Selandia Baru -1923
Tepatnya ada di kota The West yang terpencil. Di sana ada rumah sederhana, bahkan bisa dikatakan sangat kecil. Hamparan hijaunya sayuran sawi dan wortel, juga pepohonan yang rindang mengelilingi rumah. Air sungai mengalir jernih mengapit antara rumah ke rumah, membuat kota ini begitu sangat sejuk.Rumah sederhana ini bangunannya dari perpaduan anyaman bambu dan kayu jati yang tertata tidak beraturan. Adalah tempat tinggal gadis usia sepuluh tahun beserta keluarganya.
Tenang, duduk di pelataran rumah dengan kursi panjang yang hampir rapuh. Tangannya asik dengan buku tulis usang ditemani pencil yang hanya tinggal separuh.
Tiba-tiba, langkah kaki kasar dan terburu-buru keluar dari dalam rumah.
“Kamu kalau sudah besar mau menjadi apa?” tanya Johan, yang merupakan Ayah dari gadis kecil ini sambil meraih peralatan melukisnya.
“Aku ingin menjadi penulis, penulis yang hebat!” jawab Ann enteng.
Ann Arthurian, gadis terlahir dari keluarga kurang beruntung namun penuh ambisi. Johan yang sudah kesiangan, tidak menggubris jawaban dari anak ketiganya ini. Juga, sepertinya pertanyaan itu pun hanya sekadar basa-basi. Dengan cepat dia segera meninggalkan rumah.
Sedangkan Natalie sebagai kakak yang hendak pergi merantau ke Wales, tiba-tiba dia berucap, “Jadi perempuan rumahan saja, jaga suami dan anak-anak. Jangan tinggi-tinggi nanti kalau sudah jatuh, sakit!”
Ann tidak menjawab apa- apa, dia hanya memeluk kakaknya ini yang entah kapan bisa berjumpa lagi.
Kendatipun dari hati Ann banyak pertanyaan, 'Kenapa perempuan tidak boleh memiliki mimpi? Punya cita-cita? Lalu orang hebat di luar sana seperti Marie Curie wanita pertama meraih nobel bidang fisika, Edith Wharton seorang novelis Amerika, mereka itu wanita!'
Namun, pertanyaan itu kerap terhenti, karena untuk mencapai mimpi itu, perlu usaha, dorongan dan mental yang kuat. Sedangkan Ann hanya ada keinginan waktu ini, tidak ada seorang dari keluarganya yang mendukung, terlebih lagi dana, dia cukup tahu diri akan hal itu.
Natalie sendiri seperti sudah memahami keadaan ini, dia terpaksa harus pergi karena keluarga tidak bisa menghidupinya. Pergi meninggalkan rumahnya hingga waktu yang tidak bisa ditentukan.
Natalie tidaklah senang dengan kejadian ini, tapi dia harus tegar dan pasrah.Tangannya menjinjing tas yang isinya beberapa helai baju, dia pun mengikuti Theresa kakak dari Johan.
“Kak, kamu baik-baik saja di sana!!” teriakan Ann terdengar hingga rumah tetangganya.
Natalie hanya melirik dengan menyimpulkan seulas senyum pada bibirnya.
Sepeninggalnya kakaknya, Ann kecil kembali dengan kegiatannya. Ialah merangkai kata, menulis mimpi-mimpi, hingga berdrama dengan alam pikirannya.
Imaginasi merangkai kata pun sudah kontras terlihat dari bagaimana dia berbicara. Baru saja hendak menulis,dikejutkan oleh teriakan Mariez, “Cepat bantu Ibu mencuci pakaian, pegang buku dari pagi!”
Gadis kecil ini beranjak dari tempat duduknya, “Baik Bu,” lirihnya sambil tergesa-gesa menaruh buku tulisnya. Tangannya pelan mengambil peralatan mencuci yang tersedia ala kadarnya. Begitulah kebiasaan akhir pekan gadis ini.
***
Senin adalah hari yang Ann tunggu-tunggu, setidaknya dia bisa bertemu dengan teman-temannya dan belajar pelajaran-pelajaran yang hampir semua mata pelajaran dia sukai.Adrian sudah lama memperhatikan muridnya yang satu ini.
Tulisan yang dia tulis di atas papan tulis, dibaca oleh Adrian Louis gurunya yang tiba-tiba masuk ruangan. “Kamu ini kenapa menulis seperti itu?” tanyanya pelan sembari memberikan separuh roti yang ada di tangannya.
