Irvan memahami yang Stefi katakan. Irvan tidak terlalu pusing dengan masalah seorang wanita masih murni atau tidak, masih gadis atau tidak. Itu masalah pribadi masing-masing orang. Dia hanya ingin yakin Stefi memang mau menjalin hubungan lebih serius dengan dirinya. "Aku mungkin terlalu berani menurut kamu ... Hanya saja ... aku ..." Stefi masih harus memilih kalimat yang tepat untuk mengungkapkan apa yang dia pikirkan. "Tapi aku tidak menganggap hubungan di antara pria dan wanita itu hanya untuk kesenangan semata. Aku ..." Irvan menarik Stefi kembali dalam dekapannya. Dia sekarang yang memulai. Irvan mengecup lembut Stefi. Irvan mau stefi pun tahu, dia ingin serius dengan hubungan yang dia akan jalani dengan Stefi. "Ir ..." Stefi akhirnya melepaskan Irvan. Dia butuh kepastian jika Irvan tidak akan main-main dengannya. "Aku mau kita menikah." Irvan kembali memandang Stefi. Kedua tangannya masih menggenggam erat tangan gadis itu. "Apa?" cepat Stefi menyahut. Rasanya tak percaya I
Mata Stefi membelalak lebar. Butik dapat komplain dari pelanggan. Alasannya, pesanan tidak sesuai permintaan. Dan pelanggan itu bukan saja marah pada para pegawai. Dia membuat video kekesalannya saat protes di butik dan mem-posting keluhannya di sosmed. Dalam waktu singkat banyak komen negatif bertebaran. Ini sangat tidak baik buat perkembangan butik. Apalagi orang mulai tahu Stefi. Calon menantu keluarga Hendrawan yang kabur di hari pernikahan. Bisa gawat memang jika dibiarkan. "Dora, kamu tolong redakan marah ibu itu. Kita akan ganti rugi untuk pesanan yang tidak sesuai. Lalu dia bisa minta dibuatkan yang baru dua potong gratis." Dengan cepat Stefi mengambil keputusan. "Mbak, dia ga mau. Dia masih marah-marah ga jelas. Katanya minta bertemu dengan pemilik butik. Gimana, Mbak?" Dora, asisten Stefi terdengar cemas. "Oke. Bisa kamu berikan ponsel ini pada ibu itu?" Stefi minta dia bicara dengan pelanggan yang rempong itu. Dora segera beranjak, dia menemui ibu pelanggan yang sedang
Di hari yang sama di sisi lain kota itu, di kantor besar dan megah, kantor utama perusahaan Hendrawan, tampak suasana tegang memenui pagi yang cerah. Arnon duduk di sana, bersebelahan dengan Arnella. Di depan mereka ada lima anak Hendrawan yang lain, bersama tiga pria kepercayaan Hendrawan, salah satunya pengacara perusahaan. Sedang Tuan besar, duduk di kursi utama. Sesuai aturan yang ada di keluarga besar itu, hari ini Ardiansyah akan mengalihkan satu perusahaannya kepada Arnon. Jika di antara anak Hendrawan dari istri pertama, peristiwa ini akan menjadi peristiwa menyenangkan, beda dengan yang terjadi pada Arnon. Sejak Arnon belum ada, kebencian sudah tertanam di hati anak-anak Ardiansyah pada Arnella. Mereka tidak pernah mau menerima papa mereka kembali berbagi hati dan kehidupan dengan wanita lain. Cukup sakit hati mereka melihat ibu yang mereka sayangi harus dimadu. Lalu muncul madu yang berikutnya? Sangat menggelikan! "AKu ga bisa terima, Pa. Ada alasan yang sangat kuat aku me
Ardiansyah memandang pada Arnon, lalu Arnella, dan kepada anak-anaknya. Dia ingin urusan ini segera selesai. "Baiklah, tanpa perlu memperpanjang lagi, isi perjanjian ini sama dengan yang kalian pegang ketika menerima perusahaan yang kalian kerjakan sekarang. Jadi, tidak ada alasan Ardina dan Ardan tidak mau menerima keputusan ini." Ardiansyah bicara lagi untuk mereka semua. "Kita akan menandatangani kesepakatan dan perjanjian. Setelah itu, sejak awal bulan depan, Arnon resmi menjadi pemimpin PT Arhen Sinar Tekstil. Kamu akan dibantu dua asisten kamu, Pak Juno dan Pak Alim." Ardiansyah melihat ke dua pria yang dari tadi hanya berdiam melihat perdebatan keluarga Hendrawan itu. Saat nama mereka disebut, mereka berdiri dan menganggukkan kepala kepada Arnon. Mereka sudah mendengar sepak terjang Arnon selama ini, mereka tahu, Arnon juga punya jiwa juang seperti papanya. Mereka berharap Arnon tidak seburuk yang mereka dengar selama ini dalam hal karakternya. Dengan rasa dongkol, Ardan dan
