Seketika Ann menutup kuping dengan menggunakan kedua tangannya, samar-samar dia mendengar lagi perkataan kasar dan cacian dari ayah kepada ibunya. Ann pun membalikan badannya, langkahnya berjalan ke arah ladang gandum yang menguning terhampar. Tatapannya ke arah gubuk kecil yang ada di tengah-tengah ladang.
Kendatipun perut Ann sangat lapar dan tubuhnya yang lelah, dia masih terus berjalan mendekat gubuk tersebut. Begitu sampai dia pun duduk pada papan separuh yang tergeletak di antara rerumputan liar yang tumbuh, badannya menyender pada tiang bambu penopang gubuk.
Ungkapan-ungkapan yang ada di pikirannya, Ann curahkan pada buku lusuhnya. Dengan tak sadar airmatanya mengalir deras.
“Anak perempuan memang ditakdirkan cengeng!” gertak suara anak laki-laki yang tiba-tiba saja sudah berdiri tegak di belakang Ann.
Cepat, Ann tergapah berdiri. Begitu membalikan tubuhnya dia melihat sosok anak laki-laki memakai kaca mata bening berbentuk bulat dengan frame warna hitam dan bertopi warna hijau army. Mata Ann pun memperhatikan ujung kaki hingga pakaian yang dikenakan anak tersebut.
Menurut Ann, anak ini bukan dari lingkungannya, sepatu boot yang dipakai menandakan kalau dirinya orang berkelas. “Kamu siapa?” tanya Ann dengan suara agak serak.
Anak laki-laki ini mengulurkan tangannya sambil menjawab, “Aku Juan Deriel, panggil saja Juan atau Riel yang aku paling suka!”
Pelan dan ragu Ann menyambut uluran tangan. “Aku Ann!” singkatnya membalas memperkenalkan diri.
Cepat, pandangan Juan melihat pada buku lusuh milik Ann, dia pun mengambilnya.
Tiba-tiba dari kejauhan terdengar samar-samar ada yang berteriak, “Tolong...tolong...”
Dengan sigap, Ann meraih tasnya dan pergi meninggalkan Juan yang terpaku sambil memegang bukunya.
Juan berusaha memanggil dan mengejarnya, “Ann, Ann…ini bukumu!”
Sayangnya Ann berlari sangat cepat.
***
-Dua Tahun Kemudian-
Seragam kaos warna merah berkerah dengan rok warna hitam pendek, dipadukan dengan kaos kaki selutut dan sepatu warna hitam sudah Ann kenakan. “Terima kasih, Nek, sudah belikan pakaian ini untuk perpisahan.” Ucap Ann sambil mencium kening Loriez.
Betul, Ann sudah dua tahun tinggal bersama neneknya di kota The South, setelah pertengkaran hebat antara Mariez dan Johan.
Dalam pertengkaran itu, Johan memukuli Mariez dengan pemikul untuk menjajakan lukisannya yang terbuat dari besi hingga Mariez menghembuskan napas terakhirnya bersama bayi yang ada di dalam perutnya. Sedangkan Johan sendiri harus menanggung akan apa yang telah dilakukannya. Dia divonis dengan kurungan penjara selama 20 tahun.
Loriez memeluk cucunya ini sambil berkata sangat jelas di kuping Ann, “Kamu setelah tamat sekolah, harus bisa berjuang untuk kelanjutannya. Nenek besok akan ke Wales untuk menjumpai Kakakmu Natalie, siapa tahu dia bisa membantu biaya.”
Ann menatap wajah Neneknya penuh arti, arti yang tidak harus selalu berharap lebih akan sesuatu hal pada ketidakpastian, kemudian dia membalikan wajahnya ke arah cermin usang yang sudah penuh dengan noda dan retak, “Adik bagaimana kabarnya, Nek?” tanyanya pelan.
Pasca kejadian itu, Adik Ann pun mau tidak mau tinggal di asrama yatim piatu. Karena yayasan tersebut memiliki dana yang hanya cukup satu orang, maka Renata menempati itu. Mungkin jika ada untuk dua orang, Ann pun akan dengan ikhlas tinggal di sana.
“Nenek akan menjenguknya besok, setelah hasil panen dan daging ternak terjual,” jawab Loriez sangat pilu sembari mengusap air mata yang tiba-tiba mengalir.
