Wajah Fea berbinar. Arnon semakin baik. Dia bahkan bicara soal bisnis. Arnon Hendrawan memang jago soal itu. Fea memandang Arnon, memegang tangannya erat.
"Kamu ingat? Ingat kantormu? Yang di resto atau perusahaan Hendrawan?" Fea bertanya.
Arnon mengerutkan kening. Kembali ingatannya melompat-lompat. Depot, kafe, resto, dan kantor besar, semua datang dan pergi berkeliaran di kepala Arnon.
"Aku tidak tahu kantor mana yang paling bagus." Arnon menggeleng-geleng. "Kamu bantu aku, Fea."
"Oke. Kamu dan Mas Jaka bicara bisnis apa? Kuliner atau yang lain? Kalau kuliner, lebih baik di resto. Kalau yang lain, di kantor besar saja." Fea menerangkan.
"Ah, ini konsepnya campur. Meliputi beberapa hal. Jadi ..." Arnon memandang Fea, lalu menoleh pada Jaka dan Rania.
"Kurasa Arnon paling nyaman dengan resto, Fea. Hidupnya sebagian besar dia perjuangan untuk itu." Rania memberi saran.
"Kamu benar, Rani." Fea tersenyum. "Kita ke resto besok. Aku akan
Pagi tiba. Seperti biasa Fea menyiapkan si kembar untuk ke sekolah. Dari pagi dia sudah sibuk membantu Arfen dan Fernan bersiap-siap. Sesekali terdengar tawa lucu dan suara renyah dua bocah tampan dengan wajah sama itu. Fea pun ikut tertawa karena keceriaan mereka."Tuan Muda imut, ayo sarapan dulu!" Dari pintu kamar si kembar muncul pria kurus dan jangkung."Om Samir!" Dengan keras Arfen memanggil. "Aku mau ada ulang tahun di sekolah!"Samir masuk ke kamar menghampiri si kembar. Mereka baru selesai memakai sepatu."Oya? Tapi ini bukan ulang tahun Tuan Muda imut, kan?" Samir mengusap kepala si kembar bergantian."Bukan!" sahut Fernan. "Ulang tahun bu guru. Kami mau makan kue dan es krim.""Wah, seru sekali. Boleh bagi Om Samir es krimnya?" tanya Samir menggoda."Ih, minta!" cibir Arfen. "Ga cukup nanti. Satu orang dapat satu, Om!""Haa ... haa ..." Samir tertawa lebar mendengar jawaban itu.Fea yang dari tadi mende
Arnon menatap gedung besar dan megah di depannya. Yang dia ingat restonya tidak sebesar itu. "Ini restoku?" ucapnya tak percaya. "Ya. Kamu melakukan renovasi terakhir tahun lalu, Arnon. Dan inilah resto utama kamu. Ayo ..." Fea mengajak Arnon masuk. Arnon merasa aneh, tapi penasaran, dia mengikuti langkah Fea masuk ke gedung itu. Begitu sampai di pintu, tepukan tangan menyambut Arnon. Tentu saja Arnon terkejut. Fea pun sama. Apa yang terjadi?"Selamat datang kembali, Pak Arnon!" Salah satu karyawan wanita menghampiri Arnon dan Fea, menyerahkan rangkaian bunga pada Arnon. "Terima kasih!" Arnon tersenyum lebar. Dia tidak menyangka akan mendapat sambutan begini. Fea melihat pada Riko yang berdiri di antara pada karyawan. Arnon memandang ke semua yang ada di ruangan itu, juga pada interior manis dan elegan yang terpampang di depannya. "Pak Riko?" Mata Fea masih tertuju pada Riko. "Semua rindu pada Pak Arnon. Mereka sangat ge