Malu-malu Ann mengambil roti tersebut disertai senyuman kecut yang spontan. “Sepintas saja ada dalam benak lalu ditulis!” ucapnya pelan hampir tidak terdengar.
Adrian hanya menatap wajah Ann yang lugu, lalu meninggalkannya sendirian di dalam kelas.
Jam istirahat ini Ann menyendiri di dalam kelas, bukan keinginannya untuk sendiri karena sahabat baiknya sedang tidak masuk. Hubungan antara keduanya memang tidak bisa tergantikan, mereka seperti satu jiwa. Kalau salah satu tidak ada pasti seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Selain dari itu, penyebab Ann tidak bisa bergabung dengan yang lain karena dia akan tersisih sendiri.
Sejenak Ann menghela napas kasar.
“Ayahku hanya seorang pelukis jalanan, uang yang dihasilkan pun terkadang tidak cukup untuk membiayai kehidupan sehari-sehari. Mana aku berani meminta uang padanya untuk jajan? Sementara yang lain mereka leluasa mendapatkan itu?” ucapnya dalam senyap sembari tangannya membaca kembali materi dari pelajaran yang baru dia tulis.
Ternyata Ann menyendiri, karena dia merasa tidak menyatu dengan yang lain, karena dia tidak memiliki uang jajan. Masuk akal!
Tidak begitu lama, lonceng pun berbunyi tanda istirahat telah usai.
TENG! TENG!
“Ann, kamu masuk kelas 3 ya!” ujar Adrian datang begitu saja dari pintu tengah ruangan.
Ann berjalan penuh semangat sambil membetulkan rok pendeknya.
“Pasti dia dikencani guru yang satu itu, tuh…” usil teman yang tidak menyukai Ann.
“Heh, dia pasti disuruh mengisi kelas karena guru matematika sedang melahirkan!” sahut temannya yang lain membela Ann yang sudah keluar kelasnya.
Ann pun masuk kelas tiga, wajahnya memang tidak asing untuk murid-murid yang jumlahnya 18 orang ini.
“Bu guru Ann, aku tidak mengerti pengurangan yang ini loh,” sapa seorang murid yang tiba-tiba datang menghampiri.
Ann mendelikan matanya, kemudian berbicara dengan nada ketus, “Panggil saja ‘Kakak’ tidak Bu guru, sebab aku ini bukanlah Ibu-Ibu!”
Yep, Ann ini bukanlah Ibu Guru dia masih duduk di kelas empat. Tapi, dia kerap mengisi kelas jika ada guru yang tidak masuk.
Dengan tenang dia pun mengajar sesuai materi yang ada pada buku. Cara penuturan yang details adalah ciri khasnya, hingga terkadang dia sendiri hafal apa yang tertulis dari buku tersebut. Sehingga membuat adik kelasnya ini begitu sangat dekat dengannya.
Bukan hanya dicintai, saat bersamaan dia pun banyak yang iri. Sayangnya, dia tidak terlalu mempersoalkan akan itu. Setelah mengajar, dia akan kembali ke kelasnya dan mendapati kalau teman-temannya sudah siap-siap untuk pulang.
Matanya melirik pada jam dinding yang menempel dia atas papan tulis. “Pukul 12:05?” ucapnya. Dia pun segera mengambil buku yang ada di atas meja gurunya.
“Jangan dibawa pulang, bapak mau membuat soal...” ucap Adrian sambil menyimpulkan senyum.
“Tidak Pak, Ann mau selesaikan di sini!” jawabnya datar.
Cepat, dia pun duduk di tempat duduknya, tangan Ann menulis dengan cepat, kalau tidak dia akan sangat terlambat pulang ke rumahnya.
Adrian memperhatikan wajah muridnya ini, “Kamu kalau sudah lulus sekolah mau menikah denganku?” tanyanya.
Mendengar itu, Ann hanya tertawa, “Bapak kalau bercanda jangan sama anak kelas 4 sekolah dasar!” tegasnya sambil menutup buku tulisnya.
“Belum juga datang menstruasi, udah diajak nikah!” imbuh Ann melanjutkan sambil cekikikan.
Baru saja Ann, sampai pintu Adrian berseru. “Ambil ini NZ$2 untuk mengisi kelas tiga pelajaran matematika tadi, dan ini NZ$1 untuk kamu dari aku!”