“Ya sudah, Ann berangkat dulu. Pasti Alice sudah menunggu di persimpangan jalan.” Lirih Ann sembari kembali memeluk Neneknya dengan erat.
Loriez melonggarkan pelukan,lalu tangannya menyelinap pada tengah-tengah dadanya, dia mengeluarkan sapu tangan dan membukanya, kemudian mengambil selembar uang dan memberikannya pada Ann, “Nih, $NZ 5 untuk kamu merayakan perpisahan bersama teman-temanmu.”
Ann menolak, “Pegang saja buat Nenek, itu ‘kan hanya tinggal satu-satunya.” Karena Ann melihat di dalam sapu tangan hanya tinggal itu saja yang tersisa.
Loriez menaruhnya dengan paksa di dalam saku rok yang ada di pinggir, “Jangan membuat Nenek menangis! Cepat pergilah!”
Ann pun segera pergi ke luar rumah, dia berlari sangat kencang menyisir ladang jagung dan gandum, perjalanan yang cukup jauh untuk sampai di persimpangan jalan The West, padahal kalau dari rumah Neneknya ke sekolah lebih dekat hanya tinggal jalan ke arah utara saja. Tapi untuk sahabatnya, Ann mengalah.
“H-huh!” deruan napas Ann tersengal, keringatnya mengucur ke seluruh anggota badannya. Namun bibirnya menyungging senyum ketika Alice sudah berdiri tegak dengan muka agak kecewa. “Ann, aku sudah menunggumu hampir setengah jam, tahu!” ketusnya.
“Maaf, maaf. Aku tadi kebablasan mengobrol sama Nenek!” jawabnya sambil mengambil termos air yang terselempang pada bahunya, dia segera membuka penutup lalu meminumnya penuh dahaga.
Alice mengambil sapu tangan yang ada di dalam tasnya, lalu mengelap keringat yang bercucur pada kening Ann. Tangan kanannya merapikan rambut Ann yang terurai. Setelah beberapa menit, mereka pun segera berjalan menuju ke sekolah.
Begitu sampai sekolah, pandangan Ann pada keluarga teman-temannya. Sejenak dia terpaku, namun Alice segera meraih lengannya, “Kamu tidak sendirian! Orang tuaku juga tidak datang!” ucapnya membesarkan hati.
Sesungguhnya Alice sengaja bicara pada orang tuanya agar tidak datang, demi toleransi pada sahabatnya. Bermaksud agar Ann ada temannya, karena keseluruhan orang tua menghadiri acara pelulusan tak terkecuali pengambilan rapor.
Acara yang dikategorikan meriah untuk sebuah pelulusan sekolah dasar kalangan kelas bawah dan menengah ini.
Acara dimulai, Ann yang ditugaskan sebagai pembawa acara dengan suara yang merdu dia pun segera membukanya, “Selamat pagi, pertama-tama mari kita panjatkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa….”
“…Bapak Kepala Sekolah silahkan naik ke podium untuk memberikan sambutan!”
Bapak Kepala Sekolah naik ke podium, sebelumnya tersenyum pada Ann yang memberikan microphone. Dia pun berbicara dengan tegas akan adanya wacana-wacana besar untuk meningkatkan perkembangan dalam belajar dan mengajar. “Laboratorium science dan komputer dalam proses pengajuan ke departemen pendidikan telah disetujui. Maka, jika ada sedikit peningkatan dalam iuran bulanan karena dana akan ada alokasi dana untuk membeli perangkat dan alat-alat laboratorium. Sekiranya Bapak dan Ibu bersedia memakluminya.”
Setelah beberapa kata tambahan terucap, Bapak Kepala Sekolah pun segera menutup pembicaraan dan mengembalikan microphone pada Ann. Hingga akhirnya acara yang ditunggu-tunggu tiba, yaitu pengumuman untuk para juara kelas.
Ruangan menjadi sangat hening.
Adrian yang sudah antusias, dengan sumringah dan menggema membacakan secarik kertas yang ada di tangannya, “Kelas satu juara kelasnya diraih oleh…”
“…Ann Arthurian menduduki siswi dengan nilai tertinggi di seluruh sekolah di kota The West. Maka dari itu, kepada Ann silahkan naik ke panggung.”
