Fea memandang Arnon lekat-lekat. Arnon menyebut Melia. Sepertinya dia ingat jika Melia bekerja di rumah itu. Itu berarti Arnon ingat rumah yang ada di depannya ini adalah rumah mereka. Rumah Fea, yang Arnon siapkan untuk mereka tinggal setelah menikah.
"Mbak Melia tidak bekerja lagi di sini. Dia full membantu di resto, Ar." Fea menjelaskan.
"Ah ... begitu ..." Arnon memicingkan mata. "Sejak kapan aku meminta dia tidak lagi membantu di rumah ini?" Arnon dengan cepat berjalan menuju ke pintu rumah.
Dia membuka pintu yang masih tertutup dan masuk ke dalam ruang tamu. Fea mengikuti di belakangnya. Arnon memperhatikan sekeliling ruangan. Dia merasa ada yang berbeda. Seharusnya rumah Fea bukan seperti yang tampak di depannya.
"Kamu yakin ini rumah kita?" Arnon menoleh pada Fea.
Fea mendekat, berdiri di sisi Arnon. "Tentu saja. Rania tinggal di sini dengan Mas Jaka dan Putria. Mereka butuh tempat tinggal, dan rumah ini kosong. Aku minta mereka di sini saj
Wajah Fea berbinar. Arnon semakin baik. Dia bahkan bicara soal bisnis. Arnon Hendrawan memang jago soal itu. Fea memandang Arnon, memegang tangannya erat."Kamu ingat? Ingat kantormu? Yang di resto atau perusahaan Hendrawan?" Fea bertanya.Arnon mengerutkan kening. Kembali ingatannya melompat-lompat. Depot, kafe, resto, dan kantor besar, semua datang dan pergi berkeliaran di kepala Arnon."Aku tidak tahu kantor mana yang paling bagus." Arnon menggeleng-geleng. "Kamu bantu aku, Fea.""Oke. Kamu dan Mas Jaka bicara bisnis apa? Kuliner atau yang lain? Kalau kuliner, lebih baik di resto. Kalau yang lain, di kantor besar saja." Fea menerangkan."Ah, ini konsepnya campur. Meliputi beberapa hal. Jadi ..." Arnon memandang Fea, lalu menoleh pada Jaka dan Rania."Kurasa Arnon paling nyaman dengan resto, Fea. Hidupnya sebagian besar dia perjuangan untuk itu." Rania memberi saran."Kamu benar, Rani." Fea tersenyum. "Kita ke resto besok. Aku akan
Pagi tiba. Seperti biasa Fea menyiapkan si kembar untuk ke sekolah. Dari pagi dia sudah sibuk membantu Arfen dan Fernan bersiap-siap. Sesekali terdengar tawa lucu dan suara renyah dua bocah tampan dengan wajah sama itu. Fea pun ikut tertawa karena keceriaan mereka."Tuan Muda imut, ayo sarapan dulu!" Dari pintu kamar si kembar muncul pria kurus dan jangkung."Om Samir!" Dengan keras Arfen memanggil. "Aku mau ada ulang tahun di sekolah!"Samir masuk ke kamar menghampiri si kembar. Mereka baru selesai memakai sepatu."Oya? Tapi ini bukan ulang tahun Tuan Muda imut, kan?" Samir mengusap kepala si kembar bergantian."Bukan!" sahut Fernan. "Ulang tahun bu guru. Kami mau makan kue dan es krim.""Wah, seru sekali. Boleh bagi Om Samir es krimnya?" tanya Samir menggoda."Ih, minta!" cibir Arfen. "Ga cukup nanti. Satu orang dapat satu, Om!""Haa ... haa ..." Samir tertawa lebar mendengar jawaban itu.Fea yang dari tadi mende
Arnon menatap gedung besar dan megah di depannya. Yang dia ingat restonya tidak sebesar itu. "Ini restoku?" ucapnya tak percaya. "Ya. Kamu melakukan renovasi terakhir tahun lalu, Arnon. Dan inilah resto utama kamu. Ayo ..." Fea mengajak Arnon masuk. Arnon merasa aneh, tapi penasaran, dia mengikuti langkah Fea masuk ke gedung itu. Begitu sampai di pintu, tepukan tangan menyambut Arnon. Tentu saja Arnon terkejut. Fea pun sama. Apa yang terjadi?"Selamat datang kembali, Pak Arnon!" Salah satu karyawan wanita menghampiri Arnon dan Fea, menyerahkan rangkaian bunga pada Arnon. "Terima kasih!" Arnon tersenyum lebar. Dia tidak menyangka akan mendapat sambutan begini. Fea melihat pada Riko yang berdiri di antara pada karyawan. Arnon memandang ke semua yang ada di ruangan itu, juga pada interior manis dan elegan yang terpampang di depannya. "Pak Riko?" Mata Fea masih tertuju pada Riko. "Semua rindu pada Pak Arnon. Mereka sangat ge