Jaka duduk di depan Arnon dan Fea. DIa tampak bersemangat datang dan bertemu dengan Arnon. Harapannya kembali melebar, kegagalan yang dia lalui akan menemukan cara untuk kembali membuat dia bangkit. "Baiklah, kita mulai saja." Arnon memperhatikan Jaka. "Ya, Arnon. Kita lanjutkan yang kita sudah bicarakan kemarin," ucap Jaka. Fea hanya duduk dan mendengar. Dia biarkan dua pria itu masuk dalam percakapan serius untuk memulai usaha bersama. Hati Fea berdebaran meskipun pelan. Suaminya telah kembali. Fea terus menatap Arnon, bahkan hampir tidak dia perhatikan apa yang Arnon ucapkan. Dia fokus memandang suaminya saja. "Jadi seperti itu. Kurasa ini yang paling mungkin kita mulai. Kalau menurut kamu, Fea?" Arnon mengarahkan pandangan pada Fea. Fea terkejut mendengar namanya disebut, dia sedikit gelapan. "Eh, gimana, Ar?" Arnon mengerutkan kening. "Kamu dari tadi serius mendengarkan kami. Gimana pendapat kamu? Lebih baik kita mulai akhir bulan
Fea segera membawa Arfen ke kamar mandi dan membersihkannya. Arfen masih muntah beberapa kali sampai hanya air sedikit yang keluar. Arfen menangis karena merasa tidak karuan di perut dan dadanya.Selesai dari kamar mandi, Fea mengganti pakaian Arfen. Bu Wati datang dengan minuman hangat buat Arfen. Bocah itu mulai terlihat pucat, tangan dan kakinya dingin. Fea membaringkan dia di atas kasur, dan mengusapkan minyak hangat di dada dan perutnya."Nyonya, aku buatkan bubur saja, ya? Perut Arfen kosong, harus segera diisi." Bu Wati bicara sambil terus memperhatikan Arfen yang tampak lemas."Iya, Bu. Setelah itu aku kasih dia obat," Fea mengusap dahi Arfen lembut. "Mulai Panas ini. Kamu kenapa, ya?""Di sini, Ma ..." Arfen meraih tangan Fea dan meletakkan di perutnya."Oke, nanti Mama kasih obat, tapi Arfen makan dulu. Ya?" Fea merasa iba melihat Arfen lemas dan tidak bersemangat.Arfen hanya mengangguk kecil."Ini, kita main ya,
Fea memandang Arnon yang tidak bergerak, tetap diam di tempatnya. Tatapan wajahnya terlihat beda. Fea mendekat dan menyentuh bahu Arnon. "Arnon, kamu baik-baik?" Fea melihat air mata hampir tumpah di ujung mata Arnon. Arnon mengerjap beberapa kali, lalu menaik nafas panjang. "Ya, ga apa-apa." Arnon memaksa dia kembali pada apa yang ada di depannya. Arfen, bocah itu juga melihat padanya. Arnon mendekat, lalu dia peluk Arfen sambil mengusap kepalanya. "Kamu masih panas. Sakit? Yang mana yang sakit?" tanya Arnon. Suaranya sedikit gemetar. "Ini, Papa. Perutku sakit." Suara serak Arfen terdengar lemah. "Kita berdoa, biar kamu cepat sehat. Oke?" Arnon masih memeluk Arfen. Dia mengucapkan doa meminta Tuhan memberi kesembuhan buat anaknya. Fea merasakan dadanya meletup-letup. Arnon memeluk Arfen dan berdoa buatnya. Ini yang dulu Arnon suka lakukan. Dia memeluk anak-anaknya dan mendoakan mereka, hampir setiap pagi atau malam. Apakah Arn
Fea merasa ada sentuhan di tangannya. Dia membuka mata dan mengangkat wajahnya. Arfen memandang padanya dengan wajah sedikit pucat."Hei, Sayang ... Sudah bangun?" Fea menegakkan badan."Mau minum." Arfen terbangun dan merasa haus.Fea mengambil gelas, menuang dengan air dan memberi Arfen minum. Bocah itu meneguk isi gelas hingga setengah. Fea memegang dahi Arfen, sudah tidak sepanas semalam."Perut kamu masih sakit?" tanya Fea."Sedikit. Aku mau es krim, Mama," kata Arfen."Tidak bisa, Sayang. Arfen harus sembuh dulu, baru bisa makan es krim." Fea mengusap rambut dan kening Arfen lembut."Kalau susu?" tanya Arfen."Belum bisa juga." Fea menggeleng."Aku mau sembuh, Mama." Mata Arfen berkaca-kaca."Tentu, Arfen akan segera sembuh. Ini sudah tidak panas, sakit perut tinggal sedikit. Pasti segera sembuh. Ya?" Fea tersenyum.Arfen mengangguk. Lalu dia bertanya, "Aku ga sekolah juga?"Fea men