Semua para hadirin ada yang bertepuk tangan, dan ada juga yang berdesis sinis,"Orang miskin pintar juga percuma, belum lagi Ayahnya penyiksa istri!"
Sedangkan Alice tersenyum bangga pada sahabatnya ini sambil berkata dengan pelan, “Aku sudah menduga, tak akan ada yang mengalahkanmu!”
Sebelum melangkah Ann menyatukan kedua tangan dan memejamkan matanya. Semua guru yang ada di samping memperhatikan gadis kecil ini, mereka tahu Ann sedang bersyukur pada yang memberikannya ruh dan kecerdasan pada dirinya.
Setelah itu, Ann melangkah ke arah panggung. Dia berjajar dengan yang lain peraih kejuaraan mewakili kelasnya masing-masing.
“Ann, Nenekmu tidak hadir?” tanya Adrian, karena hanya Ann yang tidak ada pendamping di sebelahnya. Ann menggelengkan kepalanya. “Tidak mengapa!” pungkas Adrian menutup persoalan.
Pemberian medali dan piagam penghargaan pun telah usai. Kini giliran Ann yang memberikan ucapan atas keberhasilannya. Ann berbicara dengan nada yang sangat datar, kata-katanya dia tidak rangkai dengan begitu baik. Dia merasa pembicaraannya tidak akan ditanggapi, toh dirinya mengerti setelah pelulusan ini, langkahnya pun tidak ada arahnya.
Cekrek!
Kamera yang dioperasikan salah satu wartawan lokal mengambil gambar Ann. Setelah itu Ann turun dari panggung dan menghampiri Alice, medali yang tergantung pada lehernya, Ann lepas dan memasangkan pada Alice. Reaksi Alice terpingkal kegirangan.
Selepas acara Khaty memanggil, “Ann, kamu ikut aku dulu ke ruanganku!”
Ann mengikuti Khaty dari belakang, setelah sampai ruangan, dia pun mempersilahkan duduk, “Duduk Ann!”
Ann menurutinya sambil duduk bergeming, sebab dia tahu iuran perpisahan belum terselesaikan. Tangan Khaty menyerahkan secarik surat pernyataan, “Ann, tanda tangani ini! Hanya sebagai formalitas saja, untuk diberikan kepada ketua yayasan,” titahnya.
Tiba-tiba Adrian sudah ada di belakang tempat duduk Ann, tangannya mengelus halus rambut panjangnya. “Masuk SLTP mana?” tanyanya.
Ann hanya menggeleng kepalanya.
Kemudian, setelah membubuhkan tanda tangan pada secarik kertas surat pernyataan, Ann pun beranjak berdiri, sebelum meninggalkan ruangan tangannya diulurkan pada Adrian dan berkata sangat lirih, “Terima kasih sudah membimbing Ann dari nol hingga bisa sampai sekarang ini.”
Tangan Adrian menarik jabatan tangan siswi kesayangannya itu, “Tanpa ada keinginan belajarmu, semua hanya sia-sia!” Jelasnya disertai menatapnya.
Ann menghela napas sejenak, lalu meninggalkan ruangan dan sekolahnya ini.
Alice meraih tangan Ann, “Minggu depan aku pergi!” ucapnya mengingatkan.
“Kamu jaga diri di sana, semoga kita bisa bertemu lagi!” jawab Ann datar.
Mereka sejenak bermain ayun-ayunan yang ada di dekat sungai, tali ayunan ini begitu kokoh kendatipun telah bertahun-tahun lamanya. Anyaman tali rotan yang menopang ujung-ujung ban mobil tempat duduknya seakan tidak ada gentar menahan beban kedua anak mungil ini.
Ann bernyanyi riang seolah mewakilkan rasa bangga akan dirinya yang meraih nilai tertinggi. Padahal di luar sana ada orangtua yang mendambakan anaknya mendapat itu, agar bisa masuk sekolah favorite.
Sedangkan untuk Ann, dia tidak ada yang membanggakannya. Ann pun enggan menemui Johan di dalam penjara, sepertinya Ann belum bisa memaafkannya.
Tiba-tiba tetangga Loriez berteriak-teriak memanggil, “Ann, Nenekmu terjatuh! Cepat pulang!”
