Fea menatap Arnon lekat-lekat. Dia tersenyum selebar itu, bahkan hampir tertawa, mendengar kalau Irvan dan Stefi akan menikah. Jarang, sangat jarang Arnon bisa tertawa selepas ini. Apa yang ada dalam pikiran suaminya ketika mengetahui Irvan dan Stefi akhirya memilih bersama. "Doakan saja semua lancar. Aku juga ingin bahagia seperti kamu dan Fea." Irvan melihat Arnon, dengan senyum yang juga lebar. Tampak di wajahnya dia senang bisa bersama Stefi saat ini. "Tentu. Aku berharap segera bisa menyaksikan kalian berjalan di altar. Dan aku yang akan memastikan tidak akan datang pengantin yang lain. Aku akan pastikan Stefi yang masuk dan menemui kamu di sana." Arnon mengepalkan tangan dengan semangat. Saat tiba di rumah, Fea bertanya pada Arnon, soal Stefi dan Irvan. Fea penasaran, apa yang ada di pikiran Arnon. "Aku tidak mengira kamu segembira itu melihat Irvan dan Stefi bersama." Fea meminta Arnon mengutarakan pikirannya. Arnon tersenyum, manis, dan dengan tatapan gembira. Dia menarik
Kemarahan Ardan dan Ardina tidak juga surut karena merasa Arnon tetap tidak pantas mendapatkan harta ayahnya. Mereka berhasil membuat Arnon menutup satu restonya karena terus melakukan sabotase. Sayangnya itu masih belum cukup. Mereka mau Arnon bisa tak berkutik dengan hidupnya. Mereka akan menggagalkan semua yang Arnon usahakan, apapun itu. Kecuali, Arnon melepaskan diri dari Hendrawan. "Kita ga mungkin mengusik perusahaan papa. Bisa pengaruh pada yang kita pegang juga, Din." Ardan memandang Ardina yang mengusulkan agar Ardan mengulik perusahaan yang Arnon pegang. "Aku rasa jika terjadi sesuatu, papa akan langsung mencabut hak Arnon memegang perusahaan itu." Ardina mencoba meyakinkan Ardan dengan idenya. "Aku punya ide yang lain." Ardan tersenyum. Senyum jahat, karena ide gila muncul di kepalanya. "Apa? Jangan buat aku kesal," tukas Ardina. "Arnon itu dari masalah hasrat, tidak bisa disangkal, memang ada miripnya dengan papa," kata Ardan tanpa lansung menjelaskan maksudnya. Tapi
"Kamu sungguh, mau mengantar aku ke sana?" Fea menatap Arnon. Fea tersenyum lebar. Mereka baru saja masuk ke kamar, hendak beristirahat setelah sepanjang hari bergelut dengan pekerjaan. "Ya, tentu saja. Sejak sebelum menikah kamu memang ingin mengunjungi makam kedua orang tua kamu. Ini sudah hampir tiga bulan kita menikah, kita belum juga berangkat," ucap Arnon. Arnon melempar tubuhnya di atas kasur, berbaring di sana. Fea mendekat, duduk di ujung ranjang, di dekat kaki Arnon. "Aku bahkan tidak terlalu berpikir, Ar. Kamu banyak sekali pekerjaan. Apalagi dengan pegang perusahaan Tuan Besar, belum lagi masalah yang tidak juga selesai di resto. Aku cuma mau kamu kuat, baik-baik, tidak menyerah, itu cukup buat aku." Fea memandang suaminya yang melihat ke langit-langit kamar. Arnon berbalik. Dia tengkurapkan badan, posisinya makin mendekat pada Fea. Kepalanya tepat berada di belakang Fea. "Buat kamu, apa sih yang enggak?" Arnon menyentuh tangan Fea. Fea memutar punggungnya, dia mengh
