Ardiansyah memandang pada Arnon, lalu Arnella, dan kepada anak-anaknya. Dia ingin urusan ini segera selesai. "Baiklah, tanpa perlu memperpanjang lagi, isi perjanjian ini sama dengan yang kalian pegang ketika menerima perusahaan yang kalian kerjakan sekarang. Jadi, tidak ada alasan Ardina dan Ardan tidak mau menerima keputusan ini." Ardiansyah bicara lagi untuk mereka semua. "Kita akan menandatangani kesepakatan dan perjanjian. Setelah itu, sejak awal bulan depan, Arnon resmi menjadi pemimpin PT Arhen Sinar Tekstil. Kamu akan dibantu dua asisten kamu, Pak Juno dan Pak Alim." Ardiansyah melihat ke dua pria yang dari tadi hanya berdiam melihat perdebatan keluarga Hendrawan itu. Saat nama mereka disebut, mereka berdiri dan menganggukkan kepala kepada Arnon. Mereka sudah mendengar sepak terjang Arnon selama ini, mereka tahu, Arnon juga punya jiwa juang seperti papanya. Mereka berharap Arnon tidak seburuk yang mereka dengar selama ini dalam hal karakternya. Dengan rasa dongkol, Ardan dan
Arnon sangat lelah dengan semuanya. Hingga lewat jam lima sore Arnon baru kelas hari itu. Masih ada PR selanjutnya, tetapi setidaknya hari itu usai sudah jadwal yang dia harus urus. Arnon meninggalkan resto dan menuju ke tempat Fea bekerja. Dia ingin segera bertemu dengan wanita kesayangannya, ingin memeluk erat Fea, dan melepas lelah yang mendera hati juga pikirannya. Fea memang sudah menunggu Arnon menjemputnya. Saat Arnon datang, dengan langkah cepat Fea menuju mobil Arnon, karena ada beberapa orang yang ternyata menunggu untuk minta waktu Fea bicara. Tidak lain tidak bukan para pencari berita itu masih saja ada yang penasaran dengan Fea. Mereka mendapat berita simpang siur tentang kejelasan siapa istri Arnon. Ada yang benar, ada yang sudah melenceng entah bagaimana kisah itu bisa tidak karuan. "Ready?" tanya Arnon saat Fea sudah masuk dalam kendaraannya. "Yup." Fea mengangguk. Mobil Arnon kembali meluncur di jalanan. Rupanya awak media tidak lega. Mereka mengikuti Arnon dan Fea
Semalam berlalu. Hari perlahan berganti menuju hari baru. Arnon membuka matanya. Di sisinya Fea masih terlelap. Tidur dengan tenang, dengan mulut terkatup, matanya sedikit terbuka, tangannya memeluk pinggang Arnon. Arnon tersenyum. Dia usap pelan pipi Fea, lembut, bersih. Meskipun remang-remang, Arnon masih bisa melihat jelas wajah Fea. "Thank you, Honey. Kamu sangat mengerti aku. Gimana aku ga makin sayang? Ga sabar mendapat kabar baik, kamu akan punya baby di sini." Lembut Arnon berkata, tangannya turun menyentuh perut Fea. "Hmm ..." Merasakan sentuhan itu, Fea terbangun. Dia membuka mata dan melihat Arnon sedang memandang padanya. "Apa sudah pagi?" "Hampir. Masih gelap. Tidurlah lagi." Arnon memindahkan tangannya merangkul pinggang Fea. "Arnon, kita harus pulang. Ga ada baju ganti di sini. Nanti harus ke kantor lagi." Fea segera ingat mereka ada di apartemen. Kemarin Arnon membelokkan mobil menghindari pencari berita yang menguntit mereka. "Hmm? Kamu yakin? Aku masih mengantuk