Tanpa menunggu waktu Ann beranjak dari ayunan. Dia pergi meninggalkan Alice begitu saja.
Begitu sampai rumah, semua warga memenuhi rumah kecil Loriez. Cepat, Ann masuk ke dalam ruang tengah, nampak Neneknya terbujur kaku. “Nek…Nek bangun Nek, Nenek kenapa?” ucap Ann dengan suara memilukan bagi yang mendengarnya.
Salah satu dari tetangganya menepuk pundak Ann sambil berkata sangat sendu,“Ikhlaskan nenekmu telah tiada!”
Ann tidak menggubris, dia masih menggoyang-goyangkan tubuh neneknya disertai isak tangis.
Alice yang terpaku dari tadi tidak tinggal diam, dia mengikuti sahabatnya. Setelah sampai rumah Ann, Alice masuk ke dalam kerumunan, dia pun bertanya pada salah satu warga yang ada di sana, “Kenapa dan ada apa Pak?” “Nenek Loriez terjatuh, sepertinya dia memang sudah waktunya ajal, usianya ‘kan sudah tua sekali,” ungkap salah satu Bapak yang sibuk mempersiapakan pemulasaraan. Alice berdiri di belakang Ann, tangannya meraih lengan gadis yang sedang terisak ini. “Ann, kamu harus kuat, malam ini tidurlah di rumahku,” ucapnya pelan. Ann beranjak dan menoleh pada Alice, “Tuhan tidak sedang bersamaku, itu selalu!” ucapnya pesimis. “Tuhan sedang ada rencana besar untukmu, sabarlah!” jawab Alice menguatkan hati sahabatnya, hanya itu cara satu-satunya agar Ann tidak terpuruk. Kendatipun dia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Tidak memakan waktu lama, karena tidak ada yang harus ditunggu dari pihak keluarga. Pemulasaraan pun telah usai dengan
Di dalam asrama mata Ann memperhatikan ke sekeliling ruangan sambil terpaku di atas tempat tidur bertingkat. Tatapannya pada suster dan anak-anak sebayanya yang sedang sibuk dengan buku-buku mereka di atas meja belajar. Reina datang menghampiri dengan membawa beberapa baju dan kotak segi empat. “Jangan merenung seperti itu, nanti suster Maria akan menggodamu,” ujarnya sambil menoleh pada suster yang berbadan gemuk yang sedang merapikan tempat tidur. Tangan Reina pun meraih kotak, setelah di buka isinya adalah bermacam-macam buku yang tidak pernah Ann miliki. “Ensiklopedia Algoritma? Ensiklopedia Cultural? Science? Sejarah? Ilmu Peradaban?” ucap Ann sumringah sambil mengeluarkan semua buku-buku tersebut, hingga membuat tempat tidurnya penuh. Reina tersenyum melihat antusiasme Ann pada buku-buku, dia menyadari anak yang baru datang ini tidak seperti anak pada umumnya. Dia berasal dari keluarga yang sangat tidak mampu. Kemudian, dia pun meninggalkannya.