Ann menerimanya dengan senang hati. “Terima kasih Pak,” singkatnya pelan.
Adrian tidak berbicara sepatah kata pun, tatapannya pada wajah muridnya ini. Sedangkan Ann segera meninggalkan ruangan dan sekolahnya. Berjalan ke arah selatan, kemudian menyusuri jalan setapak yang merupakan jalan pintas agar cepat sampai rumahnya. Karena jarak rumah dan sekolah yang lumayan cukup jauh, kurang lebih ada sekitar 3 kilometer.
Karena lelah Ann pun duduk sejenak, dia berteduh di bawah pohon rindang sambil mengambil air minum di dalam tasnya, dan tak lupa mengeluarkan buku tulisnya.
Tangannya pun mulai menggerakan penanya, dia menulis.
Tapi, dengan segera Ann menghapusnya, karena gadis kecil ini menulis bukan pada buku usangnya melainkan pada buku tulis untuk sekolah. “Ish, Ibu pasti marah kalau aku menulis di sini, karena akan membuat buku cepat habis!” desisnya.
Iya, dia sangat paham bagaimana Ibunya membatasi pengeluaran.
-Flashback on-
“Ini buku tulis untuk satu semester, tulisan jangan besar-besar agar tidak cepat habis! Mengerti kamu!” ucap Mariez tegas.
Ann menerima dengan senyuman, “Tenang Bu, Ann akan menulis kecil-kecil, seperti semut!”
Ann tersenyum sambil beranjak berdiri, dia pun kembali melanjutkan perjalanannya.
“Hey dunia! Kamu sudah membuatku tersiksa!!” teriaknya.
“Oh, Ann dunia memang terkadang sangat tidak adil bagi sebagian kita. Tapi, kamu harus sabar dan kuat!” ujar seorang Nenek yang tiba-tiba sudah berada di hadapannya. Spontan, Ann mengercapkan kedua matanya. “Nenek?” Ann terkejut sambil menghampiri dan memeluknya. “Kok Nenek ada di sini?” tanya Ann pada Loriez yang ada di depannya. Begitu Ann mendongakan wajahnya ke atas, dia memundurkan langkahnya ke belakang. “Maaf, Pak,” ucapnya sambil memuyu-muyu matanya. “Lain kali, kalau jalan gunakan kedua mata!” jawab seorang Bapak yang tidak dikenali dengan kasar. Sejenak Ann merenung, ‘Kenapa kejadian ini sering terjadi? Tapi ini begitu nyata,’ ucapnya dalam senyap. Setelah sadar kalau itu hanya halusinasi, dia pun segera mempercepat langkahnya. Begitu sampai rumah, matanya kembali digercapkan. “Nenek Loriez?” ucapnya agak terkejut. Nenek serta merta mengurai tangannya lalu memeluk erat cucu kesayangannya ini. Tapi Ann,segera melepaskan. Melihat itu, Loriez heran. “Kamu baik-baik saja, A
Sepeninggal ibu dan neneknya, Ann kembali berimajinasi, tangannya lincah menulis di atas buku lusuhnya. Pikiran Ann pada kenyataan hidup yang selalu dibatasi. Dia memiliki sayap namun tersangkut pada ranting-ranting pepohonan, sangkutan itu tiada lain adalah pahitnya kemiskinan. Tiba-tiba saja Ann dikejutkan oleh Ayah yang baru datang, “Mariez, Riez kamu di mana? Cepat, ambilkan minum! Ambilah bahan makanan ini, lukisanku hari ini terjual dua buah dengan harga yang lumayan!” ucapan itu membuat Ann tersenyum. Ann dengan cepat mendatangi Johan. “Yah, Ayah... ibu pergi bersama nenek ke kampung sebelah!” ujar gadis kecil yang sudah berdiri di depannya sambil memberikan segelas air. Johan tersenyum, tangannya meraih gelas sambil berucap sangat lembut, “Mungkin kamu akan memiliki Adik baru.” Penuturan dari ayahnya membuat Ann menghela napas pendek, dia tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Sedangkan matanya tertuju pada beberapa bahan makanan yang Johan beli, “Ayah, bolehkan aku makan sep
