Arnon memperhatikan Fea. Dia sudah berganti pakaian, siap meninggalkan rumah, memainkan perjalanan yang tadi dia katakan. "Kamu serius?" Arnon berdiri dan menghampiri Fea. "Yup. I plan a nice trip. Come on." Fea mememang tangan Arnon, sedikit menariknya agar mengikuti Fea. Fea menunjukkan koper kecil yang siap dibawa untuk perjalanan mereka. Arnon tersenyum lebar. Dia merangkul Fea dan mendaratkan kecupan bertubi-tubi di pipi istrinya. Fea tertawa melihat Arnon begitu senang. Perjalanan dimulai. Fea tidak mau memberitahu akan ke mana. Dia memandu saja selama mereka berkendara menuju ke tempat yang Fea siapkan untuk berakhir pekan bersama. Arnon juga tidak memaksa Fea mengatakan akan mengajak dia ke mana. Dia mengikuti saja arahan Fea. Arnon ingin menikmati hari itu yang pasti akan sangat menyenangkan. Makin jauh perjalanan, Arnon bisa menduga ke mana Fea mengajaknya. Sebuah villa agak sedikit keluar kota. Tempat y
Arnon segera duduk. Dia baca ulang pesan yang ada di ponselnya dari Soraya. - Pak, bisa datang ke apartemen. Gawat. Ada apa? Kenapa Soraya mengatakan ada yang gawat? Dia tidak menjelaskan pula apa yang terjadi? Apakah kebakaran di apartemen? Atau Soraya sakit? Arnon membalas chat itu. - Kenapa? Ada apa? Segera balasan dari Soraya, Arnon terima. - Bisakah Pak Arnon ke sini? Minta maaf mengganggu malam begini. Ada tikus, Pak. Saya takut, tidak bisa tidur. Ah, Arnon menggeleng keras. Cuma tikus? Itu dibilang gawat! Tapi, aneh, kenapa bisa ada tikus? Sejak Arnon tinggal di apartemen itu tidak pernah ada tikus dalam apartemennya. Arnon sangat menjaga kebersihan apartemen. Sekalipun lama tidak ditempati, selalu ada yang rutin membersihkan di sana. - Aku di luar kota. Besok baru bisa ke sana. Panggil saja sekuriti. Aku mau tidur. Arnon menjawab pesan itu, lalu dia matikan ponsel. Aneh-aneh saja. Arnon kembali merebahkan badan. Dia merapatkan diri pada Fea yang sudah lelap. Arnon terse
Fea menunggu Arnon di depan rumah. Dia sudah siap jalan pagi menikmati suasana manis di hari cerah. Arnon dengan tergesa menemui Fea dengan wajah kesal. "Honey, aku minta maaf. Ada sesuatu dan aku mau cepat selesaikan. Aku ga bisa menundanya." Arnon memandang Fea dengan muka masam. "Kenapa, Ar?" Fea yang semula berseri, seketika meredup, seperti bunganya mekar tiba-tiba kuncup. "Kamu ingat aku pinjamkan apartemen untuk Soraya?" Arnon menatap Fea. "Iya. Lalu?" Fea merasa ini sesuatu yang tidak bagus. "Semalam, dia kirim pesan, ada tikus di apartemen. Dia mau aku melihatnya. Ah, aku benar-benar kesal," ujar Arnon. "Jadi, kita pulang?" Fea bertanya, memastikan itu yang Arnon maksud. "Yup. Langsung ke apartemen. Tapi aku janji, aku akan ganti acara kita secepatnya, Sayang. Oke?" Arnon merangkul Fea yang sedikit kecewa. Di tengah keseruan ini tiba-tiba harus berubah haluan. "Tidak apa, Ar. Mungkin ada yang aku bisa bantu di sana." Fea tersenyum. Dia mencoba meredakan kekesalan Arnon