Dengan berkas di tangan, Fea melangkah menuju kantor Irvan. Dia sengaja minta mengantar berkas itu karena ingin sekalian bicara tentang Stefi pada Irvan. Sampai di depan kantor Irvan, Fea mengetuk pintu. "Masuk, Rani!" Terdengar suara Irvan. Pria itu mengira Rania yang datang. Fea membuka pintu dan melangkah ke dalam. "Fea?" Irvan heran bukan Rania yang datang. "Maaf, Pak, Rania kurang baik. Dia beberapa kali muntah pagi ini." Fea menjelaskan mengapa dia yang menemui Irvan. "Oh? Oke. Apa dia tidak sebaiknya istirahat di rumah?" Irvan mengkuatirkan Rania. "Tidak perlu, Pak. Kalau di atas jam sepuluh dia sudah normal lagi," jawab Fea. "Begitu?" Aneh juga wanita hamil, itu yang Irvan pikirkan. "Ini berkas yang Bapak perlukan. Silakan." Fea meletakkan berkas yang dia pegang di meja Irvan. "Thank you, Fea." Irvan mengangguk. "Kamu apa kabar?" "Aku ... aku baik." Fea tidak mengerti mengapa Irvan menanyakan kabarnya. Jelas-jelas dia sehat makanya bisa datang bekerja. "Semua berita
Stefi dan Fea masih mengarahkan pandangan pada pembantu rumah Stefi. Siapa tamu yang datang ke rumah Stefi? "Itu, calonnya Non Stefi." Pembantu itu menjawab ragu-ragu. "Irvan?" Stefi memastikan. "Yang batal ..." Pembantu itu seperti takut salah bicara. "Ooh, haa ... haaa ..." Stefi malah ngakak. Dia tahu siapa yang datang. Fea menoleh pada Stefi yang tertawa lebar. "Suami kamu, Fea. Arnon." Stefi menepuk pipi Fea. "Yuk, ajak dia sekalian makan bareng." "Tapi yang satu lagi juga datang." Pembantu itu belum selesai dengan beritanya. "Mbak Irin, kalau kasih kabar itu jangan nyicil." Stefi jadi gemes. "Abisnya takut ada huru hara, Non," ujar Irin. "Haa ... haa ... Nggak, Mbak. Kamu berteman baik." Stefi kembali ngakak. "Yang antar Non pulang. Iya, dia datang belakangan." Irin melengkapi info tamu yang ada di rumah itu. "Fea, seru banget deh, malam ini," kata Stefi dengan senyum makin lebar. "Seru apa?" Fea tidak mengerti maksud Stefi. "Double date. Hmm?" Stefi memainkan alisn
Fea menatap Arnon lekat-lekat. Dia tersenyum selebar itu, bahkan hampir tertawa, mendengar kalau Irvan dan Stefi akan menikah. Jarang, sangat jarang Arnon bisa tertawa selepas ini. Apa yang ada dalam pikiran suaminya ketika mengetahui Irvan dan Stefi akhirya memilih bersama. "Doakan saja semua lancar. Aku juga ingin bahagia seperti kamu dan Fea." Irvan melihat Arnon, dengan senyum yang juga lebar. Tampak di wajahnya dia senang bisa bersama Stefi saat ini. "Tentu. Aku berharap segera bisa menyaksikan kalian berjalan di altar. Dan aku yang akan memastikan tidak akan datang pengantin yang lain. Aku akan pastikan Stefi yang masuk dan menemui kamu di sana." Arnon mengepalkan tangan dengan semangat. Saat tiba di rumah, Fea bertanya pada Arnon, soal Stefi dan Irvan. Fea penasaran, apa yang ada di pikiran Arnon. "Aku tidak mengira kamu segembira itu melihat Irvan dan Stefi bersama." Fea meminta Arnon mengutarakan pikirannya. Arnon tersenyum, manis, dan dengan tatapan gembira. Dia menarik
