Wajah ceria Irvan mendadak lenyap. Kalimat tajam dan penuh kekesalan dari Arnonn membuat Irvan bingung. Dia melihat Arnon dengan mengerutkan kening, lalu beralih melihat Fea dan Stefi yang juga tampak tegang.
"Sudah kukatakan padamu, Fea tidak cinta sama kamu. Dia kembali ke rumah yang benar, berada di sisiku." Tatapan Arnon masih tajam pada Irvan.
Fea seketika menjadi merah padam. Memori itu, saat dia sudah bersedia menjadi kekasih Irvan, lalu Arnon mengejarnya, mengajaknya menikah, dan terpaksa dia memutuskan hubungan dengan Irvan, kembali memenuhi benaknya. Tiba-tiba saja muncul rasa tidak nyaman di dada Fea.
"Arnon, kita harus bicara. Ikut aku," Fea menggandeng tangan Arnon dan sedikit menarik tangan Arnon agar mengikutinya.
"Hentikan, Fea!" sentak Arnon. "Bukankah ini kebetulan yang sangat baik? Di depan mantanmu ini, katakan, kamu tidak akan kembali padanya, bukan? Kamu hanya akan bersamaku, menikah denganku, karena kamu cinta padaku."
"Arnon
"Baiklah, sepertinya memang saatnya Muti pulang. Ayo, Sayang." Stefi mengusap kepala, Mutiara mengajak putrinya pulang."Terima kasih sudah jenguk Arfen, ya?" Fea tersenyum manis pada Mutiara."Sama-sama, Tante. Bye semuanya ..." Mutiara memegang tangan Stefi dan mengikuti langkah mamanya keluar kamar itu."Aku juga balik dulu. Satu jam lagi ada meeting. Kamu ga ngantor, Arnon?" Irvan berdiri.."Kurasa hari ini kepalaku tidak bisa berpikir berat setelah melihat kamu di dekat istriku," ujar Arnon.Irvan tertawa kecil. "Masih saja bercanda. Okelah, semoga cepat sembuh, Arfen! Kalau sudah sembuh, ajak papa kamu jalan-jalan," ujar Irvan. Dia melambai pada si kembar lalu berjalan cepat mengejar Stefi dan Mutiara."Akhirnya sepi lagi." Arnon melihat pada Fea dan si kembar. Arfen berbaring di ranjang, sedang Fernan duduk di sebelah ranjang."Hai, Cucu ganteng! Pulang sekolah?"Arnon menoleh mendengar suara itu. Arnella masuk ke
"Fernan! Tunggu!" Teriakan Arfen terdengar lirih. Kalah dengan deburan ombak yang bergantian menerjang pantai. "Ayo, sini!" panggil Fernan sambil melambai. Arnon di belakang keduanya, mengawasi mereka bermain di pinggir pantai. Sedang Fea duduk di bawah pohon tak jauh dari tenda mereka, memperhatikan keseruan bapak dan anak itu. "Jangan jauh-jauh, Fernan!" Terdengar Arnon berteriak. Fea menghentikan tangannya yang sedang merapikan rambut, menatap pada Arnon dan Fernan. Tidak lama terdengar tawa mereka meledak. "Ah, tidak apa-apa. Mereka baik-baik saja," gumam Fea. Seperti janjinya, Arnon akhirnya membawa keluarganya menikmati liburan. Anak-anak mendapat libur sepuluh hari setelah menerima raport tengah semester. Tidak tanggung-tanggung, Arnon membawa mereka ke kota tempat Lukman dan Sherlita. Sudah lama mereka tidak ke sana. Tentu saja, Lukman dan Sherlita sangat gembira Arnon dan keluarganya datang. "Fea!"