Wajah ceria Irvan mendadak lenyap. Kalimat tajam dan penuh kekesalan dari Arnonn membuat Irvan bingung. Dia melihat Arnon dengan mengerutkan kening, lalu beralih melihat Fea dan Stefi yang juga tampak tegang."Sudah kukatakan padamu, Fea tidak cinta sama kamu. Dia kembali ke rumah yang benar, berada di sisiku." Tatapan Arnon masih tajam pada Irvan.Fea seketika menjadi merah padam. Memori itu, saat dia sudah bersedia menjadi kekasih Irvan, lalu Arnon mengejarnya, mengajaknya menikah, dan terpaksa dia memutuskan hubungan dengan Irvan, kembali memenuhi benaknya. Tiba-tiba saja muncul rasa tidak nyaman di dada Fea."Arnon, kita harus bicara. Ikut aku," Fea menggandeng tangan Arnon dan sedikit menarik tangan Arnon agar mengikutinya."Hentikan, Fea!" sentak Arnon. "Bukankah ini kebetulan yang sangat baik? Di depan mantanmu ini, katakan, kamu tidak akan kembali padanya, bukan? Kamu hanya akan bersamaku, menikah denganku, karena kamu cinta padaku.""Arnon
"Baiklah, sepertinya memang saatnya Muti pulang. Ayo, Sayang." Stefi mengusap kepala, Mutiara mengajak putrinya pulang."Terima kasih sudah jenguk Arfen, ya?" Fea tersenyum manis pada Mutiara."Sama-sama, Tante. Bye semuanya ..." Mutiara memegang tangan Stefi dan mengikuti langkah mamanya keluar kamar itu."Aku juga balik dulu. Satu jam lagi ada meeting. Kamu ga ngantor, Arnon?" Irvan berdiri.."Kurasa hari ini kepalaku tidak bisa berpikir berat setelah melihat kamu di dekat istriku," ujar Arnon.Irvan tertawa kecil. "Masih saja bercanda. Okelah, semoga cepat sembuh, Arfen! Kalau sudah sembuh, ajak papa kamu jalan-jalan," ujar Irvan. Dia melambai pada si kembar lalu berjalan cepat mengejar Stefi dan Mutiara."Akhirnya sepi lagi." Arnon melihat pada Fea dan si kembar. Arfen berbaring di ranjang, sedang Fernan duduk di sebelah ranjang."Hai, Cucu ganteng! Pulang sekolah?"Arnon menoleh mendengar suara itu. Arnella masuk ke
Tawa lepas terdengar di tepi pantai. Dibarengi suara deburan ombak yang tak mau menunda hentakannya menerjang bibir pantai luas dan indah. Angin semakin kencang bertiup, seolah-olah memaksa awan-awan bergerak cepat dan segera berganti bentuk menghias biru langit.Pohon-pohon di tepi pantai berkejaran menggoyangkan dahan dan daun-daun yang memenuhi batangnya. Seakan-akan menari menikmati hari yang cerah. Sesekali terdengar desauan suara gesekan dedaunan itu."Sayang ... lihat apa?" Arnon memencet hidung Fea.Fea gelagapan. Dia pegang tangan Arnon, menoleh padanya."Memperhatikan anak-anak. Rasanya belum lama aku berjuang membawa mereka lahir, ternyata mereka sudah mulai gede." Senyum Fea mengembang manis. Dia lepaskan tangan Arnon dan merapikan helaian rambutnya yang menutupi wajah karena tiupan angin."Kamu benar. Arnon dan Fernan suaranya mulai berubah. Tingginya sudah melampaui kamu. Dan sudah mulai ngerti cewek cantik." Arnon ikut tersenyum leba
