POV DinaSudah lima jam aku duduk di mushalla ini, entah berapa banyak sudah pengunjung lalu lalang datang dan pergi. Tapi tubuh ini masih saja betah duduk di atas sajadah sambil mengangkat kedua tangan. Pada-Nya aku memohon, kesembuhan dan keselamatan untuk suamiku yang kini sedang berjuang dalam koma.Pisau yang tak sengaja tertancap di perutnya, ternyata menembus usus halus. Operasi memang sudah dilakukan, tapi kesadarannya masih dalam genggaman Allah.Selama di rumah sakit jiwa, ibadahku rusak. Dua puluh tahun, semoga Allah mengampuni semua dosa-dosa itu. Tapi aneh, saat memulai kembali shalat setelah terbebas dari rumah sakit itu. Hanya beberapa kali diajar oleh perawat, aku sudah bisa mengucapkan seluruh doanya dengan sempurna.Aku kembali bersujud. Doa yang paling mudah diijabah adalah ketika seorang hamba sedang dalam posisi sujud. Maka kugunakan kesempatan ini untuk memanjatkan doa yang seluas-luasnya dan sebaik-baik doa. Kiranya, hanya Allah yang bisa mengabulkan dan membuat
Setelah sampai di rumah sakit, sebuah pesan tiba-tiba masuk ke ponsel Sabrina. Tapi kuabaikan sejenak karena keinginan menyampaikan berita tentang Siska terlebih penting untuk saat ini.Kuketuk pintu perlahan, lalu tak lama ruangan rawatan Mas Fadly terbuka perlahan."Ibu?"Sabrina nampak terhenyak dengan kedatanganku."Ibu nggak bisa tidur?""Bukan, Nak. Ada masalah penting yang mau Ibu sampaikan sama Ayahmu.""Masalah penting?""Iya, apa Ayahmu sudah tidur?""Belum, Bu. Ayah sedang menerima telpon dari salah satu sahabatnya di rumah sakit Cipto.""Masalah pemeriksaan DNA?""Iya, Buk. Yaudah Bu ayo masuk dulu."Lekas langkah ini memasuki kamar. Melihatku datang, Mas Fadly segera menutup telpon. Senyuman hangat menjadi penyambut kedatanganku malam itu. Akankah semuanya berganti gelisah, sesaat setelah aku mengabarkannya perihal Siska."Kematian, Din," ucapnya menunjuk kursi di sebelah ranjang. Aku menurut."Saya kemari karena ada hal penting yang ingin saya sampaikan pada Mas Fadly."
Ehm! Maaf, saya permisi ke belakang sebentar."Nah, itu suara Mbak Mira. Mbak Mira mau kemari, artinya aku harus segera sampai kamar. Kuangkat kaki dengan kecepatan seribu, menghilang lesat ke dalam kamar. Dengan segera kurebahkan diri di atas ranjang dan menarik selimut. Siapa tahu sebentar lagi, Mbak Mira akan masuk ke kamar ini.Detik-detik rasanya aku bisa menghitung langkah Mbak Mira yang kini berjalan menuju kamarku.Ya Allah, rasanya lebih baik menderita karena harus mengubur cinta untuk Mas Fandy daripada mengetahui kenyataan bahwa yang dilamar hari ini aku bukan untuk Mbak Mira.Aku harus bagaimana ya Allah?Jantung masih tak karuan detakannya, dan semakin menjadi tatkala tahu Mbak Mira kini masuk ke dalam kamar."Kamu udah tidur?"Mbak Mira?Aku menyibak selimut yang menutupi tubuh hingga kepala."Belum Mbak, kepala sakit sekali jadi sulit untuk terpejam.""Udah minum obat?""Belum Mbak."Mbak Mira melangkah masuk lebih jauh lalu mengambil obat di dalam kotak P3K yang ada d
"Berdasarakan pemeriksaan kecocokan DNA antara saudari Sabrina dengan Bapak Fadly yang dilakukan tanggal .... Dengan ini, hasil dari pemeriksaan tersebut dinyatakan positif," ucap sahabat Pak Fadly melalui video call sehari setelah Nyonya Siska diketemukan.Seluruh yang hadir di ruang rawatan Pak Fadly mengucap takbir menyebut kebesaran Allah, termasuk aku. Dua puluh tahun, ternyata jika Allah sudah berkehendak, semua akan terbongkar. Bu Dina memelukku erat, air mata haru membanjiri wajahnya. Dia yang sempat percaya saat Pak Fadly menyuruhku berbohong, kini terlihat begitu lega. Sebab beberapa waktu sudah tahu jika aku dan Pak Fadly bekerja sama, sedang hasil test DNA nya belum keluar."Sabrina, kemari Nak."Pak Fadly memintaku mendekatinya. Selama ini, setelah semua yang dilakukan Nyonya Siska terbongkar. Meski tes DNA belum keluar, Pak Fadly sudah memintaku agar memanggilnya dengan sebutan Ayah, dan diapun selalu memanggilku dengan sebutan Nak. Namun tetap saja, aku masih begitu m