Fea makin gemetar, tubuhnya terasa oleng. Ada dua pria mendekat dan bertanya apa yang terjadi. Fea menunjuk ke air sambil menceritakan yang dia pikirkan tentang kejadian itu. Kedua pria itu segera ikut terjun ke dalam air dan mencari Fernan.Hingga lima menit berikut, Arnon muncul dengan tubuh mungil dalam pelukannya. Dia terlihat pucat dan cemas. Salah satu pria yang berusaha menolong itu, memegangi Arnon dan sedikit menarik dia agar segera menepi. Satu pria lagi ikut menepi dan membantu. Fea segera mendekat. Mereka membaringkan Fernan yang tidak bergerak di atas pasir di pinggir pantai."Ya Tuhan, tolong anakku ..." doa Fea di dalam hati.Dia berjongkok di sis Arnon yang juga gemetaran. "Fernan ... Fernan ..." Arnon menggoyang-goyang tubuh mungil itu."Maaf, Pak, saya coba berikan bantuan pernapasan." Salah satu pria yang tadi bicara.Arnon menggeser posisinya. Fea segera memeluk Arnon yang lemas. Pria itu mencoba berbagai cara menolong aga
Ketegangan semakin meningkat. Arnon dan Fea segera menghampiri dokter dan menanya kondisi Fernan. “Saya harus jujur. Kondisi putra Bapak dan Ibu cukup kritis. Kami telah mencoba membersihkan paru-parunya dari pasir yang masuk, tetapi tidak sepenuhnya bersih. Saat ini dia masih sangat lemah. Kami akan menunggu reaksinya. Dari obat-obatan yang telah kami berikan, seperti apa, dari situ kami akan melakukan penanganan selanjutnya." Dokter pria berusia empat puluhan itu menjelaskan. "Dok, kami mohon, lakukan apapun, kami ingin anak kami selamat." Arnon rasanya ingin sekali menjerit mendengar yang dokter katakan. Dia menekan sakit dan sesak yang menyelinap di dadanya. "Tentu, kami akan berusaha semaksimal mungkin." Dokter menegaskan. "Seberapa kemungkinan dia bertahan, Dokter?" Fea bertanya dengan hati seperti tercabik-cabik. Tubuhnya kembali terasa gemetar. Dokter itu menarik napas dalam. "Dalam kasus seperti ini, di bawah lima puluh persen. Tetapi
"UUhhh ..." Kembali lenguhan terdengar dari Fernan. Wajahnya makin pucat, tubuhnya mulai gemetar."Ya Tuhan ... Fernan!" Fea bangun dari kursinya dan mendekat. "Sayang ... ini Mama. Fernan ...""Fernan mengedipkan matanya. "Uuhhhh ...""Tunggu, Mama panggil suster. Fernan, jangan tinggalin Mama. Fernan, kamu pasti bisa lewati ini!" Fea segera berlari keluar kamar. Dia menuju ke meja jaga perawat."Suster! Anak saya! Tolong anak saya!" Fea berteriak. Dia tidak berpikir lagi jika dia sedang di rumah sakit.Teriakan itu tentu saja membuat perawat yang berjaga dengan cepat menghampiri Fea."Kenapa, Bu?" tanya perawat muda itu."Anak saya, Suster. Dia gemetar, pucat. Tolong, Suster!" ujar Fea dengan tubuh juga mulai gemetar.Ketakutan luar biasa mendera Fea. Fernan kritis. Fea bisa melihat bocah itu semakin sulit bernapas. Bayangan-bayangan buruk mulai berkelana di kepala Fea.Perawat bergerak cepat menuju ke kamar Fern
Sepanjang malam Arnon dan Fea bergantian menjaga Fernan. Sekalipun badan sangat letih, mata terasa begitu berat, pikiran tidak juga mau beristirahat. Setiap hampir lelap, Fea akan merasa jantungnya berdebar keras, lalu kembali terjaga.Arnon pun sama. Setiap hampir tertidur, dia merasa seakan sedang masuk dalam air dan mencari-cari putranya yang tenggelam. Setiap kali kembali membuka mata, Arnon akan memastikan bahwa Fernan masih bernapas."A-ma ..." Suara kecil itu terdengar lirih. "A-ma ..."Fea yang baru saja lelap dengan cepat bangun dan menegakkan badan. Dia mendekat ke arah Fernan."Ya, Sayang. Fernan rasa apa?" tanya Fea. Dia sangat kuatir jika Fernan merasa kesakitan."Mi-num ..." Fernan memandang Fea. Fea tidak bisa menangkap jelas yang Fernan ucapkan."Kenapa?" ulang Fea. Dia makin mendekat ke telinga Fernan."Mi-num, Ma ..." ujar Fernan.Fea memegang dahi Fernan. Keringat memenuhi dahi Fernan. Tubuhnya sudah pada suh