Arnon memegang lengan Fea, meminta dia menurunkan tangan. Fea menggeleng. Dia kesal karena perjalanan itu terganggu gara-gara dia sakit. "Sayang, kenapa?" ulang Arnon. "Kenapa aku sakit? Harusnya kita happy, menikmati semuanya." Fea sedikit merajuk. Arnon menggeser kursinya, merapat pada Fea dan memeluknya. "Jangan sedih. Sakit itu ga bisa ditolak. Sudah, ga apa-apa." "Hhmm, uuhhkkk ..." Fea kembali merasa mual. Sedang pusing yang mendera kembali datang. "Kita ke dokter saja. Ga bisa kayak gini. Ini sudah campur-campur sakitnya. Ayo!" Arnon tidak bisa menunggu. Lebih baik mencari obat yang benar, agar Fea segera pulih. Sebab masih dua hari lagi perjalanan mereka. Dengan tubuh sedikit oleng, Fea menurut. Arnon menuntunnya masuk ke dalam mobil. Arnon segera browsing mencari klinik terdekat. "Good, hanya sepuluh menit dari sini. Kita pergi." Arnon dengan cepat melaju di jalanan. Pulau itu tidak sepadat kota asa
Arnon memandang Fea. Dia tahu, Fea benar-benar lupa ada apa dengan salah satu kembar mereka."Pulang, bisakah ada adik di perut Mama?" Fea mengulang yang Fernan katakan.Fea memeluk Arnon seketika. Senyumnya melebar. "Iya, ingat. Tapi aku mau jalan-jalan. Rugi kalau jauh-jauh hanya untuk rebahan di kamar.""Hee ... hee ..." Arnon tersenyum lebar. "Oke, kita tidur. Besok kita berpetualang di luar pagi hingga siang. Malam, petualangan di atas kasur. Jangan menolak, Sayang ..."Fea tidak menyahut, tidak juga menolak. Yang terjadi terjadilah. Dia juga berharap jika Tuhan kehendaki, maka dia akan segera mengandung. Namun, jika tidak, dia pasrah. Tuhan yang lebih tahu, apakah baik buta dia dan Arnon, juga anak-anak, jika ada anggota keluarga baru.Malam dengan cepat berlalu, pagi pun menyapa lagi.Arnon dan Fea mulai berkelana di pulau cantik itu. Awal, mereka datang ke resto Hervina. Hervina sendiri yang menjemput dari hotel. Fea dan Arnon dijamu
Arnon pun tidak kalah terkejut saat mengenali wanita yang memanggilnya. Apa dia harus menemuinya? Tetapi langkah mereka memang terarah ke tempat di mana wanita cantik dengan postur tinggi dan langsing itu berada."Kamu akan menemuinya?" tanya Fea."Kenapa tidak? Aku bersama kamu. Kita temui sama-sama." Arnon memegang erat tangan Fea.Mereka melangkah mendekat pada wanita itu."Selamat datang di pulau cantik ini. Selamat berpetualang." Senyum manisnya, masih sama seperti dulu, itu yang Arnon lihat."Maaf, Kak Hervi ga bisa jemput. Hari ini restonya ada acara wedding, jadi dia pastikan semua berjalan lancar." Suaranya ceria dan terdengar ramah."Kamu dan Hervina?" Arnon menatap wanita itu."Namaku Widya Sukma Adijaya. Kamu teman kuliah Kak Hervi, pasti ingat namanya." Widya berkata sambil tersenyum lebar.Arnon mengerutkan kening. "Aku tidak ingat lengkapnya, tapi ya ... Hervina ... belakangnya Adijaya. Jadi dia kakakmu?"
Fea menatap Arnon lekat-lekat. Seketika suasana riuh dan meriha itu tidak manis lagi. Kenapa Arnon mengatakan itu? Wajahnya tegas, membalas tatapan Fea. Apakah Arnon sebenarnya terpaksa datang ke panti? "Kamu kenapa?" tanya Fea. "Tidak bisa menikmati acara ini." Arnon mengatakan lebih tegas. "Kamu tidak ingin datang? Aku sudah bertanya lebih dulu, Ar, kamu bisa atau tidak. Kamu iyakan, kamu bilang Sabtu ini kosong, ga ada urusan mendesak. Makanya aku siapkan semua, bukan, kamu bahkan membantu menyiapkan ..." "Bagaimana bisa menikmati acara, kalau di sisiku ada bidadari cantik membuat aku tak bisa berkedip?" Arnon berkata dengan mata menghujam dua bola mata Fea, tanpa berkedip. "Ahh ..." Fea seketika menghela nafas panjang. "Arnon ..." Arnon tersenyum. Dia raih tangan Fea dan menggenggamnya. "Thank you." Fea ikut tersenyum. "Thank you buat apa?" "Aku mungkin akan bilang berulang-ulang, tapi akan tetap mengatakannya lagi.
