Ya ampun, ini tidak benar. Kenapa aku harus terjebak dalam situasi ini sih? gerutu Anggraini dalam hati manakala Syanum membawanya masuk ke dalam kamar Asyif.Dia menatap ragu saat masih berada di depan pintu kamar itu.“Sudah, Kak. Nggak apa-apa. Suer, Kak Asyif benaran nggak ada,” kata Syanum meyakinkan Anggraini.Anggraini meski dengan tidak yakin akhirnya memutuskan untuk masuk dan berencana menyelesaikan mandi dengan secepat mungkin.“Ok, aku tinggal ya!” kata Syanum setelah mengantar Anggraini hingga berada di depan pintu kamar mandi.Tanpa menunggu lama sepeninggalan Syanum, Anggraini segera masuk ke dalam kamar mandi Asyif dan mengunci pintunya dari dalam. Kamar mandi itu memiliki semua fasilitas yang orang kaya punya untuk membuat mandinya semakin berkualitas seperti halnya bathub dan shower di ruang yang diberi sekat. Tak kecuali bak mandi dan … gayung love? Hmm agak sedikit rancu konsep kamar mandi ini.Tapi Anggraini tidak terpikir untuk memakai semua itu. Ia hanya ingin
“Nggak usah jadi deh kalau gitu,” kata Anggraini.“Loh katanya tadi …”“Ya, tapi daripada nanti aku nyesal? Kalau soal penyesalan nggak dulu kayaknya. Paling kapok sama yang namanya penyesalan,” sahutnya sambil ia berbalik badan untuk keluar.“Terus gimana?” desak Asyif.“Ya nggak gimana-gimana. Pokoknya ini tidak akan pernah terjadi lagi. Aku nggak bakal masuk kedua kalinya di kamarmu lagi. Karena apa? Karena aku juga akan pastikan kalau ini terakhir kalinya aku juga datang ke rumahmu,” kata Anggraini sebal.“E, eh. Padahal aku nggak bermaksud begitu loh. Aku nggak larang kamu datang ke sini,” sangkal Asyif.Yah, kenapa saat ini dia merasa perlu meralat ucapannya? Memangnya kenapa kalau Anggraini tidak akan mau datang lagi ke rumahnya? Itu tidak akan berdampak apa pun pada kehidupannya, bukan?“Kamu baru saja mengatakan seperti itu beberapa menit yang lalu.” Anggraini mencoba mengingatkan Asyif.“Aku bilang aku tidak suka orang lain memasuki kamarku, bukan rumahku.” Asyif tidak mau k
“Di sini?” tanya Asyif sambil menggerakkan dagunya ke arah bangunan tempat di mana saat ini Anggraini dan Asyif berhenti.Anggraini yang berada di dalam mobilnya mengangguk. Ia hanya membuka jendela kaca mobil itu saja tanpa berniat untuk turun. Sementara Asyif berada di atas motornya persis sejajar di samping Anggraini.“Maaf, tapi aku nggak bisa ajak kamu mampir ya. Soalnya ini sudah malam dan lagipula ini apartemennya Sophia, temanku. Kamu kenal dia juga kan?”Asyif mengangguk dan meng’oh’kan apa yang Anggraini katakan.“Oke deh. Aku sudah antarin kamu sampai sini ya. Kalau semisal Ummi tanya, kamu harus jelasin kalau kamu sudah aku antarin dengan selamat,” kata Asyif dengan sedikit intimidasi.“Oke siip! Mengerti!” Anggraini mengisyaratkan simbol OK dengan jarinya.“Ya sudah kalau begitu, buruan masuk sana!” “Kamu yang buruan pergi! Aku mah tinggal masuk tapi kan kamu pulangnya masih agak jauh,” kata Anggraini mempersilahkan.Tak ingin berdebat lebih lama dengan Anggraini, Asyif
“Siapa yang datang, Anggre?”Sophia keluar dari kamar dengan menggunakan bathrobe dan kepala dililit handuk. Tadi dia sempat mendengar suara bell dan saat dia keluar dari kamar, ternyata Anggraini sedang menutup pintu sambil memegang sebuah amplop berwarna coklat.“Umm … ini Phi! Security apartemen. Dia ngantarin surat untuk aku. Coba tebak ini dari mana?”“Dari mana?” Bukannya menebak, Sophia malah menanyakannya langsung sembari berjalan mendekati Anggraini yang kini duduk di sofa.“Pengadilan agama Jakarta,” jawab Anggraini.Mereka saling pandang sejenak. Kali ini meski tak bersuara keduanya sama-sama tahu apa isi surat itu. Akhirnya setelah menunggu beberapa lama, Anggraini akhirnya menerima surat panggilan dari pengadilan agama atas gugatan cerainya terhadap suaminya sendiri.“Bukalah. Isinya apaan?” tanya Sophia meski dia sudah tahu.Anggraini segera membuka amplop itu dengan hati-hati.Anggraini segera mengeluarkan isinya dan langsung membacanya dengan bibir komat-kamit.“Yap, s