Seketika Ann menutup kuping dengan menggunakan kedua tangannya, samar-samar dia mendengar lagi perkataan kasar dan cacian dari ayah kepada ibunya. Ann pun membalikan badannya, langkahnya berjalan ke arah ladang gandum yang menguning terhampar. Tatapannya ke arah gubuk kecil yang ada di tengah-tengah ladang. Kendatipun perut Ann sangat lapar dan tubuhnya yang lelah, dia masih terus berjalan mendekat gubuk tersebut. Begitu sampai dia pun duduk pada papan separuh yang tergeletak di antara rerumputan liar yang tumbuh, badannya menyender pada tiang bambu penopang gubuk. Ungkapan-ungkapan yang ada di pikirannya, Ann curahkan pada buku lusuhnya. Dengan tak sadar airmatanya mengalir deras. “Anak perempuan memang ditakdirkan cengeng!” gertak suara anak laki-laki yang tiba-tiba saja sudah berdiri tegak di belakang Ann. Cepat, Ann tergapah berdiri. Begitu membalikan tubuhnya dia melihat sosok anak laki-laki memakai kaca mata bening berbentuk bulat dengan frame warna hitam dan bertopi warna hi
Alice yang terpaku dari tadi tidak tinggal diam, dia mengikuti sahabatnya. Setelah sampai rumah Ann, Alice masuk ke dalam kerumunan, dia pun bertanya pada salah satu warga yang ada di sana, “Kenapa dan ada apa Pak?” “Nenek Loriez terjatuh, sepertinya dia memang sudah waktunya ajal, usianya ‘kan sudah tua sekali,” ungkap salah satu Bapak yang sibuk mempersiapakan pemulasaraan. Alice berdiri di belakang Ann, tangannya meraih lengan gadis yang sedang terisak ini. “Ann, kamu harus kuat, malam ini tidurlah di rumahku,” ucapnya pelan. Ann beranjak dan menoleh pada Alice, “Tuhan tidak sedang bersamaku, itu selalu!” ucapnya pesimis. “Tuhan sedang ada rencana besar untukmu, sabarlah!” jawab Alice menguatkan hati sahabatnya, hanya itu cara satu-satunya agar Ann tidak terpuruk. Kendatipun dia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Tidak memakan waktu lama, karena tidak ada yang harus ditunggu dari pihak keluarga. Pemulasaraan pun telah usai dengan
Di dalam asrama mata Ann memperhatikan ke sekeliling ruangan sambil terpaku di atas tempat tidur bertingkat. Tatapannya pada suster dan anak-anak sebayanya yang sedang sibuk dengan buku-buku mereka di atas meja belajar. Reina datang menghampiri dengan membawa beberapa baju dan kotak segi empat. “Jangan merenung seperti itu, nanti suster Maria akan menggodamu,” ujarnya sambil menoleh pada suster yang berbadan gemuk yang sedang merapikan tempat tidur. Tangan Reina pun meraih kotak, setelah di buka isinya adalah bermacam-macam buku yang tidak pernah Ann miliki. “Ensiklopedia Algoritma? Ensiklopedia Cultural? Science? Sejarah? Ilmu Peradaban?” ucap Ann sumringah sambil mengeluarkan semua buku-buku tersebut, hingga membuat tempat tidurnya penuh. Reina tersenyum melihat antusiasme Ann pada buku-buku, dia menyadari anak yang baru datang ini tidak seperti anak pada umumnya. Dia berasal dari keluarga yang sangat tidak mampu. Kemudian, dia pun meninggalkannya.