Kami duduk di sebuah kursi yang terletak di pinggiran tempat parkir, suasana begitu sejuk sebab disekelilingi oleh pepohonan. Kurasa inilah tempat terbaik untuk berbicara, setidaknya tidak ada satu orangpun yang kemungkinan akan memergoki. Aku tak ingin Mbak Mira tersakiti hatinya jika tahu Mas Fandy sampai menemuiku di kampus ini."Apa kabar?"Dia membuka dengan pertanyaan yang membuat hati berdebar tak menentu."Baik. Mas Fandy sendiri apa kabar?""Alhamdulillah, saya kurang baik.""Kurang baik? Tapi jika dilihat dari luar, sangat baik kok," selorohku yang tak bisa menjaga suara. Aduh ...Dia tersenyum, senyum yang membuat hati meleleh. Bisakah ya Allah aku terus menikmati senyumnya? Huhft ..."Dari luar memang baik, tapi tidak dari dalam. Eh, ohiya, selamat ya," ucapnya kemudian sembari menatapku."Selamat untuk apa, Mas?""Selamat untuk hasil tes DNA-nya. Saya ikut senang.""Alhamdulillah, Mas.""Huh, puluhan tahun, Allah Maha Luar Biasa."Aku tersenyum."Itu Asmaul Husna yang ke
POV FadlyBegitulah kiranya anak-anak, ketika lelaki yang diciptakan Allah tidak hanya satu, tapi kenapa dua anak perempuanku terlibat dengan satu lelaki yang sama?Meski terlihat tidak adil karena aku tak membiarkan Sabrina memberi keputusan, justru langsung menolak lamaran Pak Pramudia. Tapi kuharap inilah yang terbaik. Semua kulakukan tersebab tak ingin hubungan kakak beradik itu rusak hanya karena lelaki.Selama sebulan ini, tak ada cacat pada hubungan mereka. Yang kutakutkan sebelumnya akan sering beradu mulut, tapi ternyata mereka justru begitu akur.Sebab itulah aku memutuskan untuk tidak menerima lamaran tersebut untuk saat ini dan meminta waktu hingga empat tahun. Kupikir empat tahun, cukup untuk seseorang melupakan dan mentransfer perasaan cintanya kepada orang lain. Dan harapan besarnya adalah setelah empat tahun itu, Mira sudah move on dari mencintai Fandy. Tapi pada mereka berdua, aku tak perlu jujur bukan? Niatku baik, jika selama empat tahun tersebut ternyata mereka j
POV Sabrina[Alhamdulillah Mas lulus ....]Sebuah pesan yang dikirim saat aku berada di rumah Bu Asti, empat tahun yang lalu. Karena penasaran, kubalas juga pesan itu.[Lulus apa, Mas?][Mas ikut program Nusantara Sehat. Dan Alhamdulillah Mas lulus dan akan ditempatkan di Kepulauan Anambas, Riau.]Deg. Jantungku seketika berdegup kencang. Jadi Mas Fandy akan pergi jauh? Untuk berapa lama?[Alhamdulillah selamat ya, Mas. Semoga Mas bisa mempraktekkan ilmu yang sudah ada dengan sebaik-baiknya.]Aku masih bersikap tenang, meski sejujurnya ada rasa berat mendengar berita ini. Kenyataannya, meski mulut sudah menyatakan agar Mas Fandy tak menghubungi selama empat tahun ini, tapi hati seolah berkata lain. Ia ingin terus memberi dan mendapat kabar dari lelaki itu.[Makasih, ya. In Syaa Allah besok kami diberangkatkan. Kamu mau pesan sesuatu nggak untuk Mas?]Aku tercenung sejenak, pesan apa? Masak iya harus meminta agar setelah pergi, ia tidak lupa untuk pulang, atau meminta agar setelah per
POV MiraSiang itu juga kami berangkat ke Solo. Papa dan Mama ikut mengantar. Sepanjang perjalanan aku tak henti menangis. Meski mama sudah minta untuk tenang, tapi tetap saja air mata ini tumpah bagai kucuran air hujan.Dua jam perjalanan, akhirnya kami sampai di rumah sakit. Papa segera menanyakan keberadaan Mas Sabri pada perawat jaga. Dengan langkah cepat kami segera menuju ruang rawatan.Sesampai di depan ruangan. Mama kembali meminta agar aku menarik napas dan bersikap tenang. Ya Allah, apa mereka tidak tahu bagaimana khawatirnya hati ini? Sungguh, aku tak ingin terjadi sesuatu pada Mas Sabri, aku terlanjur sangat mencintainya. Jika ia tiada, entah bagaimana nasibku ...Papa membuka pintu, hingga nampaklah sosok lelaki yang amat kurindukan selama ini."Mas Sabri ...."Lelaki itu tersenyum menyambut kedatanganku. Kaki ini terangkat hendak berhamburan memeluknya, tapi papa menahan gerakanku."Ingat Mira, kamu masih masa pingitan."Huh!Seketika tubuh ini lemas, papa hanya membole