Terbiasa dengan kehidupan serba minimalis dan ala kadarnya, tidur beralas sehelai karpet adalah bukan persoalan yang besar. Menyadari siapa dirinya, Ann tidak banyak menuntut atau mengeluh. Dia beraksi biasa saja, kemudian kakinya melangkah pada anak yang sedang menulis di sebelahnya. “Bolehkan aku minta beberapa lembar buku tulis dan pinjam pencil?” pinta Ann sedikit memelas. Teman sekamarnya ini membuka lacinya, lalu mengeluarkan buku dan pensil, “Ini, buatmu saja!” ucapnya datar. Ann mengambil buku tersebut dan berterima kasih. Kemudian, Ann duduk di kursi belajarnya lalu menulis kembali materi-materi yang diujikan waktu dia ulangan pelulusan. Kendatipun tidak yakin kalau besok akan diuji dengan soal yang sama. Melihat itu, Angela dan Belle penasaran dengan apa yang Ann tulis, “Kamu menulis apa?” tanyanya sambil menengok ke arah buku. “Aku menulis, operasi perkalian dan pembagian bilangan bulat, membandingkan bilangan pecahan, mengingat kembali bilangan berpangkat bulat positif,
Setelah mengunci pintu, Maria menaruh kunci tersebut di bawah tong sampah besar yang ada di dekat pintu kamar mandi. Kemudian dia pun kembali ke ruang ibadah bergabung dengan yang lain. Di dalam ruangan, anak-anak dan para Suster berdoa dengan khusyuk. Di akhiri ceramah singkat oleh Madam Julia. “Semoga hari ini yang ikut olimpiade diberikan kemudahan oleh Tuhan. Amen!” tutupnya. Ternyata Nancy menyadari kalau Ann tidak ikut berdoa, dia pun segera pergi ke kamar untuk memeriksanya. Sayangnya, Ann tidak ditemukan, begitu pula ketika dia memeriksa di ruang makan. Nancy mulai cemas, dia pun segera menemui Madam Julia, “Madam…Madam, Ann hilang! Dia tidak ada?” ujar Nancy terpengap-pengap. Julia menatap wajah Nancy dan bertanya, “Kamu ini dari tadi pagi sudah tidak beres, tadi bilang kasur dan buku milik Ann hilang, sekarang Ann-nya yang hilang! Kamu ini kenapa?” Nancy mencoba menstabilkan napas dan berbicara dengan tenang, “Madam, aku merasa yakin dengan
Tangan Ann sedikit gemetaran dan dingin ketika membuka map isi soal-soal, setelah membukanya mata Ann berbinar. ‘Tuhan sekarang sangat baik, sangat baik!’ gumamnya, karena yang ada pada lembaran soal sesuai dan hampir sama dengan apa yang Ann pelajari semalam. Kepolosan Ann, dia akan mengira Tuhan baik, jika sedang memberikannya kemudahan, dan akan berpikiran sebaliknya jika sedang dalam kesulitan. Padahal Tuhan itu sangat baik dan bijaksana kepada seluruh umatnya. Oh Ann! Keberuntungan Ann mulai berpihak padanya karena dalam hitungan menit dia sudah bisa menyelesaikan lembar per lembar pertanyaan yang banyaknya lebih dari 100 soal. Santainya Ann menaruh di atas meja pengawas, lalu ke luar dari ruangan. Melihat itu Angela dan Belle terkejut, tepatnya hampir semua anak-anak terkejut. Sedangkan mereka masih belum menyelesaikan kalaupun separuhnya. Di luar pintu masuk, petugas keheranan melihat Ann sudah ke luar sebelum waktu yang telah ditentukan.
Ann hanya tersenyum tanpa menjawab sepatah kata pun, sedangkan pelayan membalasnya dengan sentuhan halus pada rambut Ann. Setelah menikmati makanan yang membuat Ann seperti bermimpi ini, Ann kembali berkata dalam hati, ‘Tuhan baik!’ itu pun disertai dengan menyatukan jemarinya dan menundukan kepalanya. Melihat itu, Ronald tersenyum sambil meyakini kalau Ann adalah gadis kecil yang polos dan cerdas. Kemudian dia pun menuntun Ann dengan jemarinya yang besar dan kasar. Mereka berjalan menyusuri kota. Pandangan Ann menyatu ke arah sebuah tempat bermain modern, dia hanya memperhatikan tanpa meminta atau pun berpikiran memasukinya. Sedangkan Ronald yang sudah menganggap Ann adalah Marsha dia menarik tangannya dengan halus, “Sha, ayo masuk dulu…kita main komedi diputar….” ajaknya tanpa menyadari kalau yang diucapkannya membuat Ann sedikit agak terenyuh sedih. Ann memang tidak pernah mendapatkan itu dari sosok Johan Ayahnya, Johan akan pergi tiap hari dan pulang sore. Terlebih lagi dengan