Mata Fea memandang lebih lekat pada Sherlita. Ada genangan air mata, dan Sherlita mengusapnya cepat-cepat. Dia berusaha menahan sedih agar tidak menangis di depan Fea."Ada apa, Sher?" tanya Fea."Robby ... dia punya wanita lain. Itulah mengapa dia berat pindah ke sini. Alasannya selalu soal pekerjaan." Dengan suara sendu, Sherlita menjawab."Kamu serius?" Fea memajukan badan sedikit mendekat pada Sherlita.Sherlita mengangguk, kembali mengusap matanya. "Aku juga ingin ga percaya. Tapi ... mau gimana?""Robby mengaku? Dia yang bilang?" tanya Fea lagi. Dada Fea merasa sesak seketika.Sherlita bukan mengangguk, dia menggeleng."Dia mengelak? Kamu punya bukti?" Fea makin penasaran. Dia berharap semua ini hanya kesalahpahaman. Fea tahu Sherlita dan Robby sangat saling sayang satu sama lain. Aneh sekali begitu cepat, hanya dalam waktu empat tahun pernikahan mereka harus mengalami goncangan ini."Ada berita masuk ke ponselku. D
Rumah besar itu masih indah dan asri seperti dulu. Masih dihiasi bunga berwarna kuning dan putih. Tampak tenang, tidak terlihat kesibukan yang berarti. Namun, di lantai atas, dari balkon salah satu kamar terlihat sepasang anak manusia berdiri berhadapan dan saling menatap.Sang pria memandang pada si wanita dengan tatapan terkejut. Sementara si wanita menghujam pandangan pada pria berjambang tipis di depannya dengan wajah campur aduk. Antara marah, sedih, dan juga rindu menjadi satu di dadanya."Apa? Ini gila! Aku tidak mungkin melakukan itu, Sher!" Pria itu mengerutkan kening. Dia masih sangat terkejut mendengar apa yang dikatakan istrinya."Aku benci pembohong!" sentak Sherlita geram. Dia mengepalkan kedua tangan yang tergantung di kiri dan kanan tubuhnya."Dari mana kamu dapat kabar itu? Tidak masuk akal!" ujar Robby. "Aku pulang karena ingin bersama kamu. Setelah perjalanan panjang, bekerja keras, ini yang aku dapati? Kamu menuduhku berselingkuh
Tawa lepas terdengar di tepi pantai. Dibarengi suara deburan ombak yang tak mau menunda hentakannya menerjang bibir pantai luas dan indah. Angin semakin kencang bertiup, seolah-olah memaksa awan-awan bergerak cepat dan segera berganti bentuk menghias biru langit.Pohon-pohon di tepi pantai berkejaran menggoyangkan dahan dan daun-daun yang memenuhi batangnya. Seakan-akan menari menikmati hari yang cerah. Sesekali terdengar desauan suara gesekan dedaunan itu."Sayang ... lihat apa?" Arnon memencet hidung Fea.Fea gelagapan. Dia pegang tangan Arnon, menoleh padanya."Memperhatikan anak-anak. Rasanya belum lama aku berjuang membawa mereka lahir, ternyata mereka sudah mulai gede." Senyum Fea mengembang manis. Dia lepaskan tangan Arnon dan merapikan helaian rambutnya yang menutupi wajah karena tiupan angin."Kamu benar. Arnon dan Fernan suaranya mulai berubah. Tingginya sudah melampaui kamu. Dan sudah mulai ngerti cewek cantik." Arnon ikut tersenyum leba