Fea menatap lurus pada mata Arnon. Dia ingin memastikan Arnon jujur atau sedang mencoba berdalih dan menutupi kesalahannya. Fea sangat sadar, dalam hal percintaan Fea tidak banyak mengerti. Tapi suaminya ini, dia laki-laki yang terbiasa bersama banyak wanita. Dan Fea tidak mau dia diperdayakan. "Jujur padaku, Arnon. Aku istrimu sekarang. Aku dan kamu sudah disatukan dalam pernikahan. Jangan kamu mempermainkan kesucian perjanjian yang kita ucapkan di depan Tuhan." Dengan berani Fea menantang Arnon. Arnon mengangkat tangan kanannya." Aku berani bersumpah. Aku tidak ada hubungan apapun dengan Soraya. Bertemu dengannya pun bisa aku hitung dengan jari." Tegas Arnon menjawab Fea. Fea menarik nafas dalam, memejamkan mata dan di dalam hati dia berdoa. Dia minta Tuhan tunjukkan kebenaran. Suaminya yang berdusta atau Soraya yang sedang mabuk? "Sayang ..." Arnon maju mendekat pada Fea. Dia genggam tangan Fea sambil memandang istrinya. Dia harus bisa meyakinkan Fea, dia berkata jujur. "Aku bel
"Aku pergi. Kamu baik-baik di kantor. Jangan mikir yang lain, ingat aku saja." Fea melihat Arnon, lalu turun dari mobil. "Iya. Janji, aku kirim pesan setiap dua jam. Oke?" Arnon tersenyum lebar. Fea melambai. Mobil Arnon meninggalkan kantor Fea. Arnon pagi ini akan ke kantor lebih dulu sebelum ke resto. Ada pertemuan penting dengan para pimpinan untuk persiapan akhir event yang akan mereka lakukan. Arnon senang tapi juga tidak. Senang, sebab semua planning mereka berjalan baik. Tidak senang, karena dia akan bertemu dengan Soraya. Sejak kejadian di apartemen, Arnon tidak meladeni Soraya sama sekali. Baik pesan atau telpon Arnon tidak mau gubris. Dia berkomunikasi di group saja. Jika ada urusan mendesak, Arnon minta mereka yang punya kaitan dengan urusan itu yang dia minta berkomunikasi dengan Soraya. Tiba di kantor, Arnon langsung menuju ruang rapat. Semua sudah hadir. Segera Arnon memulai pertemuan itu, memastikan semua akan berjalan sesuai target mereka. Soraya sangat profesional
Mata Fea melirik ke arah kanannya. Arnon berjalan di sisinya, menggandeng tangannya sambil berjalan masuk ke gedung megah, gereja tempat dia dan Arnon menikah. Melangkah masuk ke dalamnya, seolah hari luar biasa menegangkan dan penuh kejutan itu hadir lagi. Rasa degdegan sedikit menggulung di hatinya. Dia eratkan pegangan pada Arnon. Pria itu sekarang adalah suaminya. Dan sampai kapanpu akan tetap begitu. "Apa yang kamu rasa?" Arnon sedikit mendekatkan wajahnya melihat Fea, sementara mereka melangkah menuju bangku di depannya. Fea tersenyum. Dia mengambil tempat, Arnon duduk di sisinya. "Nervous. Hari pernikahan kita terpampang di mataku." "Stefi memang nakal. Dia memakai gedung ini juga untuk dia dan Irvan menikah. Aku yakin bulan madunya akan ke tujuan yang sama, Italia." Arnon ikut tersenyum. "Kenapa memang? Di sana tempat yang sangat bagus. Semuanya menakjubkan." Fea teringat bulan madunya bersama Arnon. Arnon meraih tangan Fea, meng