Weekend kembali hadir. Seperti yang Arnon janjikan, dia mengantar Fea pergi ke kota kelahiran Fea, tempat di mana kedua orang tua Fea disemayamkan. Arnon sudah membayangkan manisnya perjalanan bersama Fea. Kenangan bulan madu yang lalu mulai melayang-layang di pikiran chef ganteng itu. Arnon sengaja membawa mobil sendiri, karena dengan begitu, dia bisa mengajak Fea berbelok ke tempat-tempat yang indah untuk mereka kunjungi entah dalam perjalanan saat berangkat atau ketika mereka akan kembali pulang. Selesai sarapan pagi itu Arnon dan Fea memulai perjalanan mereka. Hari cukup cerah, matahari bersinar terang menambah semangat membara di hati Arnon. Sambil melaju di jalan tol, Arnon bernyanyi-nyanyi senang. Fea tidak mengira, suaminya segembira itu. Arnon jarang melantunkan lagu dari bibirnya karena dia tidak terlalu suka bernyanyi sekalipun selera musiknya cukup bagus. "Biarkanlah kurasakan ... Hangatnya sentuhan kasihmu ...." Arnon mengumandangkan salah satu lagu legenda yang romanti
"Kalau boleh aku mau nambah semalam nginap di sini." Arnon masih rebahan, belum berniat turun dari ranjang. Ternyata menyenangkan punya kesempatan jalan berdua begini. Semua beban pekerjaan seakan jauh. Admin benar-benar menyisihkan semua. Dia curahkan perhatian penuh pada Fea. Fea sudah selesai mandi, sedang memoles wajahnya, duduk di depan meja rias. "Mandi, Ar. Lalu kita sarapan. Aku udah lapar." Fea menoleh, kemudian kembali mengusap pipinya dengan bedak, melihat wajahnya di cermin. "Pasti lapar. Semalam seru gitu," Arnon tersenyum lebar. "Apaan?" Fea pura-pura tidak paham maksud ucapan Arnon. "Semoga ada hasilnya perjalanan kita. Bulan depan dapat kabar baik," ujar Arnon. Dia benar-benar tidak sabar, ingin Fea segera mengandung. Fea tersenyum. Selesai sudah dengan make up simpel di wajahnya. Mata Fea tampak cerah, bibirnya merona meski hanya lip gloss saja yang dia poleskan di sana. Fea mendekati Arnon, menarik lengannya. "Ayo, mandi. Terus sarapan. Dan siap-siap pulang." F
Hari-hari berlalu dengan cepat. Usulan Soraya, Arnon bawa ke rapat direksi. Semua menanggapi dengan baik, meskipun perlu ditata di beberapa bagian. Dengan ide itu Soraya seketika melejit. Pegawai yang lainnya cukup terpesona dengan wanita muda dan cantik itu. Dia ternyata sangat cerdas dan tidak bisa dianggap remeh. Event pertama untuk promo adalah bekerja sama dengan beberapa butik akan menggelar kegiatan modeling dan fashion sekota untuk pelajar dan mahasiswa. Ada dua lomba dilakukan, design dan foto model. Sangat menarik. Sekalipun Arnon selama ini berkecimpung di dunia kuliner ternyata menyenangkan juga melakukan ini semua. Yang paling bagus, dia mengajak Stefi untuk terlibat langsung sebagai salah satu panitia inti dari perwakilan butik. Tentu saja Stefi sangat senang. Ini kesempatan dia memulihkan kepercayaan khalayak kalau butiknya berkualitas. Dengan ini dia bisa menaikkan lagi pamor butiknya sehingga akan banyak pelanggan baru nanti. "Baiklah, selesai pertemuan hari ini. Ku