Terbiasa dengan kehidupan serba minimalis dan ala kadarnya, tidur beralas sehelai karpet adalah bukan persoalan yang besar. Menyadari siapa dirinya, Ann tidak banyak menuntut atau mengeluh. Dia beraksi biasa saja, kemudian kakinya melangkah pada anak yang sedang menulis di sebelahnya. “Bolehkan aku minta beberapa lembar buku tulis dan pinjam pencil?” pinta Ann sedikit memelas. Teman sekamarnya ini membuka lacinya, lalu mengeluarkan buku dan pensil, “Ini, buatmu saja!” ucapnya datar. Ann mengambil buku tersebut dan berterima kasih. Kemudian, Ann duduk di kursi belajarnya lalu menulis kembali materi-materi yang diujikan waktu dia ulangan pelulusan. Kendatipun tidak yakin kalau besok akan diuji dengan soal yang sama. Melihat itu, Angela dan Belle penasaran dengan apa yang Ann tulis, “Kamu menulis apa?” tanyanya sambil menengok ke arah buku. “Aku menulis, operasi perkalian dan pembagian bilangan bulat, membandingkan bilangan pecahan, mengingat kembali bilangan berpangkat bulat positif,
Setelah mengunci pintu, Maria menaruh kunci tersebut di bawah tong sampah besar yang ada di dekat pintu kamar mandi. Kemudian dia pun kembali ke ruang ibadah bergabung dengan yang lain. Di dalam ruangan, anak-anak dan para Suster berdoa dengan khusyuk. Di akhiri ceramah singkat oleh Madam Julia. “Semoga hari ini yang ikut olimpiade diberikan kemudahan oleh Tuhan. Amen!” tutupnya. Ternyata Nancy menyadari kalau Ann tidak ikut berdoa, dia pun segera pergi ke kamar untuk memeriksanya. Sayangnya, Ann tidak ditemukan, begitu pula ketika dia memeriksa di ruang makan. Nancy mulai cemas, dia pun segera menemui Madam Julia, “Madam…Madam, Ann hilang! Dia tidak ada?” ujar Nancy terpengap-pengap. Julia menatap wajah Nancy dan bertanya, “Kamu ini dari tadi pagi sudah tidak beres, tadi bilang kasur dan buku milik Ann hilang, sekarang Ann-nya yang hilang! Kamu ini kenapa?” Nancy mencoba menstabilkan napas dan berbicara dengan tenang, “Madam, aku merasa yakin dengan
Tangan Ann sedikit gemetaran dan dingin ketika membuka map isi soal-soal, setelah membukanya mata Ann berbinar. ‘Tuhan sekarang sangat baik, sangat baik!’ gumamnya, karena yang ada pada lembaran soal sesuai dan hampir sama dengan apa yang Ann pelajari semalam. Kepolosan Ann, dia akan mengira Tuhan baik, jika sedang memberikannya kemudahan, dan akan berpikiran sebaliknya jika sedang dalam kesulitan. Padahal Tuhan itu sangat baik dan bijaksana kepada seluruh umatnya. Oh Ann! Keberuntungan Ann mulai berpihak padanya karena dalam hitungan menit dia sudah bisa menyelesaikan lembar per lembar pertanyaan yang banyaknya lebih dari 100 soal. Santainya Ann menaruh di atas meja pengawas, lalu ke luar dari ruangan. Melihat itu Angela dan Belle terkejut, tepatnya hampir semua anak-anak terkejut. Sedangkan mereka masih belum menyelesaikan kalaupun separuhnya. Di luar pintu masuk, petugas keheranan melihat Ann sudah ke luar sebelum waktu yang telah ditentukan.
Setelah pamitan pada ibu, ayah serta Renata yang baru pulang dari sekolah. Ann langsung masuk ke dalam mobil milik pribadinya, dan sopir pun sudah duduk di depan stir. Sementara Juan masih bergeming di dekat pintu mobil, "Ann, kamu ikut mobilku, aku mau mengantarkanmu." Pinta Juan sembari menatap wajah gadis yang sudah duduk di atas jok mobil belakang. Ann menggelengkan kepalanya. "Aku sama sopir saja!" singkatnya. "Ayo Pak, kita jalan agar tidak ketinggalan pesawat." Ann menambahkan dengan melirik ke arah sopir. Sementara Juan yang masih terpaku di depan pintu mobil, akhirnya duduk di sebelah Ann. Sopir bergegas melajukan mobil. Sedangkan Juan serta Ann saling membisu di belakang, setelah beberapa saat Juan memiringkan badannya menghadap Ann yang sedang membaca buku. "Yang kamu lihat minggu lalu tidak sesuai penglihatanmu!" jelasnya pelan dengan tangan hendak meraih tangan Ann, akan tetapi ditepis olehnya. Ann pun beraksi sama disertai menatap wajah Juan. Kemudian berbicara ketus,
