air putih yang bagian atasnya ditutup dengan penutup gelas tampak masih terisi penuh, belum berkurang sedikitpun. Rupanya, Anneth belum menyentuh sama sekali gelas itu apalagi menyesapnya. Perhatian Anneth yang semula berpusat pada laptop sedikit terganggu saat sebuah notifikasi pesan berbunyi. Jari-jemarinya yang semula sibuk berkutat dengan tuts-tuts keyboard dan mouse terpaksa terhenti sesaat, ia pun mulai mengecek pesan yang masuk di ponselnya.
TIK… TOK… TIK… TOK… Jam dinding kuno berdetak keras. Anneth terkesiap. Napasnya berderu kencang. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Anneth masih saja duduk bertahan di ruang kerjanya seorang diri. KRUK… KRUK… KRUK… Perutnya yang kosong mulai keroncongan. Tak ada makanan atau cemilan yang tersedia di meja kerjanya. GLUK…
Anneth mengangkat jari-jemarinya yang gemetaran dan mulai mengigit-gigit kukunya. Dia tidak mampu lagi menyembunyikan kegelisahannya saat duduk di kursi. Anneth yang baru saja keluar dari ruangan Pak Devisser diselimuti penyesalan. Karena terus didesak Anneth terpaksa berterus terang mengenai pernikahannya dan menjelaskan kondisinya yang sedang hamil pada Pak Devisser dan Savvy. Sekarang Anneth hanya bisa pasrah menanti pengumuman yang akan disampaikan oleh Pak Devisser melalui atasannya Savvy mengenai statusnya di hotel Pandawa. "Akankah Pak Devisser memecatku?" tanya Anneth semakin tak tenang. Sambil memainkan gelang persahabatannya dengan Devaro alias Lea, Anneth memandang keluar melalui jendela kac
Aku akan menghibahkan lukisan anak kecil itu pada orang lain." ucap Savvy. "Apa?! Tapi kenapa?" tanya Anneth. "Rumahku jadi semakin sering mengalami kejadian-kejadian aneh, Ann. Bahkan asisten rumah tanggaku pernah hampir menghabisi nyawanya sendiri dengan pisau karena bisikan-bisikan gaib yang menghantuinya." jawab Savvy. Anneth seketika dibuat tercengang dengan penuturan Savvy. "Temanku yang seorang punya indra keenam pernah melihat keganjilan pada lukisan itu saat bertandang ke rumah. Katanya lukisan itu mengandung unsur dimensi dunia lain yang sulit dicerna dengan akal. Dulu aku juga pernah bilang padamu 'kan, sejak lukisan itu dipajang di dinding, rumahku menjadi semakin angker." lanjutnya.
Tok … tok … tok … Terdengar pintu diketuk, Anneth yang sedang sibuk mencari keberadaan suaminya bergegas melangkah menuju ke depan pintu rumah yang sengaja dirancang secara otomatis dan modern oleh Brandon. Tujuan Brandon merancang pintu sedemikian rupa agar tidak sembarang orang bisa masuk ke dalam rumahnya sesuka hati. Alangkah terkejutnya Anneth saat mendapati Brandon pulang dalam keadaan kacau dan berantakan dengan ditemani oleh seorang pria asing. Rupanya, pria asing itu yang mengantar pulang Brandon dengan mobil karena tidak mungkin bagi Brandon menyetir dalam keadaan mabuk. Anneth pun mengucapkan rasa terima kasihnya pada pria asing yang ditemuinya itu. "Syukurlah kau baik-baik saja, Bray." ujar Anneth.
Pernikahan yang diinginkan Anneth akhirnya terjadi meski tanpa restu orang tua Brandon. Pernikahan mereka juga dilakukan dengan tertutup. Meskipun pernikahan yang diinginkan Anneth terwujud tapi pernikahan ini sama sekali bukanlah seperti pernikahan yang selama ini diidam-idamkannya. Hanya segelintir orang yang diundang dalam pernikahan ini, termasuk Devaro (Lea), Naomi dan Sherly. Bahkan, dari awal Brandon sudah mengatakan dengan tegas pada Anneth bahwa tidak akan ada resepsi pernikahan, hanya akad. Bagi Brandon, resepsi yang diadakan meskipun tertutup hanya akan membuat berita pernikahan semakin menyebar dan meluas. Berita pernikahan yang meluas apalagi sampai terdengar ke telinga orangtuanya, tentu akan membuatnya dimarahi habis-habisan. Konsekuensi terberatny
Dua bulan kemudian. "Apa-apaan ini, Ann?! Jelaskan padaku apa yang coba kau sembunyikan?" tanya Savvy dengan suara meninggi sambil menyodorkan sebuah foto pada Anneth di ruang kerjanya. Anneth mengambil foto dari jemari Savvy dengan tangan gemetaran. "Ti-tidak mungkin." gumam Anneth sambil mengernyitkan dahi dan mengatupkan mulut. "Apanya yang tidak mungkin?" tanya Savvy suara meninggi. "Ma-maaf, berikan waktu, aku akan menjelaskannya padamu nanti." jawab Anneth berusaha menghindar dari cercaan Savvy yang haus akan penjelasan. Anneth berdiri di ruang kerjanya sambil terus mengamat
"Oh, maaf, sepertinya aku salah masuk ruangan." ucap pria asing yang masih berdiri tepat di ambang pintu sambil mengedarkan pandang ke segala sisi ruangan termasuk ke sisi lantai yang tampak berantakan karena berkas-berkas yang berjatuhan. "It's ok. Anda sedang mencari siapa, by the way ?" tanya Samara. "Pak Devisser." jawab pria asing itu. "Baiklah, tunggu di luar sebentar, akan kuantarkan kau ke ruangannya." ucap Samara yang dilingkupi rasa malu karena ruangannya yang tampak tak beraturan telah dilihat oleh seseorang. Sambil melangkah mengayunkan kaki menuju ruangan Pak Devisser, Samara terlibat percakapan dengan pria asing yang ditemuinya secara tak sengaja itu.
Sorot mata tajam dan dingin Brandon kini berubah menjadi teduh dengan sepasang bola matanya begitu jernih bak lautan yang bening dan dalam bak samudra. Bola mata itu kini menatap lurus ke arah Anneth. Namun, Anneth masih merasakan aura ketegasan dan penuh kharisma yang seolah tak pernah luntur dari pria itu. "Kita tidak bisa menikah." tandas Brandon. "Apa maksudmu kita tidak bisa menikah, kau t'lah janji akan menikahiku, Brandon." ucap Anneth menimpali. "Papaku tidak menyetujui pernikahan kita, apa kau paham itu, hah?!" seru Brandon. "Lalu apa rencanamu, apa kau akan lepas tangan begitu saja, tidak mau bertanggung jawab atas janin?" tanya An
Anneth tak menyangka Brandon akan meminta menikahinya secepat itu. Bahkan, pria berbadan tegap itu berjanji akan segera membicarakan persoalan ini dengan Papanya dan meminta restunya. Meskipun tak dipungkiri terselip keraguan dalam diri Anneth bahwa rencana ini akan berjalan mulus-mulus saja kedepannya. "Syukurlah kalau Brandon mau bertanggung jawab atas janin ini, tak ada yang perlu dirisaukan." gumamnya. Anneth yang masih bertahan di cafe seorang diri sambil merenung tentang masa depan dikejutkan oleh suara deringan ponsel. "Halo, Anneth, kau ada dimana, apa kau sudah ada di penginapanmu?" tanya Savvy. "Saya masih di cafe J&K, Pak, baru ketemu teman disini." balas Anneth.