“Mana saksi yang kamu bilang akan datang?” tanya Anggraini pada Sophia.Saat ini mereka telah berada di pengadilan agama dalam rangka memenuhi panggilan sidang pertama gugatan cerai Anggraini dan Teguh. Selain mereka berdua ada juga ibunya Sophia yang ikut menemani.Sophia tidak menjawab, melainkan mengotak-atik ponselnya untuk menghubungi seseorang yang dia sudah persiapkan menjadi saksi di sidang perceraian ini.“Nggak diangkat. Teleponnya sibuk terus. Padahal kemarin aku sudah menanyakan langsung kepadanya dan memastikan kesediaannya untuk menjadi saksi di sidang perceraian kamu, Anggre. Aiiih, kemana sih dia?!” gerutu Sophia sambil mengetik sesuatu di layar ponselnya.Tentu yang dia chat saat ini adalah calon saksi tersebut. Kalau tadi dia hanya mengirim pesan chat yang menanyakan tentang keberadaannya secara baik-baik, namun kali ini Sophia sudah tidak bisa lebih sabar lagi. Sedikit sumpah serapah dia ketik pada pesan chat itu dan mengirimnya. Bodo amat!!“Memang siapa? Siapa yan
“Saudari Penggugat, tolong kendalikan diri anda! Kita masih perlu mendengarkan penjelasan dari suami anda sebagai Tergugat agar kami bisa memutuskan yang terbaik bagi pernikahan anda berdua,” kata hakim itu saat mendengar jerit protes Anggraini.“Tapi Bu Hakim, ini tidak adil. Saya tahu dengan jelas bahwa Anggraini tidak mengetahui pernikahan kedua suaminya. Ini fitnah agar gugatannya ditolak!” bela Sophia ikut protes pada hakim itu.“Anda saksi, bukan? Keterangan anda belum diperlukan saat ini. Saat ini kami akan fokus mendengar keterangan dari Tergugat dahulu. Tolong hormati persidangan ini dan anda berdua silahkan duduk kembali!” Sophia mendengus kesal. Emosinya memuncak saat ini. Kalau bukan karena ibunya yang memaksa dia untuk duduk kembali sudah pasti dia tidak akan semudah itu untuk menurut.“Lanjutkan!” Hakim itu mempersilahkan Teguh untuk melanjutkan keterangannya.“Saya memiliki dokumen resmi yang bisa dikatakan sebagai bukti dari saya juga. Apa Yang Mulia mengizinkan saya
Anggraini keluar dari ruang damai yang telah dipersiapkan oleh pihak pengadilan agama untuk memfasilitasi mediasi antara dia dan Teguh.Mediasi antara mereka berjalan hampir dua jam lamanya namun seperti yang telah diduga, mediasi itu tidak berhasil karena dari pihak Anggraini menolak untuk berdamai dengan Teguh.Jangankan untuk berdamai, sepanjang mediasi Anggraini lebih banyak diam karena dirinya sendiri tidak diperkenankan oleh mediator untuk menyerang Teguh dengan pertanyaan yang memojokkan seperti bagaimana pria itu bisa melakukan semua manipulasi data itu. Teguh juga kekeuh tidak mau mengakui dan bersikap dengan sangat meyakinkan seakan tak punya salah apa-apa. Bahkan sang mediator pun sampai kebingungan untuk membuat mediasi tersebut berjalan lancar.“Gimana? Mediasinya nggak berhasil kan, Nggre? Kamu nggak mau balik sama dia kan?” tanya Sophia sedikit cemas.Dia dan ibunya sudah menunggu sedari tadi karena mereka tidak diperkenankan untuk masuk ke ruang mediasi selama proses
“Asyif, aku butuh bantuan bantuanmu. Apa kau punya kenalan seorang pengacara yang bagus?” tanya Anggraini di telepon.“Pengacara yang bagus? Untuk?” Anggraini menghela napas kesal.“Untuk mengurus perceraianku dengan mas Teguh. Aku mengalami kesulitan saat sidang pertama perceraianku kemarin,” kata Anggraini jujur.Asyif tidak menjawab.“Ada? Atau tidak ada?”“Aku punya satu kenalan pengacara yang bagus, tapi … entahlah rasanya agak kurang etis jika aku membantumu dalam hal ini,” kata Asyif jujur.“Kurang etis? Kenapa?” tanya Anggraini tidak mengerti.“Ya, itu rasanya seperti aku yang menyebabkan perceraian kalian berdua, bahkan untuk perceraian saja aku membantumu sampai selesai. Apa menurutmu itu tidak sedikit keterlaluan? Orang-orang bisa menganggap aku sebagai pebinor,” kekeh Asyif.“Keterlaluan? Kenapa? Kau temanku kan? Maksudku meski tidak pernah ada ikrar pertemanan di antara kita tapi kau pasti setuju kalau kita adalah teman. Apa salahnya membantu teman sendiri yang sedang ke