"Itulah, memang tidak mudah menyelami hati seseorang. Boleh dibilang, aku setuju dengan pepatah yang mengatakan, dalamnya lautan bisa diukur, dalamnya hati siapa yang tahu," ujar Fea."Jawab saja, pakai melantunkan peribahasa segala. Hee ... hee ..." Sherlita merasa lucu dengan jawaban Fea."Pak Rido, dia terjebak banyak hutang. Karena diam-diam dia suka berjudi. Awalnya dia dapat uang dari pinjaman online. Kamu bisa bayangkan seperti apa jeratan pinjaman online apalagi yang asal begitu." Fea memulai penjelasannya."Waduh, kok ngeri aku," ujar Sherlita. Tak dia bayangkan itu yang terjadi. "Karena judi Rido nekad memperjualbelikan anak-anak?""Awalnya dia ga bermaksud begitu. Hanya dia melihat ada peluang dapat uang gede. Tanpa pikir panjang, dia iya saja. Dan sudah terlanjur ada perjanjian untuk menyerahkan anak itu." Fea menambahkan."Lalu, setelah tahu kenyataannya?" Sherlita makin penasaran."Menurut yang aku dengar, dia menyesal, t
Ahmad tersenyum. "Monggo, dibuka saja, Nyonya Muda." Fea ikut tersenyum lebar. "Makasih, Pak." "Sami-sami, Nyonya." Ahmad mengangguk dan berbalik meninggalkan Fea dan Arnon. "Penasaran. Undangan pernikahan kali." Arnon berkomentar. Fea membuka paper bag itu dan mengeluarkan isinya. Mata Fea melebar. Di dalamnya ada hiasan dinding, kerajinan tangan dari Lombok. Dan ada kartu kecil di dalamnya. "Ini dari ..." Fea menunjukkan pada Arnon. Arnon menerima kartu itu dan membacanya. "Hervina. Oh, my God. Dia beri kejutan ini?" Ternyata ada tiket dua untuk liburan di Lombok selama satu minggu. "Siapa Hervina?" tanya Fea. Dia tidak merasa mengenal nama itu. Ada sesuatu yang menggelitik dadanya, sebab yang mengirim hadiah buat Arnon adalah seorang wanita. "Ah, aku ga pernah cerita, ya? Jujur, lupa." Arnon memandang Fea. "Oke, lalu siapa dia?" Fea berusaha tenang, tapi tetap saja ada rasa tidak nyaman di
"Jahat sekali mereka melakukan itu pada anak-anak. Aku tak habis pikir. Mereka lahir tanpa meminta. Sejak bocah hanya derita dan kepedihan yang mereka punya. Tidak mengenal orang tua, tidak tahu sanak saudara. Lalu, ada orang yang masih juga melakukan hal buruk pada mereka. Ya Tuhan ..." Bu Liani meliahat pada Herni. Herni makin dalam menunduk. Rasa bersalah memenuhi hatinya. Dia tidak berani memandang Bu Liani ataupun Arnon. "Bu, semua sudah jelas, Ibu pasti akan segera pulang. Anak-anak akan lega, Ibu bisa bersama mereka lagi." Arnon menenangkan Bu Liani. "Bagaimana aku menghadapi mereka, Pak Arnon? Bagaimana bisa aku menjelaskan semua ini? Aku benar-benar hancur," Bu Liani mengusap lagi kedua pipinya yang basah. Tatapannya kembali tertuju pada Herni. "Apa yang ada di otak kamu, Herni? Apa?" "Maafkan aku, Bu. Maafkan aku ...." lirih kalimat itu yang Herni ucapkan. "Kita memang tidak berlebihan duit. Tidak semua yang kita ingin dengan g
Arnon mengenalkan Fea dan memnita waktu agar Fea melihat ke dalam, bertemu dengan Tinah. Awalnya polisi itu sedikit keberatan karena mereka masih melakukan penggeledahan. Arnon meyakinkan bahwa dia punya tujuan dan kepentingan sama dengan polisi yang datang ke panti itu. "Sudah beberapa waktu kamu mencoba menyelidiki, Pak. Istri saya bekerja sama dengan pengurus panti yang memang merasa ada kejanggalan di panti. Saya harap ini bisa memberikan titik terang juga untuk penyelidikan yang dilakukan." Arnon bicara tegas. Akhirnya Fea diberikan ruang menemui Tinah. Wanita itu dan beberapa pengurus lainnya ada di depan kantor. Mereka duduk menunggu, sambil memperhatikan para petugas yang bekerja mencari bukti. Sesekali mereka akan memanggil jika perlu mendapat keterangan atua mencari sesuatu yang mereka perlukan. "Fea!" Tinah seketika berdiri saat melihat Fea datang. "Bu, gimana?" tanya Fea. "Aku bingung kenapa Bu Liani harus dibawa. Dia pasti b