Riko menatap Arnon yang serius memperhatikan gambar di tangannya. Ekspresi wajahnya tampak campur aduk. Ada senyum, tapi juga jelas dia sedang berpikir sementara matanya tidak beralih dari gambar itu. Gambar seorang anak laki-laki dan perempuan yang bergandengan tangan.
"Ini gambar Fea." Arnon mengangkat mukanya dan melihat pada Riko. Arnon tidak lupa seperti apa coretan Fea di atas kertas. "Bapak dapat gambar ini dari mana?"
"Kamu membawa gambar itu ke kantor, Arnon. Ada di atas meja kerja kamu. Bahkan sejak masih depot kecil yang kamu punya, gambar itu juga ada di mejamu." Riko berusaha mengingatkan Arnon tentang gambar itu.
Arnon memejamkan matanya. Sesuatu menggelitik di dadanya. Ada sekelebatan bayangan senyum gadis kecil sedang menyodorkan gambar itu padanya. Arnon bisa ingat saat pertama Fea memberikan gambar itu. Yang dia tidak ingat, dia membawanya ke meja di kantor. Kantor apa? Arnon saja masih bocah, masih sekolah.
"Bapak pasti salah. Aku
Tangan Fea memeluk Arnon yang tertidur lelap. Setelah akhirnya kerinduan tertuang hingga tuntas, Arnon benar-benar pulas. Fea memandang wajah Arnon dan mengusap pipinya pelan. Arnon belum pulih, tapi dia bisa bersikap sebagai pria dewasa, sebagai suami Fea. "Terima kash, Ar. Aku tahu kamu merasa seperti sedang melakukan malam pertama. Kamu sedikit bingung dan canggung. Aneh sekali." Fea bergumam lirih. "Kuharap apa yang terjadi malam ini akan membuka ingatan kamu. Kita sudah disatukan sekian lama, cinta kita sangat kuat. Yang terjadi kali ini tidak akan mengubah cinta itu. Aku yakin." Fea masih menatap wajah tampan Arnon yang masih membuat Fea terpesona. "Aku bisa tidur di sisi kamu, memelukmu. Sejak kamu pulang dari rumah sakit, aku tidur di kamar sebelah dengan anak-anak. Sesekali aku hanya bisa mencium kening dan pipimu saat kamu tidur. Andaikan, saat kamu bangun kamu ingat semuanya. Andaikan." Fea kembali merangkul pinggang Arnon dan memejamkan mata
Mata Arnon tidak berkedip. Dia memperhatikan satu demi satu foto, lembar demi lembar dari tumpukan album kenangan. Arnella memberikan semua album yang dia simpan sejak Arnon bayi hingga dia menginjak dewasa. Arnon mencoba menelusuri semua ingatannya dengan melihat kenangan yang tersimpan melalui foto-foto itu. "Kamu bisa ingat yang mana, Arnon?" Arnella bertanya. Arnon menoleh. "Banyak, tapi melompat-lompat di kepalaku, Ma. Aku bingung." "Baiklah. Jangan kamu paksakan. Fokus pada yang paling kamu ingat saja," kata Arnella. Arnon termenung. Pikirannya justru tertarik pada situasi yang terjadidi rumah itu. Dia ingat sekali, saat dia kecil, papanya jarang di rumah. Tapi sejak dia pulang dari rumah sakit, Ardiansyah setiap hari muncul. Buat Arnon itu sesuatu yang aneh. "Ma, papa tidak pulang ke rumah Nyonya satu dan dua?" Arnon bertanya. Arnella tidak langsung menjawab. Pertanyaan Arnon pendek, tetapi perlu jawaban panjang. Arnella berpiki
Ardiansyah menarik nafas panjang. Semua sudah berlalu, tetapi setiap dia ingat kedua anaknya dari istri pertama, hatinya selalu merasa tidak nyaman. Ardan dan Ardina, mereka meninggal karena kecelakaan pesawat bersama dengan ibu mereka. Banyak hal yang dia bisa ingat dari kedua anak pertama dan keduanya itu. Masa-masa awal pernikahan, masa-masa awal Ardiansyah berjuang hingga menjadi kaya raya, sukses dengan semua usaha yang dia jalani, Ardan dan Ardina yang paling tahu. Mereka juga yang pertama menolak, marah, dan terluka saat Ardiansyah memilih menikah lagi. Ardan dan Ardina harus menerima dia punya dua ibu tiri dari pernikahan kedua dan ketiga Ardiansyah. "Bukankah mereka yang pegang peranan penting di perusahaan?" Arnon memastikan pendapatnya tidak salah. Ardiansyah memandang Arnon. Ingatannya semakin membaik. Meski kadang campur aduk. Tiba-tiba dia balik ke masa remaja, kadang saat dia sudah kuliah. Tapi hampir tidak pernah lagi balik di masa dia bocah.