Kemarahan Ardan dan Ardina tidak juga surut karena merasa Arnon tetap tidak pantas mendapatkan harta ayahnya. Mereka berhasil membuat Arnon menutup satu restonya karena terus melakukan sabotase. Sayangnya itu masih belum cukup. Mereka mau Arnon bisa tak berkutik dengan hidupnya. Mereka akan menggagalkan semua yang Arnon usahakan, apapun itu. Kecuali, Arnon melepaskan diri dari Hendrawan. "Kita ga mungkin mengusik perusahaan papa. Bisa pengaruh pada yang kita pegang juga, Din." Ardan memandang Ardina yang mengusulkan agar Ardan mengulik perusahaan yang Arnon pegang. "Aku rasa jika terjadi sesuatu, papa akan langsung mencabut hak Arnon memegang perusahaan itu." Ardina mencoba meyakinkan Ardan dengan idenya. "Aku punya ide yang lain." Ardan tersenyum. Senyum jahat, karena ide gila muncul di kepalanya. "Apa? Jangan buat aku kesal," tukas Ardina. "Arnon itu dari masalah hasrat, tidak bisa disangkal, memang ada miripnya dengan papa," kata Ardan tanpa lansung menjelaskan maksudnya. Tapi
"Kamu sungguh, mau mengantar aku ke sana?" Fea menatap Arnon. Fea tersenyum lebar. Mereka baru saja masuk ke kamar, hendak beristirahat setelah sepanjang hari bergelut dengan pekerjaan. "Ya, tentu saja. Sejak sebelum menikah kamu memang ingin mengunjungi makam kedua orang tua kamu. Ini sudah hampir tiga bulan kita menikah, kita belum juga berangkat," ucap Arnon. Arnon melempar tubuhnya di atas kasur, berbaring di sana. Fea mendekat, duduk di ujung ranjang, di dekat kaki Arnon. "Aku bahkan tidak terlalu berpikir, Ar. Kamu banyak sekali pekerjaan. Apalagi dengan pegang perusahaan Tuan Besar, belum lagi masalah yang tidak juga selesai di resto. Aku cuma mau kamu kuat, baik-baik, tidak menyerah, itu cukup buat aku." Fea memandang suaminya yang melihat ke langit-langit kamar. Arnon berbalik. Dia tengkurapkan badan, posisinya makin mendekat pada Fea. Kepalanya tepat berada di belakang Fea. "Buat kamu, apa sih yang enggak?" Arnon menyentuh tangan Fea. Fea memutar punggungnya, dia mengh
Tawa lepas terdengar di tepi pantai. Dibarengi suara deburan ombak yang tak mau menunda hentakannya menerjang bibir pantai luas dan indah. Angin semakin kencang bertiup, seolah-olah memaksa awan-awan bergerak cepat dan segera berganti bentuk menghias biru langit.Pohon-pohon di tepi pantai berkejaran menggoyangkan dahan dan daun-daun yang memenuhi batangnya. Seakan-akan menari menikmati hari yang cerah. Sesekali terdengar desauan suara gesekan dedaunan itu."Sayang ... lihat apa?" Arnon memencet hidung Fea.Fea gelagapan. Dia pegang tangan Arnon, menoleh padanya."Memperhatikan anak-anak. Rasanya belum lama aku berjuang membawa mereka lahir, ternyata mereka sudah mulai gede." Senyum Fea mengembang manis. Dia lepaskan tangan Arnon dan merapikan helaian rambutnya yang menutupi wajah karena tiupan angin."Kamu benar. Arnon dan Fernan suaranya mulai berubah. Tingginya sudah melampaui kamu. Dan sudah mulai ngerti cewek cantik." Arnon ikut tersenyum leba
Arnon memegang lengan Fea, meminta dia menurunkan tangan. Fea menggeleng. Dia kesal karena perjalanan itu terganggu gara-gara dia sakit. "Sayang, kenapa?" ulang Arnon. "Kenapa aku sakit? Harusnya kita happy, menikmati semuanya." Fea sedikit merajuk. Arnon menggeser kursinya, merapat pada Fea dan memeluknya. "Jangan sedih. Sakit itu ga bisa ditolak. Sudah, ga apa-apa." "Hhmm, uuhhkkk ..." Fea kembali merasa mual. Sedang pusing yang mendera kembali datang. "Kita ke dokter saja. Ga bisa kayak gini. Ini sudah campur-campur sakitnya. Ayo!" Arnon tidak bisa menunggu. Lebih baik mencari obat yang benar, agar Fea segera pulih. Sebab masih dua hari lagi perjalanan mereka. Dengan tubuh sedikit oleng, Fea menurut. Arnon menuntunnya masuk ke dalam mobil. Arnon segera browsing mencari klinik terdekat. "Good, hanya sepuluh menit dari sini. Kita pergi." Arnon dengan cepat melaju di jalanan. Pulau itu tidak sepadat kota asa