Dengan cepat Arnon mengikuti perawat yang memanggilnya masuk ke dalam ruangan. Di dalam dokter wanita yang masih relatif muda ada di sisi tempat tidur, bicara dengan senyum manis pada Fea. Mata Arnon tertuju pada Fea. Dia masih terlihat sedikit pucat. Arnon mendekat, memegang tangan Fea dengan tatapan matanya yang cemas terus terarah pada istrinya. "Sayang, kamu gimana?" tanya Arnon. "Saya senang sekali bisa melayani Tuan dan Nyonya Arnon Hendrawan. Tidak saya kira, pasien saya istimewa hari ini." Dokter manis itu tersenyum pada Arnon. "Dok, istri saya kenapa?" Arnon tidak memperhatikan kegembiraan dokter yang senang bertemu Arnon dan Fea. "Tiba-tiba pingsan. Ada sesuatu yang serius?" Dokter itu memandang pada Fea. Dia bisa melihat ada cinta yang besar di mata Fea buat Arnon dan sebaliknya. Ingin sekali dia mengerjai Arnon agar makin keluar aura cinta pria itu. Mata Arnon masih lurus memandang dokter, ingin segera mendapat penjelasan. "Eh ... Begini, Mas ... Aku panggil Mas ga apa
Geram rasanya Arnon melihat itu. Belum sehari kenapa sudah beredar berita tidak jelas di media. Entah siapa yang usil merekam kejadian saat Fea pingsan di pernikahan Irvan dan Stefi. Judul berita yang muncul membuat gerah saja, 'Belum move on, istri Arnon pingsan saat pernikahan sang mantan'. "Sial! Ada saja yang bikin senewen!" umpat Arnon dalam hati. Dia letakkan nampan makanan di nakas sebelah tempat tidur, dia matikan TV. Belum sampai mendekat kepada Fea, bunyi notif berulang kali masuk di ponselnya. Arnon melihat siapa yang ribut mengirim pesan di sana. Arnella. Arnon tersenyum kecut. Riko. Ah, chef terbaiknya itu juga ikut bersuara? Arnon mengabaikan pesan dari Arnella, dia buka chat Riko. - Arnon, kamu sudah lihat yang media sedang hebohkan? Tolong istrimu. Jangan cuek kali ini. Arnon menghela napas. Riko sangat sayang padanya dan Fea. Dia tidak pernah mau Fea mengalami hal yang buruk. Benar-benar seperti ayah Fea saja. Tapi kali ini Riko benar. Selama ini dia memilih diam,
Tawa lepas terdengar di tepi pantai. Dibarengi suara deburan ombak yang tak mau menunda hentakannya menerjang bibir pantai luas dan indah. Angin semakin kencang bertiup, seolah-olah memaksa awan-awan bergerak cepat dan segera berganti bentuk menghias biru langit.Pohon-pohon di tepi pantai berkejaran menggoyangkan dahan dan daun-daun yang memenuhi batangnya. Seakan-akan menari menikmati hari yang cerah. Sesekali terdengar desauan suara gesekan dedaunan itu."Sayang ... lihat apa?" Arnon memencet hidung Fea.Fea gelagapan. Dia pegang tangan Arnon, menoleh padanya."Memperhatikan anak-anak. Rasanya belum lama aku berjuang membawa mereka lahir, ternyata mereka sudah mulai gede." Senyum Fea mengembang manis. Dia lepaskan tangan Arnon dan merapikan helaian rambutnya yang menutupi wajah karena tiupan angin."Kamu benar. Arnon dan Fernan suaranya mulai berubah. Tingginya sudah melampaui kamu. Dan sudah mulai ngerti cewek cantik." Arnon ikut tersenyum leba
Arnon memegang lengan Fea, meminta dia menurunkan tangan. Fea menggeleng. Dia kesal karena perjalanan itu terganggu gara-gara dia sakit. "Sayang, kenapa?" ulang Arnon. "Kenapa aku sakit? Harusnya kita happy, menikmati semuanya." Fea sedikit merajuk. Arnon menggeser kursinya, merapat pada Fea dan memeluknya. "Jangan sedih. Sakit itu ga bisa ditolak. Sudah, ga apa-apa." "Hhmm, uuhhkkk ..." Fea kembali merasa mual. Sedang pusing yang mendera kembali datang. "Kita ke dokter saja. Ga bisa kayak gini. Ini sudah campur-campur sakitnya. Ayo!" Arnon tidak bisa menunggu. Lebih baik mencari obat yang benar, agar Fea segera pulih. Sebab masih dua hari lagi perjalanan mereka. Dengan tubuh sedikit oleng, Fea menurut. Arnon menuntunnya masuk ke dalam mobil. Arnon segera browsing mencari klinik terdekat. "Good, hanya sepuluh menit dari sini. Kita pergi." Arnon dengan cepat melaju di jalanan. Pulau itu tidak sepadat kota asa