Julia datang karena diberitahu oleh Nancy, kedua matanya mengarah ke ketiga orang yang sedang bergaduh. "Angela, Belle & kamu Maria! Ikut ke ruanganku sekarang!" ucapnya sangat tegas, dia pun segera berbalik dan diikuti oleh mereka bertiga. Di dalam ruangan, Maria, Angela dan Belle berdiri sejajar. Sedangkan kepala mereka menunduk dan bergeming. Julia beranjak dari tempat duduknya, dia jalan mengitari mereka bertiga, lalu berkata dengan sangat sinis, "Maria! Bukankah kejadian tahun kemarin hingga salah satu siswa bunuh diri karena ulahmu? Dan bagusnya orang tua siswa itu tidak memperpanjang kasusnya. Coba kalau tidak, bukan kamu saja yang akan masuk ke dalam penjara dan yayasan ini pun akan tercemar secara international!" Mendengar kemarahan Julia, Maria bersimpuh dan menukukan kepalanya, "Madam, aku sebetulnya tidak ingin berbuat seperti itu lagi, hanya saja...." Perkataannya terputus karena Angela dan Belle segera meraih kedua tangan Julia dan berkata, "M-madam Julia, sebetulnya ak
Nancy dan Julia segera mengeksekusi Ann dengan beribu tanya dan bahkan mengajaknya ke perpustakaan. Sedangkan Ann segera menenangkan mereka, "Suster Nancy, Madam Julia...Ann bisa menulis dengan hasil imajinasi, tapi tidak seperti ini. Kalau di sini Ann bisa baca-baca buku." Julia semakin tertarik pada Ann ini, dia segera mengambil buku-buku sastra dan memberikannya. "Kamu baca buku-buku ini, Ann" titahnya. "Dan kamu Nancy...bawakan Ann buku tulis dan pencil, biarkan dia sibuk dengan imajinasinya!" titah Julia pada Nancy. Dengan tidak keberatan Nancy langsung ke luar asrama untuk pergi ke stationery. Sedangkan Ann sendiri dia begitu sangat bahagia dengan semua ini, dia pun bergumam, 'Terima kasih Tuhan, kamu begitu sangat baik...baik sekali!' Begitu Natalie hendak ke luar pintu, tangannya ditarik Angela, "Kak...Kak Natalie...." panggilnya dengan membawanya ke pelataran yang sepi. "Hey, kamu ini siapa? Apa maumu?" spontan Natalie sambil menarik
Setelah pamitan pada ibu, ayah serta Renata yang baru pulang dari sekolah. Ann langsung masuk ke dalam mobil milik pribadinya, dan sopir pun sudah duduk di depan stir. Sementara Juan masih bergeming di dekat pintu mobil, "Ann, kamu ikut mobilku, aku mau mengantarkanmu." Pinta Juan sembari menatap wajah gadis yang sudah duduk di atas jok mobil belakang. Ann menggelengkan kepalanya. "Aku sama sopir saja!" singkatnya. "Ayo Pak, kita jalan agar tidak ketinggalan pesawat." Ann menambahkan dengan melirik ke arah sopir. Sementara Juan yang masih terpaku di depan pintu mobil, akhirnya duduk di sebelah Ann. Sopir bergegas melajukan mobil. Sedangkan Juan serta Ann saling membisu di belakang, setelah beberapa saat Juan memiringkan badannya menghadap Ann yang sedang membaca buku. "Yang kamu lihat minggu lalu tidak sesuai penglihatanmu!" jelasnya pelan dengan tangan hendak meraih tangan Ann, akan tetapi ditepis olehnya. Ann pun beraksi sama disertai menatap wajah Juan. Kemudian berbicara ketus,