Pesawat pribadi Erick yang ditumpangi dirinya serta Ann sudah mendarat dengan selamat di kota terkenal akan bangunan bersejarahnya namun berarsitektur kuno ini. Hawa sejuk musim semi serta rintikan hujan menyambut kedatangan dua manusia yang berbeda usia ini. "Selamat datang di London, Sir!" ucap Pengawal dari kolega Erick dengan ramah. Ann semakin tajkub pada sosok Erick ini. Sosoknya bagi Ann adalah inspirasinya. Kemudian para pengawal membawa Erick dan Ann agak jauh dari perkotaan. Selama perjalanan pandangan mata Ann menembus kaca jendela mobil jauh ke luar sana. Ya, jauh tidak karuan, hatinya kini hampa karena di sampingnya tidak ada sosok penguatnya. Akan tetapi berbeda setelah melihat handphonenya penuh dengan pesan dari Juan. Pesan-pesan itu seolah asupan energi semangatnya dia pun akhirnya tersenyum. Mobil berhenti di depan bangunan dengan arsitek paling unik di antara bangunan ataupun rumah lainnya. "Ayo, Ann!" ajak Erick yang sedang memperhatikan gadis belia
Alarm jam yang terdapat di atas nakas Jeanne berdering keras persis di sebelah kuping Ann. Suaranya yang memekakan hingga menusuk genderang telinganya, membuat dirinya dengan cepat meraih jam tersebut serta melihatnya. Di sana terlihat pukul 04:25, Ann pun menoleh ke arah samping dimana Jeanne dan Sylvie tidur. "Ke mana mereka?" ucap Ann pada diri sendiri, karena menampaki teman-temannya memang sudah tidak ada di sampingnya. Ann pun bergegas duduk serta memperhatikan ke seluruh ruangan, ranjang Sylvie pun kosong. Matanya hanya melihat ke arah tempat tidur Rania yang dirinya masih tertidur pulas. "Ke mana mereka sepagi ini?" lagi-lagi Ann berbicara sendiri. Cepat sekali Ann masuk ke dalam kamar mandi dan melakukan aktivitasnya. Setelahnya dia pun dengan segera berjalan ke arah dapur. "Juan? Jeanne? Sylvie?" ucap Ann agak terkejut karena mereka sudah ada di dalam dapur. "Pagi, Ann." Sapa Sylvie sambil memberikan secangkir susu coklat hangat. Ann tak
Natalie beserta kecemburuan dan iri hatinya. Sementara Ruth dan Ann mereka berdua menikmati kebersamaan dengan saling bercanda tawa terkadang diselangi pelukan mesra. "Tante pinjam Ann sebentar!" ucap Juan pada Ruth. Juan melakukan itu agar Ruth tidak mencolok memperlakukan Ann hingga membuat Natalie cemberut. "Nat, temankan Tante Ruth sejenak!" Juan menoleh pada Natalie yang masih berdiri bergeming serta memasang muka tak bersahabat. Ruth sepertinya tidak mengerti dengan gelagat Natalie, dia malah berasumsi kalau Juan bereaksi seperti itu karena dirinya sudah tahu isi hati Juan pada putrinya. Kemudian menoleh pada Ann, "Ikutlah Ann, biar Juan tidak sewot melulu!" godanya. Ann mendelik ke arah Juan serta menghampiri, "Mau apa sih?" Juan tidak menjawab pertanyaan dari Ann, melainkan dengan cepat meraih jemarinya lalu menggenggamnya. Ann bertanya kembali, "Mau ke mana?" Juan berbisik ke petugas yang ada di depan pintu tad
Ann menepuk pipinya pelan serta menggercapkan secara cepat kedua bola matanya."Iya, ini Kakak!" Natalie meyakinkan sambil menghampiri adiknya. Tangan kanannya meraih jemari gadis yang memakai pakaian adat Selandia Baru ini pelan sekali, sedangkan tangan kirinya mengelus halus pipi kirinya. "Kamu sangat cantik memakai pakaian ini, dan kamu memang cantik!" ucap Natalie dengan pandangan menatap tajam wajah adiknya.Ann tersenyum tipis serta langsung memeluk kakaknya ini. "Kakak kok bisa ada di sini?" desisnya tepat di kuping Natalie.Natalie merenggangkan pelukannya, dia menuntun adiknya ke arah sudut ruang ramah tamah yang sebelumnya Natalie memotong tart strawberri coklat dan menaruhnya di atas piring kecil lalu mengguyurkan coklat cair di atasnya. "Nih, dari pada colak colek seperti tadi! Jorok tahu!" sindir Natalie sambil memberikan piring kecil isi kue pada adiknya ini. Sumringah Ann mengambilnya serta langsung memakannya sembari dihayati.&n