Salahkah jika Fea kuatir seandainya Arnon terjerat pada wanita lain? Arnon pria tampan, dikenal di mana-mana di kota ini karena keturunan Hendrawan. Pria sukses dengan usaha resto berkelasnya. Tidak ketinggalan sisi gelap hidup Arnon sebagai pria lajang yang suka bermain banyak wanita cantik. Sekalipun bagian ini perlahan memudar, tapi bukan tidak mungkin sisi buruk itu akan bangkit lagi. Arnon menarik Fea dalam dekapannya. Dia bisa mengerti rasa kuatir dan takut yang cepat menggelayut di hati wanita yang sangat Arnon cintai itu. Sejak awal Arnon mulai gemar jalan dengan para gadis ketika mereka SMA, Fea menunjukkan rasa tidak suka. Meskipun Fea tidak menentang terang-terangan, Arnon tahu Fea kesal jika Arnon suka jalan sama cewek, bahkan kadang bolos sekolah hanya karena hang out bersama mereka. "Aku cinta kamu, sangat, sangat, sangatttt cinttaaa. Ga usah mikir yang lain-lain. Oke?" Arnon meyakinkan Fea jika dia tidak akan mengkhianati atau mempermainkan perasaan Fea, apalagi sampai
Arnon memperhatikan Fea. Dia sudah berganti pakaian, siap meninggalkan rumah, memainkan perjalanan yang tadi dia katakan. "Kamu serius?" Arnon berdiri dan menghampiri Fea. "Yup. I plan a nice trip. Come on." Fea mememang tangan Arnon, sedikit menariknya agar mengikuti Fea. Fea menunjukkan koper kecil yang siap dibawa untuk perjalanan mereka. Arnon tersenyum lebar. Dia merangkul Fea dan mendaratkan kecupan bertubi-tubi di pipi istrinya. Fea tertawa melihat Arnon begitu senang. Perjalanan dimulai. Fea tidak mau memberitahu akan ke mana. Dia memandu saja selama mereka berkendara menuju ke tempat yang Fea siapkan untuk berakhir pekan bersama. Arnon juga tidak memaksa Fea mengatakan akan mengajak dia ke mana. Dia mengikuti saja arahan Fea. Arnon ingin menikmati hari itu yang pasti akan sangat menyenangkan. Makin jauh perjalanan, Arnon bisa menduga ke mana Fea mengajaknya. Sebuah villa agak sedikit keluar kota. Tempat y
Tawa lepas terdengar di tepi pantai. Dibarengi suara deburan ombak yang tak mau menunda hentakannya menerjang bibir pantai luas dan indah. Angin semakin kencang bertiup, seolah-olah memaksa awan-awan bergerak cepat dan segera berganti bentuk menghias biru langit.Pohon-pohon di tepi pantai berkejaran menggoyangkan dahan dan daun-daun yang memenuhi batangnya. Seakan-akan menari menikmati hari yang cerah. Sesekali terdengar desauan suara gesekan dedaunan itu."Sayang ... lihat apa?" Arnon memencet hidung Fea.Fea gelagapan. Dia pegang tangan Arnon, menoleh padanya."Memperhatikan anak-anak. Rasanya belum lama aku berjuang membawa mereka lahir, ternyata mereka sudah mulai gede." Senyum Fea mengembang manis. Dia lepaskan tangan Arnon dan merapikan helaian rambutnya yang menutupi wajah karena tiupan angin."Kamu benar. Arnon dan Fernan suaranya mulai berubah. Tingginya sudah melampaui kamu. Dan sudah mulai ngerti cewek cantik." Arnon ikut tersenyum leba
Arnon memegang lengan Fea, meminta dia menurunkan tangan. Fea menggeleng. Dia kesal karena perjalanan itu terganggu gara-gara dia sakit. "Sayang, kenapa?" ulang Arnon. "Kenapa aku sakit? Harusnya kita happy, menikmati semuanya." Fea sedikit merajuk. Arnon menggeser kursinya, merapat pada Fea dan memeluknya. "Jangan sedih. Sakit itu ga bisa ditolak. Sudah, ga apa-apa." "Hhmm, uuhhkkk ..." Fea kembali merasa mual. Sedang pusing yang mendera kembali datang. "Kita ke dokter saja. Ga bisa kayak gini. Ini sudah campur-campur sakitnya. Ayo!" Arnon tidak bisa menunggu. Lebih baik mencari obat yang benar, agar Fea segera pulih. Sebab masih dua hari lagi perjalanan mereka. Dengan tubuh sedikit oleng, Fea menurut. Arnon menuntunnya masuk ke dalam mobil. Arnon segera browsing mencari klinik terdekat. "Good, hanya sepuluh menit dari sini. Kita pergi." Arnon dengan cepat melaju di jalanan. Pulau itu tidak sepadat kota asa