Pesawat pribadi Erick yang ditumpangi dirinya serta Ann sudah mendarat dengan selamat di kota terkenal akan bangunan bersejarahnya namun berarsitektur kuno ini. Hawa sejuk musim semi serta rintikan hujan menyambut kedatangan dua manusia yang berbeda usia ini. "Selamat datang di London, Sir!" ucap Pengawal dari kolega Erick dengan ramah. Ann semakin tajkub pada sosok Erick ini. Sosoknya bagi Ann adalah inspirasinya. Kemudian para pengawal membawa Erick dan Ann agak jauh dari perkotaan. Selama perjalanan pandangan mata Ann menembus kaca jendela mobil jauh ke luar sana. Ya, jauh tidak karuan, hatinya kini hampa karena di sampingnya tidak ada sosok penguatnya. Akan tetapi berbeda setelah melihat handphonenya penuh dengan pesan dari Juan. Pesan-pesan itu seolah asupan energi semangatnya dia pun akhirnya tersenyum. Mobil berhenti di depan bangunan dengan arsitek paling unik di antara bangunan ataupun rumah lainnya. "Ayo, Ann!" ajak Erick yang sedang memperhatikan gadis belia
Alarm jam yang terdapat di atas nakas Jeanne berdering keras persis di sebelah kuping Ann. Suaranya yang memekakan hingga menusuk genderang telinganya, membuat dirinya dengan cepat meraih jam tersebut serta melihatnya. Di sana terlihat pukul 04:25, Ann pun menoleh ke arah samping dimana Jeanne dan Sylvie tidur. "Ke mana mereka?" ucap Ann pada diri sendiri, karena menampaki teman-temannya memang sudah tidak ada di sampingnya. Ann pun bergegas duduk serta memperhatikan ke seluruh ruangan, ranjang Sylvie pun kosong. Matanya hanya melihat ke arah tempat tidur Rania yang dirinya masih tertidur pulas. "Ke mana mereka sepagi ini?" lagi-lagi Ann berbicara sendiri. Cepat sekali Ann masuk ke dalam kamar mandi dan melakukan aktivitasnya. Setelahnya dia pun dengan segera berjalan ke arah dapur. "Juan? Jeanne? Sylvie?" ucap Ann agak terkejut karena mereka sudah ada di dalam dapur. "Pagi, Ann." Sapa Sylvie sambil memberikan secangkir susu coklat hangat. Ann tak
Natalie beserta kecemburuan dan iri hatinya. Sementara Ruth dan Ann mereka berdua menikmati kebersamaan dengan saling bercanda tawa terkadang diselangi pelukan mesra. "Tante pinjam Ann sebentar!" ucap Juan pada Ruth. Juan melakukan itu agar Ruth tidak mencolok memperlakukan Ann hingga membuat Natalie cemberut. "Nat, temankan Tante Ruth sejenak!" Juan menoleh pada Natalie yang masih berdiri bergeming serta memasang muka tak bersahabat. Ruth sepertinya tidak mengerti dengan gelagat Natalie, dia malah berasumsi kalau Juan bereaksi seperti itu karena dirinya sudah tahu isi hati Juan pada putrinya. Kemudian menoleh pada Ann, "Ikutlah Ann, biar Juan tidak sewot melulu!" godanya. Ann mendelik ke arah Juan serta menghampiri, "Mau apa sih?" Juan tidak menjawab pertanyaan dari Ann, melainkan dengan cepat meraih jemarinya lalu menggenggamnya. Ann bertanya kembali, "Mau ke mana?" Juan berbisik ke petugas yang ada di depan pintu tad
Ann menepuk pipinya pelan serta menggercapkan secara cepat kedua bola matanya."Iya, ini Kakak!" Natalie meyakinkan sambil menghampiri adiknya. Tangan kanannya meraih jemari gadis yang memakai pakaian adat Selandia Baru ini pelan sekali, sedangkan tangan kirinya mengelus halus pipi kirinya. "Kamu sangat cantik memakai pakaian ini, dan kamu memang cantik!" ucap Natalie dengan pandangan menatap tajam wajah adiknya.Ann tersenyum tipis serta langsung memeluk kakaknya ini. "Kakak kok bisa ada di sini?" desisnya tepat di kuping Natalie.Natalie merenggangkan pelukannya, dia menuntun adiknya ke arah sudut ruang ramah tamah yang sebelumnya Natalie memotong tart strawberri coklat dan menaruhnya di atas piring kecil lalu mengguyurkan coklat cair di atasnya. "Nih, dari pada colak colek seperti tadi! Jorok tahu!" sindir Natalie sambil memberikan piring kecil isi kue pada adiknya ini. Sumringah Ann mengambilnya serta langsung memakannya sembari dihayati.&n