Jaka duduk di depan Arnon dan Fea. DIa tampak bersemangat datang dan bertemu dengan Arnon. Harapannya kembali melebar, kegagalan yang dia lalui akan menemukan cara untuk kembali membuat dia bangkit. "Baiklah, kita mulai saja." Arnon memperhatikan Jaka. "Ya, Arnon. Kita lanjutkan yang kita sudah bicarakan kemarin," ucap Jaka. Fea hanya duduk dan mendengar. Dia biarkan dua pria itu masuk dalam percakapan serius untuk memulai usaha bersama. Hati Fea berdebaran meskipun pelan. Suaminya telah kembali. Fea terus menatap Arnon, bahkan hampir tidak dia perhatikan apa yang Arnon ucapkan. Dia fokus memandang suaminya saja. "Jadi seperti itu. Kurasa ini yang paling mungkin kita mulai. Kalau menurut kamu, Fea?" Arnon mengarahkan pandangan pada Fea. Fea terkejut mendengar namanya disebut, dia sedikit gelapan. "Eh, gimana, Ar?" Arnon mengerutkan kening. "Kamu dari tadi serius mendengarkan kami. Gimana pendapat kamu? Lebih baik kita mulai akhir bulan
Fea segera membawa Arfen ke kamar mandi dan membersihkannya. Arfen masih muntah beberapa kali sampai hanya air sedikit yang keluar. Arfen menangis karena merasa tidak karuan di perut dan dadanya.Selesai dari kamar mandi, Fea mengganti pakaian Arfen. Bu Wati datang dengan minuman hangat buat Arfen. Bocah itu mulai terlihat pucat, tangan dan kakinya dingin. Fea membaringkan dia di atas kasur, dan mengusapkan minyak hangat di dada dan perutnya."Nyonya, aku buatkan bubur saja, ya? Perut Arfen kosong, harus segera diisi." Bu Wati bicara sambil terus memperhatikan Arfen yang tampak lemas."Iya, Bu. Setelah itu aku kasih dia obat," Fea mengusap dahi Arfen lembut. "Mulai Panas ini. Kamu kenapa, ya?""Di sini, Ma ..." Arfen meraih tangan Fea dan meletakkan di perutnya."Oke, nanti Mama kasih obat, tapi Arfen makan dulu. Ya?" Fea merasa iba melihat Arfen lemas dan tidak bersemangat.Arfen hanya mengangguk kecil."Ini, kita main ya,
Fea memandang Arnon yang tidak bergerak, tetap diam di tempatnya. Tatapan wajahnya terlihat beda. Fea mendekat dan menyentuh bahu Arnon. "Arnon, kamu baik-baik?" Fea melihat air mata hampir tumpah di ujung mata Arnon. Arnon mengerjap beberapa kali, lalu menaik nafas panjang. "Ya, ga apa-apa." Arnon memaksa dia kembali pada apa yang ada di depannya. Arfen, bocah itu juga melihat padanya. Arnon mendekat, lalu dia peluk Arfen sambil mengusap kepalanya. "Kamu masih panas. Sakit? Yang mana yang sakit?" tanya Arnon. Suaranya sedikit gemetar. "Ini, Papa. Perutku sakit." Suara serak Arfen terdengar lemah. "Kita berdoa, biar kamu cepat sehat. Oke?" Arnon masih memeluk Arfen. Dia mengucapkan doa meminta Tuhan memberi kesembuhan buat anaknya. Fea merasakan dadanya meletup-letup. Arnon memeluk Arfen dan berdoa buatnya. Ini yang dulu Arnon suka lakukan. Dia memeluk anak-anaknya dan mendoakan mereka, hampir setiap pagi atau malam. Apakah Arn
Fea merasa ada sentuhan di tangannya. Dia membuka mata dan mengangkat wajahnya. Arfen memandang padanya dengan wajah sedikit pucat."Hei, Sayang ... Sudah bangun?" Fea menegakkan badan."Mau minum." Arfen terbangun dan merasa haus.Fea mengambil gelas, menuang dengan air dan memberi Arfen minum. Bocah itu meneguk isi gelas hingga setengah. Fea memegang dahi Arfen, sudah tidak sepanas semalam."Perut kamu masih sakit?" tanya Fea."Sedikit. Aku mau es krim, Mama," kata Arfen."Tidak bisa, Sayang. Arfen harus sembuh dulu, baru bisa makan es krim." Fea mengusap rambut dan kening Arfen lembut."Kalau susu?" tanya Arfen."Belum bisa juga." Fea menggeleng."Aku mau sembuh, Mama." Mata Arfen berkaca-kaca."Tentu, Arfen akan segera sembuh. Ini sudah tidak panas, sakit perut tinggal sedikit. Pasti segera sembuh. Ya?" Fea tersenyum.Arfen mengangguk. Lalu dia bertanya, "Aku ga sekolah juga?"Fea men
Wajah ceria Irvan mendadak lenyap. Kalimat tajam dan penuh kekesalan dari Arnonn membuat Irvan bingung. Dia melihat Arnon dengan mengerutkan kening, lalu beralih melihat Fea dan Stefi yang juga tampak tegang."Sudah kukatakan padamu, Fea tidak cinta sama kamu. Dia kembali ke rumah yang benar, berada di sisiku." Tatapan Arnon masih tajam pada Irvan.Fea seketika menjadi merah padam. Memori itu, saat dia sudah bersedia menjadi kekasih Irvan, lalu Arnon mengejarnya, mengajaknya menikah, dan terpaksa dia memutuskan hubungan dengan Irvan, kembali memenuhi benaknya. Tiba-tiba saja muncul rasa tidak nyaman di dada Fea."Arnon, kita harus bicara. Ikut aku," Fea menggandeng tangan Arnon dan sedikit menarik tangan Arnon agar mengikutinya."Hentikan, Fea!" sentak Arnon. "Bukankah ini kebetulan yang sangat baik? Di depan mantanmu ini, katakan, kamu tidak akan kembali padanya, bukan? Kamu hanya akan bersamaku, menikah denganku, karena kamu cinta padaku.""Arnon