Arnon memandang Fea. Dia tahu, Fea benar-benar lupa ada apa dengan salah satu kembar mereka."Pulang, bisakah ada adik di perut Mama?" Fea mengulang yang Fernan katakan.Fea memeluk Arnon seketika. Senyumnya melebar. "Iya, ingat. Tapi aku mau jalan-jalan. Rugi kalau jauh-jauh hanya untuk rebahan di kamar.""Hee ... hee ..." Arnon tersenyum lebar. "Oke, kita tidur. Besok kita berpetualang di luar pagi hingga siang. Malam, petualangan di atas kasur. Jangan menolak, Sayang ..."Fea tidak menyahut, tidak juga menolak. Yang terjadi terjadilah. Dia juga berharap jika Tuhan kehendaki, maka dia akan segera mengandung. Namun, jika tidak, dia pasrah. Tuhan yang lebih tahu, apakah baik buta dia dan Arnon, juga anak-anak, jika ada anggota keluarga baru.Malam dengan cepat berlalu, pagi pun menyapa lagi.Arnon dan Fea mulai berkelana di pulau cantik itu. Awal, mereka datang ke resto Hervina. Hervina sendiri yang menjemput dari hotel. Fea dan Arnon dijamu
Arnon pun tidak kalah terkejut saat mengenali wanita yang memanggilnya. Apa dia harus menemuinya? Tetapi langkah mereka memang terarah ke tempat di mana wanita cantik dengan postur tinggi dan langsing itu berada."Kamu akan menemuinya?" tanya Fea."Kenapa tidak? Aku bersama kamu. Kita temui sama-sama." Arnon memegang erat tangan Fea.Mereka melangkah mendekat pada wanita itu."Selamat datang di pulau cantik ini. Selamat berpetualang." Senyum manisnya, masih sama seperti dulu, itu yang Arnon lihat."Maaf, Kak Hervi ga bisa jemput. Hari ini restonya ada acara wedding, jadi dia pastikan semua berjalan lancar." Suaranya ceria dan terdengar ramah."Kamu dan Hervina?" Arnon menatap wanita itu."Namaku Widya Sukma Adijaya. Kamu teman kuliah Kak Hervi, pasti ingat namanya." Widya berkata sambil tersenyum lebar.Arnon mengerutkan kening. "Aku tidak ingat lengkapnya, tapi ya ... Hervina ... belakangnya Adijaya. Jadi dia kakakmu?"
Fea menatap Arnon lekat-lekat. Seketika suasana riuh dan meriha itu tidak manis lagi. Kenapa Arnon mengatakan itu? Wajahnya tegas, membalas tatapan Fea. Apakah Arnon sebenarnya terpaksa datang ke panti? "Kamu kenapa?" tanya Fea. "Tidak bisa menikmati acara ini." Arnon mengatakan lebih tegas. "Kamu tidak ingin datang? Aku sudah bertanya lebih dulu, Ar, kamu bisa atau tidak. Kamu iyakan, kamu bilang Sabtu ini kosong, ga ada urusan mendesak. Makanya aku siapkan semua, bukan, kamu bahkan membantu menyiapkan ..." "Bagaimana bisa menikmati acara, kalau di sisiku ada bidadari cantik membuat aku tak bisa berkedip?" Arnon berkata dengan mata menghujam dua bola mata Fea, tanpa berkedip. "Ahh ..." Fea seketika menghela nafas panjang. "Arnon ..." Arnon tersenyum. Dia raih tangan Fea dan menggenggamnya. "Thank you." Fea ikut tersenyum. "Thank you buat apa?" "Aku mungkin akan bilang berulang-ulang, tapi akan tetap mengatakannya lagi.