Arnon memandang Fea. Dia tahu, Fea benar-benar lupa ada apa dengan salah satu kembar mereka."Pulang, bisakah ada adik di perut Mama?" Fea mengulang yang Fernan katakan.Fea memeluk Arnon seketika. Senyumnya melebar. "Iya, ingat. Tapi aku mau jalan-jalan. Rugi kalau jauh-jauh hanya untuk rebahan di kamar.""Hee ... hee ..." Arnon tersenyum lebar. "Oke, kita tidur. Besok kita berpetualang di luar pagi hingga siang. Malam, petualangan di atas kasur. Jangan menolak, Sayang ..."Fea tidak menyahut, tidak juga menolak. Yang terjadi terjadilah. Dia juga berharap jika Tuhan kehendaki, maka dia akan segera mengandung. Namun, jika tidak, dia pasrah. Tuhan yang lebih tahu, apakah baik buta dia dan Arnon, juga anak-anak, jika ada anggota keluarga baru.Malam dengan cepat berlalu, pagi pun menyapa lagi.Arnon dan Fea mulai berkelana di pulau cantik itu. Awal, mereka datang ke resto Hervina. Hervina sendiri yang menjemput dari hotel. Fea dan Arnon dijamu
Arnon pun tidak kalah terkejut saat mengenali wanita yang memanggilnya. Apa dia harus menemuinya? Tetapi langkah mereka memang terarah ke tempat di mana wanita cantik dengan postur tinggi dan langsing itu berada."Kamu akan menemuinya?" tanya Fea."Kenapa tidak? Aku bersama kamu. Kita temui sama-sama." Arnon memegang erat tangan Fea.Mereka melangkah mendekat pada wanita itu."Selamat datang di pulau cantik ini. Selamat berpetualang." Senyum manisnya, masih sama seperti dulu, itu yang Arnon lihat."Maaf, Kak Hervi ga bisa jemput. Hari ini restonya ada acara wedding, jadi dia pastikan semua berjalan lancar." Suaranya ceria dan terdengar ramah."Kamu dan Hervina?" Arnon menatap wanita itu."Namaku Widya Sukma Adijaya. Kamu teman kuliah Kak Hervi, pasti ingat namanya." Widya berkata sambil tersenyum lebar.Arnon mengerutkan kening. "Aku tidak ingat lengkapnya, tapi ya ... Hervina ... belakangnya Adijaya. Jadi dia kakakmu?"
Fea menatap Arnon lekat-lekat. Seketika suasana riuh dan meriha itu tidak manis lagi. Kenapa Arnon mengatakan itu? Wajahnya tegas, membalas tatapan Fea. Apakah Arnon sebenarnya terpaksa datang ke panti? "Kamu kenapa?" tanya Fea. "Tidak bisa menikmati acara ini." Arnon mengatakan lebih tegas. "Kamu tidak ingin datang? Aku sudah bertanya lebih dulu, Ar, kamu bisa atau tidak. Kamu iyakan, kamu bilang Sabtu ini kosong, ga ada urusan mendesak. Makanya aku siapkan semua, bukan, kamu bahkan membantu menyiapkan ..." "Bagaimana bisa menikmati acara, kalau di sisiku ada bidadari cantik membuat aku tak bisa berkedip?" Arnon berkata dengan mata menghujam dua bola mata Fea, tanpa berkedip. "Ahh ..." Fea seketika menghela nafas panjang. "Arnon ..." Arnon tersenyum. Dia raih tangan Fea dan menggenggamnya. "Thank you." Fea ikut tersenyum. "Thank you buat apa?" "Aku mungkin akan bilang berulang-ulang, tapi akan tetap mengatakannya lagi.