Arnon memegang lengan Fea, meminta dia menurunkan tangan. Fea menggeleng. Dia kesal karena perjalanan itu terganggu gara-gara dia sakit. "Sayang, kenapa?" ulang Arnon. "Kenapa aku sakit? Harusnya kita happy, menikmati semuanya." Fea sedikit merajuk. Arnon menggeser kursinya, merapat pada Fea dan memeluknya. "Jangan sedih. Sakit itu ga bisa ditolak. Sudah, ga apa-apa." "Hhmm, uuhhkkk ..." Fea kembali merasa mual. Sedang pusing yang mendera kembali datang. "Kita ke dokter saja. Ga bisa kayak gini. Ini sudah campur-campur sakitnya. Ayo!" Arnon tidak bisa menunggu. Lebih baik mencari obat yang benar, agar Fea segera pulih. Sebab masih dua hari lagi perjalanan mereka. Dengan tubuh sedikit oleng, Fea menurut. Arnon menuntunnya masuk ke dalam mobil. Arnon segera browsing mencari klinik terdekat. "Good, hanya sepuluh menit dari sini. Kita pergi." Arnon dengan cepat melaju di jalanan. Pulau itu tidak sepadat kota asa
Arnon memandang Fea. Dia tahu, Fea benar-benar lupa ada apa dengan salah satu kembar mereka."Pulang, bisakah ada adik di perut Mama?" Fea mengulang yang Fernan katakan.Fea memeluk Arnon seketika. Senyumnya melebar. "Iya, ingat. Tapi aku mau jalan-jalan. Rugi kalau jauh-jauh hanya untuk rebahan di kamar.""Hee ... hee ..." Arnon tersenyum lebar. "Oke, kita tidur. Besok kita berpetualang di luar pagi hingga siang. Malam, petualangan di atas kasur. Jangan menolak, Sayang ..."Fea tidak menyahut, tidak juga menolak. Yang terjadi terjadilah. Dia juga berharap jika Tuhan kehendaki, maka dia akan segera mengandung. Namun, jika tidak, dia pasrah. Tuhan yang lebih tahu, apakah baik buta dia dan Arnon, juga anak-anak, jika ada anggota keluarga baru.Malam dengan cepat berlalu, pagi pun menyapa lagi.Arnon dan Fea mulai berkelana di pulau cantik itu. Awal, mereka datang ke resto Hervina. Hervina sendiri yang menjemput dari hotel. Fea dan Arnon dijamu
Arnon pun tidak kalah terkejut saat mengenali wanita yang memanggilnya. Apa dia harus menemuinya? Tetapi langkah mereka memang terarah ke tempat di mana wanita cantik dengan postur tinggi dan langsing itu berada."Kamu akan menemuinya?" tanya Fea."Kenapa tidak? Aku bersama kamu. Kita temui sama-sama." Arnon memegang erat tangan Fea.Mereka melangkah mendekat pada wanita itu."Selamat datang di pulau cantik ini. Selamat berpetualang." Senyum manisnya, masih sama seperti dulu, itu yang Arnon lihat."Maaf, Kak Hervi ga bisa jemput. Hari ini restonya ada acara wedding, jadi dia pastikan semua berjalan lancar." Suaranya ceria dan terdengar ramah."Kamu dan Hervina?" Arnon menatap wanita itu."Namaku Widya Sukma Adijaya. Kamu teman kuliah Kak Hervi, pasti ingat namanya." Widya berkata sambil tersenyum lebar.Arnon mengerutkan kening. "Aku tidak ingat lengkapnya, tapi ya ... Hervina ... belakangnya Adijaya. Jadi dia kakakmu?"
Fea menatap Arnon lekat-lekat. Seketika suasana riuh dan meriha itu tidak manis lagi. Kenapa Arnon mengatakan itu? Wajahnya tegas, membalas tatapan Fea. Apakah Arnon sebenarnya terpaksa datang ke panti? "Kamu kenapa?" tanya Fea. "Tidak bisa menikmati acara ini." Arnon mengatakan lebih tegas. "Kamu tidak ingin datang? Aku sudah bertanya lebih dulu, Ar, kamu bisa atau tidak. Kamu iyakan, kamu bilang Sabtu ini kosong, ga ada urusan mendesak. Makanya aku siapkan semua, bukan, kamu bahkan membantu menyiapkan ..." "Bagaimana bisa menikmati acara, kalau di sisiku ada bidadari cantik membuat aku tak bisa berkedip?" Arnon berkata dengan mata menghujam dua bola mata Fea, tanpa berkedip. "Ahh ..." Fea seketika menghela nafas panjang. "Arnon ..." Arnon tersenyum. Dia raih tangan Fea dan menggenggamnya. "Thank you." Fea ikut tersenyum. "Thank you buat apa?" "Aku mungkin akan bilang berulang-ulang, tapi akan tetap mengatakannya lagi.