"Itulah, memang tidak mudah menyelami hati seseorang. Boleh dibilang, aku setuju dengan pepatah yang mengatakan, dalamnya lautan bisa diukur, dalamnya hati siapa yang tahu," ujar Fea."Jawab saja, pakai melantunkan peribahasa segala. Hee ... hee ..." Sherlita merasa lucu dengan jawaban Fea."Pak Rido, dia terjebak banyak hutang. Karena diam-diam dia suka berjudi. Awalnya dia dapat uang dari pinjaman online. Kamu bisa bayangkan seperti apa jeratan pinjaman online apalagi yang asal begitu." Fea memulai penjelasannya."Waduh, kok ngeri aku," ujar Sherlita. Tak dia bayangkan itu yang terjadi. "Karena judi Rido nekad memperjualbelikan anak-anak?""Awalnya dia ga bermaksud begitu. Hanya dia melihat ada peluang dapat uang gede. Tanpa pikir panjang, dia iya saja. Dan sudah terlanjur ada perjanjian untuk menyerahkan anak itu." Fea menambahkan."Lalu, setelah tahu kenyataannya?" Sherlita makin penasaran."Menurut yang aku dengar, dia menyesal, t
Ahmad tersenyum. "Monggo, dibuka saja, Nyonya Muda." Fea ikut tersenyum lebar. "Makasih, Pak." "Sami-sami, Nyonya." Ahmad mengangguk dan berbalik meninggalkan Fea dan Arnon. "Penasaran. Undangan pernikahan kali." Arnon berkomentar. Fea membuka paper bag itu dan mengeluarkan isinya. Mata Fea melebar. Di dalamnya ada hiasan dinding, kerajinan tangan dari Lombok. Dan ada kartu kecil di dalamnya. "Ini dari ..." Fea menunjukkan pada Arnon. Arnon menerima kartu itu dan membacanya. "Hervina. Oh, my God. Dia beri kejutan ini?" Ternyata ada tiket dua untuk liburan di Lombok selama satu minggu. "Siapa Hervina?" tanya Fea. Dia tidak merasa mengenal nama itu. Ada sesuatu yang menggelitik dadanya, sebab yang mengirim hadiah buat Arnon adalah seorang wanita. "Ah, aku ga pernah cerita, ya? Jujur, lupa." Arnon memandang Fea. "Oke, lalu siapa dia?" Fea berusaha tenang, tapi tetap saja ada rasa tidak nyaman di
"Jahat sekali mereka melakukan itu pada anak-anak. Aku tak habis pikir. Mereka lahir tanpa meminta. Sejak bocah hanya derita dan kepedihan yang mereka punya. Tidak mengenal orang tua, tidak tahu sanak saudara. Lalu, ada orang yang masih juga melakukan hal buruk pada mereka. Ya Tuhan ..." Bu Liani meliahat pada Herni. Herni makin dalam menunduk. Rasa bersalah memenuhi hatinya. Dia tidak berani memandang Bu Liani ataupun Arnon. "Bu, semua sudah jelas, Ibu pasti akan segera pulang. Anak-anak akan lega, Ibu bisa bersama mereka lagi." Arnon menenangkan Bu Liani. "Bagaimana aku menghadapi mereka, Pak Arnon? Bagaimana bisa aku menjelaskan semua ini? Aku benar-benar hancur," Bu Liani mengusap lagi kedua pipinya yang basah. Tatapannya kembali tertuju pada Herni. "Apa yang ada di otak kamu, Herni? Apa?" "Maafkan aku, Bu. Maafkan aku ...." lirih kalimat itu yang Herni ucapkan. "Kita memang tidak berlebihan duit. Tidak semua yang kita ingin dengan g
Arnon mengenalkan Fea dan memnita waktu agar Fea melihat ke dalam, bertemu dengan Tinah. Awalnya polisi itu sedikit keberatan karena mereka masih melakukan penggeledahan. Arnon meyakinkan bahwa dia punya tujuan dan kepentingan sama dengan polisi yang datang ke panti itu. "Sudah beberapa waktu kamu mencoba menyelidiki, Pak. Istri saya bekerja sama dengan pengurus panti yang memang merasa ada kejanggalan di panti. Saya harap ini bisa memberikan titik terang juga untuk penyelidikan yang dilakukan." Arnon bicara tegas. Akhirnya Fea diberikan ruang menemui Tinah. Wanita itu dan beberapa pengurus lainnya ada di depan kantor. Mereka duduk menunggu, sambil memperhatikan para petugas yang bekerja mencari bukti. Sesekali mereka akan memanggil jika perlu mendapat keterangan atua mencari sesuatu yang mereka perlukan. "Fea!" Tinah seketika berdiri saat melihat Fea datang. "Bu, gimana?" tanya Fea. "Aku bingung kenapa Bu Liani harus dibawa. Dia pasti b