"Itulah, memang tidak mudah menyelami hati seseorang. Boleh dibilang, aku setuju dengan pepatah yang mengatakan, dalamnya lautan bisa diukur, dalamnya hati siapa yang tahu," ujar Fea."Jawab saja, pakai melantunkan peribahasa segala. Hee ... hee ..." Sherlita merasa lucu dengan jawaban Fea."Pak Rido, dia terjebak banyak hutang. Karena diam-diam dia suka berjudi. Awalnya dia dapat uang dari pinjaman online. Kamu bisa bayangkan seperti apa jeratan pinjaman online apalagi yang asal begitu." Fea memulai penjelasannya."Waduh, kok ngeri aku," ujar Sherlita. Tak dia bayangkan itu yang terjadi. "Karena judi Rido nekad memperjualbelikan anak-anak?""Awalnya dia ga bermaksud begitu. Hanya dia melihat ada peluang dapat uang gede. Tanpa pikir panjang, dia iya saja. Dan sudah terlanjur ada perjanjian untuk menyerahkan anak itu." Fea menambahkan."Lalu, setelah tahu kenyataannya?" Sherlita makin penasaran."Menurut yang aku dengar, dia menyesal, t
Ahmad tersenyum. "Monggo, dibuka saja, Nyonya Muda." Fea ikut tersenyum lebar. "Makasih, Pak." "Sami-sami, Nyonya." Ahmad mengangguk dan berbalik meninggalkan Fea dan Arnon. "Penasaran. Undangan pernikahan kali." Arnon berkomentar. Fea membuka paper bag itu dan mengeluarkan isinya. Mata Fea melebar. Di dalamnya ada hiasan dinding, kerajinan tangan dari Lombok. Dan ada kartu kecil di dalamnya. "Ini dari ..." Fea menunjukkan pada Arnon. Arnon menerima kartu itu dan membacanya. "Hervina. Oh, my God. Dia beri kejutan ini?" Ternyata ada tiket dua untuk liburan di Lombok selama satu minggu. "Siapa Hervina?" tanya Fea. Dia tidak merasa mengenal nama itu. Ada sesuatu yang menggelitik dadanya, sebab yang mengirim hadiah buat Arnon adalah seorang wanita. "Ah, aku ga pernah cerita, ya? Jujur, lupa." Arnon memandang Fea. "Oke, lalu siapa dia?" Fea berusaha tenang, tapi tetap saja ada rasa tidak nyaman di
"Jahat sekali mereka melakukan itu pada anak-anak. Aku tak habis pikir. Mereka lahir tanpa meminta. Sejak bocah hanya derita dan kepedihan yang mereka punya. Tidak mengenal orang tua, tidak tahu sanak saudara. Lalu, ada orang yang masih juga melakukan hal buruk pada mereka. Ya Tuhan ..." Bu Liani meliahat pada Herni. Herni makin dalam menunduk. Rasa bersalah memenuhi hatinya. Dia tidak berani memandang Bu Liani ataupun Arnon. "Bu, semua sudah jelas, Ibu pasti akan segera pulang. Anak-anak akan lega, Ibu bisa bersama mereka lagi." Arnon menenangkan Bu Liani. "Bagaimana aku menghadapi mereka, Pak Arnon? Bagaimana bisa aku menjelaskan semua ini? Aku benar-benar hancur," Bu Liani mengusap lagi kedua pipinya yang basah. Tatapannya kembali tertuju pada Herni. "Apa yang ada di otak kamu, Herni? Apa?" "Maafkan aku, Bu. Maafkan aku ...." lirih kalimat itu yang Herni ucapkan. "Kita memang tidak berlebihan duit. Tidak semua yang kita ingin dengan g
Arnon mengenalkan Fea dan memnita waktu agar Fea melihat ke dalam, bertemu dengan Tinah. Awalnya polisi itu sedikit keberatan karena mereka masih melakukan penggeledahan. Arnon meyakinkan bahwa dia punya tujuan dan kepentingan sama dengan polisi yang datang ke panti itu. "Sudah beberapa waktu kamu mencoba menyelidiki, Pak. Istri saya bekerja sama dengan pengurus panti yang memang merasa ada kejanggalan di panti. Saya harap ini bisa memberikan titik terang juga untuk penyelidikan yang dilakukan." Arnon bicara tegas. Akhirnya Fea diberikan ruang menemui Tinah. Wanita itu dan beberapa pengurus lainnya ada di depan kantor. Mereka duduk menunggu, sambil memperhatikan para petugas yang bekerja mencari bukti. Sesekali mereka akan memanggil jika perlu mendapat keterangan atua mencari sesuatu yang mereka perlukan. "Fea!" Tinah seketika berdiri saat melihat Fea datang. "Bu, gimana?" tanya Fea. "Aku bingung kenapa Bu Liani harus dibawa. Dia pasti b