Arnon memandang Fea. Dia tahu, Fea benar-benar lupa ada apa dengan salah satu kembar mereka."Pulang, bisakah ada adik di perut Mama?" Fea mengulang yang Fernan katakan.Fea memeluk Arnon seketika. Senyumnya melebar. "Iya, ingat. Tapi aku mau jalan-jalan. Rugi kalau jauh-jauh hanya untuk rebahan di kamar.""Hee ... hee ..." Arnon tersenyum lebar. "Oke, kita tidur. Besok kita berpetualang di luar pagi hingga siang. Malam, petualangan di atas kasur. Jangan menolak, Sayang ..."Fea tidak menyahut, tidak juga menolak. Yang terjadi terjadilah. Dia juga berharap jika Tuhan kehendaki, maka dia akan segera mengandung. Namun, jika tidak, dia pasrah. Tuhan yang lebih tahu, apakah baik buta dia dan Arnon, juga anak-anak, jika ada anggota keluarga baru.Malam dengan cepat berlalu, pagi pun menyapa lagi.Arnon dan Fea mulai berkelana di pulau cantik itu. Awal, mereka datang ke resto Hervina. Hervina sendiri yang menjemput dari hotel. Fea dan Arnon dijamu
Arnon pun tidak kalah terkejut saat mengenali wanita yang memanggilnya. Apa dia harus menemuinya? Tetapi langkah mereka memang terarah ke tempat di mana wanita cantik dengan postur tinggi dan langsing itu berada."Kamu akan menemuinya?" tanya Fea."Kenapa tidak? Aku bersama kamu. Kita temui sama-sama." Arnon memegang erat tangan Fea.Mereka melangkah mendekat pada wanita itu."Selamat datang di pulau cantik ini. Selamat berpetualang." Senyum manisnya, masih sama seperti dulu, itu yang Arnon lihat."Maaf, Kak Hervi ga bisa jemput. Hari ini restonya ada acara wedding, jadi dia pastikan semua berjalan lancar." Suaranya ceria dan terdengar ramah."Kamu dan Hervina?" Arnon menatap wanita itu."Namaku Widya Sukma Adijaya. Kamu teman kuliah Kak Hervi, pasti ingat namanya." Widya berkata sambil tersenyum lebar.Arnon mengerutkan kening. "Aku tidak ingat lengkapnya, tapi ya ... Hervina ... belakangnya Adijaya. Jadi dia kakakmu?"
Fea menatap Arnon lekat-lekat. Seketika suasana riuh dan meriha itu tidak manis lagi. Kenapa Arnon mengatakan itu? Wajahnya tegas, membalas tatapan Fea. Apakah Arnon sebenarnya terpaksa datang ke panti? "Kamu kenapa?" tanya Fea. "Tidak bisa menikmati acara ini." Arnon mengatakan lebih tegas. "Kamu tidak ingin datang? Aku sudah bertanya lebih dulu, Ar, kamu bisa atau tidak. Kamu iyakan, kamu bilang Sabtu ini kosong, ga ada urusan mendesak. Makanya aku siapkan semua, bukan, kamu bahkan membantu menyiapkan ..." "Bagaimana bisa menikmati acara, kalau di sisiku ada bidadari cantik membuat aku tak bisa berkedip?" Arnon berkata dengan mata menghujam dua bola mata Fea, tanpa berkedip. "Ahh ..." Fea seketika menghela nafas panjang. "Arnon ..." Arnon tersenyum. Dia raih tangan Fea dan menggenggamnya. "Thank you." Fea ikut tersenyum. "Thank you buat apa?" "Aku mungkin akan bilang berulang-ulang, tapi akan tetap mengatakannya lagi.