Arnon sangat lelah dengan semuanya. Hingga lewat jam lima sore Arnon baru kelas hari itu. Masih ada PR selanjutnya, tetapi setidaknya hari itu usai sudah jadwal yang dia harus urus. Arnon meninggalkan resto dan menuju ke tempat Fea bekerja. Dia ingin segera bertemu dengan wanita kesayangannya, ingin memeluk erat Fea, dan melepas lelah yang mendera hati juga pikirannya. Fea memang sudah menunggu Arnon menjemputnya. Saat Arnon datang, dengan langkah cepat Fea menuju mobil Arnon, karena ada beberapa orang yang ternyata menunggu untuk minta waktu Fea bicara. Tidak lain tidak bukan para pencari berita itu masih saja ada yang penasaran dengan Fea. Mereka mendapat berita simpang siur tentang kejelasan siapa istri Arnon. Ada yang benar, ada yang sudah melenceng entah bagaimana kisah itu bisa tidak karuan. "Ready?" tanya Arnon saat Fea sudah masuk dalam kendaraannya. "Yup." Fea mengangguk. Mobil Arnon kembali meluncur di jalanan. Rupanya awak media tidak lega. Mereka mengikuti Arnon dan Fea
Semalam berlalu. Hari perlahan berganti menuju hari baru. Arnon membuka matanya. Di sisinya Fea masih terlelap. Tidur dengan tenang, dengan mulut terkatup, matanya sedikit terbuka, tangannya memeluk pinggang Arnon. Arnon tersenyum. Dia usap pelan pipi Fea, lembut, bersih. Meskipun remang-remang, Arnon masih bisa melihat jelas wajah Fea. "Thank you, Honey. Kamu sangat mengerti aku. Gimana aku ga makin sayang? Ga sabar mendapat kabar baik, kamu akan punya baby di sini." Lembut Arnon berkata, tangannya turun menyentuh perut Fea. "Hmm ..." Merasakan sentuhan itu, Fea terbangun. Dia membuka mata dan melihat Arnon sedang memandang padanya. "Apa sudah pagi?" "Hampir. Masih gelap. Tidurlah lagi." Arnon memindahkan tangannya merangkul pinggang Fea. "Arnon, kita harus pulang. Ga ada baju ganti di sini. Nanti harus ke kantor lagi." Fea segera ingat mereka ada di apartemen. Kemarin Arnon membelokkan mobil menghindari pencari berita yang menguntit mereka. "Hmm? Kamu yakin? Aku masih mengantuk
Dengan berkas di tangan, Fea melangkah menuju kantor Irvan. Dia sengaja minta mengantar berkas itu karena ingin sekalian bicara tentang Stefi pada Irvan. Sampai di depan kantor Irvan, Fea mengetuk pintu. "Masuk, Rani!" Terdengar suara Irvan. Pria itu mengira Rania yang datang. Fea membuka pintu dan melangkah ke dalam. "Fea?" Irvan heran bukan Rania yang datang. "Maaf, Pak, Rania kurang baik. Dia beberapa kali muntah pagi ini." Fea menjelaskan mengapa dia yang menemui Irvan. "Oh? Oke. Apa dia tidak sebaiknya istirahat di rumah?" Irvan mengkuatirkan Rania. "Tidak perlu, Pak. Kalau di atas jam sepuluh dia sudah normal lagi," jawab Fea. "Begitu?" Aneh juga wanita hamil, itu yang Irvan pikirkan. "Ini berkas yang Bapak perlukan. Silakan." Fea meletakkan berkas yang dia pegang di meja Irvan. "Thank you, Fea." Irvan mengangguk. "Kamu apa kabar?" "Aku ... aku baik." Fea tidak mengerti mengapa Irvan menanyakan kabarnya. Jelas-jelas dia sehat makanya bisa datang bekerja. "Semua berita
Stefi dan Fea masih mengarahkan pandangan pada pembantu rumah Stefi. Siapa tamu yang datang ke rumah Stefi? "Itu, calonnya Non Stefi." Pembantu itu menjawab ragu-ragu. "Irvan?" Stefi memastikan. "Yang batal ..." Pembantu itu seperti takut salah bicara. "Ooh, haa ... haaa ..." Stefi malah ngakak. Dia tahu siapa yang datang. Fea menoleh pada Stefi yang tertawa lebar. "Suami kamu, Fea. Arnon." Stefi menepuk pipi Fea. "Yuk, ajak dia sekalian makan bareng." "Tapi yang satu lagi juga datang." Pembantu itu belum selesai dengan beritanya. "Mbak Irin, kalau kasih kabar itu jangan nyicil." Stefi jadi gemes. "Abisnya takut ada huru hara, Non," ujar Irin. "Haa ... haa ... Nggak, Mbak. Kamu berteman baik." Stefi kembali ngakak. "Yang antar Non pulang. Iya, dia datang belakangan." Irin melengkapi info tamu yang ada di rumah itu. "Fea, seru banget deh, malam ini," kata Stefi dengan senyum makin lebar. "Seru apa?" Fea tidak mengerti maksud Stefi. "Double date. Hmm?" Stefi memainkan alisn