Fea memandang Arnon lekat-lekat. Arnon menyebut Melia. Sepertinya dia ingat jika Melia bekerja di rumah itu. Itu berarti Arnon ingat rumah yang ada di depannya ini adalah rumah mereka. Rumah Fea, yang Arnon siapkan untuk mereka tinggal setelah menikah."Mbak Melia tidak bekerja lagi di sini. Dia full membantu di resto, Ar." Fea menjelaskan."Ah ... begitu ..." Arnon memicingkan mata. "Sejak kapan aku meminta dia tidak lagi membantu di rumah ini?" Arnon dengan cepat berjalan menuju ke pintu rumah.Dia membuka pintu yang masih tertutup dan masuk ke dalam ruang tamu. Fea mengikuti di belakangnya. Arnon memperhatikan sekeliling ruangan. Dia merasa ada yang berbeda. Seharusnya rumah Fea bukan seperti yang tampak di depannya."Kamu yakin ini rumah kita?" Arnon menoleh pada Fea.Fea mendekat, berdiri di sisi Arnon. "Tentu saja. Rania tinggal di sini dengan Mas Jaka dan Putria. Mereka butuh tempat tinggal, dan rumah ini kosong. Aku minta mereka di sini saj
Wajah Fea berbinar. Arnon semakin baik. Dia bahkan bicara soal bisnis. Arnon Hendrawan memang jago soal itu. Fea memandang Arnon, memegang tangannya erat."Kamu ingat? Ingat kantormu? Yang di resto atau perusahaan Hendrawan?" Fea bertanya.Arnon mengerutkan kening. Kembali ingatannya melompat-lompat. Depot, kafe, resto, dan kantor besar, semua datang dan pergi berkeliaran di kepala Arnon."Aku tidak tahu kantor mana yang paling bagus." Arnon menggeleng-geleng. "Kamu bantu aku, Fea.""Oke. Kamu dan Mas Jaka bicara bisnis apa? Kuliner atau yang lain? Kalau kuliner, lebih baik di resto. Kalau yang lain, di kantor besar saja." Fea menerangkan."Ah, ini konsepnya campur. Meliputi beberapa hal. Jadi ..." Arnon memandang Fea, lalu menoleh pada Jaka dan Rania."Kurasa Arnon paling nyaman dengan resto, Fea. Hidupnya sebagian besar dia perjuangan untuk itu." Rania memberi saran."Kamu benar, Rani." Fea tersenyum. "Kita ke resto besok. Aku akan
Pagi tiba. Seperti biasa Fea menyiapkan si kembar untuk ke sekolah. Dari pagi dia sudah sibuk membantu Arfen dan Fernan bersiap-siap. Sesekali terdengar tawa lucu dan suara renyah dua bocah tampan dengan wajah sama itu. Fea pun ikut tertawa karena keceriaan mereka."Tuan Muda imut, ayo sarapan dulu!" Dari pintu kamar si kembar muncul pria kurus dan jangkung."Om Samir!" Dengan keras Arfen memanggil. "Aku mau ada ulang tahun di sekolah!"Samir masuk ke kamar menghampiri si kembar. Mereka baru selesai memakai sepatu."Oya? Tapi ini bukan ulang tahun Tuan Muda imut, kan?" Samir mengusap kepala si kembar bergantian."Bukan!" sahut Fernan. "Ulang tahun bu guru. Kami mau makan kue dan es krim.""Wah, seru sekali. Boleh bagi Om Samir es krimnya?" tanya Samir menggoda."Ih, minta!" cibir Arfen. "Ga cukup nanti. Satu orang dapat satu, Om!""Haa ... haa ..." Samir tertawa lebar mendengar jawaban itu.Fea yang dari tadi mende
Arnon menatap gedung besar dan megah di depannya. Yang dia ingat restonya tidak sebesar itu. "Ini restoku?" ucapnya tak percaya. "Ya. Kamu melakukan renovasi terakhir tahun lalu, Arnon. Dan inilah resto utama kamu. Ayo ..." Fea mengajak Arnon masuk. Arnon merasa aneh, tapi penasaran, dia mengikuti langkah Fea masuk ke gedung itu. Begitu sampai di pintu, tepukan tangan menyambut Arnon. Tentu saja Arnon terkejut. Fea pun sama. Apa yang terjadi?"Selamat datang kembali, Pak Arnon!" Salah satu karyawan wanita menghampiri Arnon dan Fea, menyerahkan rangkaian bunga pada Arnon. "Terima kasih!" Arnon tersenyum lebar. Dia tidak menyangka akan mendapat sambutan begini. Fea melihat pada Riko yang berdiri di antara pada karyawan. Arnon memandang ke semua yang ada di ruangan itu, juga pada interior manis dan elegan yang terpampang di depannya. "Pak Riko?" Mata Fea masih tertuju pada Riko. "Semua rindu pada Pak Arnon. Mereka sangat ge
Jaka duduk di depan Arnon dan Fea. DIa tampak bersemangat datang dan bertemu dengan Arnon. Harapannya kembali melebar, kegagalan yang dia lalui akan menemukan cara untuk kembali membuat dia bangkit. "Baiklah, kita mulai saja." Arnon memperhatikan Jaka. "Ya, Arnon. Kita lanjutkan yang kita sudah bicarakan kemarin," ucap Jaka. Fea hanya duduk dan mendengar. Dia biarkan dua pria itu masuk dalam percakapan serius untuk memulai usaha bersama. Hati Fea berdebaran meskipun pelan. Suaminya telah kembali. Fea terus menatap Arnon, bahkan hampir tidak dia perhatikan apa yang Arnon ucapkan. Dia fokus memandang suaminya saja. "Jadi seperti itu. Kurasa ini yang paling mungkin kita mulai. Kalau menurut kamu, Fea?" Arnon mengarahkan pandangan pada Fea. Fea terkejut mendengar namanya disebut, dia sedikit gelapan. "Eh, gimana, Ar?" Arnon mengerutkan kening. "Kamu dari tadi serius mendengarkan kami. Gimana pendapat kamu? Lebih baik kita mulai akhir bulan