"Itulah, memang tidak mudah menyelami hati seseorang. Boleh dibilang, aku setuju dengan pepatah yang mengatakan, dalamnya lautan bisa diukur, dalamnya hati siapa yang tahu," ujar Fea."Jawab saja, pakai melantunkan peribahasa segala. Hee ... hee ..." Sherlita merasa lucu dengan jawaban Fea."Pak Rido, dia terjebak banyak hutang. Karena diam-diam dia suka berjudi. Awalnya dia dapat uang dari pinjaman online. Kamu bisa bayangkan seperti apa jeratan pinjaman online apalagi yang asal begitu." Fea memulai penjelasannya."Waduh, kok ngeri aku," ujar Sherlita. Tak dia bayangkan itu yang terjadi. "Karena judi Rido nekad memperjualbelikan anak-anak?""Awalnya dia ga bermaksud begitu. Hanya dia melihat ada peluang dapat uang gede. Tanpa pikir panjang, dia iya saja. Dan sudah terlanjur ada perjanjian untuk menyerahkan anak itu." Fea menambahkan."Lalu, setelah tahu kenyataannya?" Sherlita makin penasaran."Menurut yang aku dengar, dia menyesal, t
Ahmad tersenyum. "Monggo, dibuka saja, Nyonya Muda." Fea ikut tersenyum lebar. "Makasih, Pak." "Sami-sami, Nyonya." Ahmad mengangguk dan berbalik meninggalkan Fea dan Arnon. "Penasaran. Undangan pernikahan kali." Arnon berkomentar. Fea membuka paper bag itu dan mengeluarkan isinya. Mata Fea melebar. Di dalamnya ada hiasan dinding, kerajinan tangan dari Lombok. Dan ada kartu kecil di dalamnya. "Ini dari ..." Fea menunjukkan pada Arnon. Arnon menerima kartu itu dan membacanya. "Hervina. Oh, my God. Dia beri kejutan ini?" Ternyata ada tiket dua untuk liburan di Lombok selama satu minggu. "Siapa Hervina?" tanya Fea. Dia tidak merasa mengenal nama itu. Ada sesuatu yang menggelitik dadanya, sebab yang mengirim hadiah buat Arnon adalah seorang wanita. "Ah, aku ga pernah cerita, ya? Jujur, lupa." Arnon memandang Fea. "Oke, lalu siapa dia?" Fea berusaha tenang, tapi tetap saja ada rasa tidak nyaman di
"Jahat sekali mereka melakukan itu pada anak-anak. Aku tak habis pikir. Mereka lahir tanpa meminta. Sejak bocah hanya derita dan kepedihan yang mereka punya. Tidak mengenal orang tua, tidak tahu sanak saudara. Lalu, ada orang yang masih juga melakukan hal buruk pada mereka. Ya Tuhan ..." Bu Liani meliahat pada Herni. Herni makin dalam menunduk. Rasa bersalah memenuhi hatinya. Dia tidak berani memandang Bu Liani ataupun Arnon. "Bu, semua sudah jelas, Ibu pasti akan segera pulang. Anak-anak akan lega, Ibu bisa bersama mereka lagi." Arnon menenangkan Bu Liani. "Bagaimana aku menghadapi mereka, Pak Arnon? Bagaimana bisa aku menjelaskan semua ini? Aku benar-benar hancur," Bu Liani mengusap lagi kedua pipinya yang basah. Tatapannya kembali tertuju pada Herni. "Apa yang ada di otak kamu, Herni? Apa?" "Maafkan aku, Bu. Maafkan aku ...." lirih kalimat itu yang Herni ucapkan. "Kita memang tidak berlebihan duit. Tidak semua yang kita ingin dengan g
Arnon mengenalkan Fea dan memnita waktu agar Fea melihat ke dalam, bertemu dengan Tinah. Awalnya polisi itu sedikit keberatan karena mereka masih melakukan penggeledahan. Arnon meyakinkan bahwa dia punya tujuan dan kepentingan sama dengan polisi yang datang ke panti itu. "Sudah beberapa waktu kamu mencoba menyelidiki, Pak. Istri saya bekerja sama dengan pengurus panti yang memang merasa ada kejanggalan di panti. Saya harap ini bisa memberikan titik terang juga untuk penyelidikan yang dilakukan." Arnon bicara tegas. Akhirnya Fea diberikan ruang menemui Tinah. Wanita itu dan beberapa pengurus lainnya ada di depan kantor. Mereka duduk menunggu, sambil memperhatikan para petugas yang bekerja mencari bukti. Sesekali mereka akan memanggil jika perlu mendapat keterangan atua mencari sesuatu yang mereka perlukan. "Fea!" Tinah seketika berdiri saat melihat Fea datang. "Bu, gimana?" tanya Fea. "Aku bingung kenapa Bu Liani harus dibawa. Dia pasti b