Napas Catherine tersengal melihat kesedihan saudaranya itu, dia pun turut merasakan bagaimana perasaan Ruth bertahun lamanya. Memahami kalau Ruth bukanlah seorang ibu yang melepaskan tanggung jawab begitu saja, akan tetapi beberapa alasan hingga membuat dirinya terpaksa melakukan semua, terlebih lagi demi keluarganya.Setegar-tegarnya Ruth, namun malam ini dia nampak rapuh. Air matanya mengalir deras di depan anak kandungnya yang sedang tertidur pulas. Tangan halusnya membelai rambut panjang Ann terhampar di atas bantal berbalut sarung berwarna putih. Satu kecupan hangat pun berlabuh di atas pipi mulus gadis belia ini. Kendati tertidur, Ann masih merasakan kecupan serta belaian dari ibu kandungnya ini. Akan tetapi dia berpura-pura memejamkan matanya.'Aku menyayangi kalian,Bu.' Bisik hati Ann dalam senyap. Ann mengerti semua kejadian ini terjadi karena ujian dari Tuhan. Mariez juga Ruth hanya sekedar korban dari para manusia yang telah dikendalikan hawa naf
Ann masih membaca semua tulisan-tulisan tangan hasil dari nenek Ann. Dia merupakan saksi dimana Ruth melahirkan, serta hanya Ann inilah yang mendukung segala hal akan kelahiran putri dari Ruth ini. Nenek Ann tidak menceritakan kisah cinta Johan dan Ruth karena Ruth saat itu telah dijodohkan pada kerabat suaminya, walaupun akhirnya kandas begitu saja seiring penolakan halus dari Ruth sendiri. Ditambah lagi kisah kaburnya Ruth terdengar ke seluruh keluarga besar Arthurian. Thony bukan tidak tahu kalau putrinya sudah menikah juga telah memiliki putri, akan tetapi dia belum tahu siapa asal usul Johan. Hingga akhirnya Thoby menjelaskan semuanya. Namun, saat itu sudah terlambat. Terlebih lagi diketahui oleh Thony kalau Johan telah memiliki istri, dia tidak ingin jika putrinya disandang perusak rumah tangga orang. Thony sekeluarga seolah tega, walaupun kadang-kadang perasaan tidak tega menyelimuti mereka pada bayi yang putrinya secara paksa ditinggalkan begitu saja.
Johan masih tidak percaya pada pernyataan dari Dean. Akan tetapi setelah dia mengingat ulang sikap Mariez dan tingkah lakunya sewaktu berumah tangga bersamanya. Mariez memang agak keras serta cerewet. Dia pun menyadari cerewetnya Mariez disebabkan oleh kelelahannya. Ya, sekarang perasaan Johan tersayat, menyadari bahwa dirinya tidak pernah memperlakukan almarhum istrinya dengan baik. "Maafkan aku, Mar." Ucapnya pelan sekali. Dean belum puas untuk membuat Johan agar merasa lebih bersalah, "Tahu tidak, Dean? Mariez istrimu itu jangankan mau berselingkuh denganku, kalau berpapasan saja sepertinya kalau ada jalan lain, dia akan menghindariku. Dia wanita luar biasa. Sayangnya, dia mendapat suami bangsat sepertimu!" "Cukup! Hentikan! Atau aku bunuh kamu!" ucap Johan sambil berusaha untuk menerjang Dean. Akan tetapi Antonio dan Erick melerainya, "Cepat pergi kamu Dean! Beritahu Ruth kalau suaminya telah ke luar dari penjara!" "Kamu beruntung Johan dicint
"Kenapa? Karena sudah selingkuh dan membuat Natalie? Entah Renata juga bayi yang dikubur pun itu anakku atau bukan!" jawab Johan sinis. Ann menyolot, "Jadi, aku ini bukan anak ibu? Lantas, aku anak siapa?" Johan nampak meraba sakunya, lalu dikeluarkan dompet dari dalamnya. "Nih, ini ibumu! Ruth Arthurian!" tegas dan ketus Johan menjelaskan sedangkan tangannya memberikan secarik foto. Tubuh gadis ini gemetar tidak berani mengambil foto itu. Dadanya sesak dan tidak ada nyali untuk menghadapi kenyataan. Air matanya sudah deras membasahi pipinya, linangan itu ada karena bercampur antara emosi, sakit hati serta kaget. Seketika Ann pun masuk ke dalam kamarnya dengan cepat. "Kalau sekarang kamu mengatakan omong kosong, aku pun harus tahu semua omong kosong foto-foto yang berasal dari rumah kakek Thoby dan ayah Juan!" pikirnya sembari mengambil foto-foto tersebut dan kembali ke ruang makan. "Aku sudah mendengar omong kosongmu,