Napas Catherine tersengal melihat kesedihan saudaranya itu, dia pun turut merasakan bagaimana perasaan Ruth bertahun lamanya. Memahami kalau Ruth bukanlah seorang ibu yang melepaskan tanggung jawab begitu saja, akan tetapi beberapa alasan hingga membuat dirinya terpaksa melakukan semua, terlebih lagi demi keluarganya.Setegar-tegarnya Ruth, namun malam ini dia nampak rapuh. Air matanya mengalir deras di depan anak kandungnya yang sedang tertidur pulas. Tangan halusnya membelai rambut panjang Ann terhampar di atas bantal berbalut sarung berwarna putih. Satu kecupan hangat pun berlabuh di atas pipi mulus gadis belia ini. Kendati tertidur, Ann masih merasakan kecupan serta belaian dari ibu kandungnya ini. Akan tetapi dia berpura-pura memejamkan matanya.'Aku menyayangi kalian,Bu.' Bisik hati Ann dalam senyap. Ann mengerti semua kejadian ini terjadi karena ujian dari Tuhan. Mariez juga Ruth hanya sekedar korban dari para manusia yang telah dikendalikan hawa naf
Ann masih membaca semua tulisan-tulisan tangan hasil dari nenek Ann. Dia merupakan saksi dimana Ruth melahirkan, serta hanya Ann inilah yang mendukung segala hal akan kelahiran putri dari Ruth ini. Nenek Ann tidak menceritakan kisah cinta Johan dan Ruth karena Ruth saat itu telah dijodohkan pada kerabat suaminya, walaupun akhirnya kandas begitu saja seiring penolakan halus dari Ruth sendiri. Ditambah lagi kisah kaburnya Ruth terdengar ke seluruh keluarga besar Arthurian. Thony bukan tidak tahu kalau putrinya sudah menikah juga telah memiliki putri, akan tetapi dia belum tahu siapa asal usul Johan. Hingga akhirnya Thoby menjelaskan semuanya. Namun, saat itu sudah terlambat. Terlebih lagi diketahui oleh Thony kalau Johan telah memiliki istri, dia tidak ingin jika putrinya disandang perusak rumah tangga orang. Thony sekeluarga seolah tega, walaupun kadang-kadang perasaan tidak tega menyelimuti mereka pada bayi yang putrinya secara paksa ditinggalkan begitu saja.
Johan masih tidak percaya pada pernyataan dari Dean. Akan tetapi setelah dia mengingat ulang sikap Mariez dan tingkah lakunya sewaktu berumah tangga bersamanya. Mariez memang agak keras serta cerewet. Dia pun menyadari cerewetnya Mariez disebabkan oleh kelelahannya. Ya, sekarang perasaan Johan tersayat, menyadari bahwa dirinya tidak pernah memperlakukan almarhum istrinya dengan baik. "Maafkan aku, Mar." Ucapnya pelan sekali. Dean belum puas untuk membuat Johan agar merasa lebih bersalah, "Tahu tidak, Dean? Mariez istrimu itu jangankan mau berselingkuh denganku, kalau berpapasan saja sepertinya kalau ada jalan lain, dia akan menghindariku. Dia wanita luar biasa. Sayangnya, dia mendapat suami bangsat sepertimu!" "Cukup! Hentikan! Atau aku bunuh kamu!" ucap Johan sambil berusaha untuk menerjang Dean. Akan tetapi Antonio dan Erick melerainya, "Cepat pergi kamu Dean! Beritahu Ruth kalau suaminya telah ke luar dari penjara!" "Kamu beruntung Johan dicint
"Kenapa? Karena sudah selingkuh dan membuat Natalie? Entah Renata juga bayi yang dikubur pun itu anakku atau bukan!" jawab Johan sinis. Ann menyolot, "Jadi, aku ini bukan anak ibu? Lantas, aku anak siapa?" Johan nampak meraba sakunya, lalu dikeluarkan dompet dari dalamnya. "Nih, ini ibumu! Ruth Arthurian!" tegas dan ketus Johan menjelaskan sedangkan tangannya memberikan secarik foto. Tubuh gadis ini gemetar tidak berani mengambil foto itu. Dadanya sesak dan tidak ada nyali untuk menghadapi kenyataan. Air matanya sudah deras membasahi pipinya, linangan itu ada karena bercampur antara emosi, sakit hati serta kaget. Seketika Ann pun masuk ke dalam kamarnya dengan cepat. "Kalau sekarang kamu mengatakan omong kosong, aku pun harus tahu semua omong kosong foto-foto yang berasal dari rumah kakek Thoby dan ayah Juan!" pikirnya sembari mengambil foto-foto tersebut dan kembali ke ruang makan. "Aku sudah mendengar omong kosongmu,