"Itulah, memang tidak mudah menyelami hati seseorang. Boleh dibilang, aku setuju dengan pepatah yang mengatakan, dalamnya lautan bisa diukur, dalamnya hati siapa yang tahu," ujar Fea."Jawab saja, pakai melantunkan peribahasa segala. Hee ... hee ..." Sherlita merasa lucu dengan jawaban Fea."Pak Rido, dia terjebak banyak hutang. Karena diam-diam dia suka berjudi. Awalnya dia dapat uang dari pinjaman online. Kamu bisa bayangkan seperti apa jeratan pinjaman online apalagi yang asal begitu." Fea memulai penjelasannya."Waduh, kok ngeri aku," ujar Sherlita. Tak dia bayangkan itu yang terjadi. "Karena judi Rido nekad memperjualbelikan anak-anak?""Awalnya dia ga bermaksud begitu. Hanya dia melihat ada peluang dapat uang gede. Tanpa pikir panjang, dia iya saja. Dan sudah terlanjur ada perjanjian untuk menyerahkan anak itu." Fea menambahkan."Lalu, setelah tahu kenyataannya?" Sherlita makin penasaran."Menurut yang aku dengar, dia menyesal, t
Ahmad tersenyum. "Monggo, dibuka saja, Nyonya Muda." Fea ikut tersenyum lebar. "Makasih, Pak." "Sami-sami, Nyonya." Ahmad mengangguk dan berbalik meninggalkan Fea dan Arnon. "Penasaran. Undangan pernikahan kali." Arnon berkomentar. Fea membuka paper bag itu dan mengeluarkan isinya. Mata Fea melebar. Di dalamnya ada hiasan dinding, kerajinan tangan dari Lombok. Dan ada kartu kecil di dalamnya. "Ini dari ..." Fea menunjukkan pada Arnon. Arnon menerima kartu itu dan membacanya. "Hervina. Oh, my God. Dia beri kejutan ini?" Ternyata ada tiket dua untuk liburan di Lombok selama satu minggu. "Siapa Hervina?" tanya Fea. Dia tidak merasa mengenal nama itu. Ada sesuatu yang menggelitik dadanya, sebab yang mengirim hadiah buat Arnon adalah seorang wanita. "Ah, aku ga pernah cerita, ya? Jujur, lupa." Arnon memandang Fea. "Oke, lalu siapa dia?" Fea berusaha tenang, tapi tetap saja ada rasa tidak nyaman di
"Jahat sekali mereka melakukan itu pada anak-anak. Aku tak habis pikir. Mereka lahir tanpa meminta. Sejak bocah hanya derita dan kepedihan yang mereka punya. Tidak mengenal orang tua, tidak tahu sanak saudara. Lalu, ada orang yang masih juga melakukan hal buruk pada mereka. Ya Tuhan ..." Bu Liani meliahat pada Herni. Herni makin dalam menunduk. Rasa bersalah memenuhi hatinya. Dia tidak berani memandang Bu Liani ataupun Arnon. "Bu, semua sudah jelas, Ibu pasti akan segera pulang. Anak-anak akan lega, Ibu bisa bersama mereka lagi." Arnon menenangkan Bu Liani. "Bagaimana aku menghadapi mereka, Pak Arnon? Bagaimana bisa aku menjelaskan semua ini? Aku benar-benar hancur," Bu Liani mengusap lagi kedua pipinya yang basah. Tatapannya kembali tertuju pada Herni. "Apa yang ada di otak kamu, Herni? Apa?" "Maafkan aku, Bu. Maafkan aku ...." lirih kalimat itu yang Herni ucapkan. "Kita memang tidak berlebihan duit. Tidak semua yang kita ingin dengan g
Arnon mengenalkan Fea dan memnita waktu agar Fea melihat ke dalam, bertemu dengan Tinah. Awalnya polisi itu sedikit keberatan karena mereka masih melakukan penggeledahan. Arnon meyakinkan bahwa dia punya tujuan dan kepentingan sama dengan polisi yang datang ke panti itu. "Sudah beberapa waktu kamu mencoba menyelidiki, Pak. Istri saya bekerja sama dengan pengurus panti yang memang merasa ada kejanggalan di panti. Saya harap ini bisa memberikan titik terang juga untuk penyelidikan yang dilakukan." Arnon bicara tegas. Akhirnya Fea diberikan ruang menemui Tinah. Wanita itu dan beberapa pengurus lainnya ada di depan kantor. Mereka duduk menunggu, sambil memperhatikan para petugas yang bekerja mencari bukti. Sesekali mereka akan memanggil jika perlu mendapat keterangan atua mencari sesuatu yang mereka perlukan. "Fea!" Tinah seketika berdiri saat melihat Fea datang. "Bu, gimana?" tanya Fea. "Aku bingung kenapa Bu Liani harus dibawa. Dia pasti b